Kalau ada lomba “Manusia Paling Bingung Se-Nusantara”, aku nggak yakin menang.
Bukan karena aku nggak bingung, tapi karena... aku bingung mau daftar atau nggak.
Begitulah hidupku. Selalu berada di antara dua pilihan. Dan kadang dua-duanya sama-sama nggak jelas.
Pagi-pagi udah bingung: mau lanjut tidur atau bangun biar keliatan produktif di mata semesta.
Sarapan juga bingung: nasi uduk atau nggak makan aja sekalian biar diet.
(ending-nya: makan nasi uduk dan nyesel tapi bahagia.)
Pas kerja: bingung mau mulai dari mana. Begitu udah mulai, bingung kenapa tadi mulai. Pas udah kelamaan, bingung kenapa belum selesai juga.
Konsisten banget kan?
Iya.
Konsisten... bingung.
Kadang aku mikir, kenapa ya hidup ini nggak ada tutorial mode-nya?
Kenapa kita nggak dikasih petunjuk arah, kayak:
“Belok kiri kalau kamu mau bahagia.”
“Jangan hubungi dia lagi, itu jebakan.”
“Ini bukan overthinking, ini intuisi. Percayalah.”
Tapi nggak, hidup kita justru kayak disuruh main game open world yang map-nya masih ketutup semua.
Dan kita cuma dikasih satu alat: kebingungan.
Tapi lama-lama aku sadar juga.
Mungkin, justru karena sering bingung,
aku jadi lebih... hati-hati.
Aku nggak asal lari ke tujuan, karena aku bahkan nggak yakin tujuan itu bener buatku.
Aku nggak gampang percaya sama “jalan tercepat”,
karena sering kali yang cepat itu malah bikin nyasar.
Dan yang paling penting, karena sering bingung, aku belajar buat nanya. Dan dari pertanyaan-pertanyaan itu, aku pelan-pelan nemu jawaban—walau seringnya beda dari yang aku harapkan.
Temenku pernah bilang: “Kamu tuh terlalu banyak mikir sih, makanya bingung terus.”
Aku jawab, “Kalau aku nggak mikir, nanti kamu bilang aku nggak punya arah.”
Dan begitulah aku. Selalu di antara “terlalu ini” dan “kurang itu”.
Dan makin dicoba buat sesuai ekspektasi orang, makin bingung juga mau jadi siapa sebenarnya.
Aku pernah nanya ke diri sendiri: “Kenapa sih aku nggak bisa konsisten kayak orang lain?”
Yang tiap pagi udah olahraga. Yang rutinitasnya rapi, yang jawab chat cepat, dan story Instagram-nya selalu motivational.
Sementara aku?
Kadang balas chat seminggu kemudian.
Kadang lupa mandi tapi inget update lagu di playlist.
Tapi kemudian aku mikir:
mungkin konsistensi versiku bukan di hal-hal itu.
Mungkin konsistensiku… ya, kebingungan ini.
Dan anehnya, aku mulai nerima itu.
Karena setelah dipikir-pikir, kebingungan juga bagian dari proses. Nggak mungkin kita ngerti segalanya sekaligus. Dan nggak apa-apa kalau kita butuh waktu lebih lama.
Aku inget banget waktu usia 17-an,
aku nulis di jurnal: “Tahun depan aku harus udah tahu mau jadi apa.”
Sekarang?
Usiaku udah dua kali lipatnya.
Dan jawabannya masih: “Aku juga belum tahu.”
Tapi yang berubah adalah... kalau dulu aku panik karena belum tahu,
sekarang aku bisa senyum dan bilang,
“Ya nggak apa-apa sih, hidup juga bukan soal cepet-cepetan tahu.”
Kebingungan itu seperti jalan berkabut. Nggak bisa lihat ujungnya, tapi kamu tetap bisa melangkah pelan-pelan.
Dan kadang, justru karena kabut itu, kita jadi lebih memperhatikan langkah,
lebih peka sama sekitar,
dan lebih sabar nunggu terang.
Jadi, jangan buru-buru nyalahin diri sendiri kalau kamu bingung.
Mungkin kamu lagi diajarin buat... percaya.
Ada masa di hidupku di mana aku capek sama kebingunganku sendiri.
Capek karena ngerasa nggak pernah pasti.
Capek karena kayaknya semua orang punya tujuan hidup,
sementara aku masih sibuk nanya:
“Aku harus kemana ya?”
Tapi dari situ aku belajar satu hal: nggak tahu arah bukan berarti kamu tersesat.
Kadang kamu cuma... belum sampai aja.
Dan satu-satunya cara buat tahu, ya dengan terus jalan. Meski kadang arahnya belok, meski kadang harus istirahat dulu.
Aku juga pernah ngerasa minder. Karena teman-temanku terlihat lebih stabil.
Mereka tahu mereka mau jadi apa.
Mereka punya rencana lima tahun ke depan.
Sementara aku masih bingung besok sarapan apa.
Tapi kemudian aku sadar, setiap orang punya waktu masing-masing.
Dan nggak semua orang harus punya blueprint hidup yang rapi.
Beberapa orang, kayak aku, hidupnya lebih kayak doodle di pinggir kertas:
acak, random, tapi... tetap punya makna.
Suatu malam, aku duduk sendiri di kamar.
Lagi-lagi mikir soal hidup.
Soal karier, soal cinta, soal masa depan.
Dan tiba-tiba, aku ketawa sendiri.
Bukan karena nemu jawaban,
tapi karena sadar:
“Ya ampun, dari dulu sampai sekarang, isinya mikir mulu. Tapi tetap aja nggak jelas.”
Tapi kemudian aku peluk diri sendiri.
Dan bilang pelan:
“Nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak berhenti.”
Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Sekarang, aku masih sering bingung.
Kadang bingung kenapa aku gampang nangis pas lihat video anak ayam.
Kadang bingung kenapa aku suka banget nyium bantal sendiri.
Kadang bingung kenapa perasaan bisa berubah secepat itu.
Tapi aku udah berhenti nyalahin kebingungan itu.
Karena ternyata, di antara semua yang nggak pasti,
kebingunganku justru ngasih ruang buat jadi manusia.
Manusia yang mikir, yang ragu, yang mencoba, dan yang terus tumbuh meski jalannya zig-zag.
Jadi, kalau kamu juga ngerasa bingung, mau jadi apa, mau ke mana, mau ngelanjutin atau berhenti...
aku cuma mau bilang: Itu wajar. Kamu nggak salah. Dan kamu nggak sendirian.
Yang penting, terus jalan.
Sekecil apa pun langkahmu,
itu tetap gerakan.
Dan kalau suatu hari kamu nemu jawabannya,
peluk dirimu yang dulu pernah bingung itu.
Ucapin terima kasih.
Karena justru dia versi bingungmu itulah yang nyeret kamu sampai sini.
Mungkin hidup kita nggak harus jelas dari awal.
Mungkin yang penting bukan “punya arah”,
tapi berani nyari tahu dan terus bergerak, meski lambat.
Dan sampai kapan pun aku bingung,
aku akan tetap bilang ke diri sendiri:
“Yang penting kamu nggak pura-pura paham.
Bingung itu jujur.
Dan jujur itu... keren.”