Loading...
Logo TinLit
Read Story - Can You Hear My Heart?
MENU
About Us  

Suara 3

Api Unggun

Kara enggan menembus kerumunan siswa-siswi baru SMA Budi Pekerti Nasional yang pasti sudah setengah mati penasaran di kelas mana mereka akan menjalani setahun penuh tahun pertama di masa putih abu-abu. Ia memilih berdiri di pojokan dekat gerbang sambil termenung sendirian. Ia teringat kata-kata Anika kemarin, kata gadis yang selalu ceria itu, Kara harus berani memulai perkenalan jika ingin mendapatkan teman. Tapi nyalinya terlampau ciut untuk melaksanakan wejangan dari Anika, berbeda dengan Patih yang justru mengatakan tidak usah dipaksakan, seiring berjalannya waktu, Kara pasti menemukan satu dua sahabat. Akhirnya Kara lebih mengindahkan teori ala Patih.

Kara melirik arloji di tangan kanannya, sudah mau pukul tujuh, ia harus segera melihat papan pengumuman jika ingin bisa leluasa memilih tempat duduk di kelas baru. Meskipun KBM— Kegiatan Belajar Mengajar khusus hari ini dimulai pukul delapan, tapi kaki Kara rasanya sudah cukup pegal, ia lalu mendekati kerumunan yang sejenak mulai tidak seramai tadi. Ia menarik napas dalam-dalam lalu siap membelah kumpulan murid baru di depannya.

“Beri jalan dong, permisi ....” pintanya hingga berhasil masuk ke dalam kerumunan dan sedikit berdesak-desakan. Sampai juga tepat di hadapan papan pengumuman. Ada sembilan lembar kertas yang tertempel, di mana sudah diurutkan berdasarkan tatanan kelas. Dengan saksama Kara mencari namanya.

“Karana Permata Akhira,” ejanya pelan. Namanya tertulis di lembar keempat, berarti dia masuk ke kelas X-4. Ia mencari satu nama lagi, “Yah, Jordan di kelas X-5 ....”

Ia buru-buru menuju kelas, sepanjang lorong banyak wajah-wajah baru yang terekam di mata Kara, ayolah! Tidak sekelas dengan Jordan bukan hal yang buruk, Kara harus tetap percaya pasti dia akan mendapatkan satu dua teman, seperti kata Patih saat di warung Mbak Tatik kala itu. Ia berhenti tepat di ruang kelas yang di daun pintunya tertulis angka X-4. Sedikit merapal doa seadanya, Kara masuk ke dalam, menebar pandangan ke segala penjuru. Gadis dengan rambut lurus sebahu menarik perhatiannya.

“Arum?” panggilnya pelan, tidak salah lagi, dia adalah teman masa kecil Kara di rumah lamanya dahulu, ia tak menyangka bisa berjumpa lagi bahkan bisa sekelas.

“Ya?” tutur Arum dari kejauhan.

“Arum, ini Kara!” serunya lalu mendekat ke arah Arum.

“Kara? Hey!!!” sapa Arum, mereka berdua saling memegang lengan masing-masing dengan mata berbinar.

“Ya Allah kita sekelas Rum,”

“Yaudah, duduk sama aku aja Kar, tapi pas depan guru sini ya, nggak masalah kan?” tanya Arum yang menunjuk bangku di sebelahnya.

“Iya nggak apa-apa kok, Rum! Aku seneng banget ketemu kamu, bisa-bisanya pas MOS bahkan kita nggak papasan ....”

Mereka hanyut dalam perbincangan, saling bertanya kabar dan banyak hal yang sudah lama terlewati. Sampai sosok yang baru saja menyembul dari pintu membuat Kara tertegun.

“Si dasi kupu-kupu ...,” gumam Kara. Arum mengernyitkan keningnya.

“Maksudnya Kar?” tanya Arum tidak mengerti.

“Itu dia?”

