Pukul 20.30…
Seharusnya malam ini tubuhku sudah nyaman rebahan di atas kasur baru yang telah lama menunggu di kosan. Namun, semua keinginan terpendam itu harus musnah oleh seorang manusia menyebalkan bernama…
“Red! Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan tubuh dan wajahmu? Bajumu kenapa terlihat seperti baju cosplay gelandangan yang sekarang sedang hits di pakai para artis untuk konten youtube?!” Sebuah suara nyaring bin terdengar mengesalkan merusak prolog yang belum selesai aku buat.
“Semua pertanyaan yang kau tanyakan akan segera terjawab setelah kau berikan waktu untukku membersihkan diri. Aku pinjam bajumu ya?” Jawab Red seraya mengibaskan tangan temannya lalu masuk ke dalam sebuah kamar.
Seraya menunggu kedatangan Red selesai membersihkan diri. Hangga berdiri tak jauh dari tempatku duduk di ruang tamu. Sesekali mata kami saling bertemu canggung.
“Ini adalah kontrakan kami. Memang sedikit melelahkan ketika jalan kaki. Tapi percayalah tempat ini adalah salah satu tempat ternyaman setelah rumah singgah.
Oh iya, perkenalkan namaku Hangga. Senang bertemu denganmu mahasiswa baru. Eh, siapa namamu tadi?” Cowok berambut jabrik itu mulai bicara tanpa jeda. Tunggu, sebenarnya aku belum memperkenalkan diri kan?
“Namanya Affa. Dia adalah mahasiswa baru di jurusan Seni Rupa di kampus kita.” Sebuah suara tiba-tiba muncul dari kamar. Red kini sudah terlihat bersih dengan pakaian kaos dan kemeja kotak panjang yang baru. Begitu juga dengan wajahnya yang semula terlihat babak belur di semua bagian tubuhnya. Kini terlihat bersih tak bernoda. Mungkin ada sedikit memar yang masih terlihat. Namun hati ini berkata ada yang janggal dengan penampilannya. Bukankah lukanya yang terlihat parah itu tak bisa hilang hanya dalam hitungan jam saja?
“Wah kau mahasiswa seni ya. Sayang sekali. Jika kau mahasiswa dari jurusan teknik mungkin aku akan mengajarimu beberapa cara menciptakan sebuah alat baru. Seperti ini!” Lagi-lagi si rambut jabrik bicara tanpa di minta. Dengan bangga dia memamerkan sebuah alat berwarna hitam dengan antena yang bisa di naik-turunkan. Ada beberapa tombol di sisi lain. Seperti sebuah handphone butut jaman dulu. Entahlah. Aku ta begitu perduli.
“Santai Hangga. Kau akan punya kesempatan untuk memperkenalkan alat-alatmu itu suatu hari nanti. Sekarang biarkan gadis kecil ini membersihkan diri. Affa, bersihkan dirimu. Aku sudah menyiapkan handuk bersih dan…”
“Terima kasih!” Potongku cepat langsung meninggalkan dua orang asing itu pergi menuju kamar mandi.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di temani suara jangkrik dan sinar bulan yang terlihat semakin terang di gelapnya malam. Red dan Hangga duduk berseberangan di kursi ruang tamu setelah kepergianku.
“Apakah ini ada sangkut pautnya dengan kedatanganmu dan gadis kecil itu?” Selidik Hangga yang di jawab anggukan pelan dari Red. Hangga menelan ludah. Siap mendengarkan ceritanya yang masih bersambung.
“Walaupun aku sudah merasakannya. Namun, sungguh kehadirannya sama sekali tak aku duga. Sepertinya rencana kita harus di atur ulang lagi.” Kata Red terdengar serius.
“Aku sudah menduganya ketika tiba-tiba kau menyuruhku untuk datang ke kontrakan malam-malam begini. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di sana Red?” Tanya Hangga lagi masih dengan berbisik pelan.
“Saga memang selangkah lebih maju dengan keberadaan peta dokumen rahasia yang sekarang ada di tangannya. Namun kita masih bisa mengejarnya dengan merebut kembali peta itu darinya.”
“Cih! Sialan! Memang seharusnya aku langsung datang ke kampus setelah kau memberitahuku sore tadi.” Gerutu Hangga kesal.
“Lalu kenapa kau tak segera datang?”
“Itu… maaf Red. Sungguh! Aku benar-benar dilema saat itu…” Wajah Hangga terlihat gelisah.
“Jawab saja Hangga!” Red bersuara tinggi.
“Dan. Dia tiba-tiba menyuruhku untuk terus menyelesaikan alat yang tadi aku beritahu pada kalian. Padahal aku sudah memberitahunya bahwa kau memintaku untuk datang ke kampus sore itu. Tapi, dia membuatku untuk tetap menunggu di rumah singgah seraya menunggumu kembali. Katanya kau pasti bisa melakukannya sendiri. Jadi…”
“Jadi mau tak mau kau menuruti apa katanya. Baiklah sekarang aku mengerti.” Potong Red pelan seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Apa maksudmu dengan sudah mengerti?”
“Lupakan. Ini juga salahku karena tak memberitahumu dengan jelas apa tujuanku memintamu datang ke kampus sore tadi mengenai peta dokumen rahasia yang sudah ada padaku.”
“Tapi sungguh… Aku penasaran apa yang telah terjadi padamu Red?”
“Aku di keroyok dan di intimidasi oleh Saga dan pengikutnya. Aku sengaja kalah agar setidaknya bisa membuatnya sadar sekali saja. Tapi ternyata sia-sia. Dia semakin menggila bahkan menyiksaku dengan stun gun demi mendapatkan dokumen rahasia.” Cerita Red membuat Hangga menutup mulutnya tak percaya.
