Abimanyu menatap layar laptopnya yang masih kosong. Kursornya berkedip-kedip, seolah menunggu jawaban yang Abimanyu sendiri belum tahu seperti apa bentuknya. Sudah satu jam ia duduk di sini. Americano di hadapannya, pun, telah tandas. Namun, seolah mengalami gagal fungsi, otak Abimanyu masih sama kosongnya dengan lembar dokumen yang berada di layar laptop. Ia belum tahu proyek apa yang harus ia kerjakan untuk tugas akhirnya nanti.
“Satu matcha latte with vanilla ice cream. Siapa tahu bisa bikin otak kamu jadi lancar.”
Abimanyu tersenyum ketika Andin meletakkan segelas matcha di meja. Sambil memperhatikan Andin yang kini duduk di hadapannya dan menyesap segelas kopi, diam-diam Abimanyu mencoba untuk mengingat kembali alasan mengapa dirinya mencintai gadis itu. Di tahun pertama masa kuliahnya, Abimanyu mengikuti kegiatan volunteer di salah satu panti jompo. Lalu, ia bertemu Andin yang juga mengikuti kegiatan itu. Ia jatuh cinta pada cara Andin menghibur para lansia, pada bagaimana Andin berbicara, juga pada rasa makanan yang Andin masak untuk seluruh penghuni panti jompo itu. Seolah telah tersihir oleh cara Andin bersikap, Abimanyu memberanikan diri untuk mengajaknya berkenalan, dan dari sana ia mengetahui bahwa mereka berada di satu kampus yang sama.
Setelah beberapa bulan mengenal Andin, Abimanyu menyadari bahwa ia adalah gadis yang sangat mudah untuk dicintai. Andin adalah gadis baik— salah satu alasan klasik mengapa manusia bisa jatuh cinta. Namun, semakin lama Abimanyu tahu bahwa Andin lebih dari sekedar gadis baik. Seumpama sebuah novel, Andin adalah tokoh utama wanita yang dibuat dengan begitu sempurna oleh penulisnya. Meski seiring berjalannya waktu, Abimanyu mengetahui bahwa dibalik sikap baik dan ramahnya, Andin menyimpan kerapuhan yang tidak ingin disentuh oleh orang lain, termasuk oleh Abimanyu sendiri— orang yang telah ia pilih untuk dicintai.
“Pak Surya nggak kasih masukan apa-apa gitu, Bi? Kali aja dia kasih kamu ide. Dia, kan, sayang banget sama kamu,” kata Andin. Gadis itu terkekeh di ujung kalimatnya.
“Dia kasih saran untuk bikin dokumenter, sih, Din. Aku kepikiran buat ngerekam kehidupan mahasiswa akhir gitu. Biar pada tahu betapa stressfull-nya nyusun tugas akhir. Tapi, kok, makin aku pikirin jadi makin nggak menarik, ya? Aku butuh sesuatu yang lebih nendang.”
“Kemarin tuh Kirana bilang mau studi lapangan sama si Jonathan, Bi. Mau wawancara mantan napi gitu. Coba, deh, kamu ngobrol sama dia. Siapa tahu bisa jadi premis, kan? ‘Untold story: Luka Dibalik Topeng Iblis’, misalnya?” Lagi-lagi, Andin terkekeh. “Ngaco, ya, aku?”
“Nggak ngaco, justru keren banget. Aku nggak kepikiran kesitu.” Abimanyu tersenyum sambil mengaduk minumannya. “Tapi ngapain Kirana studi lapangan bareng Jonathan? Jurusan mereka, kan, beda?”
“Kirana juga lagi nyusun tugas akhir. Studi kualitatif soal aspek psikologis remaja pelaku kejahatan gitu, Bi. Nah, berhubung Jonathan lagi penelitian juga, jadi mereka barengan, tuh." Andin mendekat pada Abimanyu, kemudian ia berbisik, "Salah satu keuntungan dekat sama anak kriminologi.”
Abimanyu terkekeh sebentar, sebelum akhirnya menghela napas panjang dan menutup laptopnya. “Nanti coba aku obrolin, deh. Kali aja aku bisa sekalian dokumentasiin.”
“Nah, tuh, pada datang,” kata Andin, sambil menunjuk pintu masuk dengan dagunya. “Obrolin aja langsung.”
“Hai, hai! Udah lama, Bim? Sorry, gue ada kuis barusan. Capek banget, deh! Pengen cepet lulus, tapi nggak mau skripsian.” Sera duduk di samping Andin dan langsung berbicara panjang lebar. Sementara di belakangnya, ada Rafa, Hilmy, Kirana, dan Jonathan yang juga ikut datang ke kafe itu.
“Yeeuuu, semua juga mau lulus nggak pake capek-capek nyusun skripsi, Ser. Nggak lo doang,” kata Rafa yang kini bersandar di punggung kursi.
“Ini kalian kenapa bisa datang barengan kayak lagi mau demo gini, deh?” tanya Andin.
“Gue sama Sera kan emang udah kayak pinang dibelah dua, meskipun satu-satunya yang sama dari kita cuma jurusan. Jonathan tadi nemenin Kirana ke perpus dulu. Nih barudak Bandung satu nggak tahu, deh. Pas gue sama Sera keluar, dia udah ada di depan kelas.”
