Pukul empat sore, ketika sudah mulai banyak mahasiswa telah meninggalkan kampus, Sera justru masih berdiri di koridor sambil memandang satu per satu mahasiswa yang berlalu-lalang. Ia mengeluarkan ponsel dan menatap layarnya untuk kesekian kali. Belum ada tanda-tanda Rafa membaca pesannya.
Sudah dua hari Sera tidak melihat Rafa datang ke kampus. Terakhir kali ia melihatnya, adalah saat pertengkaran besar antara Jonathan dan Abimanyu. Setelah itu, mereka semua seolah berada di musim dingin yang panjang. Mereka jarang bertemu, bahkan grup chat yang biasanya ramai dengan hal-hal yang tidak begitu penting, mendadak sunyi. Dan sejak hari itu pula, Rafa tidak membalas pesan-pesan yang Sera kirimkan.
Sera ingin berpikir bahwa Rafa sedang butuh waktu untuk sendiri, atau dalam mode hibernasi seperti biasa ketika pikirannya terlalu berisik. Namun, hari ini Sera menjadi gelisah. Rafa belum juga membaca pesannya, bahkan nomornya tidak bisa dihubungi sama sekali.
Di tengah kekhawatiran yang mendera itu, Sera membawa langkah kakinya menuju ruang seni, sambil berdoa semoga Rafa sedang duduk meringkuk sendirian di sana, dengan lukisan-lukisan abstrak di sekelilingnya. Namun, nihil. Ruangan itu nyatanya kosong, Rafa tidak ada di sana.
Meski begitu, ia tidak menyerah. Sera mempercepat langkahnya untuk menuju area parkir kampus. Rumah Rafa adalah satu-satunya tempat yang belum Sera datangi. Kalau memang Rafa sedang ingin bersembunyi di dalam kamarnya, Sera akan menemaninya dari ruang tamu hingga perasaan Rafa membaik. Jika Rafa sedang tidur panjang untuk melarikan diri dari pikiran-pikiran peliknya, Sera akan membangunkannya dan membiarkan Rafa memuntahkan semua kekacauan yang ada di dalam kepalanya. Sera tidak ingin Rafa terjebak sendirian dalam pikiran kalutnya, dan berakhir menyerah.
Semakin dekat pada area parkir kampus, langkah Sera semakin tergesa. Dan ketika itu, ia mendapati Hilmy sedang berjalan tepat di beberapa langkah darinya, menuju ke arah yang sama dengannya.
Hilmy sedang memainkan ponselnya, dengan jaket yang disampirkan ke pundaknya. Lalu ketika ia menyadari Sera yang kini berjalan tepat di sampingnya, Hilmy menoleh cepat.
“Lah? Sera?” Hilmy meelankan langkah kakinya. “Kok masih di sini? Gue pikir lo udah pulang tadi siang. Lo balik lagi apa emang belum pulang?”
“Gue emang belum pulang.” Sera menghentikan langkahnya. “Gue nyari Rafa.”
“Rafa? Tumben? Biasanya kalian bareng terus, kan?”
Sera mengangguk pelan. “Udah dua hari ini dia nggak baca chat gue. Terus, tadi pagi nomornya malah nggak bisa dihubungi sama sekali. Gue khawatir, dan dengan bodohnya malah muterin kampus buat nyari dia.”
“Udah cari ke rumahnya?”
“Belum. Tapi sekarang gue mau cari dia ke sana. Semoga dia emang cuma lagi males ketemu orang aja.”
Hilmy menatap Sera begitu lama, hanya untuk mendapati sorot matanya yang begitu penuh dengan kekhawatiran. “Boleh gue temenin?”
Sera hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Lalu dengan begitu saja, Hilmy mengambil kunci motor yang berada dalam genggaman Sera.
“Terus motor lo gimana, Hil?” tanya Sera yang kini mengekor tepat di belakang Hilmy.
“Tenang, gue bisa balik lagi ke sini nanti buat ambil motor.”
Langit mulai menampakkan semburat jingga, ketika Holmy dan Sera membelah padatnya Jalan Otto Iskandar Dinata. Sepanjang perjalanan tadi, tidak ada obrolan di antara keduanya. Sesekali, Sera menoleh pada pejalan kaki yang memiliki postur mirip dengan Rafa, sambil berharap bahwa ia akan bertemu dengannya di tengah perjalanan menuju rumahnya.