“Oh Trein, ah benar, di hari terakhir MOS kemarin kan dia pakai dasi kupu-kupu dari kertas origami, dia itu humble banget Kar,” ungkap Arum sangat antusias.

“Ssttt sssttt, nanti dia denger lo.” Kara berdesis seraya meletakkan telunjuknya ke bibir.

“Nggak masalah kali,” kata Arum lalu dia melambaikan tangannya. “Trein, sini!” panggilnya. Membuat Kara gelagapan, terasa hatinya seperti meleleh saking paniknya.

“Rum! Kursi belakangmu kosong?” tanya Trein yang tampak tidak mengenali Kara, membuat gadis itu merasa aman sentosa, pasalnya ia cukup salah tingkah.

“Kosong kok!” ujar Arum, lalu melirik Kara yang terdiam sambil menunduk. “Kenalin Trein, ini Kara, temanku pas SD dulu!” imbuh Arum, membuat Kara kalang kabut karena Trein mengulurkan tangannya.

“Trein,” ucapnya.

“Karana.” Mereka berdua bersalaman sebentar, buru-buru Kara menarik kembali tangannya, semoga saja bunyi debar jantungnya yang kencang tidak terdengar. Trein menyunggingkan senyum lima jari, deretan gigi putihnya berpadu lengkungan bibir yang berbentuk bagai bulan sabit, membuat Kara tercengang. Ia terlampau terpukau sampai tidak sanggup membalas senyum indah Trein, si cowok berdasi kupu-kupu itu ternyata ditakdirkan sekelas dengan Kara, bahkan saking kebetulannya, Arum juga terlihat akrab dengan Trein.

Setelah sesi perkenalan, Bu Isha, guru yang kemarin menyuruh Kara menebak namanya ternyata menjadi wali kelas X-4. Wanita dengan kerudung panjang itu kemudian bertanya, “Siapa, yang bersedia jadi perangkat kelas?” suasana kelas mendadak hening, tidak ada yang menjawab. Sampai pandangan Bu Isha tertuju pada Trein yang mengacungkan tangan.

“Ya Trein, kamu bersedia jadi ketua kelas?” tanya Bu Isha lagi. Dengan sigap Trein mengangguk dan berucap tegas, “Iya Bu, saya siap menjadi ketua kelas, saya janji akan mengayomi seisi kelas!”

“Bagus, saya pegang janji kamu ya Trein, yasudah sebelah kamu, Didi?”

“Teddi Bu,” kata seorang cowok dengan suara serak yang terlihat garang dan tadi pun datang terlambat, membetulkan sebutan namanya, Bu Isha langsung tersenyum sambil berkata, “Nah, iya Teddi maksudnya, kamu jadi wakil ketua kelas ya?”

“Tapi Bu, saya, saya ....”

“Bagaimana yang lain setuju kalau Teddi jadi wakilnya Trein?”

“Setuju!!!”

Sorakan satu kelas membuat Teddi tidak lagi bisa menolak. Ia hanya melengos tidak peduli, Kara menoleh ke belakang, sorot matanya bertemu pandang dengan Teddi yang menatapnya sengit, membuat Kara buru-buru menghadap depan lagi.

“Siapa yang mau menjadi sekretaris?” tanya Bu Isha lagi.

“Karana saja Bu,” celetuk Arum sambil menowel pundak teman sebangkunya itu. Kara yang mendengar namanya disebut seketika melambaikan tangan ke samping kiri dan kanan.

“Ta-tapi Bu,” protes Kara sambil melirik Arum yang justru tertawa usil.

“Kalau satu kelas setuju kamu yang jadi Sekretaris jangan menolak ya?” tawar Bu Isha lalu bertanya kepada seisi kelas yang ternyata menerima pilihan asal-asalan Arum. Kara tidak lagi bisa berkutik.

“Ya sudah Kara, untuk posisi bendahara, kamu saja yang pilih ya?”

Kara langsung tersenyum penuh kemenangan untuk memenuhi permintaan khusus dari wali kelasnya.

“Arum saja Bu!” ujar Kara.

