Abimanyu melangkah cepat menyusuri koridor kampus, untuk menuju ruang editing. Langkahnya tergesa membelah siapa saja yang berkerumun di sana, dengan raut wajah tegangnya. Ia tidak sepenuhnya fokus pada jalan yang dilewati, sebab matanya terus memeriksa ponselnya seolah menunggu sesuatu muncul. Sesuatu yang ia harap bisa lebih baik dari sebuah kabar yang sudah ia terima pagi tadi.
Persis satu jam yang lalu ketika ia menginjakkan kakinya di kampus, seseorang mengirimkan sebuah tautan pada Abimanyu. Ia tak lantas membuka tautan itu begitu saja, sebab biasanya base kampus selalu berisi unggahan receh yang tak perlu. Namun, setelah melihat banyak mahasiswa yang menatap ke arahnya sambil berbisik-bisik, Abimanyu merasa ada sesuatu yang tidak beres. Jadi, ia memutuskan untuk membuka tautan itu.
Abimanyu terbelalak kaget, ketika mendapati base kampus telah dipenuhi oleh komentar pada sebuah video berdurasi 28 detik. Kualitasnya tidak begitu jernih, tapi cukup jelas untuk mengenali wajah Jonathan yang berdiri di ring tinju dengan darah menetes dari pelipisnya. Terdengar suara riuh dari teriakan penonton, yang membaur dengan suara dentingan keras dari sebuah lonceng.
Di atas video itu, sang pengirim menuliskan takarir, ‘Mahasiswa Kriminologi vs ring ilegal. Jagoan kampus nih, Bos!’
Abimanyu menghentikan langkahnya. Matanya terus terpaku pada komentar-komentar yang bertebaran. Beberapa dari mereka menghina, beberapa menertawakan, dan beberapa lagi memberi nasihat yang tak berarti. Jempolnya terus menggulir layar ponsel dengan cepat, dan Abimanyu mendapati dadanya kian sesak. Lalu, tangannya mulai gemetar. Bagaimana bisa video Jonathan tersebar begitu saja?
“Mantp, Bim. Itu teaser buat dokumenter lo, ya?” tanya salah seorang teman dari jurusannya.
Tentu saja video itu tidak berasal darinya. Ia sangat yakin, bahwa Kirana tidak mengirimkan apapun padanya.
Begitu masuk ke ruang editing, ia langsung membuka hard disk eksternalnya. Abimanyu membuka folder demi folder, menelusuri file mentah dan folder rekaman cadangan dari proyek dokumenternya. Namun, ia tidak menemukan video yang berisi tentang pertandingan Jonathan. Jelas ia tidak salah ingat— Kirana tidak memberikan apapun padanya.
Ia yakin, rekaman dari ring itu tidak pernah keluar dari kacamata Kirana. Hanya rekaman itu satu-satunya footage yang merekam pertandingan secara utuh. Dan ... tidak mungkin Kirana yang melakukannya, kan? Tidak mungkin Kirana menyebarkan video itu, mengingat bagaimana ia menangis begitu banyak saat di rumah sakit.
Ketika Abimanyu masih terpaku pada layar laptopnya, sebuah notifikasi kembali masuk ke ponselnya. Seseorang menandainya dalam komentar postingan video itu.
‘Ini nih, sutradaranya @bimaa_new’
‘wah, gila sih, bray @bimaa_new’
‘parah sih kalo lo yang nyebarin @bimaa_new, fix cari spotlight dari penderitaan temen sendiri.’
‘the real teman makan teman wkwkwk’
Abimanyu mengusap wajahnya frustasi. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia tidak mau Jonathan terlibat masalah karena video yang tersebar ke seluruh penjuru kampus ini. Lalu, dengan jantungnya yang masih berdegup begitu cepat, Abimanyu mencoba untuk menghubungi Kirana. Satu panggilan, dua kali, hingga lima kali, tapi Kirana tidak menjawab satupun.
Jadi sambil beranjak dari ruang editing, Abimanyu mengetikkan sebuah pesan pada Kirana.
[Lo udah lihat video yang dikirim base kampus?]
[Gue tahu kalau lo nggak akan ngelakuin hal kayak gini.]
[Lo tahu siapa lagi anak kampus yang datang ke arena malem itu, selain lo dan Bang Ipul?]
[Kir, kalo lo baca ini, please jawab chat gue. I beg you.]
