Aku pernah jadi orang yang sok serius.
Percaya, itu adalah masa-masa paling membosankan dalam hidupku.
Bayangin aja, aku berusaha keliatan cool di tongkrongan. Duduk nyandar, tangan di saku, jawab pertanyaan cuma pakai anggukan, dan ekspresi wajah yang kayak baru abis ditolak KPR.
Tapi apa hasilnya?
Aku malah dikira lagi sakit perut atau baru abis dimarahin emak.
Akhirnya aku sadar: jadi lucu itu bukan cuma kepribadian. Itu cara bertahan.
Dari kecil, aku nggak pernah jadi yang paling pinter.
Nggak juga jadi yang paling cantik, paling sporty, apalagi paling populer.
Tapi aku punya satu senjata: aku bisa bikin orang ketawa.
Kalau guru lagi marah dan kelas tegang, aku lempar satu jokes receh soal penghapus yang hilang kayak mantan.
Kalau temen nangis karena diputusin, aku datang bawa es krim dan ngebanyol soal cowoknya yang mirip kipas angin, bisa muter ke mana-mana tapi nggak punya arah.
Aku nggak tahu kenapa, tapi bikin orang ketawa itu bikin aku juga ngerasa… hidup.
Waktu remaja, hidupku bukan drama Korea, tapi lebih kayak sinetron stripping yang dialognya suka diulang-ulang.
Aku sering ngerasa sendirian, sering ngerasa aneh sendiri.
Tapi satu hal yang bikin aku tetap kuat adalah: humor.
Bukan karena hidupku lucu.
Tapi karena kalau aku nggak ketawa, aku bisa meledak.
Pernah suatu malam aku ngerasa sedih banget.
Tugas numpuk.
Masalah keluarga bikin sesak.
Dan seseorang yang aku suka tiba-tiba jadian sama orang lain (yang, jujur aja, rambutnya kayak sapu ijuk tapi dia tetap menang).
Di momen itu, aku ngaca dan bilang:
“Oke, kamu nggak punya siapa-siapa sekarang. Tapi kamu punya satu hal… kamu bisa ngejek dirimu sendiri dan ketawa.”
Dan aku beneran ketawa. Di antara air mata, aku ketawa karena nyadar: hidupku kayak sitkom, tapi penontonnya aku sendiri.
Aku tahu orang suka bilang,
“Kenapa sih kamu bercanda terus? Nggak bisa serius gitu?”
Well, bukan aku nggak bisa serius.
Tapi kalau aku serius terus, bisa-bisa aku tenggelam dalam segala beban yang aku pikul.
Karena apa?
Kadang jadi lucu itu bukan soal hiburan, tapi mekanisme pertahanan.
Itu cara aku bilang,
“Aku tahu hidup ini berat. Tapi selama aku bisa ketawa, aku masih bertahan.”
Humor itu aneh.
Kadang jadi jembatan.
Kadang jadi tameng.
Aku pernah pakai humor buat nutupin rasa tidak aman.
Pernah pakai buat ngeledek diri biar orang lain nggak keburu ngejek duluan.
Pernah juga pakai buat ngelem mood ruangan yang hancur kayak kerupuk jatuh ke rendaman teh.
Tapi di balik itu semua, ada satu kebenaran yang aku pegang:
ketawa itu menyelamatkanku.
Pernah aku ikut seminar pengembangan diri (yang tiketnya hasil patungan sama teman karena mahal banget).
Di situ, motivator bilang dengan semangat:
“Kita harus jadi versi terbaik diri kita. Bukan yang paling lucu!”
Dan aku sempat mikir:
Jadi... lucu bukan versi terbaik?
Tapi pulang dari sana, aku sadar.
Versi terbaik diriku adalah yang bisa bertahan tanpa kehilangan tawa.
Karena versi itu bukan yang selalu serius, tapi yang tetap bisa melihat cahaya walau hari-hari gelap.
Aku nggak bilang semua orang harus lucu.
