Dulu waktu kecil, aku punya mimpi mulia:jadi orang keren.
Yang jalannya tenang.
Ngomongnya selalu pas.
Pakaiannya selalu matching.
Dan kalau lewat, semua orang bilang,
“Wih, itu dia tuh, keren banget.”
Tapi realitanya?
Aku jalan aja suka kesandung kaki sendiri.
Ngomong suka keceplosan hal random.
Pakaian? Warna kaos sama celana kadang mirip bendera negara tetangga.
Dan kalau lewat, komentar orang paling-paling:
“Eh, itu yang kemarin jatuhin gorengan di halte ya?”
Jadi... ya.
Gagal jadi keren.
Tapi...
berhasil jadi nyata.
Sadar atau nggak, kita hidup di dunia yang suka banget nilai seseorang dari kerennya.
Follower banyak? Keren.
Gadget terbaru? Keren.
Ngopi-nya di tempat mahal, bajunya earthy tone, caption-nya minimalis tapi filosofis?
Keren level dewa.
Sementara aku?
Follower naik 2 orang aja udah pengin bikin syukuran.
Ngopi-nya sachetan, bajunya kaus event 2018.
Caption Instagram?
“Maaf blur, yang moto gugup.”
Awalnya aku minder. Aku ngerasa ketinggalan. Kayak jadi manusia versi beta, yang belum sempat di-update biar kompatibel sama zaman.
Tapi makin ke sini, aku belajar: keren itu nggak harus selalu tampak.
Ada orang-orang yang mungkin nggak viral, nggak aesthetic, nggak disorot spotlight, tapi mereka tetap jalanin hidup dengan tulus, dengan perjuangan yang kadang nggak kelihatan, dan dengan kejujuran yang diam-diam luar biasa.
Dan aku mau jadi orang kayak gitu. Yang mungkin gagal tampil keren, tapi sukses jadi diri sendiri—apa adanya, kadang canggung, kadang lucu, tapi tetap jujur.
Aku inget pernah diundang ke acara reuni kampus. Yang datang, ya ampun, kayak parade orang-orang sukses.
Ada yang bawa mobil keren, ada yang udah buka bisnis cabang ke-empat, ada yang udah keliling lima benua.
Sementara aku?
Datang naik ojek, bawa tote bag berisi... sisa tahu isi dari rumah.
Waktu mereka tanya, “Sekarang sibuk apa?”
Aku jawab, “Sibuk... bertahan.”
Dan anehnya mereka ketawa.
Bukan ngetawain, tapi karena mereka juga relate.
Ternyata di balik semua pencapaian itu,
banyak juga yang capek.
Banyak juga yang bingung.
Banyak juga yang... nggak sesempurna kelihatannya.
Dari situ aku belajar: semua orang sedang berjuang, cuma beda panggung.
Ada yang panggungnya terang, ada yang panggungnya sunyi. Ada yang dapat tepuk tangan, ada yang harus tepuk dada sendiri biar semangat.
Dan nggak apa-apa.
Karena jadi real itu bukan soal pamer,
tapi soal bisa jujur sama perjalanan kita sendiri.
Aku nggak akan bohong.
Kadang aku iri juga.
Melihat orang lain posting foto di kafe estetik, pakai outfit cakep, senyumnya lebar kayak nggak ada masalah.
Sementara aku ngerasa hidupku kayak... drama, tapi bintangnya bukan aku. Malah kayak jadi kru lighting yang kadang kesetrum.
Tapi lagi-lagi, aku bilang ke diri sendiri: “Kamu mungkin nggak sedang ‘keren’,tapi kamu sedang berproses.
Dan proses itu berharga, walau nggak selalu indah.”
Lucunya hidup, kadang justru di momen-momen nggak keren itu, aku nemu sisi terbaik dari diriku.
Kayak waktu aku gagal wawancara kerja, aku belajar bahwa nilai diriku nggak ditentukan dari satu ruang itu.
Atau waktu aku patah hati,
aku sadar bahwa mencintai seseorang dengan sepenuh hati,
meski akhirnya nggak dipilih,
itu tetap sesuatu yang... keren, tapi nggak kelihatan.
Dan waktu aku nangis sendirian di kamar,
aku ngerti bahwa
nggak semua orang harus kuat setiap saat,
tapi yang bertahan, itu luar biasa.
Kita sering lupa,
bahwa jadi "real" itu lebih susah daripada jadi "keren".
Karena jadi keren itu kadang bisa dipoles.
Bisa diedit.
Bisa disaring.
Tapi jadi real?
Itu butuh keberanian.
Berani di-judge.
Berani nggak disukai.
Berani tampil apa adanya, meski belum sempurna.
Dan aku pelan-pelan belajar buat nerima itu.
Aku juga belajar, bahwa jadi real bukan berarti pasrah.
Aku tetap bisa berkembang.
Tetap bisa belajar.
Tetap bisa bermimpi.
Tapi semuanya kulakukan dari tempat yang jujur.
Nggak lagi pura-pura bahagia biar terlihat "strong".
Nggak lagi sok sibuk biar dibilang "produktif".
Kalau lagi nggak baik-baik aja,
aku bilang:
“Hari ini berat ya.”
Kalau lagi males,
aku peluk rasa males itu sebentar,
lalu ajak dia pelan-pelan buat gerak lagi.
Temanku pernah bilang: “Lo tuh unik banget ya, walau nggak ngapa-ngapain, tetap lucu.”
Awalnya aku ngerasa itu semacam ejekan yang dibungkus senyum.
Tapi setelah kupikir-pikir...
kayaknya itu pujian juga sih.
Aku nggak harus selalu memukau dunia,
cukup bisa bikin orang ketawa dan nyaman—itu juga versi keren yang lain.
Dan dari situ aku sadar:
mungkin aku bukan orang yang dilihat semua mata,
tapi aku bisa jadi orang yang dilihat dengan hati.
Sekarang, definisi "keren" versiku udah berubah.
Bukan lagi soal style,
bukan soal jumlah follower,
bukan soal pencapaian yang bisa dipajang.
Tapi soal: Bisa tetap baik meski dunia nggak adil. Bisa tetap jujur meski semua orang berlomba-lomba menipu. Bisa tetap mencoba, meski gagal berkali-kali.
Dan soal bisa bilang, “Aku mungkin nggak sempurna, tapi aku tulus.”
Itu, buatku... keren banget.
Dan kalau kamu hari ini lagi ngerasa kurang keren, ngerasa biasa aja, ngerasa hidupmu flat kayak roti sobek sebelum di-toast...
Tenang.
Kamu bukan satu-satunya.
Tapi selama kamu jujur,
nggak nyakitin orang,
terus belajar jadi lebih baik,
dan sesekali bisa ketawa sendiri walau hidup lagi nggak lucu...
kamu udah jadi versi paling nyata dari dirimu.
Dan itu layak dirayakan.
Jadi, aku mungkin gagal jadi keren menurut standar dunia,
tapi aku berhasil jadi nyata menurut versiku sendiri.
Dan buatku,
itu kemenangan kecil yang layak dikasih... tepuk tangan pelan-pelan.
(Tepuk... tepuk... pelan aja, takut tetangga bangun.)