Suara nyaring nada dering telepon punya Kara berhasil membangunkan si pemilik, termasuk Sarah yang langsung mengucek matanya.
“Siapa sih Kar, pagi-pagi udah telepon!!!” gerutunya masih dengan berbaring di kasur, ia memiringkan tubuhnya untuk mengambil ponsel Kara.
“Eh, bukan telepon! Ini alarm Mbak!” elak Kara yang langsung mencomot ponselnya. Ia buru-buru menekan keypad HP yang berfungsi memutuskan panggilan.
“Duh, ngapain sih si Jordan ini pakai telepon-telepon segala!” gumamnya sangat pelan. Sudah hampir seminggu atau tepatnya lima hari ini Kara dan Jordan selalu saling berkirim pesan. Keduanya mendadak menjadi sangat dekat dalam waktu sekejap.
Jordan
-Bangun Kar, siap-siap sholat shubuh sana! :)-
Seperti biasanya, Jordan memang rajin bahkan selalu disiplin mengingatkan Kara untuk salat lima waktu di awal, membuat Kara merasa diperhatikan. Seolah kehadiran Jordan sekarang ini adalah anugerah tersendiri dalam hidupnya. Setelah menguap karena merasa masih mengantuk, sebab semalam dia diam-diam berkirim pesan dengan Jordan hingga tengah malam, tetapi anehnya cowok baik hati itu, masih tetap bisa terbangun ketika dini hari. Ia bersandar di ranjangnya, lalu mulai merangkai kata untuk membalas pesan Jordan.
Kara
-Iya Dan, ini udah bangun kok. Maaf nggak angkat telepon kamu, lain kali jangan telepon ya ....-
Kara menguap lagi, kali ini sampai keluar air mata menetes dari netranya saking masih merasa mengantuk.
Jordan
-Kenapa emangnya? Ada yang marah kalau aku telepon kamu?-
Kara
-Nggak kok, tadi Mbakku kaget, aku kan tidur sekamar sama dia-
Jordan
-Iya, maaf ya. Ah iya lupa, selamat pagi Karana :)-
Membaca ucapan selamat pagi dari Jordan langsung menghilangkan rasa kantuk yang menggantung di matanya, pandangannya berbinar, seulas senyum tergambar indah di bibir Kara, ia mengguncang-guncangkan ponselnya lalu mendekap benda itu ke dalam rangkulan tangannya yang menempel di dada. Rasanya bagai bunga mekar yang dibuai kesegaran embun pagi.
“You made my day, Jordan!” gumam Kara kegirangan. Hingga ia tak sadar bahwa semenjak tadi Sarah memperhatikan tingkahnya. Kakak perempuannya itu memang masih berbaring, tapi matanya sudah membuka.
“Ciye-ciye, Johan siapa tuh?” Sarah langsung melonjak bangun dan lagi-lagi berusaha melongok ke arah ponsel yang masih didekap Kara. Sementara gadis itu hanya bisa mematung mengetahui kakak perempuannya memergoki dirinya.
“Johan? Dasar Mbak Sarah kayak haji bolot!” ujar Kara sambil menahan tawa.
“Enak aja, orang secantik aku dikatain bolot!” sergah Sarah sambil menyibakkan rambutnya yang tergerai panjang.
“Iya-iya, si paling cantik!” ujar Kara sambil mengangguk.
“Kamu pacaran ya Kar?” tanya Sarah penuh selidik.
“Nggak!!!” sangkal Kara dengan menggeleng cepat dan berulang. “Jordan tuh cuman temen kok Mbak,” imbuhnya lagi, kali ini Kara menunduk.
“Hey girl! Tapi kayaknya kamu suka tuh sama si Johan ....”
“Jordan!”
“Iya, maksudku itu, jadi adekku udah kena virus merah jambu yaa? Bilangin Mama Papa ah?” ungkap Sarah mengancam, mencoba mengusili adiknya itu.
“Hey, jangan dong Mbak! Lagian udah aku bilang, kami cuma temenan!”
“Aku nggak bakal bilang, tapi nanti pulang sekolah, beliin es degan Mbak Tutik!!”
“Mbak Tatik kali!”
“Iya, yang dekat sama SMP-mu dulu itu!”
“Iya deh aku beliin ....” Kara cukup merasa tenang dengan syarat yang diajukan sang kakak. Bukan sesuatu yang sulit untuk dipenuhi.
Suara pintu diketuk menghentikan obrolan kakak beradik itu. Mama menyembul muncul dari balik daun pintu. Mengucapkan selamat pagi dan segera menyuruh mereka salat Shubuh. Kara segera bangkit berdiri disusul Sarah, mereka keluar dan berjalan menuju kamar mandi. Sarah lebih dulu mengambil wudhu, sedangkan Kara memilih sekalian mandi. Ia menarik handuk yang tergantung di jemuran di taman belakang dekat kamar mandi.