Tapi buatku, kelucuan itu penyelamat.
Bukan cuma di tongkrongan, tapi juga di hati sendiri.
Saat dunia sibuk nunjuk-nunjuk kamu dan bilang kamu harus sukses, harus cantik, harus keren,
aku jawab dengan bercanda:
“Maaf, aku lagi sibuk jadi manusia. Itu aja udah cukup ribet.”
Kadang, lucu itu bentuk protes halus.
Bentuk kasih sayang ke diri sendiri.
Bentuk pelukan dalam bentuk lelucon.
Dan lucu itu nggak selalu receh.
Kadang menyimpan air mata yang belum tumpah.
Aku pernah duduk di kamar, scroll medsos sambil ketawa lihat meme, tapi di dalam hati ada yang ngilu.
Tapi, ketawa itu bikin aku nggak tenggelam.
Bikin aku bisa bilang ke diri sendiri:
“Yuk, satu hari lagi. Nanti juga lucu lagi.”
Kamu tahu nggak, yang paling menyentuh bukan orang yang bisa serius, tapi orang yang bisa tetap lucu meski lagi rapuh.
Dan itu bukan berarti munafik.
Itu artinya… kita sedang belajar bertahan dengan cara kita sendiri.
Aku tahu, nggak semua orang ngerti.
Ada yang bilang, “Ah kamu mah kayak nggak pernah punya masalah!”
Tapi mereka nggak tahu, bikin orang lain ketawa itu kadang cara kita nyembuhin diri sendiri.
Humor bukan pelarian.
Buatku, itu adalah perahu.
Kalau hidup ini laut yang penuh badai, maka lelucon adalah dayung yang aku pakai buat terus bergerak.
Kadang dayungnya patah.
Kadang perahunya bocor.
Tapi selama aku bisa nemu satu hal aja yang bisa bikin senyum… aku tahu, aku masih jalan.
Aku tahu, ada hari-hari di mana aku ngerasa gagal.
Nggak jadi apa-apa.
Nggak sesuai ekspektasi siapa pun.
Tapi ketika aku bikin satu orang tertawa, bahkan cuma satu, aku ngerasa jadi berguna.
Karena dunia ini terlalu banyak tangisan.
Terlalu banyak tekanan.
Kalau aku bisa jadi satu titik kecil yang bikin ringan, kenapa nggak?
Aku inget waktu salah satu temanku cerita kalau dia pernah depresi, dan katanya,
“Salah satu hal yang bikin aku bertahan adalah chat lucumu yang nyebelin itu. Yang kamu kirim tiap pagi kayak motivasi dari warung kopi.”
Aku kaget.
Karena buatku itu cuma guyonan ringan.
Tapi buat dia, itu cahaya kecil.
Dan saat itu aku tahu,
“Oh, mungkin jadi lucu bukan cuma buatku. Tapi buat orang lain juga.”
Jadi lucu itu bukan kelemahan.
Bukan tanda kamu nggak serius soal hidup.
Justru itu bukti kamu sayang sama hidup ini, cukup sayang sampai kamu bisa bercanda tentangnya.
Dan kamu tahu?
Kadang hidup butuh dipeluk… tapi kadang juga cukup diketawain bareng-bareng.
Hari ini, mungkin aku masih belum jadi siapa-siapa.
Masih bingung arah.
Masih suka takut.
Masih suka ngerasa sendiri.
Tapi selama aku masih bisa ketawa, bahkan meski itu cuma tawa kecil di tengah malam—aku tahu aku belum kalah.
Karena di dunia yang serius banget ini,
jadi orang lucu itu bentuk keberanian.
Dan aku bangga dengan itu.
Jadi kalau kamu tanya, “Kenapa sih kamu selalu berusaha lucu?”
Jawabanku sederhana:
Karena itu cara terbaikku bertahan hidup.
Karena di balik ketawa itu, aku ngajak diriku sendiri buat nggak nyerah.
Dan kalau bisa, ngajak kamu juga.