Madu, Darah, dan Nama yang Dihapus
[FLASHBACK – 22 Tahun Lalu – Malam di Tepi Hutan Dentar]
Alice berlari dalam gelap, menyembunyikan wajahnya dengan tudung lebar. Di pelukannya, bayi yang menangis dengan aroma madu pekat.
Dari kejauhan terdengar suara klan vampir yang mencarinya.
Bukan klan musuh—klannya sendiri.
---
[Dialog: Alice dan Lelaki Manusia]
Di dalam gua tersembunyi, seorang lelaki menyalakan api kecil.
Wajahnya tampan, khas Asia Tenggara. Rambut acak. Mata sayu tapi lembut.
Aromanya… seperti madu hangat dan tanah basah setelah hujan.
> Alice: "Kau harus pergi. Mereka mencium aroma anak ini."
Lelaki itu: "Dia anak kita, Alice. Kau bilang kita akan membesarkannya bersama."
> Alice (dengan mata basah): "Kau bukan siapa-siapa dalam dunia kami. Kalau mereka tahu dia separuh manusia… dia akan diburu."
"Dan kau… akan dimusnahkan."
---
[Perjanjian]
Alice menyerahkan bayi itu ke lelaki tersebut—ayah Fajar—dan memberinya liontin besi kecil berbentuk tetes madu.
> Alice: "Jangan pernah bilang siapa dia. Bahkan padaku, jangan kembali."
"Biarkan aku menjadi pengkhianat... asal dia hidup."
> Lelaki itu: "Kalau suatu hari dia mencariku?"
Alice: "Dia akan mencium aroma madu, dan tahu siapa dirinya."
---
[Kembali ke Masa Kini – Di Luar Hutan Dentar]
Jenni, Rai, dan Vidi duduk dalam lingkaran. Mereka telah membaca semua surat, menghubungkan banyak titik. Tapi satu hal masih belum jelas:
> Vidi: "Kalau waktu di dalam Dentar berjalan lebih cepat, artinya... Fajar bisa tua dalam seminggu."
Rai: "Atau mati sebelum kita berhasil masuk."
> Jenni: "Kalau kita pakai jalan normal, kita akan ketinggalan semuanya. Kita butuh jalan pintas."
(diam sebentar)
Pintu Tanpa Pegangan
[Di Perbatasan – Malam Hari]
Rai duduk bersila sambil memegang peta dunia gaib. Vidi mengutak-atik jam pasir vampir warisan klan tua.
Sementara Jenni berdiri di depan dinding batu datar—membisikkan mantra dalam bahasa kuno sambil menyentuh udara.
> Jenni: kita butuh pintu.. “Pintu yang hanya muncul saat waktu berhenti. Tapi kita bisa menipu waktu selama… tiga detik.”
Vidi: “Tiga detik? Kau yakin itu cukup?”
Jenni: “Aku gak yakin… Tapi pintu ini gak butuh waktu. Dia cuma butuh niat.”
"Kita pakai pintu toilet darurat itu saja" Tunjuk vidi
"Tapi pastikan kamu menutupnya dengan rapat kali ini" Kata Rai
"Baiklah kita akan mencoba" Kata Jenni dengan setengah yakin
"Apa lagi ini?? Kalian ingin pergi meninggalkan aku?? " Shin tiba-tiba muncul dan merengek ingin ikut
Shin berdiri sambil membawa koper pink dengan glitter menyala.
Nona Shin:
“Aku ikut.”
Jenni:
“Tidak. Kamu manusia.”
Nona Shin:
“Aku nggak sebodoh itu, Manager Lee.”
Vidi:
“Loh?”
Nona Shin:
“Kalau kalian ke hutan penuh bahaya supernatural, aku ikut. Diva tahu diri, tapi juga tahu kekuatan cinta.”
Jenni:
“Cinta?”
Nona Shin:
“…dan madu. Tapi lebih penting: aku udah beli kostum jungle fashion. Sayang kalau nggak dipakai.”
Rai :
Artis Gila
---
Perjalanan Lewat Pintu
Mereka masuk satu-satu.
Pintu itu membawa mereka menembus ruang dan waktu, melompati kabut, gunung, dan awan memori. Mereka mendarat di depan Hutan Dentar, tapi... suasana berbeda.
Langit ungu lembut. Udara mengambang.
Waktu terasa... retak.
---
Desa Terdiam dalam Waktu
Mereka menoleh ke belakang. Desa tempat reality show berlangsung terlihat jauh, kecil, dan... beku.
Orang-orang berhenti bergerak. Seekor ayam beku di udara.
Nasi di panci tidak menanak.
Reality show berhenti.
Shin:
“Ini... time travel?”
