Loading...
Logo TinLit
Read Story - FINDING THE SUN
MENU
About Us  

Pukul 18.00...

Ribuan anak panah di luar gudang sepertinya semakin deras menghujani bumi. Aku tak perduli. Karena aku masih sibuk dengan tubuh yang gemetar dan air mata yang entah kenapa turun membuat kedua mataku jadi berembun. Samar aku masih melihat tubuh seseorang menggantung diam tak bergerak. Ah, sial sekali aku harus melihat pemandangan orang mati di depan mata. Tunggu. Apakah benar dia sudah mati?

“Hei, aku belum mati.” Sebuah suara membuat jantung ingin meloncat keluar. Red mendongakkan wajahnya melihatku dengan tersenyum. Ah, ternyata dia masih hidup.

“Sudah ku duga itu kau, gadis kecil. Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi dalam keadaan seperti ini.” ucapnya patah-patah berusaha memperlihatkan senyum khasnya yang belum lama ini aku lihat.

“A-Apa yang sebenarnya terjadi? Ke-Kenapa mereka melakukan hal kejam seperti ini padamu? A-ada apa dengan mereka? Ada apa denganmu? Mengapa? Ba-bagaimana bisa?!” kenapa aku jadi tergagap?

“5W 1H. Sepertinya masih ada yang kurang. Kapan?” jawabnya justeru malah melucu.

Kini untuk beberapa detik lamanya kami hanya diam dan saling memandang mengedipkan mata.

“Hahahahaha!” diapun tertawa bersama kemudian.

“Menurutmu ini waktu yang tepat untuk bercanda!?” kataku tiba-tiba seraya beranjak dari lantai, dan menghampirinya.

“Oke… Maaf… Ehem! Ngomong-ngomong, kau datang kesini untuk menyelamatkanku, gadis kecil?” tanyanya tiba-tiba yang tak aku hiraukan. Aku sibuk mengangkat sebuah kursi untuk di letakan di depan tubuhnya. Berdiri di atasnya dan berusaha meraih tali yang mengikat kedua tangannya.

“Apa yang kau lakukan… mencoba menolongku?”

“Diam. Dan jangan panggil aku gadis kecil lagi! Karena… aku… ukh! Bukan… gadis… kecil! Arrgghhht! Kenapa masih tak sampai juga sih!?” keluhku kesal karena tak bisa menggapai tali walaupun sudah berada di atas kursi. Sependek inikah tubuhku? Sial, bahkan kehadiranku di sini pun tak bisa menolongnya.

“Gadis kecil, apakah kau yakin bisa menolongku? Sepertinya kau harus mengakui bahwa tubuhmu tak terlalu tinggi untuk mencapainya…” dengan tersenyum dia melihatku yang terlihat pasrah. Tidak. Sepertinya dia juga menahan tawa. Kenapa aku merasa kesal melihatnya.

“Berhenti memanggilku gadis kecil! Akhh! Brught!” Tubuhku terjatuh dari kursi dan mendarat tepat di depan tubuhnya. Wajah kami hanya berjarak beberapa sentimeter saja, dan kedua mata kami saling beradu, menatap satu sama lain. Ini bukan sinetron, oke.

“Oke, sepertinya tubuhkulah yang baru saja telah menyelamatkanmu…” selorohnya membuatku segera terbangun dan mundur beberapa langkah menjauh. Napasku mendadak tersengal dan anehnya bulu kudukku tiba-tiba berdiri semua. Aku merasa merinding. Perasaan ini… perasaan ini adalah malu.

Dia hanya terkekeh sebentar lantas mendadak terdiam. Raut wajahnya berubah seketika, dia seperti baru mengingat sesuatu.

“Pukul berapa sekarang gadis kecil?” tanyanya tanpa rasa bersalah masih tetap memanggilku dengan sebutan itu. Aku terpaksa melirik ke arah pergelangan tangan kiriku yang telah aku abaikan beberapa menit yang lalu. Di sana melingkar jam tangan yang menunjukkan pukul 18.30. Raut mukanya kembali berubah ketika aku menjawab pertanyaannya.

“Waktu kita tak banyak, bukan melainkan kau gadis kecil. Waktumu tak banyak, sebentar lagi orang-orang itu akan datang ke tempat ini, mungkin membawa sedikit kejutan untukku. Dan kau, tak ada waktu untuk pergi dan menyelamatkanku lagi…”

“Maksudmu? Apa yang sedang kau bicarakan?!” Aku tetap tak mengerti. Aku masih melihat ke segala penjuru bangunan ini untuk menemukan sesuatu yang bisa berguna dari pada sebuah kursi untuk menyelamatkannya.

