Loading...
Logo TinLit
Read Story - FINDING THE SUN
MENU
About Us  

Pukul 19.30…

Hampir satu jam lamanya aku hanya meringkuk di balik tumpukan kardus-kardus dan barang-barang bekas di tempat itu. Ketika rasa kram di kaki mulai menjalar ke seluruh tubuh susana tegang tadi berubah menjadi sepi. Tak ada lagi suara teriakkan kesakitan Red, atau teriakan sumpah serapah Saga. Hening.

Hanya suara deguban jantungku yang menemani keputusanku untuk keluar dari persembunyian. Bukankah sudah aman?

Aku hanya melihat sosok Red yang diam tak sadarkan diri di bawah lampu remang yang semakin membuat tubuhnya terlihat mengenaskan.

“Terlambat. Ternyata kau benar-benar sudah mati…” suaraku melenyapkan keheningan seraya mengusap air mata yang tiba-tiba keluar. Aku menangis.

“Hei! Kenapa malah menangis? Aku masih hidup!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari mulutnya. Ternyata Red masih hidup.

“Jadi kau pura-pura mati?”

“Ah, lupakan. Tapi sebelum itu, bisa tolong ambilkan  pisau lipat di sana?” dagunya terlihat mengarah ke sebuah tas yang selempang yang tergeletak tak berdaya di atas lantai tak jauh darinya.

Lalu tanpa menunggu lagi, aku pun langsung mengobrak-abrik isi tas itu. Benar sekali, ada sebuah pisau lipat yang tersembunyi di bagian terkecil di dalamnya.

Dari mana dia mendapatkan barang membahayakan seperti itu? Tanyaku seraya melihat ke wajanya yang terlihat biasa-biasa saja, tersenyum walaupun bercak darah dan lebam masih terlihat di sana.

            “Berikan padaku, lebih tepatnya dekatkan ke mulutku. Kau akan melihat sesuatu yang mungkin hanya bisa kau lihat di adegan film-film Hollywood.”

Red, dengan tatapan yang masih sama, bahkan kini dengan sedikit seringaian. Sebuah adegan yang baru saja dia sebutkan pun terlihat di depan mata. Dia beraksi seperti tokoh-tokoh dalam film yang begitu lihai melepaskan diri dari ikatan tali.

            Setelah pisau lipat ia pegang di mulutnya, dengan cepat ia melemparkannya ke atas, ke arah tangan kanannya yang terikat di atas kepala. Tepat mendarat dengan kekuatan jari-jarinya yang masih tersisa.

Memotong perlahan tali yang mengikat pergelangan tangannya, dan dengan cekatan tangan kanannya memotong tali yang mengikat pergelangan tangan kirinya.

Lalu untuk mengakhiri aksinya, sebelum tubuhnya terjatuh dengan berdebum, ia sudah mendarat di atas lantai dengan bertopang salah satu lututnya dan kakinya yang menyentuh lantai. Tidak buruk juga.

            “Tak ada banyak waktu lagi bagimu untuk memuji adeganku tadi, gadis kecil. Kita harus segera bergegas kalau kau tak mau mendapatkan sengatan listrik sepertiku.” Suaranya terdengar tegas menyuruh.  Walaupun raut wajahnya tetap sama, masih tersenyum ia bergerak cepat membenahi tas selempangnya yang tergeletak di atas lantai.

            “Saatnya kita pergi, ayo!”

Aku tak mengerti sebenarnya dengan cowok itu. Apakah dia baik-baik saja? Bukankah baru saja beberapa detik yang lalu ia berteriak-teriak menahan rasa sakit karena bogem mentah dan setrum yang mengenai tubuhnya? Darah pun masih terlihat di mulut dan wajahnya juga di beberapa bagian tubuhnya yang lain.

Apakah dia sedang berpura-pura menahan sakit di depan seorang gadis agar terlihat baik-baik saja? Atau… Siapa dia sebenarnya? Pertanyaan bodoh memenuhi kepalaku yang tanpa sadar tak membuat tubuhku bergerak mengikuti ucapannya.

            “Apa yang kau tunggu?” tanyanya yang melihatku masih diam terpaku.

            “Jangan bilang kau ingin aku gendong?” selidiknya memandangku dengan penuh tanya.

