Di luar, cuaca Jakarta sedang terang benderang. Cerah, dengan awan-awan putih yang bergerak pelan dan kicauan burung penghuni pohon taman kampus. Mereka seolah tengah bernyanyi di tengah pesta pernikahan yang begitu meriah. Namun, tidak ada pernikahan pagi ini.
Di dalam ruang Dekan, Jonathan duduk sendirian dengan wajah tertunduk. Lengannya masih digendong perban, meski luka-luka dan lebam pada wajahnya sudah berangsur membaik. Beberapa mahasiswa yang lewat mencuri pandang ketika pintu ruangan dibuka, meski mereka tidak berani menoleh terang-terangan.
Seorang laki-laki masuk ke dalam ruangan itu, lalu duduk tepat di hadapan Jonathan. Ia merupakan wakil Dekan di Universitas ini.
“Dengan Saudara Jonathan Ananta Rahardian?”
“Betul, Pak,” sahut Jonthan.
Ia tidak tahu pasti siapa yang memanggilnya hari ini, tapi kemarin sore ada sebuah surat resmi yang dilayangkan ke alamat rumahnya. ‘Dimohon untuk segera hadir ke ruang pimpinan akademik pukul 08.30, terkait laporan pelanggaran kode etik dan aktivitas kekerasan.’ Begitulah kira-kira isinya. Dan disinilah Jonathan sekarang. Duduk dengan jantung berdebar, sambil memikirkan nasibnya di kampus ini.
Lalu, dua orang lainnya masuk. Mereka adalah perwakilan Biro Kemahasiswaan, dan Komite etik. Melihat mereka yang kini turut duduk di hadapannya, Jonathan merasa seluruh tubuhnya menggigil bukan main.
“Baik, kita langsung saja.” Salah seorang di hadapan Jonathan membenarkan posisi kacamatanya. “Kami menerima laporan dan bukti video dari akun tidak resmi, yang memperlihatkan Anda terlibat dalam aktivitas kekerasa di sebuah arena ilegal.”
Jonathan hanya diam.
“Apakah benar bahwa orang yang ada dalam video itu adalah Anda, Saudara Jonathan?”
“Benar, Pak. Orang dalam video itu ... adalah saya.”
“Apakah Anda menyadari bahwa perbuatan Anda dapat mencoreng nama baik kampus?”
Jonathan mengangguk pelan.
“Baik. Kami harus menyampaikan bahwa ini termasuk pelanggaran berat dalam kode etik mahasiswa. Apalagi, videonya sampai tersebar luas dan meimbulkan persepsi negatif. Anda terancam skorsing, atau bahkan drop out bila tidak ada penjelasan memadai.”
Di tengah suasana menegangkan itu, terdengar suara pintu yang diketuk. Lalu, Abimanyu terlihat berdiri di depan pintu, bersama Kirana.
“Permisi, Saya Abimanyu. Boleh saya ikut masuk dan berbicara?”
“Apa kepentingan Anda di sini?” tanya salah seorang laki-laki berkacamata.
“Saya mahasiswa perfilman, yang sedang menggarap dokumenter bersama beberapa teman lain. Video yang tersebar itu, adalah sebuah keteledoran dari kami dalam proses pembuatan dokumentar yang saya maksud tadi.”
“Baik, Anda boleh masuk. Silahkan duduk.” Perwakilan Biro Kemahasiswaan berdeham sebentar. “Lanjutkan. Apa hubungan dokumenter Anda dengan video yang saat ini tersebar?”
“Saya meminta teman-teman merekam beberapa footage untuk keperluan dokumenter. Dalam proses itu, Kirana— salah seorang yang terlibat dalam dokumenter itu, yang saat ini tjuga berada di tengah-tengah kami— bermaksd untuk mewawancarai salah satu narasumber yang berada di ring ilegal itu.”
“Darimana Anda mengenal narasumber ini, Saudari Kirana?”
“Dari kakak tingkat kami, Pak. Namanya Saiful, mahasiswa semester 13 dari fakultas Teknik. Beliau menjanjikan seorang narasumber pada saya, lalu ketika saya sampai di sana, ternyata narasumber tidak pernah ada. Dan saya menemukan Jonathan yang sedang bertanding di ring itu. Semua kejadian malam itu terekam dalam kacamata yang saya gunakan. Kacamata itu memiliki sebuah kamera kecil di sudut frame-nya.”