Sementara itu, suasana di belakang gedung seni sedikit lengang. Hanya terlihat beberapa mahasiswa yang sedang duduk di selasar sambil membuka laptop. Di salah satu sudut, Rafa, Hilmy, Sera, Andin, dan Kirana duduk melingkar. Mereka terdiam dengan suara riuh dalam pikiran masing-masing. Tidak ada yang berbicara soal video yang tengah ramai diperbincangkan. Namun, semua terlihat jelas dalam wajah mereka, bahwa mereka juga terkejut dengan adanya video yang menyebar itu.
Dari kejauhan, Abimanyu berjalan mendekat dengan wajah kusutnya. Langkahnya masih sama tergesanya dengan tadi, dan ia menatap lurus pada Kirana yang sedang duduk sambil tertunduk di antara teman-temannya. Dari belakangnya, ada langkah lain yang berusaha mengejar dengan langkah lebar.
Jonathan.
Tanpa aba-aba, ia mendahului langkah Abimanyu, dan berhenti tepat di hadapannya. Ia menarik kerah baju Abimanyu, dan menatapnya nyalang.
“Apa maksud lo nyebarin video itu?” tanya Jonathan dengan suara yang cukup keras, hingga membuat mahasiswa yang berada di sana seketika menoleh ke arah mereka.
Mereka tampak ngeri, sebab Jonathan datang dengan wajahnya yang masih lebam-lebam dan bahu kanannya yang diperban.
“Lo pikir gue gila?” sahut Abimanyu dengan suara rendahnya. “Gue baru tahu soal video itu tadi pagi. Gue bahkan nggak tahu gimana bentukan ring yang lo datengin itu, sebelum gue lihat videonya di base kampus!”
“Lo pikir gue bakalan percaya gitu aja?! Jangan ngelak, Bim! Lo yang minta Kirana buat dateng ke sana, kan?!”
Mahasiswa yang ada di sana mulai berbisik-bisik, dan beberapa tampak mengambil ponsel mereka untuk merekam kejadian ini.
“Gue udah bilang jangan rekam masalah pribadi gue! Gue udah bilang jangan terlalu jauh! Lo pikir hidup gue ini tontonan yang bisa lo pakai kapan aja buat tugas akhir lo itu?!”
Abimanyu menggertakkan giginya, lalu melepas cengeraman Jonathan dari kemejanya. “Lo pikir gue sejahat itu manfaatin temen sendiri?!”
Jonathan mengambil satu langkah lebih dekat. Suara dan napasnya terdengar berat, dengan sorot mata merah yang menahan amarah. “Gue tahu lo butuh footage dramatis buat dokumenter lo, dan Kirana satu-satunya orang yang memungkinkan untuk lo manfaatin karena dia lagi deket sama gue!”
Tak jauh dari mereka, Kirana menunduk begitu dalam. Ia ingin berbicara, sungguh. Ia ingin mengatakan bahwa dirinya kehilangan rekaman itu, bahwa Bang Ipul mungkin satu-satunya orang yang mengambil dan menyebarkannya. Namun, suaranya tercekat. Tidak perlu sebanyak apa ia mengumpulkan keberanian, kalimat-kalimat itu tidak mau keluar dari mulut Kirana.
“Padahal gue percaya sama lo, Bim.” Jonathan berkata dengan suara rendah dan terdengar dingin. “Tapi ternyata lo gampang banget menghianati temen sendiri. Yang ada dalam otak lo itu cuma konten buat menunjang dokumenter yang lo buat!”
“Lo keterlaluan!” Abimanyu akhirnya meledak. Ia mendorong bahu Jonathan yang tidak terluka. “Gue ini temen lo, Jo! Gue nggak mungkin pake cara sampah kayak gini cuma demi dokumenter itu! Lo? Percaya sama gue? Omong kosong! Buktinya lo sekarang nuduh gue tanpa bukti gini, kan?!”
Mereka seolah bisa saling membunuh dengan tatapan masing-masing. Sedikit lagi, akan ada pukulan-pukulan yang mendarat, jika bukan karena Rafa dan Hilmy yang langsung berdiri dan memisahkan keduanya.
“STOP!” teriak Hilmy yang kini berdiri di tengah-tengah mereka. “Udah cukup, Jo. Gue tahu lo marah, tapi lo nggak bisa sembarangan nuduh Abim tanpa bukti. Lo juga, Bim. Bukan saatnya menyikapi masalah ini dengan emosi.”
Jonathan masih terengah. Tatapannya bahkan tak sedetik pun lepas dari Abimanyu.
Lalu, setelah terdiam cukup lama, Rafa akhirnya ikut bersuara. “Gue tahu lo sakit hati karena video lo kesebar, Jo,” katanya lirih. “Tapi lebih sakit ngelihat lo nggak percaya sama temen lo sendiri.”