Tanpa menunggu jawaban dariku, cowok itu meraih tanganku, memaksaku mengikutinya berlari-lari kecil meninggalkan bangunan.

Kami berlari di tengah gelapnya malam. Melangkah ke sembarang arah di bawah butiran air gerimis, mencari tempat aman terlebih dahulu.

            Tapi, hingga napasku tersengal-sengal kelelahan karena berlari tanpa henti. Dia tak juga berhenti menarik tanganku untuk mengikutinya. Bahkan mungkin dia tak sadar sedang membawa seseorang bersamanya tanpa perduli jika peluh dengan butiran besar menghiasi dahi dan bajuku. Aku lelah.

            “Berhenti! Cukup, berhenti!” teriakku melepaskan genggamannya. Berdiri setengah tumbang menyentuh kedua lutut. Mengatur napas yang mulai habis.

            “Apa kau lelah? Maaf, aku tak sadar sedang berlari bersamamu, gadis kecil. Hehe.” suaranya terdengar terbata-bata dan terkekeh pelan setelahnya. Tuh kan, apa aku bilang. Dia tak sadar sedang berlari bersama orang lain. Dasar cowok menyebalkan.

“Oke, kita istirahat sebentar.” Lanjutnya seraya mengajakku memasuki sebuah halaman bangunan yang terlihat seperti Gedung Perkuliahan yang terlihat sepi.

Gedung itu terlihat luas dan tinggi, namun tak lebih besar dari Gedung kembar A & B. Walau terlihat di gelapnya malam, tak membuat mata ini takjub melihat kemewahan yang terlihat di Gedung itu.

Ada Mading yang menghiasai di setiap sudut, ada bangku-bangku yang tertata rapi di sepanjang koridor Gedung. Cat yang melapisi setiap dinding Gedung pun terlihat indah dengan warna putih tulangnya yang tampak cerah di mata.

Mata ini teralihkan dengan pemandangan di bagian luar depan Gedung yang terdapat sebuah taman. Ada tempat duduk yang di buat sedemikian rupa dan menarik perhatian karena berbentuk lingkaran. Aku rasa di sana tempatnya para mahasiswa berkumpul bersama melakukan berbagai kegiatan.

            Red yang melihat reaksi rasa keterkejutanku ketika melihat gedung itu tak bisa menyembunyikan keahliannya seperti guide.

            “Ya. Selamat datang di Gedung C. Sebuah Gedung yang di pakai oleh mahasiswa jurusan Bahasa. Berbagai Jurusan Bahasa ada di sini. Kecuali Bahasa hati sih.” Aku memandang meh ke arahnya.

“Ehem! Setiap jurusan yang ada di kampus ini memiliki Gedung yang khas, salah satunya Gedung C ini yang di buat dengan warna cat putih tulang cerahnya.

Gedung ini salah satu Gedung yang megah karena berada di urutan ketiga sehingga di namakan Gedung C. Dan kau akan terkesima ketika melihat Gedung-gedung setiap jurusan yang ada di kampus ini karena…”

            “Ssst! Hentikan ocehanmu itu. Seseorang datang.” Potongku membuat Red diam seketika.

Sebuah langkah dengan bayangan beberapa orang terlihat mendekat ke arah kami. Semakin dekat bayangan dan derap langkah kaki itu, semakin jelaslah sosok di tengah kegelapan.

Kami pun tak begitu terkejut melihat kehadirannya, terutama Red mungkin, karena wajahnya… tegang. Ah senyumnya hilang.   

Namanya Saga kan? Cowok yang beberapa saat yang lalu menyiksa Red tanpa ampun. Dia berdiri dengan senyum terulas di bibirnya. Menepuk pelan kedua telapak tangannya dan menyandarkan tubuhnya pada dinding di dekatnya. Sepertinya dia ingin tampil keren seperti di dalam film-film. Sementara tiga orang lainnya tetap berdiri tak jauh darinya. Memasang wajah bersiaga.

            “Akh!” teriakku terkejut bukan main ketika sebuah tangan tiba-tiba memegang kedua tanganku dari belakang. Aku tak bisa bergerak bebas.

Seseorang dengan pakaian yang masih sama, serba hitam, namun kini tidak ada kain yang menutupi wajahnya lagi. Dia tersenyum penuh seringai ke arahku. Oh, ternyata si cowok rambut kribo.

