Langit sore ini tampak kelabu. Mendungnya menggumpal tanpa hujan, seolah ingin mengantarkan rasa berat di kepala siapa saja yang menatap ke atas sana. Di tangga belakang gedung Seni— tempat yang selalu sepi dari lalu-lalang mahasiswa, ada dua orang yang sedang duduk berdampingan.
Sera menyandarkan tubuhnya pada dinding, sambil menggoyangkan ujung sepatunya pelan. Di sampingnya, Hilmy duduk sambil menunduk. Mereka baru saja selesai makan siang, tapi alih-alih pulang ke rumah masing-masing, keduanya justru duduk membisu di tempat ini. Entah siapa yang memutuskan untuk berdiam diri di sini, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang protes soal itu.
“Mendung banget,” celetuk Sera pada akhirnya, mencoba mencairkan suasana. “Udah kayak hati gue kalau lukisan gue dapet kritik habis-habisan dari dosen.”
Di sampingnya, Hilmy terkekeh pelan. “Atau kayak kepala yang baru aja ditimpa realita. Rasanya langsung gelap.”
“Masih kepikiran soal semalam?” tanya Sera pada akhirnya, setelah mereka sempat terdiam beberapa saat. Lalu, Hilmy menjawabnya dengan anggukan pelan.
“Gue nggak expect datang ke RS semalam tuh bakalan nemuin drama keluarga. Mirisnya lagi, gue ikut jadi pemeran di dalamnya.” Hilmy terkekeh pelan. “Semalam udah kayak ajang pengakuan dosa nggak, sih? Gue ngerasa ditelanjangi di depan banyak orang.”
Alih-alih menjawab perkataan Hilmy, Sera justru menghela napas pelan yang begitu berat. “Mama lo ternyata cukup keras juga, ya? Ngelihat lo yang selama ini selalu haha-hihi di kampus, gue nggak nyangka kalau di rumah lo bisa dapet tekanan seberat itu.”
“Saking kerasnya, nyokap gue tuh bahkan bisa bikin tembok Berlin kelihatan lembek, Ser.” Hilmy masih sempat tertawa dalam sela kalimatnya. “Tapi gue ngerti kok, dia begitu pasti karena sayang sama gue.”
Sera mengangguk pelan, setelah ikut tertawa sejenak hanya untuk menepis kecanggungan yang melanda keduanya. Sera sadar, meski telah bertahun-tahun berteman, tidak satupun dari mereka berdua yang pernah membahas hal-hal pribadi semacam ini.
“Lo bener,” kata Sera. “Gue rasa nyokap lo cuma pengen yang terbaik buat anak-anaknya.”
“Yang terbaik, ya?” Hilmy menghela napas panjang. “Tapi, kadang rasanya nyokap-bokap tuh bikin anak-anaknya jadi kayak robot.”
“Bokap gue dokter bedah, Ser. Nyokap jajaran direksi di rumah sakit tempat Jonathan dirawat kemarin. Kakak gue yang pertama, kepala rumah sakit di Solo. Yang kedua, dokter gigi dan udah buka praktik sendiri di rumahnya. Adik gue juga lagi bersiap buat tes masuk kedokteran.”
Hilmy bersandar, dan menatap lurus pada pohon-pohon yang berjajar jauh di hadapan mereka. “Membosankan, kan? Masa satu keluarga semuanya jadi dokter?” Ia terkekeh sambil menunduk begitu dalam.
“Tapi, alasan gue masuk kriminologi bukan cuma karena pengen ganti suasana, atau karena gue pengen jadi rebel. Nggak sama sekali. Gue cuma pengen ngerti, kenapa bisa ada orang yang jadi jahat ke orang-orang yang seharusnya paling mereka sayang.”
Sera memutar tubuhnya, dan menatap Hilmy sepenuhnya. Namun, alih-alih segera menanggapi perkataan Hilmy, Sera memilih untuk diam. Ia tahu, Hily ingin mengatakan jauh lebih banyak dari ini. Jadi, ia memutuskan untuk menjadi pendengar yang baik hari ini.
