Dari luar, aku kelihatan kuat.
Bangun pagi, kerja, ngelucu dikit di grup, update story kopi pagi, dan tetap bisa jawab, “Gak papa kok,” padahal dalam hati udah kayak printer kehabisan tinta—suara berisik tapi nggak keluar apa-apa.
Orang sering bilang, “Hebat ya kamu, bisa tetap tegar.”
“Tangguh banget sih, aku aja udah tumbang!”
Dan aku cuma bisa senyum. Padahal dalam hati, pengin jawab,
“Aku bukan kuat, aku cuma nggak ada pilihan.”
Ada masa di hidupku, di mana aku pengin banget tidur tiga hari tanpa harus mikirin besok makan apa, tanpa mikir kerjaan belum kelar, tanpa mikir harus tetap ‘baik-baik aja’ di mata semua orang. Tapi hidup nggak bisa di-pause. Nggak kayak drama Korea yang bisa di-skip bagian sedihnya. Nggak kayak aplikasi yang ada tombol update supaya lebih stabil.
Kadang kita harus jalan terus…
Bukan karena kita semangat. Tapi karena kalau berhenti, semuanya berantakan.
Lucunya, orang pikir aku kuat karena tetap ketawa.
Padahal ketawa itu defense mechanism. Semacam mode bertahan hidup biar nggak pecah kayak toples kaca di pojokan dapur.
Aku pernah kok, duduk di kamar, liat notifikasi kerjaan, trus mewek sendiri sambil ngomong ke diri sendiri, “Aku capek banget loh. Tapi nggak tau harus ngadu ke siapa.”
Tapi dua menit kemudian, aku bales chat temen:
“Haha iya, santai aja ya. Hidup mah dibawa happy!”
Gila kan.
Dari tangis ke tawa dalam waktu 120 detik.
Multitalenta banget.
Nggak semua orang yang kelihatan baik-baik aja itu benar-benar baik-baik aja.
Kadang mereka cuma lagi pura-pura waras sambil nunggu hari gajian.
Atau nunggu satu orang aja yang nanya dengan tulus,
“Kamu beneran gak papa?”
Karena kenyataannya, jadi dewasa itu bukan tentang bijak, tapi tentang tahan nangis di tengah keramaian.
Ada hari-hari aku bangun dengan energi 0%.
Tapi hidup tetap minta aku jalan. Kayak HP lowbat yang dipaksa buka Zoom meeting.
Lemot, ngelag, tapi harus senyum.
Pernah juga aku mikir,
“Kenapa sih harus aku yang kuat?”
“Kenapa bukan orang lain aja yang gantiin?”
Tapi ternyata, orang-orang juga lagi capek. Sama kayak aku. Dan kita semua akhirnya cuma bisa bertahan di barisan paling depan dengan perisai seadanya: teh manis dan sedikit harapan.
Kekuatan itu bukan soal ngangkat beban berat.
Kadang kekuatan itu soal…
➡ Nggak marah saat lagi dimarahin,
➡ Nggak nangis saat dikecewakan,
➡ Tetap jalan walau hati bilang, “Berhenti aja yuk.”
Kekuatan bukan berarti kita gak hancur. Tapi karena kita udah biasa ngelem serpihan hati sendiri tiap malam dan besoknya senyum lagi, seolah nggak ada apa-apa.
Ada kalanya aku iri.
Iri sama orang yang bisa bilang “aku lelah” tanpa takut dibilang drama.
Iri sama mereka yang bisa istirahat tanpa rasa bersalah.
Iri sama yang bisa bilang “aku butuh peluk” dan langsung dipeluk.
Karena aku?
Kalau bilang capek, jawabannya:
“Yah, sabar ya.”
“Namanya juga hidup.”
“At least kamu masih bisa makan.”
Bukan nggak bersyukur, tapi kadang aku cuma pengin diakui kalau perjuanganku itu berat.
Kalau sedihku itu valid. Kalau tangisku itu wajar.
Aku pernah sampai di titik:
Mikir semuanya udah sia-sia.
Mikir apa aku terlalu sensitif.
Mikir jangan-jangan semua orang bener, aku yang salah.
Tapi aku belajar satu hal: Orang kuat bukan yang gak pernah jatuh, tapi yang berkali-kali jatuh dan tetap bilang ke dirinya sendiri,
“Yuk, sekali lagi.”
Nggak perlu sempurna.
Cukup gak nyerah hari ini.
Itu udah prestasi.
Lucunya, kekuatan itu datang dari tempat-tempat tak terduga.
Kadang dari pesan temen yang bilang, “Gue bangga sama lo.”
Kadang dari suara ibu yang bilang, “Makan dulu, ya.”
Kadang dari lagu lama yang bikin hati hangat tiba-tiba.
Atau dari secangkir kopi yang diseduh sendiri jam tiga pagi.
Dan yang paling ajaib: Kekuatan itu kadang datang dari dalam diri sendiri,
yang bilang pelan tapi pasti: “Nggak apa-apa, kita udah sejauh ini, jangan nyerah sekarang.”
Aku bukan kuat karena ingin.
Aku kuat karena harus.
Karena nggak ada yang bisa gantiin aku jalanin hidupku. Karena nggak ada yang tahu detilnya, rasa sakitnya, beban diam-diamnya. Jadi kalau kamu lihat aku masih berdiri,
itu bukan karena aku pahlawan. Tapi karena aku nggak punya pilihan lain selain lanjut.
Dan ternyata, itu juga bentuk keberanian.
Kadang aku berharap bisa jadi karakter film yang kalau capek bisa bilang “cut” lalu duduk di kursi sutradara sambil minum jus jeruk.
Tapi nyatanya, hidup nggak ada skrip. Semua improvisasi. Dan seringnya, kita harus tegar bahkan saat hati kita udah minta time-out.
Tapi pelan-pelan, aku mulai berdamai.
Berdamai bahwa aku nggak harus selalu kelihatan hebat.
Berdamai bahwa bilang “aku lelah” itu bukan tanda lemah.
Berdamai bahwa istirahat itu bukan kemunduran.
Karena aku manusia. Bukan robot. Bukan tokoh anime yang bisa revive tiap episode.
Dan kalau ada orang yang bilang,
“Wah, kamu tangguh banget sih.”
Aku pengin jawab: “Nggak kok. Aku cuma belum sempat patah.
Tapi kalau dikasih kesempatan rebahan seminggu, aku nggak nolak.”
Dan buat kamu yang lagi ngerasa lelah,
tapi tetap berdiri hari ini:
Aku bangga.
Nggak harus produktif kok. Nggak harus ceria tiap hari. Nggak harus kuat tiap saat. Cukup masih di sini, masih coba jalan, masih bertahan… Itu udah luar biasa. Karena kita bukan lemah. Kita cuma manusia yang sedang mencoba.
Dan itu, temanku,
adalah keberanian yang sesungguhnya.