Sementara yang disebut barudak Bandung oleh Rafa justru tersenyum sambil memamerkan barisan giginya. “Gue, mah, setia sama ayang Sera. Iya, nggak, Ser?” Dia adalah Hilmy, salah satu teman Abimanyu yang paling usil.
“Minimal jadian, lah, Hil. Keburu diserobot orang,” kata Jonathan, yang kemudian disambut kekehan oleh seluruh orang yang berada di meja itu.
“Ngaca nggak, sih, Jo? Si Kirana aja masih lo anggurin.” Kali ini Abimanyu yang bersuara.
“Jangan pada bikin keributan di kafe orang lah lo semua!” Sera memotong pembicaraan mereka, untuk mengalihkan arah pembahasan. “By the way, Din, lo nggak bikin acara buat opening gitu? Ini kafe yang lo kerjain sama sepupu lo beberapa waktu belakangan, kan?”
Andin mengangguk. “Nanti gue bikin. Sepupu gue masih sibuk, Ser. Lagian ini belum resmi dibuka, kok. Gue masih riset menu-menunya juga.”
“Hebat banget lagi pusing sama tugas akhir masih kepikiran buat buka kafe,” kata Kirana sambil mencebik.
“Eh, ngomong-ngomong tugas akhir, Abim mau tanya soal studi lapangan lo sama si Jo, Ran,” kata Andin.
“Kenapa, kenapa? Lo mau ngikut, Bim?”
Abimanyu mengangguk antusias. “Gue mau bikin dokumenter, deh, kayaknya. Berhubung belum dapet premis, kayaknya penelitian lo sama Jo bakal menarik. Belum ada, kan, anak film yang collab sama anak psikologi dan kriminologi?” katanya, lalu Abimanyu tersenyum lebar seolah bangga dengan gagasan yang sebenarnya muncul dari hasil pemikiran Andin.
“Mau sekalian ambil footage di rumah sakit jiwa, nggak, Bim?” tanya Sera. “Gue sama Rafa belakangan ini lagi rajin datengin salah satu rumah sakit, ngajarin beberapa pasien buat ngelukis.”
“Bahan penelitian lo sama Rafa, Ser?” tanya Hilmy.
Sera menggeleng pelan. “Ada salah satu kenalan kita yang nawarin buat jadi relawan gitu, ngajarin beberapa pasien buat ngelukis. Karena ngelukis bisa bantu pemulihan mereka. Jadi gue sama Rafa dengan senang hati nerima tawaran itu. Kalau lo mau, Bim, gue bisa bilangin sama kenalan kita itu."
"Mau, lah, gue! Tolong bilangin, ya. Gue traktir mie ayam Mas Bro sebulan penuh, deh!" kata Abimanyu, sementara Sera hanya terkekeh.
“Nah, Andin bisa masuk, tuh,” sela Jonathan. “Kapan lagi ada anak seni yang collab sama anak psikologi?”
“Plus anak film,” kata Abimanyu, yang kemudian disambut kekehan oleh teman-temannya.
“Iya, ya.” Kali ini Andin yang menyahut. “Sejujurnya gue juga belum kepikiran tugas akhir bakalan gimana, padahal Bu Meida udah ngejar-ngejar banget karena Kirana udah mulai ajuin proposal.”
“Tega banget bahas TA di depan mahasiswa yang masih kurang tiga SKS,” sela Hilmy, yang kemudian disambut suara tawa teman-temannya. “Lo nggak ada niatan keluarin minuman apa gitu buat kita, Din? Kering banget tenggorokan gue.”
Setelah tawanya mereda, Andin berdiri dari kursinya dan beranjak menuju mesin espresso. Beberapa waktu belakangan, kekasih Abimanyu itu sibuk mempersiapkan pembukaan kafe yang ia garap bersama sepupunya. Selain telah menjadi keinginan Andin sejak lama, kafe ini dibuka untuk menjadi tempat teman-teman seperjuangannya untuk mengalihkan beban pikiran mereka dari tugas-tugas yang tidak ada habisnya.
“Gimana, Bim?” tanya Jonathan. “Jadinya mau barengan aja ini nyusun tugas akhirnya?”
“Kayaknya gitu, deh. Andin bisa masuk, tuh, sama kegiatan Rafa dan Sera di rumah sakit. Kirana juga bisa masuk ke penelitian Jonathan, kan? Nah, gue bagian dokumentasiin semuanya. Nanti gue pikirin premis yang bisa nyambung sama tema tugas akhir kalian.”
“Ya udah, mau mulai kapan? Butuh footage yang isinya kita-kita nggak, sih, lo? Setidaknya buat memperkenalkan siapa aja yang bakal terlibat di dokumenter lo nanti,” kata Hilmy.
“Bener! Nanti malem gue kirim premis dan konsepnya, ya. Senin depan gue mulai ambil footage.”
Di tengah aroma kopi yang memenuhi ruangan itu, mereka saling berbagi ide untuk tugas masing-masing. Mereka tidak pernah tahu, bahwa tugas akhir yang akan mereka kerjakan, akan menjadi sesuatu yang lebih besar. Ini akan menjadi jalan mereka untuk kembali mengenal satu sama lain, dan membuka satu per satu luka milik masing-masing ….