Dari kecil, kita diajari soal “jadi yang terbaik”.
Nilai harus bagus.
Penampilan harus rapi.
Sikap harus sopan.
Emosi harus stabil.
Dan hidup, katanya, harus sesuai standar umum yang entah siapa yang bikin.
Tapi tidak pernah ada pelajaran tentang…
cara menerima diri sendiri saat tidak memenuhi semua standar itu.
Jadi begini, aku mau cerita sedikit.
Waktu SD, aku pernah dapet nilai 5 di pelajaran Matematika. Bukan karena aku nggak belajar, tapi karena aku jujur. Iya, jujur nggak nyontek.
Temenku bilang, “Lain kali conteklah dikit, masa nggak lulus-lulus.”
Aku cuma senyum pahit. Katanya nilai lima itu gagal. Padahal bagiku itu keberhasilan:
berhasil bertahan dari godaan menyontek.
Tapi siapa yang peduli?
Yang dilihat cuma angkanya.
Sejak saat itu, aku sadar, dunia lebih suka “hasil sempurna” daripada “niat tulus dan usaha nyata.”
Dari SMP sampai sekarang, aku bolak-balik berusaha jadi versi terbaik dari yang dunia mau.
Yang nilainya bagus. Yang nggak banyak ngeluh. Yang bisa diajak ngobrol semua orang. Yang kalau gagal, harus cepat bangkit, karena kalau sedih kelamaan dibilangnya "drama".
Lama-lama aku capek. Capek karena ternyata "sempurna" itu kayak level game yang nggak pernah bisa tamat.
Selesai satu misi, muncul misi lain.
Dan tiap kali gagal, rasanya kayak...
“Duh, aku kurang apa lagi, sih?”
Lalu datang momen epik dalam hidupku: aku berhenti ngejar jadi sempurna.
Serius. Itu bukan karena aku nyerah, tapi karena aku sadar:
aku nggak lahir buat jadi karakter utama drama Korea yang flawless.
Aku tuh tokoh pendukung yang suka ngelucu, kadang ketiduran pas meeting,
dan pernah lupa bawa dompet ke minimarket tapi tetep antri sampe kasir.
(Kacau? Iya. Tapi lucu juga kalau diingat.)
Dan kamu tahu apa yang paling membebaskan?
Saat aku berhenti minta diri sendiri buat jadi seperti template manusia ideal.
Sekarang aku lebih sering bilang ke diri sendiri: “Kamu mungkin nggak sempurna, tapi kamu nyata.”
“Kamu mungkin nggak selalu kuat, tapi kamu jujur.”
“Kamu mungkin nggak populer, tapi kamu tulus.”
Dan lucunya, setelah berhenti berusaha jadi sempurna, aku malah ngerasa... lebih hidup. Bukan berarti aku jadi males berkembang ya. Tapi aku belajar buat berkembang tanpa membenci versi diriku yang sekarang.
Aku belajar sayang sama prosesku yang lambat. Aku belajar terima kalau kadang aku bosen, nggak konsisten, atau mood swing. Karena hidup bukan lomba siapa yang paling “stabil dan disiplin setiap saat”. Hidup tuh soal jalanin peran yang paling sesuai buat diri sendiri. Dan peran aku ya… jadi aku.
Yang absurd, lucu, gampang panik tapi cepet ketawa.
Pernah suatu hari, temanku bilang gini:
“Kamu tuh unik banget, tapi nggak semua orang ngerti kamu.”
Aku jawab santai, “Yah, aku juga nggak ngerti semua orang, jadi fair aja, kan?”
Kita tuh kadang terlalu sibuk pengin dipahami, sampai lupa bahwa nggak semua orang harus ngerti jalan pikiran kita
selama kita nggak nyakitin siapa-siapa dan jujur sama diri sendiri.
Dan di situlah aku ngerasa: “Oh, mungkin ini ya... bentuk kelulusan hidup: bukan jadi sempurna, tapi jadi versi paling jujur dari diri sendiri.”