Jenni:
“Bukan. Ini... waktu alternatif. Kita masuk zona ingatan.”
[Ritual Tiga Detik]
Mereka menyusun tiga komponen:
1. Jam pasir vampir — untuk menghentikan waktu dunia nyata selama tiga detik.
2. Cermin hitam — untuk memantulkan arah niat masuk (disetel ke ‘dawn’).
3. Pintu tak berpegangan — dinding batu yang akan terbuka jika waktu berhenti.
> Rai: “Sekali waktu berhenti, kita harus masuk sebelum detik keempat. Atau kita terkunci selama 99 tahun.”
---
[Saat Kritis – Aktivasi]
> “Tiga… dua… satu…”
Vidi membalik jam pasir. Dunia membeku.
Air yang jatuh berhenti di udara. Daun yang tertiup tak bergerak.
Dalam kesunyian absolut, pintu batu menyala seperti madu cair.
> Jenni berteriak: “LARI!”
Mereka berempat masuk…
Dan waktu pun terhenti...
---
[Dalam Dentar – Lokasi Baru]
Mereka tidak muncul di tempat Dawn berada.
> Rai: “Ini bukan tepi danau…”
Jenni (napas berat): “Dia udah melewati tiga ujian. Kita di bagian terdalam.”
Vidi: “Bagian… yang belum pernah disentuh vampir selama ratusan tahun.”
Shin: aku harus abadikan momen ini, kalau di upload pasti viral
Ketiganya menatap tajam ke arah Shin serentak bekata
"Jangan main-main disini bahaya tau"
Ujian Dalam Kabut
Begitu mereka melewati gerbang terakhir, kabut menelan rombongan.
Tiap orang terpisah ke “dunia kecil” milik mereka sendiri.
Satu suara terdengar dalam kepala masing-masing:
> “Hanya yang berdamai dengan luka lama yang bisa melewati hutan ini.”
---
Tantangan 1 – Jenni: Luka Aib
Jenni tiba di rumah tua keluarga vampirnya. Dindingnya penuh coretan:
> “Pencoreng nama klan.”
“Vampir tidak sah.”
“Manusia lebih baik dari dia.”
Suara-suara itu milik sepupu, pamannya, bahkan Alice.
Di ujung lorong, Jenni melihat dirinya di cermin: seorang gadis muda dengan mata merah menangis.
Dia memeluk boneka kelinci kecil—yang pernah dibuang ayahnya saat tahu Jenni tak bisa minum darah.
> Cermin berkata:
“Kau melarikan diri. Bukan karena mereka menolakmu, tapi karena kau menolak dirimu sendiri.”
Jenni gemetar, tapi berjalan ke cermin, menyentuh gadis itu dan berkata:
> “Maaf ya... aku gak pernah bela kamu.”
Cermin retak. Kabut menghilang. Jalan keluar terbuka.
---
Tantangan 2 – Rai: Sahabat yang Terlupakan
Rai berdiri di tengah kota hancur.
Api berkobar di mana-mana.
Di depannya, seorang manusia kecil—sahabat masa kecilnya, Toma—terluka parah.
> Toma (berdarah): “Katanya kamu bakal lindungi aku. Tapi kamu malah balik ke klanmu...”
Flashback muncul:
Rai berlari dari medan konflik, membiarkan Toma diserang vampir dewasa.
> Rai (sekarang): “Aku... takut. Aku pikir aku lemah. Tapi itu bukan alasan…”
Toma menatapnya—lalu tersenyum, walau darah menetes.
> Toma: “Terima kasih akhirnya jujur, Rai.”
Api padam. Kota memudar. Jalan keluar terbuka.
---
Tantangan 3 – Vidi: Bayangan Sang Ayah
Vidi duduk di meja makan panjang. Di seberangnya: ayahnya, pemimpin tua klan, menatap tajam.
> Ayah: “Kau badut. Pewaris gagal. Kau bahkan tak bisa berburu dengan benar.”
Vidi berdiri, hendak melawan—tapi tersedak amarah dan tangis.
Di dinding, tampak potret masa kecil Vidi: selalu berdiri di belakang Rai, selalu dijadikan bayangan.
> Vidi (mengepal tangan): “Aku memang beda. Tapi bukan berarti aku gagal.”
Meja makan terbakar. Tapi dari api itu, muncul ayahnya dalam versi lebih muda, memeluk Vidi.
> Bayangan Ayah: “Jadilah yang kau pilih. Bukan yang kubentuk.”
Kabut tersibak. Jalan terbuka.
---
Tantangan 4 – Shin: Sendiri di Panggung
Shin berdiri di atas panggung konser raksasa.
Lampu sorot menyinarinya, tapi semua kursi penonton kosong.
