Jujur saja, kalau hidup ini sebuah drama, aku pasti termasuk pemain yang improvisasi terus. Bukan karena aku jago, tapi karena… nggak ada script-nya!
Iya, bayangkan kalau aku disuruh main drama tapi naskahnya nggak pernah lengkap, bahkan kadang nggak ada sama sekali.
Kalau teman-temanku sudah hafal dengan peran mereka—si cerewet, si pahlawan, si pendiam—aku malah sering bingung,
“Eh, aku ini mau jadi siapa sih?”
Lucunya hidupku memang penuh improvisasi.
Dari kecil aku nggak pernah dapat panduan lengkap tentang “cara jadi orang dewasa.”
Yang aku tahu cuma:
“Nanti kamu harus kerja, punya teman, punya pasangan, dan bisa mandiri.”
Tapi… mana ada manusia yang bilang, gimana cara ngadepin bos yang galak, gimana caranya bertahan saat temen tiba-tiba cuek, atau gimana tetap waras saat pulsa habis di tengah meeting Zoom?
Aku sering merasa kayak aktor yang tiba-tiba disuruh main drama tanpa tahu dialognya, cuma modal nekat dan sering ketawa kecut sendiri.
Lucu? Iya. Sedih? Kadang juga.
Misalnya, ada kejadian waktu aku pertama kali interview kerja. Aku datang pake baju rapi, sudah latihan jawab pertanyaan, tapi pas udah depan HRD, mulut malah kaku kayak plastik yang baru dibuka. Aku coba ngelawak, tapi malah terdengar kayak suara robot error.
Aku pikir, “Ini kenapa aku nggak punya script yang jelas ya?”
Padahal kalau aku lihat teman lain, mereka kayaknya sudah tahu semua yang harus mereka bilang dan lakukan. Sementara aku cuma bisa berdoa dalam hati supaya nggak kelihatan kayak orang yang baru belajar jalan.
Jadi diri sendiri itu memang sering kali berarti harus berani improvisasi.
Karena kita nggak punya script baku dari Tuhan, kita harus bikin aturan main sendiri. Kadang sukses, kadang gagal, tapi selalu ada cerita seru yang bisa diceritain. Aku ingat waktu pertama kali coba jujur ke teman soal perasaan aku yang lagi galau. Aku pikir aku bakal ngomong kalimat yang keren dan bikin semua paham.
Tapi apa?
Yang keluar malah suara bergetar dan kata-kata yang melompat-lompat. Temanku cuma senyum, bilang, “Santai aja, yang penting kamu udah berani buka cerita.”
Dari situ aku sadar, nggak perlu script sempurna buat jadi diri sendiri. Yang penting berani mulai, walau dengan kata-kata yang berantakan.
Kadang aku juga suka berpikir, kenapa nggak ada script ya buat perasaan?
Misalnya, kenapa saat senang rasanya pengen teriak tapi malah diem aja?
Atau kenapa saat sedih, aku nggak bisa langsung nangis tapi malah ketawa nggak jelas?
Aku pernah coba cari di buku-buku self-help, tapi semua jawabannya terlalu serius dan baku.
Aku butuh panduan yang bisa aku baca sambil ketawa, “Eh, ini aku banget nih!”
Lucunya, aku juga baru sadar kalau skrip hidup itu berbeda-beda buat tiap orang.
Teman yang keliatan selalu tenang, mungkin dia juga lagi berjuang di balik layar. Orang yang selalu ceria, bisa jadi dia juga kadang merasa bingung, cuma dia pintar menyembunyikan. Jadi, sebenarnya, aku nggak perlu iri sama “script” orang lain, karena aku nggak pernah tahu seperti apa sebenarnya perjalanan mereka. Aku cuma perlu fokus sama versiku sendiri.
Versi yang walau belum sempurna, tapi terus berusaha jadi lebih baik.
Salah satu improvisasi terbaik yang aku pelajari adalah soal menerima ketidaksempurnaan.
Aku nggak selalu bisa sempurna jadi aku. Kadang lupa janji sama diri sendiri, kadang kelewat emosi, kadang juga terlalu pemalu untuk bilang apa yang sebenarnya aku mau.
Tapi aku belajar, itu semua bagian dari proses. Seperti aktor yang kadang salah dialog tapi tetap tampil maksimal.
Lucu juga kalau dipikir, aku sering jadi “aktor utama” di drama kehidupanku sendiri, tapi kadang ngerasa kayak figuran juga.
Ketika teman-teman punya cerita seru tentang kesuksesan dan pencapaian, aku malah sibuk cerita tentang perjuangan kecil seperti ngadepin pagi yang berat, atau ngumpulin nyali buat angkat telepon.
Tapi aku sadar, itu juga cerita yang layak diceritain.
Karena hidup bukan cuma soal pencapaian besar, tapi juga tentang momen kecil yang bikin kita bertahan.
Aku ingat sebuah percakapan singkat dengan nenekku yang selalu bikin aku ketawa dan mikir dalam waktu yang sama.
Nenek bilang,
“Kamu tuh lucu ya, kok bisa hidup tanpa script, kayak main sandiwara yang gak ada naskahnya.”
Aku cuma bisa jawab,
“Iya, Nek. Tapi justru itu yang bikin hidup ini seru dan penuh kejutan.”
Nenek cuma tersenyum dan bilang,
“Yang penting jangan lupa bahagia, ya.”
Bahagia itu kuncinya, kan?
Meskipun hidup tanpa script, aku belajar menemukan kebahagiaan di setiap improvisasi.
Saat aku bisa tertawa karena kesalahan sendiri, atau saat aku bisa menangis tanpa rasa malu, itu adalah bagian dari menjadi aku. Aku nggak perlu jadi versi sempurna yang selalu terlihat berhasil. Aku cukup jadi versi yang terus belajar, terus mencoba, dan tetap punya senyum di wajah meski lelah.
Jadi, lucunya jadi aku itu karena aku bebas berimprovisasi.
Aku bisa jadi siapa saja dalam tiap adegan: Kadang lucu, kadang serius, kadang pemalu, kadang pemberani. Nggak ada aturan baku yang harus diikuti, dan itu justru bikin hidup ini lebih berwarna. Kalau aku disuruh bikin naskah hidupku, mungkin aku akan tulis:
“Ini cerita tentang seorang yang belajar tertawa walau kadang jatuh,
belajar menerima kekurangan,
dan belajar mencintai dirinya sendiri tanpa syarat.”
Dan aku yakin, kamu juga bisa bikin cerita hidupmu sendiri.
Nggak perlu takut salah dialog atau bingung dengan jalan cerita. Karena hidup itu memang tentang berani mencoba dan menerima apa pun yang terjadi. Yang penting, jangan lupa ketawa saat kamu harus improvisasi. Karena lucunya jadi diri sendiri, kadang justru di situ letak keindahannya.
Jadi, kalau kamu merasa hidupmu nggak punya script,
ingatlah:
Itu bukan kekurangan, tapi sebuah kesempatan.
Kesempatan untuk menulis cerita yang unik, berbeda dari orang lain, dan pastinya penuh warna.
Aku, kamu, kita semua—sedang dalam sandiwara besar yang naskahnya masih terus ditulis.
Dan yang paling penting, kita bisa menikmati prosesnya.
Lucunya jadi aku… karena nggak ada script-nya.
Tapi itu yang bikin aku istimewa.