Untuk beberapa saat, semua yang ada di dalam ruangan itu terdiam.
“Lalu, bagaimana video itu tersebar? Apakah Anda akan mengakui bahwa Anda adalah penyebar video tersebut?”
“Tidak sama sekali, Pak. Kacamata itu hilang tepat ketika saya mengantar Jonathan ke rumah sakit. Sampai saat ini, saya tidak tahu keberadaan kacamata yang saya maksud.”
Jonathan mengatupkan rahangnya.
“Jadi maksud Anda, ada kemungkinan bahwa Saudara Saiful dari fakultas Teknik telah mengambil kacamata Anda, dan menyebarkan isi video di dalamnya?”
“Benar, Pak. Saya rasa begitu.”
“Baik, kami akan menampung semua penjelasan hari ini.” Perwakilan Komite Etik bersuara. “Apa tema dokumenter yang Anda kerjakan, Saudara Abimanyu? Mengapa Saudari Kirana mencari narasumber ke tempat yang beresiko seperti itu?”
“Luka Dalam Diri, Pak. Saya menyusun dokumenter ini bersama teman-teman dari Fakultas Seni, Kriminologi, dan Psikologi. Niat awal kami, adalah mencari perspektif lain dari pelaku-pelaku kekerasan, para korban, dan orang-orang yang berada di sekitarnya.”
“Tersebarnya video itu, dan adanya Jonathan di arena ilegal itu benar-benar ada di luar kendali kami. Kami juga tidak menyangka, bahwa dokumenter yang dengan maksud baik ini, justru menjadi titik balik dalam perjalanan kami,” kata Abimanyu lagi.
“Baik, cukup. Kalian boleh keluar. Silakan tunggu keputusan akhir dari kami. Dalam satu minggu ke depan, kami akan menghubungi Saudara Jonathan.”
Mereka mengangguk bersamaan, lalu berpamitan untuk keluar dari ruangan itu. Tidak ada yang benar-benar merasa lega dalam hati masing-masing. Kirana ataupun Abimanyu tahu, luka yang telah terlanjut terbuka, tidak akan sembuh hanya dengan satu permintaan maaf.
Suasana selasar fakultas terasa lebih dingin dari biasanya. Langit masih begitu cerah, seolah mengejek Jonathan yang tengah digulung oleh awan-awan mendung yang begitu pekat.
Tidak ada yang berbicara sepanjang mereka melewati selasar itu. Hingga tak lama, Jonathan memilih untuk mengambil langkah lebih lebar dan cepat, untuk meninggalkan Abimanyu dan Kirana di sana. Abimanyu mengusap wajahnya kasar, sementara di belakangnya, Kirana menggigit bibirnya.
“Bim,” panggil Kirana pelan, tapi Abimanyu tidak menoleh.
“Bim, gue ...” Suaranya nyaris tidak terdengar.
Akhirnya, Abimanyu menoleh dengan tatapan yang sebenar-benarnya dingin. Di sebuah lorong kosong dengan papan buletin yang berdiri tak jauh dari mereka, Kirana merasa sedang diguyur dengan air yang begitu dingin.
“Kenapa, Ran?” tanya Abimanyu datar. “Mau ngomong apa lagi? Kenapa nggak ngomong dari awal kalau kacamata itu hilang? Kenapa lo diem aja waktu semua orang nuduh gue yang nyebarin video itu? Bahkan waktu Jonathan hampir mukul gue di depan banyak orang, lo ngapain? Lo malah diem aja dan akhirnya milih kabur, kan?”
“Gue takut.” Kirana kembali menunduk begitu dalam, sambil memainkan jemarinya.
“Gue juga, Kir,” sahut Abimanyu. “Gue juga takut. Gue takut berakhir ditinggalin temen-temen gue sendiri. Gue takut mereka menjauh dan nggak mau percaya lagi sama gue. Gue sama takutnya kayak lo. Tapi lo tahu apa bedanya gue dan lo?”