> Suara Fans Palsu:
“Kau cantik, tapi hampa.”
“Apa gunanya terkenal kalau pulang tetap sendiri?”
“Kenapa kamu gak bisa dicintai?”
Shin menangis di balik makeup.
Layar besar di atas panggung menunjukkan dirinya duduk di rumah mewah, menatap handphone kosong. Tak ada pesan. Tak ada cinta.
> Shin (lirih): “Aku... ingin seseorang yang lihat aku. Bukan hanya layar.”
Ia melepas high heels-nya, berjalan turun dari panggung, dan memeluk bayangannya sendiri di kursi kosong barisan depan.
Sorot lampu redup. Kabut menghilang.
---
Kembali Bersatu
Keempatnya keluar bersamaan dari jalur masing-masing.
Mereka berdiri di padang bunga ungu… tempat Dawn sedang berdiri, memandangi sosok pria tinggi dengan mata tajam—ayahnya.
> Jenni (berbisik): “Kau pikir Dawn juga harus melalui ini?”
Rai: “Kalau iya, berarti dia sudah lebih kuat dari kita semua.”
Bab: Ayah di Tengah Dentar
Langit Dentar meretak seperti kaca.
Awan ungu bergulung cepat.
Tanah bergetar—padang bunga ungu tempat Dawn berdiri mulai berubah bentuk, menciptakan lingkaran batu raksasa yang menyala dengan simbol kuno vampir.
Di tengah lingkaran itu:
Seorang pria tinggi, berjubah kelabu, rambut hitam panjang, mata keperakan.
Wajahnya seperti potret tua yang hidup kembali.
Dingin. Tegas. Berwibawa.
Dan Dawn tahu… tanpa pernah diberi tahu.
> Dawn (pelan): “Kamu... ayahku?”
Pria itu tidak langsung menjawab.
Ia hanya memutar lehernya sedikit, lalu berkata seperti membaca puisi:
> “Darah yang kutinggalkan kini memanggil, tapi akankah ia menolak warisan yang kupendam?”
Dawn melangkah masuk ke lingkaran batu.
Simbol di bawah kakinya menyala.
> Ayah: “Alice bilang kau manusia. Tapi kau berdiri di sini, dan Dentar mengenalmu.”
Tiba-tiba angin berhenti.
Waktu membeku.
Shin, Jenni, Vidi, dan Rai tidak bisa bergerak—terjebak dalam loop waktu yang berhenti di satu detik.
> Ayah (melangkah mendekat): “Aku bukan ayah karena ingin. Tapi karena kalah.”
> Dawn: “Kalah dari siapa?”
Ayah: “Dari pilihan. Dari cinta. Dari Alice.”
Sekilas, aura di sekitar pria itu berubah—mata vampir, tapi luka manusia.
> Ayah: “Aku ditakdirkan menjadi senjata terakhir klan lama. Tapi Alice... dia mencuri takdir itu dariku. Membawamu pergi. Membuatku lemah. Dan kuat, sekaligus.”
Dawn nyaris tersenyum.
> Dawn: “Jadi kamu marah?”
Ayah: “Tidak. Aku... penasaran.”
> Ayah (menatap Dawn dalam-dalam):
“Kalau kamu adalah aku yang gagal, tunjukkan. Tapi kalau kamu lebih... maka lawan aku. Dengan semua luka yang kau bawa.”
Fajar membuka jaket.
Dari balik kerah, muncul cahaya kecil dari liontin pemberian Alice.
Cahaya itu berubah menjadi pelindung tipis yang melingkari tubuhnya.
Dan pertarungan pun dimulai.
---
Pertarungan Bukan Sekadar Fisik
Ayah menyerang dengan bayangan dari masa lalu—memunculkan monster berbentuk rasa takut Dawn: ditinggal, dianggap lemah, tidak diinginkan.
Dawn melawan bukan dengan senjata, tapi dengan ingatan dan keteguhan hati.
Ia melangkah maju sambil menyebut satu per satu nama orang yang percaya padanya:
> “Jenni... yang tetap di reality show meski absurd.”
“Shin... yang bilang aku keren waktu latihan nyanyi.”
“Rai dan Vidi... yang gak ninggalin aku meski nyebelin.”
“Alice... yang nyuruh aku pergi bukan karena benci, tapi karena cinta.”
Saat Dawn mencapai tengah lingkaran, seluruh simbol menyala terang.
Ayah berhenti.
Menatapnya lama.
Lalu… berlutut.
> Ayah:
“Kamu bukan aku. Dan karena itu... kamu layak memimpin jalan baru.”
Waktu pun berjalan kembali.
Langit Dentar terang.
Padang bunga ungu tumbuh kembali.