“Jonathan pernah main ke rumah,” lanjut Hilmy. “Sesuai dugaan, nyokap gue salah paham dengan mikir kalau dia anak bandel yang suka memberontak. Jo tuh, emang tampangnya doang yang serem. Tapi gue tahu, dia nggak seburuk itu.”
“Waktu itu, nyokap nyuruh gue berhenti temenan sama Jonathan. Katanya dia potensial nyeret gue ke hal-hal yang nggak bener.” Hilmy kembali terkekeh. “Hal nggak bener apaan, sih? JUstru gue banyak belajar dari Jonathan, sejak kita sering studi lapangan bareng.”
“Sekarang lo udah lihat sendiri, Ser. Nyokap bahkan bilang kalau gue cuma buang-buang waktu di jurusan ini di depan temen-temen gue. Lo tahu gimana rasanya, nggak?” Hilmy menoleh. Untuk pertama kalinya, Sera melihat mata-mata itu memerah. Untuk pertama kalinya, Sera melihat Hilmy menunjukkan kelemahannya. “Kayak ... gue nggak punya tempat buat jadi diri sendiri. Nggak di rumah, nggak di sini.”
Sera meremat lututnya, mencoba menyusun kalimat dalam kepalanya. Namun, belum sempt kalimat itu keluar dari mulutnya, Hilmy lebih dulu kembali bersuara.
“Kalau boleh jujur, gue capek dibilang salah jurusan. Capek dibilang selalu gagal. Gue capek dibandingin sama kakak-kakak gue. Dan lo tahu? Kakak gue yang kepala rumah sakit itu, bentar lagi bakalan jadi dosen tamu di Harvard. Kebayang nggak, beban mental yang gue bawa di rumah?” Hilmy tergelak pelan. “Tiap malem nyokap selalu cerita soal dia. Soal gimana majunya rumah sakit di Solo itu semenjak dipegang dia. Nyokap kayak lagi menekankan kalau cuma gue satu-satunya anak yang nggak bisa dia banggakan.”
“Hilmy ....”
“Gue tahu lo pengen bilang kalau semua itu bukan salah gue, atau gue berhak menentukan jalan hidup gue sendiri. Tapi nggak perlu. Gue udah terbiasa, sampe rasanya sekarang di sini rasanya kebas,” potong Hilmy sambil memegang dadanya.
Setelah memuntahkan semua keluh-kesahnya, Hilmy berdiri dan memasukkan kedua tangannya pada kantong hoodie-nya.
“Kayaknya gue butuh sendiri dulu deh, Ser. Sorry karena udah membebani lo dengan cerita-cerita gue.” Ia melangkah untuk meninggalkan Sera, lalu menoleh sebentar untuk kembali bersuara. “Nanti malem gue telepon. Kita makan nasi goreng gang kelinci, ya!”
Dan dengan begitu saja, Hilmy meninggalkan Sera di sana sambil melambaikan tangannya.
Sementara itu, Sera hanya mengangguk pelan dan menyaksikan punggung Hilmy perlahan menjauh dari pandangannya.
***
Angin sore membawa aroma petrichor, jejak dari gerimis yang turun sebentar lalu lenyap tak lama kemudian. Di taman samping gedung seni, Rafa duduk sendirian. Rumput di bawah sepatunya masih sedikit lembap, tapi ia benar-benar tidak peduli. Tangannya sibuk mencabuti kulit pada ujung-ujung kukunya, hingga meninggalkan luka kecil yang tidak ia sadari.
Jantungnya memompa lebih cepat, dan ia merasakan napasnya tersengal. Bukan karena ia baru saja berlari di running track, tapi karena isi kepalanya terus memutar kejadian malam tadi. Suara tamparan, wajah Jonathan dengan luka-lukanya, tatapan ketakutan Kirana, napas tertahan dari semua orang yang menyaksikan di ruangan itu. Semuanya berputar bagaikan film lama dalam kepala Rafa.