“Sudah aku bilang tadi bukan, kalau kau tak memiliki banyak waktu untuk menyelamatkan diri apalagi menolongku. Sekarang dengarkan baik-baik …” suaranya terdengar bergetar, ada kesan khawatir dan penuh kehati-hatian.

“Sekarang kau ambil secarik kertas yang terlihat sedikit lusuh di dalam celana jeansku.” Katanya seraya menggunakan dagunya menunjuk celana jeans yang dia pakai.

“Apa? Kau sudah gila?! Celanamu?!” pekikku terbelalak tak percaya apa yang baru saja dia katakan.

“Oke… sepertinya aku salah bicara. Baiklah, maksudku saku celana di bagian samping. Coba kau ambil. Di saku oke, saku!”

Walaupun masih ragu, aku pun akhirnya melakukan apa yang dia suruh.

“Tidak ada!”

“Apa?! Sungguh? Kau sudah mencarinya dengan benar?” tanyanya terperanjat.

“Apa aku perlu membuka bagian celana yang lainnya?” Dia memandangku dengan tatapan tak mengerti. Tunggu. Sepertinya ada sesuatu yang au lupakan.

“Apakah maksudmu kertas ini?” tanyaku seraya mengambil secarik kertas dari saku rokku. Karena kertas inilah yang membuatku berlari mencari keberadaannya dan terjebak dalam situasi yang… Entahlah.

“Ya! Kenapa bisa ada padamu?” sebelum aku sempat menjawab. Sebuah suara berisik terdengar dari luar gudang. Sepertinya orang-orang serba hitam akan segera datang. Kini, kedua matanya kembali terlihat gelisah.

“Dengarkan aku baik-baik gadis kecil. Sekarang, saat ini, detik ini juga kau sudah terlibat dalam sebuah peristiwa yang akan merubah semuanya. Merubah universitas ini. Dan mungkin juga akan merubah dirimu.

Tapi sebelum itu. Aku minta maaf. Maafkan aku yang telah melibatkanmu dalam situasi ini, kaulah yang memintanya sendiri dengan datang kesini untuk menolongku. Tugasmu cukup mudah tapi bisa saja menjadi rumit tergantung sikap yang kau ambil ….”

“Cukup! Sebenarnya apa yang sedang kau bicarakan! Peristiwa apa?! Merubah apa!?” bentakku tiba-tiba merasa gelisah.

“Sssttt! Diam dulu. Pertanyaanmu akan segera terjawab beberapa saat lagi.” balasnya membentakku tiba-tiba membuat tubuhku sedikit terlonjak kaget.

Dia menatapku lekat, sorot matanya terlihat sedang memohon. Aku hanya bisa diam, menahan butiran bening yang aku tahan-tahan sedari tadi untuk tak keluar. Ya, aku tak mau menangis lagi.

“Lindungi kertas itu, jangan sampai mereka mengambilnya sebelum…”

Kiiittt! Cklek! Terdengar suara pintu besi berkarat terbuka. Lalu, derap langkah kaki-kaki tergesa terdengar memasuki bangunan ini.

“Terlambat. Mereka datang! Pergilah sembunyi. Cari tempat yang tak memungkinkan mereka melihatmu berada di sini. Cepat!” serunya membuatku harus segera bangkit dari rasa ketidakmengertianku dan melakukan apa yang ia katakana begitu saja. Tepat ketika gerombolan orang-orang berpakaian serba hitam itu tiba. Aku sudah sempurna tak terlihat di balik tumpukan kursi dan meja juga beberapa kardus bekas lainnya.

Salah satu dari mereka berdiri tepat di depan si Red. Setelahnya dia membuka penutup kepala. Terlihatlah sosok seorang cowok yang dengan perkiraanku tak jauh berbeda dengan Red. Sama-sama seumuran dan menjadi seorang mahasiswa. Kini pertanyaan-pertanyaan di benakku mulai terjawab satu per satu.

“Bagaimana kabarmu malam ini, Red…” sapa cowok berpakaian hitam itu dengan tersenyum menyeringai.

“Ku rasa tidak baik-baik saja… Saga.” jawab Red balas menyeringai. Oke, perlahan aku mengetahui siapa nama-nama tokoh yang ada di sini.