            Red yang mengetahui hal itu hanya bisa berdiri menatapku. Walaupun aku tahu saat ini dia berusaha tenang dan seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

            “Sudah aku duga, ada orang lain bersamamu. Aku kira si rambut cokelat dengan sok tahunya yang melangit. Atau si mata empat dengan rambutnya yang selalu tertata rapi yang datang menyelamatkanmu.

Tapi ternyata aku salah menduga. Kau lebih memilih seorang gadis kecil seperti dia? Benar-benar Red yang tak mudah di tebak.” Oke, dia memanggilku gadis kecil juga. Cowok menyebalkan di sekitarku kini bertambah satu.

            “Kau memang tak benar-benar pingsan kan? Ya, aku tahu itu. Red yang penuh dengan kejutan.  Seharusnya aku tak begitu mudah tertipu dengan trikmu itu. Begitu pula dengan rencana diam-diam mu yang akan menjatuhkan aku dan juga universitas ini. Kawan yang berkhianat.”

            “Wow! Pandai sekali ayahmu membuat rencana dan meracuni pikiranmu itu Saga. Hebat. Hanya karena sebuah rumor tentang Dokumen Rahasia yang berisi kebusukan ayahmu, kau rela menjadi anjingnya…”

            “Cukup! Jangan menjelek-jelekkan ayahku! Karena apapun yang kau katakan, tak akan mengubah apapun jika kau dan pengikut-pengikutmu megngkhianati kampus ini! Jadi, ini adalah jalan yang benar yang harus kami lakukan secepat mungkin…”

            “…dengan mengancam dan menyiksaku yang masih menjadi Wakil Presma di kampus ini?” potong Red lagi-lagi sepertinya sengaja memancing kemarahan Saga.

            “Hahaha! Senang sekali kau membuatku kesal Red!” Saga menerjang tubuh Red dan menarik kerah bajunya dengan ekspresi kesal.

“Lihat saja, siapa yang sekarang terpojok? Kau lengah Red. Kau bahkan tak menyadari jika aku dan pengikut-pengikutku selangkah lebih maju darimu. Dan lihat, sekarang kau menyeret orang lain, seorang gadis lemah?” Saga, diikuti dengan orang-orang berpakaian hitam lainnya mereka tertawa.

            “Oke. Cukup basa-basinya. Aku hanya butuh dokumen rahasia itu. Tak lebih. Setelah itu kau bisa bernapas seperti biasanya dengan pengikut-pengikutmu yang kau bodohi itu.

Tapi mungkin lebih baik aku turunkan jabatanmu, atau sekalian saja mengeluarkanmu dari sistem organisasi, dari Wakil Presma.”

            “Apa kau tuli, bukankah sudah aku katakan sejak kau menyiksaku tadi bahwa aku tak memilikinya. Aku tak memiliki benda seperti apa yang kau inginkan dariku.

Asal kau tahu saja, bahkan aku tak tahu di mana keberadaan dokumen rahasia itu. Apakah memang benar ada atau hanya sebuah kabar angin belaka. Lalu kau percaya begitu saja?” Jawab Red masih berusaha tenang menjaga emosinya yang tadi sempat terpancing. Entah kenapa aku suka dengan sikapnya itu.

            “Bohong! Aku tahu bahwa itu kau! Apakah kau masih tetap saja berbohong dan tetap dengan keteguhan persetanmu itu untuk tak mau memberikan dokumen rahasia itu padaku?!” teriak Saga mulai naik darah. Cowok itu terlihat sekali jika mudah termakan amarah.

            “Atau aku harus memberi motivasi agar kau mau bicara?” gerakan tangan Saga yang menunjuk ke arah seseorang yang sedari tadi memegangi kedua tanganku, seperti memerintahkanya untuk melakukan sesuatu.

Sepersekian detik kemudian sebuah pisau lipat kini sudah bertengger di leherku. Oh tidak. Ini sungguh tak lucu!

            “Jangan lukai dia. Dia tak ada hubungannya dengan semua ini!” Red akan berlari ke arahku, namun sebuah suara menahannya untuk tetap diam di tempat.