Kemudian, bayangan lain mulai muncul. Kolase dari tahun-tahun yang telah ia lalui dengan langkah berdarah.
Rafa berdiri di dapur dengan seragam SMA-nya yang belum ia ganti, sebab Rafa baru saja pulang dari sebuah toko buku bersama Sera. Kakaknya—Reyna, memanggilnya dari dalam kamar. Ia meminta Rafa untuk membawakan segelas air, dan berpesan untuk tidak diganggu sebab ingin tidur cepat hari itu.
Tanpa banyak bertanya, Rafa mengisi penuh segelas air, dan menyerahkannya pada Reyna yang tampak habis menangis di dalam kamarnya. Rafa pikir, Reyna sedang putus cinta kala itu. Namun, Rafa salah.
Paginya, Reyna tidak membuka pintu kamar, tidak peduli sebanyak apa Rafa mengetuknya. Rafa memanggil salah seorang tukang kebun, dan memintanya untuk mendobrak pintu itu. Dan seolah digulung ombak di tengah badai, Rafa menemukan tubuh Reyna telah tak bernyawa. Mata Reyna terpejam di bawah selimut, dengan tubuh yang benar-benar dingin.
Polisi dan ambulans datang. Namun, lebih dari itu, yang paling membekas dalam ingatan Rafa adalah telapak tangan besar milik ayahnya yang menghantam pipinya.
“Kamu biarkan kakakmu mati! Kamu yang sudah bantu dia untuk mati! Kamu memang ingin kakakmu mati, kan?! Kenapa? Jawab, Rafa!”
Kata-kata itu terus menggema dalam kepalanya. Rafa mencengkeram rambutnya. Napasnya semakin tersengal, jari-jarinya mulai gemetar. Ia merasa segala sesuatu yang berada di sekitarnya berputar begitu cepat, hingga membuat kepalanya benar-benar pusing. Ia ingin berteriak sekuat tenaga, tapi rasanya seolah ada batu besar yang menyumpal tenggorokannya. Tiba-tiba, dunia terasa sempit, dan Rafa terjepit sendirian. Hingga ...
“Rafa?”
Ia mendengar suara itu. Suara hangat yang selalu menjadi penenang paling ajaib selama bertahun-tahun.
“Rafa?!”
Suara Sera.
Rafa membuka matanya, dan menatap Sera dengan matanya yang memerah. Meski begitu, Rafa masih tidak sanggup berbicara.
Karena telah terbiasa dengan kondisi Rafa, Sera tidak panik sedikit pun. Ia berjongkok untuk menurunkan kedua tangan Rafa dari kepalanya, dan menggenggamnya erat. Tangan-tangan itu masih bergetar. Sera bisa melihat jari-jari Rafa yang memerah, dengan sedikit darah yang keluar dari ujung-ujungnya.
“Tarik napas, Raf,” kata Sera, lalu Rafa menurutinya. “Tarik napas sampai hitungan ke empat. Satu ... dua ... tiga ... empat.”
“Tahan ya, Raf. Gue hitung sampe tujuh.”
Lalu pada hitungan ke tujuh, Rafa membuang napasnya perlahan.
“Udah lebih tenang?” tanya Sera, lalu dijawab anggukan oleh Rafa.
Napasnya berangsur teratur, gemetar tangannya mulai berkurang, meski kini matanya mulai basah.
“Gue pikir, gue udah mulai lupa,” gumam Rafa. Ia mengeratkan genggaman tangan mereka. “Tapi ternyata nggak segampang itu, Ser. Kak Reyna nggak dateng ke mimpi gue belakangan ini, tapi kejadia kemarin cukup untuk bikin gue kayak gini.”
Sera terus menatap wajah Rafa. Laki-laki yang terlihat lemah di hadapannya saat ini, adalah laki-laki yang sama, yang suka bercanda soal teori seni abstrak. Laki-laki yang suka berkomentar pedas setiap kali ada instalasi kampus yang aneh. Laki-laki yang sama, dengan luka yang masih menganga lebar.
“Waktu itu Kak Reyna— dia minum banyak obat tidur. Gue nggak tahu, kalau air itu bakalan dia pakai buat nelen semua obat-obat itu. Gue yang ambilin air itu. Gue— gue yang kasih gelas itu ke dia.”
Air mata Rafa luruh begitu saja. Ia menangis dengan air mata yang deras, dan suara yang tertahan.
“Besok paginya, Kak Reyna mati. Terus bokap gue— dia bilang ... dia bilang itu salah gue. Dia mukul gue. Katanya gue udah bunuh Kak Reyna. Dan gue rasa— gue rasa bokap gue bener. Gue yang bunuh Kak Reyna.”
Sera mengusap pelan bahu Rafa. Ia tidak lagi mengatakan ‘itu bukan salah lo’, karena ia tahu, kalimat itu tidak akan ada artinya pada saat-saat seperti ini. Jadi yang bisa ia lakukan hanya menggenggam tangan Rafa lebih kuat, dan membiarkan laki-laki itu menumpahkan segala tangisnya. Sera telah berulang kali melihat Rafa yang seperti ini. Berulang, selama bertahun-tahun Sera selalu mendengar cerita yang sama dari Rafa.
Bermenit-menit berlalu dalam keterdiaman itu. Hanya terdengar suara angin, bercampur dengan sisa isak dari Rafa, dan suara keramaian jauh dari tempat mereka. Pada saat itu, Rafa memejamkan matanya dan menyandarkan kepala pada punggung bangku. Ia menarik napas begitu dalam dan panjang, sebelum akhirnya membuka mata dan menatap Sera begitu hangat.
“Thanks, Ser,” katanya pada akhirnya. “Lo satu-satunya orang yang bisa menenangkan gue di saat kayak gini.”
Alih-alih menjawab, Sera justru tersenyum dan menepuk punggung tangan Rafa. Ia mengangguk beberapa kali, lalu duduk di samping Rafa.
“You doing great, Raf. Gue bangga karena lo bisa bertahan sejauh ini.”
Kalimat yang baru saja Sera katakan, selalu Rafa dengar setiap kali keadaannya membaik. Dan seolah mantra ajaib, kalimat itu mempu membuat Rafa bertahan lebih lama lagi. Lebih lama dari yang bisa ia bayangkan.
Ketika langit semakin gelap dan lampu-lampu taman menyala redup membentuk bayangan samar di rumput dan bangku yang mereka duduki, Sera dan Rafa masih setia di sana. Tidak banyak kata yang keluar dari mulut keduanya. Mereka hanya mengambil momen ini sebagai kesempatan untuk bernapas dengan lega, melupakan semua ketakutan dan kekhawatiran yang terus menghantui kehidupan.
Dalam keterdiaman itu, Rafa menyeka wajahnya dengan lengan baju. “Gue kelihatan jelek banget pasti sekarang.
“Lo selalu jelek by the way,” sahut Sera pelan sambil terkekeh. “Tapi tiap kali lo habis nangis gini, gue jadi ikut ngerasa lega. ‘Ah, akhirnya sekali lagi Rafa bisa realease emosinya lagi.’ Itu selalu ada di pikiran gue. Setidaknya lo nggak memendam perasaan yang menyesakkan itu.”
“Gue nggak pernah cerita hal ini ke siapa-siapa selain lo, Ser.” Rafa berkata dengan suara lirih. “Bahkan ke psikolog yang pernah gue temui, waktu dulu gue coba konseling.”
“Kenapa?”
“Karena gue takut dianggap membesarkan sesuatu yang menurut mereka kecil. Karena gue sempat mikir, kalau kematian Kak Reyna emang salah gue.”
Sera mencondongkan tubuhnya untuk sekilas menatap pada Rafa. “Rasa bersalah itu wajar kok, Raf. Apalagi waktu itu lo terlalu muda untuk memproses apa yang terjadi. Tapi lo juga nggak bisa disalahin atas keputusan yang diambil orang lain, karena dalam keputusan itu, lo nggak pernah terlibat didalamnya. Gue tahu seberapa besar rasa sayang lo ke Kak Reyna.”
Alih-alih menjawab, Rafa justru memejamkan mata. Ia menghela napas yang begitu panjang dan berat.
“Waktu Kak Reyna meninggal, bokap langsung pulang dari luar kota. Dia mukul gue bahkan tanpa tanya gimana keadaan gue. Gimana perasaan gue setelah ngelihat Kak Rena meninggal di atas ranjangnya sendiri.”
“Dia mukul gue tanpa dengerin penjelasan gue,” lanjut Rafa. “Katanya, kalau gue sayang Kak Reyna, harusnya gue larang dia. Harusnya gue cegah, harusnya gue tahu apa yang bakalan Kak Reyna lakukan sore itu. Tapi, gimana bisa gue tahu? Gue bahkan bukan peramal.”
Lagi-lagi, Sera membiarkan Rafa mengeluarkan apa saja yang ada di dalam kepalanya. Alih-alih menyela atau memberi nasihat tidak perlu, Sera memilih untuk membiarkan seluruh luka itu mengalir keluar dari mulut Rafa dengan tenang.
“Sejak saat itu, gue menarik diri dari semua orang. Karena gue takut, kalau gue terlalu dekat dan mereka kenapa-kenapa, gue bakal disalahin lagi. Tapi, Ser, gue nggak bisa narik diri dari lo. Karena lo satu-satunya yang tahu cara menenangkan gue yang lagi kayak gini.”
Sera mengangguk pelan. “Gue ngerti, Raf. Lo boleh tetap jaga jarak. Ambil waktu sebanyak yang lo butuhkan. Tapi, lo juga harus tahu kalau sekarang bukan cuma gue yang bisa menenangkan kekhawatiran dan ketakutan yang ada di dalam kepala lo. Abimanyu, Andin dan yang lainnya bisa. Kalau gue bisa bikin lo bertahan sedikit lebih lama, mereka justru bisa bikin lo bertahan jauh lebih lama dari yang bisa lo bayangkan.”
“Gue bakalan buka diri pelan-pelan,” kata Rafa lirih, sambil memperhatikan luka-luka pada ujung jarinya.
“Lo juga harus berhenti ngopek-ngopekin jari lo!”
Mendengar itu, Rafa terkekeh. “Old habits die hard, Ser,” katanya.
Lalu, mereka terkekeh bersamaan. Di tengah obrolan itu, Rafa bersandar pada bahu Sera. Ia tidak mengharapkan apa-apa kali ini. Ia hanya ingin menemukan sandaran dalam sisa cahaya senja yang mulai habis.
Sementara itu, dari seberang taman Kirana berdiri di balik pohon ketapang. Ia tidak berniat menguping, tapi kakinya justru membawanya berhenti di tempat ini, tepat ketika Sera datang untuk menenangkan Rafa tadi. Dan hari ini, ia melihat dengan jelas bagaimana Rafa yang sering meledak-ledak, kini justru sedang terlihat begitu lemah dan rapuh.
Namun, pada akhirnya Kirana bisa mengembuskan napas lega, lalu kembali menyusuri taman kampus yang mulai sepi. Diam-diam Kirana Bersyukur, sebab Rafa memiliki seseorang untuk bersandar. Ia tahu, bahkan luka yang paling dalam pun, bisa menemukan jalan menuju cahaya, selama ada seseorang yang menemani di sisinya.