“Keberadaan gadis kecil itu memang tanpa di rencana. Aku tak sengaja bertemu dengannya di Gedung Kembar A karena dia ingin melihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Jadi aku membantunya.
Awalnya aku mengira jika dia sudah pergi meninggalkan kampus. Namun aku salah. Dia justeru mengikutiku ketika aku di bawa oleh Saga ke Gudang Kampus. Ku rasa dia berniat ingin menolongku.”
“Hahaha! Dia ingin menolongmu dengan tubuhnya yang kecil itu? Lucu sekali! Tapi aku akui nyalinya besar juga.
Jadi, saat itu sebenarnya kau menghubungiku untuk datang ke kampus dengan memberikan peta keberadaan dokumen rahasia yang kau terima dari seseorang yang tak kau kenal di dalam Gedung Kembar A?” Tanya Hangga memastikan. Red mengangguk pasti.
“Aaarrgggghht! Coba saja aku langsung datang ke kampus saat itu. Pasti tak akan terjadi hal seperti ini padamu.” Gerutu hangga sembari meremas rambutnya. Beberapa saat setelah itu dia langsung merapikannya kembali.
“Sudahlah. Lagi pula sekarang kau sudah mau datang ke sini.”
“Iya. Karena Dan sudah memperbolehkannya. Kenapa aku harus mematuhinya sementara ada kau yang lebih berkuasa di anggota kita Red?” Hangga masih sibuk dengan rambut jabriknya. Red terlihat diam tak langsung menjawab pertanyannya. Ekor matanya melirik ke arah lain.
“Kenapa kau tak bergabung dengan kami saja gadis kecil?” Suara Red memergokiku yang sedang berdiri di balik tembok di sisi lain di ruangan itu. Sepertinya aku ketahuan menguping. Mau tak mau aku pun akhirnya memperlihatkan diri.
“Kau sudah selesai?” Tanya Red memperlihatkan senyum khasnya.
“Ya.” Jawabku singkat.
“Duduklah. Sepertinya kau sudah mendengar sebagian kecil pertanyaan yang ada di kepalamu saat ini.” Ucap Red seperti seolah mengetahui apa yang sedang aku pikirkan.
“Tunggu sebentar! Red, apa kau akan memberitahukan pada gadis kecil ini juga mengenai keadaan kampus kita?” Tanya Hangga terdengar khawatir.
“Dia berhak tahu. Bahkan Saga sudah melihat wajahnya. Kita tak bisa pura-pura diam saja. Aku juga sudah berjanji untuk menjawab semua pertanyaannya ketika kita sudah berada di tempat aman seperti saat ini.”
“Ta-tapi dia masih baru? Apa kau yakin dia bisa melewati ini semua?”
“Kenapa tidak? Aku sangat yakin dia bisa melewatinya. Bahkan mungkin bisa membantu kita.”
“Hei! Bisakah kalian berhenti menggunakan kata-kata dia atau gadis kecil padaku? Seakan kehadiranku tidak ada. Padahal jelas-jelas aku ada di depan kalian saat ini!” Ucapku akhirnya tak bisa menahan kesal mendengar celoteh mereka.
“Oke. Baiklah. Aku akan berusaha. Maksudku kau memang benar-benar kecil kan? Hehe!” Red langsung memeloti Hangga yang masih saja menggodaku.
“Kami minta maaf gadis kecil. Eh, maksudku Affa.” Jawab Red diiringi cengiran Hangga sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Satu, dua, tiga hingga detik keempat suasana di ruang tamu kontrakan ini terasa sunyi. Hanya suara detik jarum jam dinding yang membuat suasana terasa masih hidup. Ternyata sudah pukul sepuluh malam.
“Jadi, kenapa kalian masih diam? Apa harus aku pancing dulu agar kalian mau melanjutkan cerita dengan memperlihatkan peta ini?” Seraya mengeluarkan secarik kertas lusuh dari saku rok. Aku memperlihatkannya pada mereka. Berbeda dengan Hangga yang terlihat bingung. Red justeru terlihat sebaliknya. Terkejut bukan main.
“Bukankah itu? Bagaimana bisa? Lalu kertas yang Saga pegang? Aku melihatnya sendiri jika dia sudah memegangnya!” Tanya Red bertubi-tubi.
“Entahlah. Sepertinya aku salah memberikan kertas saat mengambilnya dari saku. Aku rasa kertas yang ada pada Saga saat ini adalah peta yang berisi jalan dari kampus menuju kosan ku.” Jawabku yang sedetik kemudian membuat Red tertawa terkekeh. Beberapa kali dia mengusap rambutnya tak percaya.
“Kau benar-benar gadis kecil yang penuh kejutan.” Lirih Red menyunggingkan senyum. Entah kenapa aku merasa malu mendengar ucapannya. Apakah wajahku saat ini terlihat merah?
“Hei! Hei! Apakah hanya aku saja di sini yang tak mengerti situasi saat ini? Ada apa dengan kertas lusuh ini? Adakah yang bisa menjelaskannya padaku?” Tanya Hangga seraya merebut kertas lusuh yang ada di tanganku dan mengamatinya dengan saksama.
“Petanya tertukar. Sekarang kertas lusuh yang ada di tanganmu itu adalah perta dokumen rahasia yang tadi aku bicarakan.”
“Apa?! Sungguh?! Astaga! Jadi artinya…”
“Ya. Kita selangkah lebih maju dari Saga. Kita bisa mencari dan menemukan dokumen rahasia dengan peta yang sudah ada di tangan kita.” Jelas Red semakin membuat Hangga sumringah.
Lalu mereka kembali melupakanku dengan pertanyaanku tentang sebenarnya apa yang sedang terjadi pada kampus yang telah aku impikan ini? Aku mendesah kesal.