            “Ingat Red, kalau kau bergerak sesenti saja, kupastikan gadis itu akan terluka.” Suara Saga mengancam. Red terlihat bimbang. Dia juga terlihat marah.

            “Baiklah kalau itu maumu. Tapi kumohon, jangan lukai dia dan biarkan dia pergi.” jawab Red kembali berusaha tenang.

            “Sudah ku duga, kau memilikinya bukan? Kenapa kau begitu bersikeras menyembunyikannya dariku? Lalu berikan benda itu sekarang juga!”

            Susana di gedung itu mendadak lengang. Hanya suara jangkrik yang berkerik dan gerimis yang mulai berhenti membasahi bumi. Deru napasku tak bisa kembali normal, bahkan kini aku sedikit tersengal karena pisau lipat yang terasa begitu dekat di leherku. Seperti inikah rasanya berada di dalam sebuah film? Lagi-lagi pikiran liarku datang tiba-tiba.

            “Berikan kertas itu padanya, gadis kecil.” kata Red tiba-tiba.

            “Apa? Tapi? Bukankah kau…”

            “Ku bilang berikan kertas itu padanya. Kertas yang aku berikan padamu untuk kau simpan beberapa jam yang lalu. Kau menyimpannya kan?” kata Red lagi yang kini baru membuatku tersadar akan ketidakmengertianku. Kertas lusuh yang belum sempat aku buka isinya yang langsung aku masukan ke dalam saku rok. Itukah yang ia maksud?

            “Tapi, tapi bukankah kau menyuruhku untuk …”

            “Sekarang keadaannya berbeda. Aku tak mungkin membiarkanmu terluka, bahkan tergores sedikitpun. Kau, tak seharusnya terlibat dalam permainan ini. Keluarkan saja kertas itu dan berikan padanya.” Suara Red terdengar tercekat, juga ada getaran di sana. Aku memandangnya sesaat, dan kedua mata kami saling bertemu. Dari kedua matanya aku melihat ada rasa terpaksa yang amat sangat. Jalan keluar sepertinya tak ada lagi.

Walaupun aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya tokoh tambahan yang merepotkan di sini. Tapi, melihat Red berkata demikian dan sepertinya dia benar-benar mengkhawatirkanku. Entahlah.

            “Baiklah kalau itu maumu. Nah, kribo, bisa kau jauhkan pisau ini dari leherku, dan jangan lupa lepaskan tanganku agar aku bisa mengambil kertas yang dia minta.” Kataku berani walaupun rasa takutku masih ada, namun aku tekan sebisa mungkin.

Si cowok kribo itu seperti ragu, dia melihat ke arah Saga untuk memastikan. Dan dia pun mengangguk, pertanda turuti apa perkataanku

            Aku bisa sedikit bernapas lega karena pisau lipat dengan ujungnya yang tajam tak lagi berada di leherku. Aku mengelus-elus pergelangan tanganku yang sedikit memerah dan terasa pegal. Lantas dengan perlahan aku merogoh saku rok dan menemukan sebuah kertas lusuh yang terlipat. Mengeluarkannya dan dengan cepat Saga mengambilnya dari tanganku. Sejak kapan dia ada di depanku?

            Setelah membukanya dengan tak sabaran dan melihat dalam isinya secara sekilas. Tiba-tiba wajahnya terlihat merah padam menatap Red yang masih berdiri di tempatnya.

            “Kau mencoba membohongiku! Ini bukan berisi dokumen rahasia!” teriak Saga penuh amarah.

Tanpa di komando, si cowok kribo pun lantas dengan cepat memegangiku lagi. Dan Saga dengan raut penuh amarah kembali merangsek maju ke arah Red dan mencengkeram erat kerah bajunya.

            “Kau bodoh ya? Selembar kertas itu tentulah bukan sebuah dokumen. Walaupun aku tak tahu bagaimana bentuk rupa dokumen rahasia itu, namun yang jelas dokumen itu pastilah tebal.

Aku memang tak bisa memberikan dokumen rahasia itu padamu, tapi aku memberikan secarik kertas berisi peta untuk menemukan di mana dokumen rahasia itu berada.” Jawab Red membalas tatapan kemarahan Saga dengan santai. Permainan baru saja dimulai. Begitulah kiranya yang aku tangkap dari tatapan kedua mata Red.

