Bab 2: Madu Tua dan Tatapan Vidi
Studio tempat syuting iklan itu tampak mewah, dipenuhi staf berlalu-lalang, cahaya lampu sorot menyilaukan, dan aroma hairspray memenuhi udara. Tapi aku tidak bisa fokus ke suasana. Fokusku terpaku pada dua makhluk yang berdiri di seberang ruangan.
Rai dan manajernya, Vidi.
Rai berdiri dengan aura tenang dan mematikan, setelan jas abu gelap melekat sempurna di tubuhnya. Senyumnya memesona, seperti iklan pasta gigi berdarah biru. Namun, hanya aku yang tahu—senyumnya itu menggigit.
Dan Vidi…
Matanya seperti kaca hitam yang bisa melihat sampai ke masa kecilmu yang memalukan. Rambut hitam kecoklatan gaya yang seolah berteriak: “Aku tidak peduli, tapi aku tetap tampan.”
“Tenang Lina,” bisikku pada diri sendiri. “Mereka belum tentu vampir. Mungkin mereka cuma pakai parfum lebah premium.”
Tapi lalu Vidi menoleh, menatap tepat ke arahku.
Dan… senyumnya miring.
Astaga. Itu senyum kode.
Senyum yang biasa digunakan vampir saat berkata:
“Aku tahu kamu tahu siapa aku. Tapi aku lebih tahu siapa kamu.”
GAME ON.
---
Syuting dimulai. Nona Shin menatap kamera dengan profesionalisme tinggi—berpose, tersenyum, memalingkan wajah seperti terkena angin pujaan.
Rai berdiri di sampingnya, menyentuh pergelangan tangannya, memamerkan jam tangan.
Interaksi mereka terlihat intim, padahal ini baru pertama kali bertemu.
Aku mencatat dalam hati: Nona Shin akan jatuh cinta dalam 3... 2...
“Manager Lee,” bisiknya padaku dari belakang monitor,
“Sepertinya aku mulai menyukai Rai... dia... berbahaya.”
“Berbahaya gimana?” tanyaku.
“Dia seperti... bisa menghipnotis.”
Ah, Nona... kau tak tahu seberapa benar ucapanmu barusan.
Sementara itu, aku mencoba menyelidiki secara halus. Aku mendekati tempat duduk Vidi di belakang layar.
“Hi... kamu manajernya Tuan Rai, kan?” kataku sambil sok-sok profesional.
Vidi menoleh, lalu menyodorkan minuman kaleng ke arahku.
“Minum ini, kamu kelihatan dehidrasi,” katanya datar.
Aku menatap kaleng itu.
Madu berkarbonasi rasa melon.
ASTAGA. Itu minuman vampir versi junk food.
Cuma klan tertentu yang konsumsi ini. Aku tahu karena... aku langganan.
“Eh... makasih...”
Aku ambil dan menyesap sedikit—demi menyembunyikan keterkejutan.
“Draculina Cullen,” katanya tanpa menatapku.
Jantungku copot. KTP palsuku terbakar di udara.
“Nama... siapa?” jawabku cengengesan.
“Namaku Lee Jenni. Salah orang, mungkin?”
Dia menoleh lagi, kali ini dengan senyum kecil.
“Tenang saja. Rahasiamu aman, asal kamu juga jaga rahasiaku.”
DEG.
Dia tahu. Aku tahu. Dan sekarang kita terjebak dalam permainan rahasia vampir di tengah industri hiburan yang glamor tapi berbahaya.
---
Di sisi lain ruangan, Rai dan Nona Shin sedang rehat.
Aku melihat Rai menatapku. Tatapan yang tidak seperti penggemar bertemu idolanya.
Lebih seperti...
Vampir senior menatap lebah nyasar.
Aku menggigit bibir, menoleh ke Vidi, lalu ke Rai.
Aroma madu yang pekat makin menusuk.
Darahku... eh, maksudku... nektarku... berdesir.
“Aku harus cari tahu dari klan mana mereka.”
Tapi aku tahu satu hal:
Aku sedang masuk ke sarang lebah. Dan kali ini, aku bukan yang paling kuat.