“Ser,” panggil Hilmy lirih, hingga Sera nyaris tidak mendengarnya. “Rafa lagi ada masalah, ya?”
“Kenapa lo tiba-tiba tanya kayak gitu?” Sera mendekatkan kepalanya pada Hilmy, sebab kini suara mereka kalah dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang.
“Karena lo kelihatan khawatir banget.”
Alih-alih menjawab, Sera justru terdiam. Ia menimbang-nimbang, apakah menceritakan soal keadaan Rafa pada Hilmy adalah hal yang benar? Sera masih mengingat dengan jelas, ketika serangan panik Rafa tiba-tiba datang di taman kampus beberapa hari yang lalu. Kala itu, Rafa mengatakan bahwa ia akan menceritakan soal kondisinya pada semua teman-temannya, ketika waktunya tepat dan ia telah siap. Jadi, apakah ini waktu yang tepat?
“Ser?” panggil Hilmy lagi, sebab Sera terlalu lama diam.
Ketika lampu lalu lintas di depan mereka menyala merah, Sera mulai membuka suaranya. “Gue nggak tahu apakah cerita soal ini ke lo adalah hal yang benar,” katanya.
Hilmy hanya diam, sambil menatap Sera dari kaca spionnya. Ia membiarkan Sera mengambil waktu sebanyak yang dibutuhkan untuk mengatakan apa saja yang ingin ia ungkapkan.
“Rafa lagi berjuang dengan traumanya, Hil.” Sera mulai bersuara ketika lampu lalu lintas kembali berwarna hijau. “Kakaknya bunuh diri, waktu kita kelas tiga SMA. Dia minum obat tidur banyak banget, dan saat itu Rafa yang ambilin air. Rafa nggak tahu kalau kakaknya mau pakai air yang dia ambil itu untuk minum obat segitu banyaknya.”
“Waktu kejadian, Papa-Mama Rafa lagi di luar kota karena lagi ngurus kerjaannya. Besok paginya, Rafa nemuin kakaknya udah meninggal di atas ranjangnya. Dan pas orang tuanya pulang, mereka nyalahin Rafa.”
“Karena Rafa yang ambilin air buat kakaknya?”
“Iya, karena Rafa yang ambilin air. Kalau Rafa tahu niatan kakaknya, dia pasti cegah. Tapi papanya bahkan nggak mau dengerin penjelasan Rafa, dan mukul dia hari itu.”
Hilmy menghela napas pelan. Tinggal satu tikungan lagi yang harus mereka lewati, untuk akhirnya sampai di rumah Rafa.
“Sekarang hubungan mereka gimana?” tanya Hilmy. “Maksud gue, Rafa dan orangtuanya. Mereka masih hidup di dalam kesalahpahaman itu?”
“Iya. Rafa masih hidup di bawah bayang-bayang kematian kakaknya. Orangtuanya juga masih sering nyalahin Rafa soal kejadian itu. Nggak secara langsung, sih. Kayak— ‘coba aja waktu itu kamu nggak ambilin Kak Reyna minum,’ ‘coba aja waktu itu kamu tanya kenapa kakakmu nangis sampe matanya bengkak’. Mau gimanapun bentuk pengandaiannya, gue rasa mereka masih nyalahin Rafa, sampai Rafa sendiri percaya kalau dia emang penyebab kematian kakaknya.”
“Rafa sering ngelukain tangannya, Hil,” kata Sera lagi, ketika motor mereka kini telah sepenuhnya berhenti di halaman rumah Rafa. “Jadi kalau nanti dia ada di dalam dan lagi melukai dirinya sendiri, tolong jangan kaget, ya. Jangan tanya apa-apa sama dia.”
Hilmy tidak mengatakan apa-apa bahkan setelah Sera turun dari motor dan melepaskan helmnya. Apa yang baru saja ia dengar terlalu mengejutkan, dan Hilmy bahkan tidak tahu bagaimana harus menanggapi soal trauma Rafa.
“Ser.” Jadi yang bisa ia lakukan setelah terdiam cukup lama, adalah memanggil Sera yang bersiap melangkahkan kakinya untuk masuk ke rumah yang cukup besar di hadapan mereka. “Kenapa kakak Rafa bunuh diri?” tanya Hilmy.