            “Brengsek! Kau mau mempermainkanku. Hah?!” teriak Saga meninju Red hingga terpelanting jatuh. Red menyeka darah yang menghiasi mulutnya.          

            “Aku memang tak tahu dimana keberadaan dokumen rahasia yang kau cari-cari itu. Namun, kau sudah menemukan bagaimana caranya dengan memiliki peta itu.” Kata Red seraya berdiri.

            Saga masih diam, kedua matanya masih merah padam. Di tangannya masih tergenggam secarik kertas lusuh yang ternyata berisi sebuah peta yang di duga terdapat keberadaan dokumen rahasia yang Saga cari.

            “Dari mana kau dapatkan peta ini?”

“Entahlah. Aku tak tahu. Namun yang jelas kau harus melepaskan kami sekarang.”

“Hmm… Mungkin kau benar, tapi kau akan menemukannya. Kau akan menemukan dokumen rahasia itu untukku, Red.” Dengan tatapan masih tak mengerti, Red perlahan mundur beberapa langkah. Aku yang semakin tak mengerti percakapan mereka sudah tak sabar ingin mengakhiri ini semua. Leher dan kedua tanganku sudah pegal tahu!

            “Huaaaa!” seraya berteriak tak jelas dan dengan kekuatan yang tersisa, aku menendang bagian vital cowok kribo yang sedari tadi memegangi kedua tanganku. Dia terduduk menahan sakit sembari memegang bagian bawah tubuhnya.

Tidak hanya sampai di situ, untuk pemanis aku menendang wajahnya dengan sepatu kets dengan kekuatan penuh. Melihat kejadian itu, aku rasa Red juga memanfaatkan momen itu dengan mendorong tubuh Saga hinnga terjatuh tersungkur beberapa meter darinya.

“Oke. Sudah cukup sampai di sini. Kita harus pergi gadis kecil!” ucapanya seraya menarik tanganku tanpa dengan paksa dan kembali mengikutinya berlari menginggalkan tempat itu.

Kami tak perduli apakah pengikut-pengikut Saga yang masih ada di sana masih mengejar kami atau tidak. Namun kami tetap berlari di gelapnya malam. Sesekali melewati genangan air yang membasahi sepatu kami. Berlomba dengan deru napas yang tersengal kelelahan.

Aku tak tahu seberapa luasnya kampus ini. Pun sudah berapa lama kami berlari tanpa henti. Ku rasa Red lupa jika dia sedang membawa orang… Tapi…

“Oke. Kita berhenti sebentar. Kau pasti lelah.” Suara Red terdengar berusaha mengatur napas berhenti di suatu tempat. Aku tarik kata-kataku. Kali ini dia tak lupa jika ada keberadaanku.

“Kau tak mau berbuat yang macam-macam di tempat segelap ini kan?” tanyaku seraya melihat ke sekitar tempat kami berhenti. Semuanya terlihat gelap gulita.

“Walaupun kita baru saja bertemu. Tapi kumohon, percayalah padaku. Aku tak akan melakukan hal lain selain membantumu meninggalkan tempat ini dan pergi ke tempat yang aman. Termasuk memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang ada di kepalamu saat ini. Benar kan?” tanyanya dengan suara yang terdengar serius. Namun sama sekali tak bisa aku lihat bagaimana ekspresinya saat ini. Gelap.

            Namun, sebelum suaraku mengeluarkan kata-kata menolak, tanganku telah berhasil ia tarik. Mengikuti langkahnya memasuki sebuah tempat bernama...

            “Selokan?!” pekikku setelah elihat tempat gelap yang kini terlihat terang dengan cahaya senter dari handphone milik Red.

            “Hehe. Maafkan aku gadis kecil. Kau harus ikut dengan memasuki selokan ini. Tapi ketahuilah jalan ini adalah jalan satu-satunya yang bisa membawa kita keluar dari kampus saat ini.” Jelasnya sambil terus berjalan di depanku.

            Sesekali cahya senter ia arahkan ke dasar selokan yang masih terlihat genangan airnya. Dari pantulan sinarnya aku bisa melihat dinding dana tap selokan yang ternyata terbuat dari semen. Bentuknya persegi empat yang membentuk terowongan panjang lurus ke depan yang tak bisa aku ukur seberapa panjangnya selokan itu.