Aku juga belajar bahwa gagal itu bukan musuh. Gagal itu bagian dari kurikulum kehidupan.
Kadang lucu juga. Dulu pas gagal move on, aku nyalahin hati sendiri. Padahal dia cuma belum siap. Dan itu bukan kesalahan, itu bentuk pertahanan. Gagal bukan bukti kamu lemah. Kadang gagal itu bukti kamu masih mau nyoba.
Dan bukankah itu... keren?
Dulu, tiap lihat orang lain lebih sukses, lebih glowing, lebih stabil...
aku suka ngerasa:
“Kapan ya aku bisa kayak gitu?”
Sekarang?
Masih kadang ngerasa gitu.
Tapi bedanya, sekarang aku bilang ke diri sendiri:
“Ya udah, kamu nggak harus kayak dia. Kamu cukup jadi kamu.”
Dan meskipun kayaknya simple,
itu butuh latihan, loh.
Latihan buat ngomong hal baik ke diri sendiri.
Latihan buat nggak banding-bandingin hidup.
Latihan buat sadar:
"Aku nggak lulus jadi sempurna, tapi aku lulus jadi aku."
Sempurna itu kayak ukuran baju:
nggak ada satu ukuran yang pas buat semua orang.
Bisa jadi versi sempurna orang lain itu kamu lihatnya keren,
tapi buat dia sendiri… bisa jadi itu penuh tekanan.
Makanya, daripada ngejar “sempurna”,
aku lebih pilih ngejar "otentik."
Karena dunia ini udah kebanyakan orang yang pura-pura.
Aku nggak pengin nambahin.
Di tengah semua kegagalan dan kekacauan hidup,
aku bersyukur...
masih bisa ketawa.
Karena itu artinya, aku belum kehilangan sisi terbaikku:
humor dan harapan.
Aku percaya, orang yang bisa ngetawain hidupnya sendiri itu—meski berantakan—adalah orang yang kuat.
Kuat bukan karena nggak pernah jatuh, tapi karena selalu nemu alasan buat bangkit… entah itu karena pengin makan mie ayam, atau karena pengin buktiin ke diri sendiri, bahwa kita pantas buat merasa cukup.
Kalau kamu baca ini dan merasa kamu juga nggak pernah lulus jadi sempurna,
tenang… kamu nggak sendirian.
Kamu mungkin gagal, tapi kamu nggak hilang.
Kamu mungkin lelah, tapi kamu tetap bertahan.
Kamu mungkin nggak sesuai ekspektasi siapa-siapa,
tapi kamu hidup sesuai jiwamu sendiri.
Dan menurutku, itu...
adalah kelulusan terbaik dalam hidup.
Sekarang, aku nggak nargetin jadi yang paling hebat.
Aku cuma pengin jadi versi aku yang paling jujur.
Yang tahu kapan harus diam,
kapan harus melawan,
dan kapan harus tidur biar nggak overthinking.
Karena kadang bentuk pencapaian terbaik itu bukan piala atau gelar,
tapi perasaan tenang saat kamu bisa duduk sendirian...
dan merasa cukup jadi diri sendiri.
Jadi buat kamu yang lagi ngerasa nggak cukup hebat,
nggak cukup pintar,
nggak cukup rajin...
Mungkin kamu cuma lupa,
bahwa dunia ini nggak butuh kamu jadi sempurna.
Dunia cuma butuh kamu jadi real.
Dan kamu, dengan segala versimu yang naik turun ini,
udah lebih dari cukup.
Karena meskipun kamu nggak pernah lulus jadi sempurna,
kamu tetap bisa lulus jadi diri sendiri.
Dan itu... kelulusan yang layak dirayakan.
Dengan secangkir kopi, playlist favorit, dan bisikan ke diri sendiri:
“Good job, kamu sudah sampai sejauh ini.”