Saat memutar kran air, segera ia mendengar suara adzan berkumandang bercampur suara kucuran air. Ia heran bukannya tadi sudah ada adzan ya, mungkin belum ya, Kara tidak lagi mempedulikan. Ia membasahi tubuhnya, menggosok gigi, mencuci muka dan membersihkan badannya. Lalu segera kembali ke kamar dan menunaikan salat Shubuh.
***
Sepulang dari sekolah yang masih melaksanakan masa orientasi siswa, Kara berjalan gontai menuju gerbang depan. Sambil membawa dua tas, satu tas tenteng yang ia gunakan untuk menaruh perlengkapan MOS dan memanggul satu tas ransel. Ia letakkan tas tenteng itu ke bawah hingga menyandar di kakinya. Lalu ia putar ranselnya ke depan untuk mengambil ponsel dan memeriksa ada pesan baru atau tidak.
“Tumben, Jordan nggak sms ya,” gumam Kara pada dirinya sendiri.
Kara terperanjat kaget saat bunyi klakson motor seolah membentaknya. Ia tidak marah, justru melambaikan tangannya pada si pengendara.
“Udah lama Kar?” tanya Patih yang menghentikan motor matic-nya tepat di depan Kara.
“Kar? Kok malah bengong sih!” tegur Anika di boncengan belakang.
“Lah, aku kira kamu bawa motor sendiri Nik!” ucap Kara sambil menunjuk motor Patih.
“Iya, motorku tadi mogok, untung masih di rumah. Akhirnya aku minta Patih jemput,” cerocos Anika sambil tersenyum mengembang, entah apa yang lucu.
“Lah, terus aku gimana? Aku juga nggak bawa motor Nik!” seru Kara sambil menghentakkan tangannya.
“Udah, boncengan bertiga aja, lagian dekat Kar, warungnya Mbak Tatik!” ujar Patih memberi solusi, sementara Anika langsung memajukan badannya, menyisakan jok motor yang lebarnya tak sampai dua puluh senti.
“Yakin kalian? Entar kalau ditilang polisi gimana?” Kara hampir melongo mendengar ide gila kedua sahabatnya itu.
“Nggak-nggak, udah ayo naik. Panas ini!” bujuk Patih tanpa kompromi. Dengan enggan Kara melangkah naik ke motor, rasanya pantatnya tidak mendapat alas, semoga saja ia tidak terpental dari motor. Sementara tangan kanannya menggantung membawa tas tentengnya.
“Patih!!!” teriak Kara saat cowok tinggi kurus itu memacu motornya dengan kecepatan yang sangat kencang. “Jangan ngebut woi!” seru Kara lagi, tapi sama sekali tak didengar, Anika justru tertawa cekikikan. Tidak sampai lima menit, ketiganya turun dari motor dan menginjakkan kaki ke sebuah warung kaki lima yang di spanduknya tertulis dengan huruf kapital “ES DEGAN MBAK TATIK DAN KEDAI CEMILAN ASYIK”
Suasana warung cukup ramai, tapi masih ada tempat duduk di dekat tepian jalanan aspal, dari situ, lalu-lalang pengendara motor bisa terlihat jelas. Sekolah SMA mereka memang berbeda tapi sama-sama tidak berjarak jauh dari letak sekolah SMP-nya dahulu.
Kara menarik kursi kotak berbahan plastik yang berwarna merah menyala. Ia membenarkan kerudungnya yang hampir terbang tertiup angin karena ulah ngebut Patih.
“Tih, kamu belajar jadi pembalap ya?” tanya Kara asal-asalan.
“Seru kan Kar? Kayak naik roller coaster tahu!” seru Anika yang terus saja tertawa cekikikan.
“Sorry deh Kar,” ucap Patih.
Mereka kemudian memesan tiga gelas es degan dan sepiring gorengan yang hampir tandas, saking kelaparannya mereka. Kara menyeruput cairan kelapa muda yang membuat tenggorokan keringnya menjadi segar. Ia fokus menatap seliweran kendaraan, sampai matanya terbelalak dengan apa yang ia lihat.
“Jordan?” panggilnya lirih.
“Eh, iya itu Jordan Kar!” seru Anika sambil menuding ke arah jalanan. Baru saja ketiganya melihat Jordan dengan motornya lewat sambil membonceng seorang gadis. Sepertinya, Jordan tidak menyadari keberadaan Kara, Anika dan Patih.