Sera menggeleng pelan. “Katanya itu aib keluarga. Rafa nggak pernah cerita apa alasan dibalik bunuh diri kakaknya.” Setelah berkata begitu, Sera melangkah masuk dan meninggalkan Hilmy yang masih membatu di atas motornya.
Bermenit-menit menunggu Sera di luar rumah itu, Hilmy menemukan banyak sekali pertanyaan dalam kepalanya. Mengapa ia tidak pernah menyadari bahwa ada luka-luka pada tangan Rafa? Mengapa Hilmy tidak pernah menyadari bahwa Rafa sering menghilang? Mengapa ... Hilmy tidak pernah tahu soal apa yang telah dilalui teman-temannya? Kemarin Jonathan, dan hari ini Rafa. Besok siapa lagi?
Ketika Hilmy larut dalam pikiran-pikirannya, Sera keluar dengan mata yang basah. Gadis itu jelas baru saja menangis. Jadi, Hilmy turun dari motornya, dan berjalan mendekat pada Sera.
“Gimana?” tanya Hilmy. “Rafa nggak mau ketemu lo?”
“Dia bahkan nggak ada di rumah, Hil. Kata pembantunya, tadi pagi Rafa masih di rumah waktu papa mamanya pulang dari luar kota. Terus dia pergi, nggak tahu kemana. Papanya juga lagi nyariin dia.”
Hilmy mengusap pelan bahu Sera, hanya untuk memberikan ketenangan padanya. “Dia nggak akan kenapa-kenapa, Ser. Percaya sama gue. Mungkin dia lagi butuh waktu buat sendiri aja. Besok pagi kita coba cari lagi, ya?”
“Gue ngerasa gagal,” sahut Sera. Ia mendongak dan meatap Hilmy dengan matanya yang memerah. “Padahal dia paling percaya sama gue, dia bergantung sama gue. Tapi gue malah nggak tahu kalau dia lagi kalut sampe akhirnya ngilang gini.”
“Jangan ngomong gitu ....” Hilmy menarik pelan tangan Sera ke dekat motor, lalu memasangkan helm padanya. “Ini sepenuhnya bukan salah lo. Nggak boleh nyalahin diri sendiri atas kejadian-kejadiaan yang ada di luar kendali lo, Ser.”
Hilmy mengusap air mata Sera, sebelum akhirnya kembali naik ke atas motornya. “Jangan sering-sering ngerasa bersalah atas hidup orang lain. Nggak baik buat diri lo sendiri.”
Sera mengangguk pelan.
Peerjalanan pulang malam ini diliputi dengan hening yang begitu panjang. Hilmy Membiarkan Sera menangis di balik punggungnya, tanpa mengatakan kalimat-kalimat penenang yang tidak akan ada artinya pada saat-saat seperti ini. Hilmy tahu seberapa besar rasa khawatir Sera terhadap Rafa, mengingat bagaimana Sera sering berkata bahwa Rafa adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.
Setelah empat puluh menit berkendara, mereka sampai pada rumah Sera. “Lo bawa aja motor gue,” kata Sera. “Ambil motor lo di kampus besok pagi, atau ajak Abim buat balik ke kampus sekarang.”
“Biar gue ambil besok pagi aja, Ser.”
“Thank you udah nemenin gue cari Rafa hari ini,” kata Sera dengan senyumnya.
“Gue balik, ya,” kata Hilmy setelah mengangguk. “Besok pagi telepon gue aja kalau lo mau berangkat ke kampus. Biar gue jemput.”
Lalu ketika Hilmy menyalakan mesin motor, Sera tiba-tiba memegang lengan jaket yang Hilmy kenakan.
“Perasaan gue nggak enak,” kata Sera, ketika Hilmy bertanya mengapa ia tiba-tiba melakukan itu. “Gue belum pulang seharian, tapi lampu rumah udah nyala. Kayaknya Mama pulang.”
Hilmy menoleh ke arah rumah Sera. Dan benar saja, seluruh lampu di rumah itu menyala begitu terang. “Mau gue temenin masuk?”
Sera menggeleng. “Setelah lo sampe rumah, temenin gue lewat telepon, ya?”
Hilmy hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu, setelah memastikan Sera benar-benar masuk ke dalam rumah, ia melajukan motornya dan meninggalkan halaman rumah Sera.