“Hey, Kar! Balas dendam ya kamu?” gerutu Arum yang kali ini pun tidak dapat mengelak.

Mata pelajaran jam pertama yang diampu Bu Isha belum membahas materi, tak lama setelah ajang pemilihan pengurus kelas, bel istirahat berdering, berbondong-bondong murid-murid keluar dari kelas.

Bu Isha melambaikan tangan memanggil Trein. Kara memperhatikan kedua sosok di depannya. Diam-diam dia menguping pembicaraan, seolah Trein selalu berhasil menarik perhatian Kara, seperti magnet kuat yang menarik benda-benda logam. Ternyata Bu Isha memberitahukan kepada Trein bahwa setelah istirahat ia diminta menghadiri TM—Technical Meeting untuk persiapan kegiatan PERSAMI. Begitu Bu Isha berlalu pergi, Trein menghampiri Kara dan Arum.

“Teddi mana? Siapa entar yang nemenin aku ke TM PERSAMI habis istirahat?” tanyanya menanti jawaban.

“Ya Bu Sekretaris dong Pak Ketu, biar Kara yang nyatet-nyatet!” cicit Arum sambil menyenggol lengan Kara yang mengerjapkan mata seolah gelagapan, belum-belum ia sudah membayangkan berinteraksi langsung dengan Trein, bagaimana ini? Kara lantas menatap Arum dengan tampang kebingungan.

“Tenang Kar, Trein nggak gigit, jangan takut gitu dong!” canda Arum yang membuat Trein melongo.

“Heh, seriusan Kar, kamu takut sama aku?” tanyanya sambil menuding dirinya sendiri.

“Oh, nggak kok Trein. Iya nanti kita ke TM bareng-bareng. Emang asal aja itu Arum kalau ngomong,” ujar Kara. Bukan karena takut, tetapi Kara merasa salah tingkah bila berada di dekat Trein.

“Iya, bercanda aja kok Trein!” tambah Arum lalu tersenyum di sudut bibirnya.

“Kalian nggak ke kantin?” tanya Trein menatap Kara, padahal itu pertanyaan yang ditujukan untuk dua orang.

“Eemmm ....” Kara kehabisan kata-kata, padahal tinggal menjawab iya atau tidak. Harusnya ia berani bukan malah gelagapan seperti seorang pengecut begini.

“Duluan aja Trein, nanti kami nyusul ya,” kata Arum seolah menyelamatkan kebisuan Kara.

Trein segera melenggang keluar dari kelas, Kara menatap lekat punggung si cowok yang sudah entah berapa kali berhasil membuatnya seolah ada sekumpulan kupu-kupu berterbangan di perutnya.

“Hey, Kar?” Arum mengibaskan tangannya ke depan wajah Kara yang mematung memandangi kepergian Trein. “Gitu banget ngelihat Trein,” imbuh Arum lantas tersenyum dan berkata lagi, “Hayo? Kamu terpesona ya?” Arum lantas tertawa terbahak-bahak.

“Bukan gitu! Bukan gitu!” elak Kara sambil menggeleng. Ingin berkata iya, ia takut Arum akan mengadukannya kepada si pemeran utama dalam obrolan mereka, siapa lagi kalau bukan sosok Trein? Kara buru-buru mengalihkan topik perbincangan mereka dengan mengatakan bahwa dia butuh seteguk air sebab sudah kehausan.

 Setelah bel tanda masuk, Trein dan Kara segera menuju aula. Technical Meeting yang membahas persiapan PERSAMI itu berjalan selama sekitar satu jam, mereka segera berjalan kembali menuju ke ruang kelas. Kara terus saja menunduk, ia harus memulai pembicaraan agar tidak dicap orang aneh.

“Trein, makasih ya buat waktu itu!” ungkap Kara pelan. Mereka berdua berhenti melangkah.

“Makasih?” Trein tidak mengerti, dia mengerutkan keningnya.