> Jenni: “Apa barusan... audisi menjadi anak?”
Shin: “Lebih kayak... episode terakhir drama Korea.”
Vidi: “Tapi tanpa OST.”
Rai: “Atau jangan-jangan... kita di Dentar TV Show?”
Mereka semua tertawa kecil—sementara Dawn berdiri tenang.
Untuk pertama kalinya... dia tahu siapa dirinya.
Flashback :
Pertemuan dengan Alice
Sebelum mereka melangkah lebih jauh, kabut mengalir seperti kain, dan dari baliknya muncul sosok anggun.
Alice.
Rambut perak. Mata tajam tapi damai. Suara bergetar antara kenangan dan kekuatan.
Alice:
“Kalian akhirnya sampai. Tapi kalian tidak mencari Dawn. Kalian mencari seseorang yang tidak pernah benar-benar ada.”
Semua terdiam.
Jenni:
“Maksudmu...?”
Alice:
“‘Dawn’ hanyalah nama samaran. Nama aslinya... Nadir. Putra tunggalku. Anak dari perjanjian antara cahaya dan bayangan.”
---
Fakta Terungkap
> “Nadir menyamar sebagai manusia biasa, agar klan gelap tidak pernah tahu di mana warisan itu disembunyikan. Tapi sekarang mereka tahu. Dia ke Dentar... untuk menghancurkan akar kekuatan mereka, sendirian.”
> “Dan jika dia gagal, waktu tidak akan hanya berhenti. Ia akan... terulang. Dalam siklus kehancuran.”
---
Alice Memberi Petunjuk
Alice menyerahkan sebuah kompas madu—alat yang hanya berfungsi di zona waktu retak.
> “Kompas ini akan menunjukkan celah waktu tempat Nadir masuk. Tapi kalian harus cepat. Gerbang Dentar hanya terbuka sampai langit menjadi gelap tiga kali.”
> “Dan satu lagi... hutan ini menyukai rahasia. Kalau kalian berbohong, hutan akan mencatatnya. Dan menciptakan ilusi yang bisa menelan kalian.”
Dengan kompas madu di tangan, pintu Jenni menghilang, dan langkah mereka menyusuri hutan dimulai.
Langkah pertama terasa ringan.
Langkah kedua terasa aneh.
Langkah ketiga...
Jenni tiba-tiba melihat dirinya sendiri berumur 7 tahun—bermain di kebun bunga dengan seseorang yang mirip… Nadir.
Ilusi, Rahasia, dan Diva Berkeliaran
Hutan Dentar bukan sekadar pohon dan akar. Ia seperti labirin hidup—menggoda pikiran, memutar waktu, dan membisikkan hal-hal yang mestinya tak pernah diingat.
Tapi sebelum mereka benar-benar melangkah ke dalam hutan, ada satu kejadian kecil yang bikin Jenni hampir balik lewat pintunya sendiri.
Kembali ke Hutan dentar
Dalam waktu yang berhenti mereka masuk dalam dimensi lain. Ujian yang hampir mirip menyerang kembali
Kini mereka berempat berjalan pelan mengikuti kompas madu. Hutan mulai berbisik—memanggil nama masing-masing, memutar masa lalu seperti kaset rusak.
Rai melihat sosok adik perempuannya yang hilang, duduk memetik bunga di antara akar gelap.
Vidi mendengar suara ayahnya, memanggil dari balik kabut dengan nada marah dan kecewa.
Jenni melihat ulang hari pertama ia jadi vampir—sendiri, bingung, dan gemetar di depan cermin tanpa bayangan.
Nona Shin?
Ia melihat dirinya di sebuah panggung raksasa...
Menangis. Sendirian.
---
Nona Shin Tergoda Ilusi
Ia melangkah ke arah suara:
> “Kau bisa terkenal... abadi... tak butuh fans. Semua akan tunduk, jika kau menyerahkan satu hal saja...”
Jenni (menarik tangannya):
“Itu bukan kenyataan!”
Nona Shin (menangis):
“Kenapa semua orang menyembunyikan hal penting dariku? Aku bisa bantu... aku cuma nggak tahu caranya.”
Jenni (pelan):
“Sekarang kamu tahu. Dan kamu tidak sendiri.”
Mereka saling menahan. Tidak semua ilusi bisa dilawan sendiri.
Kompas madu tiba-tiba bersinar terang, berputar cepat... lalu menunjuk satu arah.
Vidi:
“Gerbangnya muncul.”
Kabut membuka jalur sempit.
Di ujungnya... Nadir, berdiri di antara dua sosok berjubah gelap.
Satu membawa buku berisi ingatan dunia.
Satu lagi membawa botol berisi air mata yang beku.