***
Di ruang makan, Sera bisa melihat mamanya duduk di ujung meja, dengan seorang laki-laki yang tampaknya beberapa tahun lebih tua. Lalu ketika menyadari kehadiran Sera, mereka berdua menoleh dan tersenyum begitu lebar.
“Mama udah nungguin dari tadi, Ser,” kata Mama. “HP-mu mati? Kok susah dihubungi?”
Alih-alih menjawab Sera memilih untuk diam, sambil melirik sekilas pada laki-laki yang duduk tepat di samping mamanya. Lalu, tepat ketika Sera ingin beranjak dari ruangan itu, Mama memanggilnya untuk duduk dan bergabung bersama mereka. Dan seolah tidak memiliki pilihan, Sera menuruti hal itu.
“Kenalin, ini teman Mama. Namanya Om Willy. Kita sudah kenal selama delapan bulan terakhir.”
Sera masih tidak mengatakan apa-apa.
“Om banyak dengar soal kamu,” kata laki-laki itu. “Katanya kamu suka ngelukis, ya?”
Tidak, Sera tidak pernah suka melukis. Ia terpaksa melakukannya.
“Nanti, kalau kamu mau bikin pameran lukisan atau mau bangun galeri seni, Om bisa bantu. Om punya beberapa kenalan yang sudah expert di bidang itu.”
“Makasih,” kata Sera pada akhirnya, dengan suaranya yang bergetar. “Tapi nggak perlu. Saya nggak mau merepotkan orang lain.”
“Ser, Mama pulang karena mau kasih kamu kabar bahagia,” kata mamanya. “Om Willy ngajak Mama nikah. Mungkin akhir tahun nanti. Setelah menikah, Om Willy bakalan belikan rumah yang mewah buat kita. Terus, kita bisa pindah ke sana dan tinggal bareng-bareng lagi.”
Berbeda dengan mamanya yang kini tersenyum bahagia, Sera justru menampakkan raut yang benar-benar datar.
“Mau Sera setuju atau nggak, Mama tetap akan menikah, kan?” kata Sera ketus. “Mau berapa kali lagi? Mau sampai kapan Mama begini terus?”
“Sera!” Mamanya berkata dengan nada tinggi, lalu berdeham sebentar. “Jangan kurang ajar. Om Willuy nggak sama kayak laki-laki lain. Dia baik, bahkan lebih baik dari papamu yang tukang selingkuh itu.”
Sera menatap mamanya nyalang, lalu menatap laki-laki itu, dan kembali menatap mamanya lagi. Sera sungguh sudah tidak peduli pada kehidupan percintaan mamanya. Ia benar-benar sudah muak.
“Terserah,” kata Sera pada akhirnya. “Terserah Mama mau ngapain aja. Mama nggak perlu persetujuan Sera, karena Sera nggak peduli.”
Sera bangkit dari kursinya dan melangkah untuk meninggalkan ruang makan itu. Namun, pada langkah ketiganya, Sera berhenti dan menoleh pada mamanya.
“Sera nggak akan pernah mau pindah dari rumah ini dan tinggal sama orang asing. Kalau pun rumah ini harus dijual, mending Sera cari kos atau kemana pun, asalh nggak ada orang asing itu.”
Setelah itu, Sera benar-benar pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Tanpa menyalakan lampu, Sera mengunci pintu kamarnya, dan melempar tasnya begitu saja ke atas kasur. Ia berbaring di sana sambil menatap langit-langit kamar begitu lama.
Kemudian, Sera membuka ponselnya. Pesan terakhirnya untuk Rafa belum juga terkirm. Dan ketika Sera hendak memejamkan mata, ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari Hilmy.
[Jadi, mau gue telepon sekarang?]
Lama menatap pesan yang Hilmy kirimkan, Sera akhirnya memilih untuk membalasnya singkat.
[Nggak usah, Hil. Kayaknya gue mau langsung tidur aja. Gue capek. Sorry.]
Setelah melemparkan ponselnya ke sembarang arah, Sera bangkit dan bersandar pada punggung ranjangnya. Ia duduk memeluk lututnya, lalu membenamkan seluruh wajahnya. Sera menangis dalam hening dan sesak yang tidak bisa ia bagi pada siapa pun malam ini.