            Aku tak tahu kenapa kampus ini membuat selokan sebesar satu setengah meter lebih tinggi dan lebarnya. Walaupun tubuh Red terlihat berjalan menunduk melindungi kepalanya dari atap selokan. Namun aku masih bisa berjalan sebagaimana mestinya karena apalagi jika tubuhku yang pendek. Puas?

            Bau menyengat perlahan mulai menyeruak ketika kami melihat sebuah cahaya yang lebih terang dari senter handphone.

            “Akhirnya kita bisa keluar juga. Ayo gadis kecil. Kita harus melewati sungai kecil ini agar bisa sampai ke daratan di depan sana.” Ktanya seraya membantuku keluar dari selokan yang ternyata menyamung ke sebuah sungai kecil. Airnya terlihat kotor dan keruh. Baunya juga lebih menyengat dari saat berada di dalam selokan.  Sepertinya sungai itu sudah tercemar.

            “Untung saja airnya sungainya belum naik. Jadi kita bisa menyeberanginya dengan aman.” Sungguh seperti guide dia selalu menjelaskan apapun ketika aku pun tak bertanya padanya. Red tak berhenti memberiku penjelasan sertiap wajah ini hanya dengan memandangnya.

            Setelah melewati sungai yang membuat celana panjang dan sepatuku basah. Kami sampai di atas daratan sungai.

            “Kau bisa lihat pemandangan gedung-gedung tinggi di kampus kita di malam hari kan? Benar-benar megah dan indah. Bertolak belakang dengan pemandangan di balik dinding-dinding tinggi berduri kawat yang mengelilingi kampus.” Lagi-lagi Red menjelaskan. Tapi kali ini aku mendukungnya. Pemandangannya memang indah sekali. Cahaya lampu-lampu bertebaran seperti pemandangan kota dari kejauhan.

            Tapi bagaimana mungkin kampus sebesar ini justeru membuat pertanyaan-pertanyaan aneh muncul di otaku karena insiden beberapa saat yang lalu? Oke, tenang. Bukankah cowok menyebalkan yang sedang berjalan di depanku ini akan segera menjawab semua pertanyaanmu?

            Kami pun berjalan semakin menjauh dari kampus. Aku hanya mengikutinya. Entah kemana. 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A Missing Piece of Harmony
315      242     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Unframed
744      485     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Semesta Berbicara
1424      825     10     
Romance
Suci Riganna Latief, petugas fasilitas di PT RumahWaktu, hanyalah wajah biasa di antara deretan profesional kelas atas di dunia restorasi gedung tua. Tak ada yang tahu, di balik seragam kerjanya yang lusuh, ia menyimpan luka, kecerdasan tersembunyi, dan masa lalu yang rumit. Dikhianati calon tunangannya sendiri, Tougo—teman masa kecil yang kini berkhianat bersama Anya, wanita ambisius dari k...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
134      109     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Winter Elegy
653      443     4     
Romance
Kayra Vidjaya kesuma merasa hidupnya biasa-biasa saja. Dia tidak punya ambisi dalam hal apapun dan hanya menjalani hidupnya selayaknya orang-orang. Di tengah kesibukannya bekerja, dia mendadak ingin pergi ke suatu tempat agar menemukan gairah hidup kembali. Dia memutuskan untuk merealisasikan mimpi masa kecilnya untuk bermain salju dan dia memilih Jepang karena tiket pesawatnya lebih terjangkau. ...
VampArtis United
1282      756     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Manusia Air Mata
1225      729     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Reandra
2075      1160     67     
Inspirational
Rendra Rangga Wirabhumi Terbuang. Tertolak. Terluka. Reandra tak pernah merasa benar-benar dimiliki oleh siapa pun. Tidak oleh sang Ayah, tidak juga oleh ibunya. Ketika keluarga mereka terpecah Cakka dan Cikka dibagi, namun Reandra dibiarkan seolah keberadaanya hanya membawa repot. Dipaksa dewasa terlalu cepat, Reandra menjalani hidup yang keras. Dari memikul beras demi biaya sekolah, hi...
Happy Death Day
597      335     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
Mimpi & Co.
1266      804     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?