Abimanyu mencoba mengatur napasnya. Ia menurunkan nada suaranya. “Gue nggak pernah dengan sengaja lepas tangan kayak yang lo lakuin kemarin.”
“Gue minta maaf. Gue nyesel, Bim, sumpah. Gue harus apa buat nebus kesalahan gue kemarin?”
“Gue nggak butuh sumpah lo, Kirana.” Abimanyu kembali mengusap wajahnya kasar. “Ya udah, lah. Toh, semuanya udah terjadi. At least lo mau jujur meskipun terlambat. Thanks.”
Akhirnya, Abimanyu melangkah pergi meninggalkan Kirana sendirian. Ia tidak membenci Kirana, sungguh. Abimanyu hanya butuh waktu untuk mengambil jarak darinya. Sebab ia tahu, jika kini ia memaksakan diri, amarahnya akan menyakiti Kirana.
Sementara itu, Kirana masih terpaku di tempatnya. Ia ingin menjerit sekeras yang ia bisa, tapi tenggorokannya seolah dicekik dengan begitu kuat. Kirana salah, dan ia tahu. Sekarang, ia hanya berharap bahwa dirinya bisa memperbaiki keadaan yang terlanjur rumit, dan kembali mendapatkan maaf dari teman-temannya.
***
Di sebuah sudut perpustakaan, Jonathan duduk bersandar. Cahaya matahari menyelinap dari kisi-kisi jendela, menyinari Jonathan yang kini sedang tampak begitu rapuh. Ia menatap pada perban yang menggendong tangannya. Jonathan tidak tahu, sejak kapan ia melangkah sejauh ini. Ia lelah, sungguh. Namun, tidak peduli seberapa keras mencoba untuk berhenti, ia tetap tidak bisa.”
Di tengah keterdiamannya di sudut perpustakaan itu, layar ponselnya menyala. Ada banyak notifikasi baru di sana. Dari orang-orang yang menandainya pada sebuah postingan, pesan pribadi di salah satu sosial medianya, bahkan kiriman link-link yang tertaut dengan video yang masih tersebar bebas di luar sana.
Setelah menghela napas panjang yang terasa berat, Jonathan memberanikan diri untuk membuka salah satunya.
‘Katanya juara bertahan. Eh, malah nyungsep.’
Emoji tertawa, emoji badut, emoji tinju, emoji cry-laughing.
‘Udah guys, dia juga punya perasaan.’
Jonathan menekan tombol power dan membiarkan layar itu mati. Ia bersandar lagi, sambil menatap pada barisan awan di luar jendela perpustakaan itu.
“It’s okay, selama gue bisa bawa Mama pergi dari rumah itu. Apapun taruhannya, termasuk masa depan gue.” Jonathan berkata pada dirinya sendiri tanpa sadar.
Untuk sejenak, Jonathan sempat berharap ada seseorang yang mencari dan memluknya, sambil mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, ia cukup sadar, bahwa tidak ada yang akan benar-benar datang mencarinya jika ia menghilang. Lalu, ia merasakah napasnya memberat. Jonathan menahan isaknya, dengan bahunya yang berguncang.
Berjarak tiga baris kursi di depannya, Hilmy duduk sambil memunggunginya. Ia sungguh ingin mendekati Jonathan dan memeluknya erat. Namun, Hilmy ingin memberikan Jonathan ruang untuk sendiri. Ruang yang bisa memberinya kesempatan untuk bernapas dengan semestinya.
Hilmy memutuskan untuk membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang ia lipat di atas meja. Ia tidak lelah, sungguh. Hilmy hanya merasa bahwa akhir-akhir ini hari berjalan begitu lama dan panjang. Dalam helaan napasnya yang berat, diam-diam Hilmy berharap bahwa Rafa akan muncul di perpustakaan itu, menyapanya, dan mereka bersama-sama menenangkan Jonathan. Namun, Rafa tidak datang.
Setelah beberapa saat berada dalam posisi yang sama, Hilmy memilih untuk keluar dari perpustakaan tanpa menoleh pada Jonathan.
Dan setelahnya, perpustakaan hanya diisi dengan suara mahasiswa yang sedang membalik halaman bukunya.
Juga ... suara riuh dari dalam kepala Jonathan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.