“Baguslah kalau begitu, jadi kita bisa membuktikan apakah kau masih baik-baik saja dan bisa tersenyum seperti itu setelah… Hei, mana alat itu!?” bentak Saga memberi kode pada salah satu orang berpakaian serba hitam yang berdiri tak jauh darinya. Diapun menyerahkan sesuatu yang sedari tadi ia genggam dengan penuh kehati-hatian.

“Kau tahu alat ini? Alat ini bisa membuatmu berhenti tersenyum dan bahkan menghilangkan nyawamu sekaligus. Jadi, sebelum aku benar-benar tak sabar memainkannya padamu. Jawab pertanyaanku sekali lagi dengan jujur… Kau tahu kan dimana dokumen rahasia itu? Dimana benda itu kau simpan?”

“Aku tak tahu.”

“Tak bisakah kau menjawabnya dengan jawaban yang lain? Kau tahu aku tak pernah bercanda dalam melakukan semua hal…”

“Termasuk menjadi anjing suruhan bagi ayahmu sendiri?” potong Red tiba-tiba membuat suasana di tempat itu hening seketika.

“Persetan kau!” geraman kemarahan Saga terlampiaskan dengan bogem mentah yang mendarat di perut Red berkali-kali. Red mengaduh sebentar. Gigi-giginya terlihat bergemeletuk menahan rasa sakit yang tak bisa ia ungkapkan.

Kini Saga terlihat kelelahan lalu di ambilnya alat yang sedari tadi dia pegang dengan hati-hati. Karena rasa penasaranku yang teramat sangat, akupun berusaha melihat alat itu lebih jelas. Oh tidak! Apakah mataku tak salah lihat? Alat bukankah… apa ya namanya… tanyaku berusaha berpikir keras.

“Oke, kita lihat seberapa kuatnya kau menahan rasa sakit alat ini. Ku harap kau tak mati sia-sia karenanya…”

Tiba-tiba sebuah percikan kilatan cahaya terlihat di ujung alat kejut setrum yang baru ku ingat ternyata namanya adalah stun gun. Aku pernah melihatnya di film favoritku Mission Impossible yang diperankan oleh Tom Cruise. Oke cukup iklannya.

Sepersekian detik berikutnya alat itu kini sudah mendarat di perut Red. Tubuhnya pun  bergejolak sesaat menahan perih, keram, ngilu, sakit dan entah apalagi yang ia rasakan ketika alat itu menyentuh tubuhnya.

“Hahahaha! Menyenangkan juga rasanya. Bagaimana, apakah kau tetap kekeuh dengan jawabanmu? Kau tetap tak mau mengatakannya, brengsek?!” teriakan kembali terdengar, untuk ke sekian kalinya ketika Saga kembali bertubi-tubi mendaratkan alat setrum itu ke tubuh Red. Kini dia berteriak mengaduh kesakitan.

Melihat adegan mengerikan itu, beberapa orang berpakaian serba hitam yang belum juga menunjukkan wajah-wajah mereka terlihat menghindar. Namun, beberapa saat kemudian, salah satu orang berpakaian hitam di belakang Saga mendekat, seraya membuka tutup kepala yang terlihat sama-sama menjadi mahasiswa. Cowok berambut kribo itu menyentuh pundak Saga dengan raut khawatir.

“Saga, bisakah kau hentikan ini? Ini sudah berlebihan.”

“Diam! Jangan mencoba mengajariku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan demi ayah!” bentak Saga membuat cowok kribo itu memunduk mundur.

“Berhenti Saga! Ingat dengan tujuan kita. Alat itu hanya untuk memaksanya bicara, bukan untuk membunuhnya!” tanpa di duga, cowok lain yang juga berada di antara mereka membuka penutup kepala. Kali ini cowok itu tidak memiliki rambut alias botak.

“Kita di sini melakukan apapun yang kau mau termasuk mengikuti setiap ucapan ayahmu. Tapi, aku tak mau jika ada yang sampai terbunuh. Kau tahu? Ini bukan yang ayahmu inginkan!” mendengarnya, Sagapun berhenti setelah beberapa detik lamanya terdiam mencerna setiap ucapan si cowok botak. Dan setelah itu Saga melemparkan stun gun ke sembarang tempat. Melihat ke arah sosok di depannya yang kini diam tak bergerak, tak lagi mengaduh kesakitan. Pingsan lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 2 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Halo Benalu
828      404     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
XIII-A
726      540     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
SABTU
2489      1009     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Penantian Panjang Gadis Gila
272      215     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Fusion Taste
139      126     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
BestfriEND
35      31     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Paint of Pain
914      645     29     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Aku Ibu Bipolar
47      40     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...