Untuk sejenak, hening menyelimuti selasar. Jonathan mulai goyah. Matanya tampak berkaca-kaca, tapi ia tidak bisa menyembunyikan emosinya yang masih membuncah.
“Jo,” panggil Kirana lirih. Ia sudah berniat untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun, ketika semua mata tertuju padanya, ia justru bangkit dari duduknya.
“Sorry, gue harus pergi,” katanya lirih, hingga nyaris tak terdengar. Lalu, Kirana beranjak meninggalkan mereka dengan air mata yang tak lagi bisa terbendung.
Cuaca sedang terik-teriknya, ketika Abimanyu menyusul Kirana yang kini duduk sendirian di bangku taman, dekat koridor menuju fakultas psikologi. Ia duduk membelakangi gedung, sambil menatap tanah kosong.
Abimanyu mendekat perlahan, dan duduk tepat di samping Kirana.
“Lo tahu sesuatu soal video itu, kan?” tanya Abimanyu datar. “Gue peraya kalau bukan lo yang sengaja nyebarin video itu. Tapi gimana bisa? Gimana bisa ada orang lain yang punya video itu selain lo? Lo yakin nggak ada mahasiswa lain selain lo sama Bang Ipul malam itu?”
Alih-alih langsung menjawab, Kirana justru terisak dan terus menatap lurus pada rumput-rumput yang menyentuh ujung sepatunya.
“Gue nggak akan marah, Kir. Tapi gue perlu tahu, gimana bisa ada orang lain yang punya rekaman itu?”
“Sorry, Bim. Gue bener-bener nggak tahu harus ngomong apa.” Kirana akhirnya berkata dengan suara pelan.
“Lo ngasih rekaman itu ke orang lain? Nggak mungkin, kan? Nggak akan ada gunanya juga buat lo, kan?”
Kirana menggigit bibirnya. “Lo tahu gimana rasanya dicurigai sama temen lo sendiri, Bim. Dan sekarang lo curiga gue yang nyebarin video itu?”
“Nggak, Kirana. Gue nggak pernah mikir lo sengaja nyebarin rekaman itu. Tapi lo harus jujur sama gue.” Abimanyu menatap datar pada Kirana. “Rekaman itu bocor, kan? Ada orang lain yang pegang salinan video yang lo rekam, kan?”
“Bim, gue—” Kirana menghapus jejak air matanya. “Gue kehilangan kacamatanya.”
Ucapan Kirana jelas membuat seluruh darah yang mengalir dalam tubuh Abimanyu seolah membeku.
“Gue minta maaf,” kata Kirana lagi. “Gue bakalan berusaha buat selesain masalah ini. Gue akan meluruskan kesalahpahaman Jonathan terhadap lo.”
Dan dengan begitu saja, Kirana berjalan menjauh meninggalkan Abimanyu yang masih membeku di tempatnya.
***
Di lantai tiga gedung Kriminologi, pada salah satu sudut yang jarang dilalui mahasiswa, Jonathan duduk terpekur sendirian. Sakit yang ia rasakan pada bahunya bahkan tidak sebanding dengan apa yang telah ia alami hari ini.
Tangannya bergerak untuk membuka ponselnya. Untuk sekali lagi, ia mengunjungi base kampus yang memuat video pertarungannya malam itu. Detik demi detik mengulang memori yang sungguh ingin ia lupakan. Bagaimana wajahnya penuh darah, bagaimana ia tergeletak tak berdaya, dan bagaimana semua orang kini mengetahui soal rahasia yang telah mati-matian ia sembunyikan.
Dalam keadaan nelangsa itu, Jonathan menggulir kolom komentar yang kini telah berjumlah enam ratus lebih.
‘waduh, jagoan kampus nih Bray! Gladiator sejati.’
‘Gue punya video full-nya. Dia kalah telak, mainnya kacau banget!’
‘Ini anak kriminologi? Bukannya nangkepin kriminal tapi malah temenan sama kriminal?’
‘ih, darahnya ngeriiii’
Jonathan mendesah. “Padahal niat gue cuma pengen bawa Mama pergi secepatnya. Kenapa malah berantakan?”
Ia memutuskan untuk mematikan ponselnya, dan membiarkan benda pipih itu tergeletak tak berdaya, persis perasaannya saat ini. Lalu, ia menenggelamkan wajahnya pada lengan kiri yang bertumpu pada kedua lututnya. Pada akhirnya, setelah ia menjauh dari semua suara yang meneriakinya ‘sok jagoan’, yang tersisa hanyalah isak pelan yang tertahan dan begitu memilukan.