“Oh kamu lupa ya, waktu hari terakhir MOS, pas di ruang guru. Kamu bisikin nama Bu Isha, jadinya aku berhasil deh dapatin tanda tangan beliau,” papar Kara.

“Oalah, iya, kamu cewek itu ya, pantas kayak nggak asing pas pertama lihat kamu, Kar!” kata Trein sambil mengangguk.

Hening lagi, mereka melanjutkan berjalan, Kara menggigit bibirnya, lalu ingin berbicara sampai mulutnya sedikit menganga tapi kemudian terkatup lagi. Memang sebaiknya Kara memulai obrolan lagi.

“Trein ....” Kara memajukan kakinya selangkah di depan cowok yang sudah menatapnya. “Boleh aku minta nomor kamu? Emmm, buat jaga-jaga waktu kita persiapan PERSAMI, kali aja ada yang nggak aku ngerti ....” Entah alasan itu masuk akal atau tidak, dan mengapa juga Kara tiba-tiba menjadi bernyali, ia berani meminta nomor telepon seorang cowok, semoga saja Trein tidak berpikir macam-macam.

“Oh iya, bener buat kontakan. Nomorku ....”

Karena Kara tidak membawa ponselnya, ia mencatat nomor telepon Trein di buku yang sedari tadi dibawanya. Mereka kemudian mengobrol ringan, membuat Kara yakin tentang perkataan Patih. Akhirnya Kara mendapatkan satu dua sahabat, kehidupan masa putih abu-abunya baru saja dimulai.

***

“Bila kita mencintai yang lain

Mungkinkah hati ini akan tegar?

Sebisa mungkin tak akan pernah

Sayangku akan hilang

If you love somebody, could we be this strong?

I will fight to win, our love will conquer all

Wouldn't reach my love even just one night

Our love will stay in my heart

My heart”

Lantunan nyanyian serempak murid kelas X-4 membuat suasana malam PERSAMI menjadi sendu dan syahdu, lagu My Heart yang sangat populer mampu merasuk ke hati yang pernah mencinta dan dicinta. Ide dadakan Arum untuk menampilkan drama musikal sederhana, sebagai pemenuhan tantangan ajang kreasi seni di malam perkemahan sabtu minggu ini, berhasil tampil memukau. Teddi dan Arum memerankan dua sejoli, sedangkan Trein dengan lihainya memainkan dawai gitar. Kara bersama murid lain menyanyikan sepenuh hati tiap larik lirik lagu. Riuh tepuk tangan menyambut penampilan kelas X-4. Mereka kemudian kembali ke barisan penonton.

Nyala api unggun yang membara membakar rangkaian kayu menjadi sumber penerangan di tengah gelap gulita di lapangan sekolah, lidah apinya yang melahap hangatnya kebersamaan, menjadi saksi bisu segala keseruan malam ini. Hangat nyala apinya menembus kulit yang tersingkap oleh jaket. Kara duduk di bagian depan barisan siswa-siswi seisi kelas, berjajar bersama Trein, mereka duduk bersila. Tiada kata sampai Kara menguap karena merasa mengantuk.

“Ngantuk banget,” gumam Kara pelan.

“Sana, tidur duluan aja!” balas Trein sambil lamat-lamat menatap api unggun yang semakin menyala terang dan berkilau.

“Nggak ah, takut dihukum sama kakak panitia. Lagian susah-susah aku masuk ke SMABUPENAS, nggak mau deh kena poin pelanggaran gara-gara kabur buat tidur,” ujar Kara lalu menopang dagunya.

“Susah karena nilai UAN kita nggak guna? Dan harus tes lagi?” tanya Trein menanggapi.

“Iya tes, tapi aku kan masuk sini dari jalur Akselerasi Trein, aku nggak lolos di kelas aksel. Tapi peringkat hasil ujianku masih bagus, akhirnya digeser ke kelas reguler. Sayang banget nggak bisa masuk kelas Aksel, huh ....” Kara menoleh ke arah Trein yang justru melihat ponselnya, ia jadi menyesal membagikan salah satu kisah kegagalannya.