Studio bertransformasi menjadi lokasi pemotretan. Nona Shin berganti gaun hitam glamor dengan belahan dada yang... ya ampun, bisa bikin vampir kehilangan kendali. Rai pun sekarang mengenakan jas putih dengan dasi kupu-kupu berkilau seperti kulit vampir sehabis mandi madu.
Aku berdiri di belakang kamera sambil mencoba tidak terlalu melototi Vidi yang sedang serius membetulkan dasi Rai.
Ada sesuatu antara mereka berdua—entah hubungan profesional... atau profesionalitas berdarah.
Kecurigaanku makin kuat.
Aku mengaktifkan mode penyelidikanku.
Yaitu: menguping sambil pura-pura ngetik laporan.
“Jadi kamu yakin dia?” bisik Vidi.
“Sudah jelas. Aroma madunya sangat kuat. Itu hanya dimiliki klan Nektar,” jawab Rai dengan suara rendah. Tapi... tidak cukup rendah bagi pendengaran vampir sepertiku.
Wait… KLAN NEKTAR?? Itu kan klan sesat legenda! Klan vampir yang memilih berhenti minum darah dan hidup dari madu, nektar, dan... smoothies organik?
Aku mundur beberapa langkah sambil menahan napas.
Kalau benar aku berasal dari Klan Nektar—dan mereka tahu—aku bisa... dibuat jadi selai.
Tapi kemudian Rai mendekat.
Langkahnya ringan tapi berwibawa. Aroma tubuhnya seperti... madu bakar dan daun mint. Hidungku ngedance.
“Manager Lee, boleh bicara sebentar?” tanyanya.
Suaranya lembut, tapi mengandung ancaman tidak langsung seperti,
“Ayo ke belakang. Aku tidak akan membunuhmu… kecuali kamu menyebalkan.”
Aku mengangguk.
Kami berjalan ke sudut studio yang agak sepi, dekat backdrop yang belum dipasang.
“Nama aslimu bukan Lee Jenni, kan?” tanyanya tiba-tiba.
Langsung. Tanpa basa-basi. Seperti dokter gigi yang langsung mencabut gigi tanpa anestesi.
Aku menatapnya.
“Apa pentingnya itu?”
“Karena aku tahu dari mana kamu berasal,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan manja.
“Dari klan Nektar.”
GLEK.
Tenggorokanku langsung kering. Padahal barusan aku minum madu rasa apel.
“Tapi tenang,” katanya cepat-cepat. “Aku tidak akan melaporkanmu ke Dewan Vampir.”
“Kenapa?” tanyaku curiga.
“Karena aku... juga berbeda.”
YA AMPUN APA DIA JUGA MINUM MADU?!
tapi... enggak mungkin. Aroma darahnya terlalu pekat...
“Aku tidak percaya pada sistem lama,” lanjutnya. “Klan-ku dan klan-mu musuhan karena perbedaan prinsip. Tapi aku tidak peduli pada perbedaan. Aku cuma... ingin tahu lebih banyak tentang kamu.”
Oke. Sekarang aku bingung.
Ini interogasi... atau flirting?
“Lalu, Vidi? Dia tahu juga?”
Rai tersenyum samar.
“Dia tidak suka kamu. Tapi dia tidak akan bertindak... selama kamu tidak melakukan kesalahan.”
Ya bagus. Kalau begitu aku harus jadi vampir paling sempurna di dunia entertainment.
No pressure, Lina.
---
Sore itu syuting selesai dengan mulus. Nona Shin tersenyum puas, Rai pulang tanpa kata, dan aku...
Aku pulang ke apartemen dengan satu pertanyaan besar:
Kenapa mereka mencariku sekarang?
Klan Nektar sudah menghilang dari sejarah vampir sejak ratusan tahun lalu. Aku bahkan tak tahu siapa keluargaku selain Ayah dan Ibu. Apa mungkin... aku satu-satunya pewaris klan ini?
Kalau iya...
Kenapa aromaku bisa tercium sekarang?
Dan...
Kenapa Rai tampak begitu tertarik?