“Cewek yang dibonceng itu siapa?” tanya Kara keceplosan, refleks dia berkata lagi, “Eh, maksudku kok kayaknya bukan anak SMABUPENAS!”
“Dia Adel, kirain mereka udah putus,” ungkap Patih yang mencomot pisang goreng terakhir di piring mereka. “Emang kenapa Kar? Kamu kayak langsung bad mood gitu!” imbuh Patih lagi.
“Nggak kok, lagian Anika pakai ngasih nomorku ke Jordan,” kata Kara sambil melirik Anika.
“Ya gimana Kar, kan dia katanya butuh nomor kamu karena kalian satu SMA,” papar Anika yang langsung menunduk.
“Kenapa sih kamu kasih Nik?”
“Aku kira si Jordan tertarik sama kamu, Kar!”
“Jadi Jordan naksir Kara? Terus barusan dia malah boncengan sama mantannya?” tanya Patih beruntun. “Oh, kamu cemburu Kar?” imbuh Patih bertanya lagi, yang langsung membuat Kara membelalakkan matanya.
“Nggaklah, kami cuma sering SMS-an aja, pas MOS di sekolah juga kami bahkan nggak pernah ketemuan!” ucap Kara lalu mengalihkan pembicaraan dengan berkata bahwa dia cukup kesepian sebab tidak satu sekolah dengan kedua sahabatnya itu.
***
Sekarang adalah hari terakhir Masa Orientasi Sekolah. Sebelum pulang, kakak panitia memerintahkan untuk para murid baru mengumpulkan tanda tangan teman dan guru-guru sebanyak mungkin. Kara berjalan sendirian menuju ruang guru, ia benar-benar merasa kesepian karena tidak ada yang membersamai atau tepatnya belum mendapatkan satupun teman, apa dirinya yang tidak bisa membuka diri dan tidak mampu bersosialisasi? Entahlah, dia memang enggan memulai perkenalan terlebih dahulu. Ia sampai di ruang guru yang sudah dipenuhi berjubel siswa-siswi peserta MOS. Kara berusaha membelah keramaian.
“Sorry, permisi, permisi ....” Ia berhasil menuju ke meja seorang guru perempuan berjilbab panjang yang terlihat masih muda.
“Bu, minta tolong tanda tangannya,” ucap Kara sambil menyodorkan seperangkat buku tulis dan bolpoin.
“Tebak dulu nama saya,” ujarnya. Tak hanya Kara yang kebingungan, beberapa murid juga sampai linglung mendengar permintaan si ibu guru. Kara menoleh ke belakang, pandangannya bertemu tatap dengan seorang murid laki-laki yang memakai dasi kupu-kupu berwana merah muda di kerah kemeja seragamnya.
“Namanya Isha,” bisik si cowok berdasi kupu-kupu saat berjalan melenggang melewati Kara, dia bagai malaikat penolong yang menyelamatkan bumi tempat Kara hidup. Cowok itu keluar dan kemudian mengangguk sambil tersenyum simpul. Mata Kara mengerjap cepat.
“Ayo, tebak! Siapa nama saya?” tanya si ibu guru yang terus memburu sebuah jawaban.
“Bu Isha ya?” celetuk Kara agak takut.
“Sini bukunya saya tanda tangani, kok bisa kamu tahu padahal saya nggak pakai name tag, indigo ya kamu?” tanyanya sambil tertawa puas, Kara terpaksa ikut tersenyum. Perhatiannya bukan lagi pada Bu Isha yang tampak misterius, tapi Kara langsung berjalan keluar untuk mengejar cowok berdasi kupu-kupu yang sudah membantunya.
Ternyata cowok itu masih berdiri di depan ruang guru, entah dengan keberanian apa, tiba-tiba Kara berjalan mendekat, jantungnya berdebar, langkahnya bagai melewati karpet merah, sangat terasa menakjubkan. Laki-laki seusianya itu bahkan terlihat bersinar, tampang lucunya yang disimbolkan dengan atribut dasi kupu-kupu, Kara sampai tepat di hadapannya. Ia menyodorkan buku sambil menunduk. Lalu cowok itu langsung paham bahwa Kara meminta tanda tangan. Tidak ada sepatah kata pun yang bisa terucapkan, Kara terlanjur terhipnotis oleh aura pesona si cowok berdasi kupu-kupu. Tahu-tahu dia sudah berbalik pergi meninggalkan Kara yang akhirnya baru bisa tersenyum.
“Aku belum bilang terimakasih,” gumamnya sangat pelan. Ia masih mematung dengan berjuta rasa kagum yang membuncah di hatinya. Batinnya terus bertanya-tanya. Siapa cowok berdasi kupu-kupu itu?