“Kalau aku ikut tes Akselerasi, aku yakin bakal lolos sih, cuman kenapa harus cepat-cepat lulus SMA, dinikmati ajalah,” sahut Trein tiba-tiba, menyibak kesadaran di pikiran Kara, ia mengangguk setuju. “Pacarku juga ikut tes Aksel, tapi dia nggak lolos,” imbuh Trein lagi-lagi dengan menatap layar ponselnya, kali ini bahkan jemari cowok dengan iris mata berwarna cokelat tua itu tampak menari menekan deretan keypad.

Kara tidak kunjung bereaksi, mendengar kata pacar langsung dari mulut Trein sendiri, mendadak hatinya terasa mengganjal seperti ada yang bergelayut membekap kesadarannya. Jordan punya pacar, bahkan Trein pun juga punya pacar, Kara berpikir, apa mereka sudah terlalu cepat cukup dewasa untuk mengenal cinta? Dalam lamunannya, Kara segera menoleh ke belakang, dia jelas mendengar namanya dipanggil. Tapi tak ada tanggapan dari teman-teman yang duduk di belakangnya.

“Eh Trein, tadi ada yang manggil aku ya?” tanyanya menggantung sambil kembali menengok ke depan. Kali ini Kara melihat ke kanan dan ke kiri. Nihil, tidak ada yang mengaku memanggilnya.

“Aku nggak denger apa-apa Kar, hayo? jangan-jangan kamu dipanggil hantu sekolah ini?” seloroh Trein sambil memasang wajah mencekam, membuat Kara panik.

“Jangan nakut-nakutin deh Trein!” Mendadak bulu kuduk Kara berdiri.

“Takut ya?” goda Trein sambil tertawa puas. Kara menggembungkan kedua pipinya seperti ikan buntal, tapi ia tidak marah karena ditertawakan, ia menatap tawa khas Trein yang renyah dan mengembang, membuat hatinya sedikit berdebar. Sebuah rasa baru yang selalu muncul jika berada di dekat Trein. Lamat-lamat Kara menghalau perasaannya, ia masih heran, siapa tadi yang memanggil namanya, apakah orang iseng?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Gunay and His Broken Life
8150      2469     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...
Maroon Ribbon
514      372     1     
Short Story
Ribbon. Not as beautiful as it looks. The ribbon were tied so tight by scars and tears till it can\'t breathe. It walking towards the street to never ending circle.
Yang Terlupa
449      255     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.
Hyeong!
187      162     1     
Fan Fiction
Seok Matthew X Sung Han Bin | Bromance/Brothership | Zerobaseone "Hyeong!" "Aku bukan hyeongmu!" "Tapi—" "Seok Matthew, bisakah kau bersikap seolah tak mengenalku di sekolah? Satu lagi, berhentilah terus berada di sekitarku!" ____ Matthew tak mengerti, mengapa Hanbin bersikap seolah tak mengenalnya di sekolah, padahal mereka tinggal satu rumah. Matthew mulai berpikir, apakah H...
Sepi Tak Ingin Pergi
655      397     3     
Short Story
Dunia hanya satu. Namun, aku hidup di dua dunia. Katanya surga dan neraka ada di alam baka. Namun, aku merasakan keduanya. Orang bilang tak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan. Namun, bagiku sakit adalah tentang merelakan.
Meteor Lyrid
539      375     1     
Romance
Hujan turun begitu derasnya malam itu. Dengan sisa debu angkasa malam, orang mungkin merasa takjub melihat indahnya meteor yang menari diatas sana. Terang namun samar karna jaraknya. Tapi bagiku, menemukanmu, seperti mencari meteor dalam konstelasi yang tak nyata.
Terpatri Dalam Sukma
687      455     0     
Short Story
Bukan mantan, namun dia yang tersimpan pada doa
Kaca yang Berdebu
94      75     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Waiting
1726      1278     4     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi