Di dekat gerbang belakang kampus, ada satu warung yang nyaris tidak pernah sepi milik seorang laki-laki bernama Mang Udin. Tidak terlalu besar, tapi cukup digemari oleh mahasiwa untuk berkumpul dan melepas penatnya kehidupan kampus. Begitu pula dengan Abimanyu dan teman-temannya. Saat ini, ia bersama Hilmy dan Jonathan duduk bertiga di sisi kanan warung itu, dengan satu laptop yang menyala di atas meja, dan tiga gelas es teh yang sudah tersisa setengah.
“Tapi intinya Pak Surya setuju, kan, sama proposal yang lo ajuin?” tanya Hilmy dengan mulutnya yang penuh dengan gorengan.
“Setuju-setuju aja, Hil.” Abimanyu menyesap es tehnya. “Tapi ya gitu. Ribet kayak biasanya. Padahal kan kita bikin proposal buat dia baca, ya? Nggak ada tuh Pak Surya niatan ke situ. Malah nanyain gue dari A sampai Z. Gue udah kayak lagi baca ulang isi proposal yang lagi dia pegang.”
“Dia emang begitu, kan? Makanya pada ngehindarin dia buat jadi dospem,” kata Jonathan sambil terkekeh. “Terus apa kata Pak Surya?”
“Ya, dia nyecar gue. Kayak— gue udah yakin soal validitas data atau belum, terus soal narsumnya. Gitu-gitu, deh, pokoknya. But at the end dia tertarik, sih, sama proyek gue.”
“Bagus, lah! Yang paling penting, tuh, Pak Surya tertarik. Terus selanjutnya gimana? Maksud gue, lo mau mulai dari mana?”
“Nah itu dia, Hil. Makanya gue minta kalian pada datang ke sini buat ngomongin itu. Sera udah jalan ke sini, baru selesai kelas. Andin sama Kirana lagi kuis katanya, jadi bakalan nyusul nanti. Rencananya, sih, gue bakal sekalian ngerekam prosesnya juga. Jadi bakalan ada footage soal kalian yang lagi nyusun tugas akhir masing-masing gitu. Nggak cuma narsumnya aja.”
“Nah, masalahnya ...” kata Abimanyu lagi, “gue belum tahu harus mulai dari footage yang basa-basi memperkenalkan kalian semua kayak kata Hilmy kemarin, atau mulai dari yang lebih personal.”
Jonathan memicing. “Personal? Misalnya?”
“Gue nggak tahu,” sahut Abimanyu sambil mengangkat bahunya. “Isi TA kita kan punya benang merah yang sama, tuh. Kayak lo yang bakalan tanya ke narasumber langsung, dan ujungnya bakal digali soal sisi psikologisnya. Kirana masuk, tuh. Terus si Sera sama Rafa relawan di rumah sakit jiwa dan ngajarin pasiennya ngegambar, kan? Mereka juga pasti ngorek soal hubungan lukisan itu sama sisi psikologis, kan? Nah, si Andin masuk—”
“Oke …” putus Hilmy. “Lo mulai bertele-tele. Intinya apa, Monyet? Yang lo mau dari sisi personal kita tuh apa?”
Jonathan terkekeh karena penjelasan Ambimanyu yang berputar-putar. “Sabar, Hil. Temen lo itu, jangan dimonyetin.”
“Ya, gue mau ngorek soal psikologis kalian dulu,” kata Abimanyu pada akhirnya. Ia menggaruk pelipisnya sebentar, sebelum kembali bersuara, “kali aja ada satu atau dua hal yang belum kalian buka dan pengen kalian ceritain di dokumenter gue.”
“Weeeettt! Udah kayak sesi konseling gratis nih, Bray,” kata Hilmy, yang lagi-lagi disambut kekehan Jonathan.
Cuaca sedang terik-teriknya, ketika Sera muncul di antara lalu-lalang mahasiswa yang berjalan di sekitar gerbang belakang. Rambutnya diikat tinggi, dan tas yang menggantung di bahu kirinya tampak dipenuhi dengan kertas-kertas yang terlipat. Sambil berjalan cepat, Sera tersenyum ke arah tiga lelaki yang sudah lebih dulu duduk di warung Mang Udin itu. Lalu Sera duduk di samping Hilmy, dan menyesap es teh miliknya tanpa permisi.
“Gila, panas banget hari ini. AC di kelas lagi mati, mana dosen gue ngoceh mulu,” katanya setelah kembali meletakkan gelas Hilmy. Dan seolah tidak memberi kesempatan teman-temannya untuk menanggapi ucapannya, Sera kembali bersuara, “Pak Damar tuh udah stress deh gue rasa. Sibuk banget dia ngoceh soal simbolik warna biru, padahal yang kita gambar tadi pohon bonsai!”
“Tinggal tambahin merah sama kuning itu mah, Ser. Udah jadi ijo pohon bonsai,” kata Jonathan sambil terkekeh. “Terus si Rafa mana?”
“Nggak ngampus. Nggak enak badan katanya.”
“Sabtu kemarin kalian di rumah sakit sampe sore banget, kan? Capek kali dia,” kata Hilmy. Alih-alih menanggapi ucapan Hilmy, Sera justru bergelut dengan segel tutup botol air mineral yang ia bawa. Dan ketika melihat Sera yang kesulitan, Hilmy mengambil botol itu, lalu membuka tutupnya sebelum akhirnya mengembalikannya pada Sera.
“Masukin footage manis-manis gini seru kali, ya?” kata Abimanyu dengan senyumnya yang mengembang. “Cinta yang tumbuh di tengah stressfull-nya menyusun tugas akhir.”
Jonathan menggeleng dengan jari telunjuknya yang bergoyang-goyang. "Cinta yang tumbuh namun tidak pernah berbunga," katanya, lalu ia tertawa bersama Abimanyu.
Telah menjadi rahasia umum, bahwa Hilmy menyukai Sera. Meski ia tidak pernah mengatakan secara gamblang, tapi siapapun tahu bahwa perlakuannya pada Sera lebih dari sekedar perlakuan seorang teman. Dan melihat bagaimana Sera tidak keberatan dengan sikap Hilmy, sepertinya perasaan lelaki itu bersambut. Namun entah mengapa, keduanya seolah enggan untuk memperjelas hubungan itu.
“Eh, iya. Gimana jadinya dokumenter itu? Udah ACC proposalnya?” tanya Sera. Ia lagi-lagi menghindari pembahasan soal hubungannya dan Hilmy.
“Nah … kita emang lagi bahas itu dari tadi, Ser. Selain wawancara narsum mantan napi, gue pengen ngerekam proses kita semua nyusun TA masing-masing. Tapi gue bingung, deh. Ini tuh mau dibikin yang formalitas aja asal ada kitanya, atau yang jauh lebih personal. Gimana menurut lo?”
Butuh beberapa detik bagi Sera untuk memproses pertanyaan Abimanyu barusan. “Personal gimana maksudnya?”
“Ya, selain bahas soal alasan kenapa lo milih topik tertentu untuk jadi bahan TA, gue juga pengen kita ngobrolin hal-hal yang lebih jauh. Soal luka yang sebelumnya nggak bisa lo bagi sama siapa-siapa, mungkin? Kita nggak bisa ngelihat luka orang lain dengan subjektif kalau kitanya sendiri masih belum selesai dengan diri sendiri, kan?”
“Terus, dua manusia ini setuju?” tanya Sera sambil menunjuk Hilmy dan Jonathan bergantian.
“Nggak,” sahut Jonathan dan Hilmy bersamaan.
Sementara Abimanyu memegangi kepalanya sambil bersandar di pungung kursi, ketiga temannya justru menertawakannya.
“Ngerekam prosesnya nggak pa-pa banget, Bim,” kata Sera di tengah sisa-sisa tawanya. “Tapi jangan masuk ranah personal gitu, lah. Lagian lo bukan anak psikologis juga, kan? Andin sama Kirana aja cari narsum yang nggak mereka kenal, lo malah coba-coba mau ngorek temen lo sendiri.”
“Ya udah. Atur, deh, atur.” Abimanyu menutup laptop, dan menandaskan sisa es teh dalam gelasnya.
Lalu di tengah kekehan yang masih tersisa, ponsel Sera bergetar di atas meja. Dan setelah mengintip sekilas, Sera memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya.
“Kenapa, Ser?” tanya Abimanyu, sebab ia menangkap perubahan pada wajah Sera.
“Biasa, dari dospem,” kata Sera setelah menghela napas panjang. “Gue belum cerita, ya, kalau gue diminta ganti judul? Nah, ini dia minta revisi judulnya sekarang.”
“Nggak bisa besok aja, Ser?” tanya Jonathan.
“Nggak bisa, keburu besok dosen itu nggak mau nemuin gue,” katanya sambil bangkit. "Gue duluan, deh."
“Ya elah. Baru juga duduk, Bu Haji,” kata Hilmy dengan nada kecewanya.
Sera menoleh sebentar dan tersenyum, sebelum akhirnya benar-benar beranjak meninggalkan warung Mang Udin. Namun, alih-alih menuju ruang dosen, Sera justru mengubah arah kakinya menuju area parkir. Ponselnya kembali bergetar ketika Sera mulai menyalakan mesin motornya. Kali ini, Sera tidak membaca pesan itu. Ia tahu betul, bahwa satu-satunya orang yang mengirimkan pesan dan membuat jantung Sera berdegub berkali-kali lipat lebih cepat adalah … Rafa!
Ia membelah padatnya jalan protokol pada jam-jam makan siang seperti ini, dengan perasaan yang sepenuhnya sesak. Dan ketika lampu di depan berubah menjadi merah, Sera segera mengeluarkan ponselnya. Sekali lagi, Sera membuka pesan yang dikirimkan oleh Rafa.
[Ser, rasanya sesak banget. Katanya dia pengen gue menghilang aja.]
Sera segera mencari nomor Rafa untuk menghubunginya. Namun, tidak peduli berapa kali pun nada sambung berdering, Rafa tetap tidak menjawab panggilan teleponnya. Maka dengan kekuatan penuh, Sera segera menarik gasnya ketika lampu telah berubah hijau.
Hal pertama yang Sera pikirkan ketika ia sampai di rumah Rafa adalah rumah ini selalu sepi. Dua pilar besar yang berdiri kokoh di beranda, pohon-pohon yang berjajar rapi di halaman, dan sebuah garasi yang cukup luas di samping rumah dengan dua mobil berjajar, bahkan tidak mampu membuat Sera ingin tinggal di dalamnya.
Seorang wanita paruh baya membuka pintu, setelah Sera menekan bel berkali-kali dengan tidak sabar. Tanpa berbasa-basi pada wanita yang bekerja di rumah Rafa itu, Sera berjalan cepat menuju tangga. Dengan langkah tergesa, Sera bergerak menuju kamar Rafa. Namun, kosong. Rafa tidak ada di sana. Sambil menggigit kuku jari jempolnya, Sera kembali berjalan cepat menuju ruangan yang berada di samping kamar Rafa. Lalu ketika akhirnya Sera membuka pintu kamar itu, ia menghela napas lega dan berjalan perlahan ke arah Rafa yang sedang duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Sera berjongkok di hadapan Rafa, lalu memeluk lelaki itu tanpa mengatakan apa-apa.
Ruangan itu diliputi keheningan. Mereka bahkan bisa mendengar suara detak jantung masing-masing. Hingga beberapa saat setelah Sera melonggarkan pelukannya, Rafa mengangkat kepalanya perlahan.
Ia tersenyum pada Sera, sebelum akhirnya berkata dengan suara lirih, “Gue udah berusaha buat nahan, Ser. Tapi gue nggak bisa, padahal gue udah janji sama lo buat nggak ngelakuin itu lagi.”
Sera menarik tangan kanan Rafa, dan menemukan beberapa luka dengan darah yang mulai mengering di bagian lengannya. Lalu seolah sudah terbiasa, Sera mengambil kotak obat untuk membersihkan luka pada tangan Rafa dan memberinya obat oles.
“Lo mimpiin dia lagi?” tanya Sera pelan, sambil terus mengobati luka pada lengan Rafa.
Sementara di hadapannya, Rafa mengangguk lemah. “Dua hari terakhir, dia datang terus ke mimpi gue.” Rafa menghela napas sambil terus memandangi sebuah lukisan bergambar laut dalam, dengan warna biru yang sangat gelap.
“Gue boleh nangis sekali aja nggak, sih? Kata Papa, cowok nangis tuh bikin malu.” Rafa terkekeh pelan, dengan suara yang begitu hampa. “Tapi gue capek, Ser. Gue capek terlihat baik-baik aja. Gimana kalau Hilmy, Jonathan, Abim, dan yang lainnya tahu soal gue yang begini? Nggak ada yang mau berteman sama orang gila kan, Ser?”
“Lo nggak gila,” kata Sera ketus. Ia telah memasang plester pada luka Rafa. Untungnya, kali ini Rafa tidak melukai tangannya terlalu dalam. “Udah berapa kali gue bilang kalau lo boleh nangis? Sejak kapan nangis dibatasi gender? Lo tuh—”
Sera menghela napas panjang, hingga matanya mulai berkaca-kaca. “Lo tuh udah nggak anggep gue ada, ya? Lo udah nggak anggep gue temen lo? Gue udah bilang buat keluarin apapun yang ada di pikiran lo, kan?”
“Sorry,” kata Rafa lemah. Ia memajukan kepala, lalu menyandarkannya pada bahu Sera. “Di kepala gue terlalu riuh. Dan gue nggak tahu harus keluarin dari mana dulu.”
Untuk beberapa saat, keheningan kembali menyelimuti mereka. Sera mengusap tengkuk Rafa perlahan, berharap bahwa usapan itu mampu memberinya ketenangan.
“Makasih karena masih bisa ngontrol diri lo, Raf. Lo hebat ... makasih.”
Mendengar itu, Rafa kembali mengangkat kepalanya. Ia menatap Sera dengan pendar mata yang begitu redup. “Lo nggak akan tinggalin gue kan, Ser? Gue tahu kalau lo punya hidup sendiri dan nggak bisa seterusnya ada di samping gue kayak gini. Tapi untuk sekarang, boleh gue minta lo nggak pergi kemana-mana?”
Sera tersenyum tipis. Terlalu tipis untuk Rafa menyadari senyuman itu. Lalu, ia mengangguk pelan.