Kamu tahu rasanya install aplikasi yang masih beta version?
Kadang error, kadang force close, kadang tiba-tiba restart sendiri. Tapi tetap bisa dipakai, meskipun harus sabar.
Nah, itu juga aku.
Versi beta.
Belum sempurna, belum stabil, tapi ya udah bisa dipakai buat hidup.
Kadang bisa ngasih tawa, kadang nyebelin, kadang error juga pas ngobrol sama orang.
Tapi ya… beginilah aku.
Zaman sekarang, semua orang berlomba-lomba tampil jadi versi final.
Di Instagram: senyum sempurna.
Di LinkedIn: pencapaian tak berujung.
Di TikTok: konten produktif, hidup teratur, dapur estetik.
Padahal aku?
Sarapan masih kadang Pop Mie, kadang cuma air putih dan niat.
Kadang aku lihat story teman-teman yang sukses di umur muda.
Mereka nulis, “Akhirnya mimpi jadi nyata!”
Lalu aku liat diriku sendiri:
“Akhirnya cucian kering semua, tinggal disetrika. Tapi masih ditunda sih.”
Pernah aku ketemu teman lama waktu ke minimarket.
Dia pakai mobil, aku pakai helm—karena habis ngojek motor pinjaman.
Kita ngobrol sebentar, lalu dia bilang,
“Kamu sekarang ngapain aja? Kayaknya sibuk terus ya.”
Aku senyum, refleks jawab,
“Iya, sibuk… mikirin hidup.”
Sebenarnya bukan bercanda.
Itu jawaban paling jujur yang bisa aku kasih.
Karena kadang, mikirin hidup tuh udah nguras tenaga banget.
Jujur ya, aku sering banget ngerasa ketinggalan.
Orang lain udah melaju, aku masih loading.
Orang lain udah sampai milestone, aku masih nyari jalan keluar dari pikiran sendiri.
Tapi makin ke sini, aku sadar:
Nggak semua orang mulai dari titik yang sama.
Nggak semua orang punya kecepatan yang sama.
Dan yang penting:
Nggak semua orang pakai peta yang sama.
Aku belajar buat lebih sayang sama diri sendiri.
Buat berhenti ngatain diri sendiri “bodoh” atau “lambat”.
Karena tahu nggak?
Walaupun versi aku sekarang belum final, tapi aku tetap jalan.
Dan itu penting.
Menjadi diriku memang nggak selalu asik.
Tapi aku tetap butuh pelukan dari diriku sendiri.
Apalagi kalau lagi di fase-fase “kenapa semua terasa salah?”
Yang kamu ngaca dan mikir,
“Kok aku kayak aplikasi yang masih banyak bug, tapi nggak ada yang mau jadi developernya?”
Iya, aku tahu.
Rasanya pengen di-update.
Pengen versi yang lebih kuat, lebih percaya diri, lebih stabil.
Tapi kadang, satu-satunya update yang bisa kamu kasih ke diri sendiri cuma satu kata:
“Nggak apa-apa.”
Aku mulai nulis jurnal.
Bukan buat kelihatan produktif, tapi karena kadang cuma buku dan pulpen yang nggak nge-judge aku.
Aku tulis hal-hal receh, kayak:
Hari ini bangun jam 10. Hebat, nggak snooze 7x.
1. Hari ini makan sayur. Walau cuma satu sendok, tapi niatnya ada.
2. Hari ini nggak overthinking selama 3 jam. Rekor.
Lucu, ya?
Tapi ternyata itu ngebantu.
Karena ternyata jadi diri sendiri itu nggak selalu harus hebat.
Kadang cukup sadar kalau kamu tetap berusaha.
Aku mulai belajar bedain dua hal penting:
1. Aku belum sampai.
2. Tapi aku sedang menuju ke sana.
Karena kadang, kita terlalu sibuk fokus ke titik akhir sampai lupa bersyukur sama langkah kecil.
Dan tiap langkah kecil itu, walau terseok-seok, tetap berarti.
Versi beta itu gitu.
Belum semua fitur jalan.
Tapi udah bisa kasih manfaat.
Udah bisa bikin tawa, nangis, dan tetap bangun meski alarmnya telat dimatiin.
Aku juga belajar nyari teman yang bisa nerima versi betaku.
Teman yang nggak nuntut aku harus kuat tiap hari.
Yang kalau aku lagi down, mereka nggak bilang, “Kamu kurang bersyukur.”
Tapi bilang, “Yuk, sini duduk bareng. Nggak usah ngomong dulu juga nggak apa-apa.”
Teman-teman kayak gitu langka.
Tapi sekali kamu ketemu, rasanya kayak update sistem:
Bikin kamu ngerasa aman.
Ngerasa cukup.
Dan kadang, itu yang kita butuhkan—lebih dari sekadar motivasi TikTok.
Aku juga mulai belajar satu hal penting:
Nggak apa-apa kalau hari ini cuma bisa jadi versi 30% dariku.
Nggak selalu harus 100%.
Kadang cukup 45%.
Kadang malah cuma 12%.
Yang penting, aku nggak nyerah.
Bahkan aplikasi pun, waktu pertama kali rilis, nggak langsung sempurna.
Butuh waktu.
Butuh feedback.
Butuh error.
Butuh ditinggalin pengguna dulu, baru dibenerin.
Aku juga gitu.
Kadang ditinggal.
Kadang gagal.
Kadang error berkepanjangan.
Tapi tetap diperbaiki.
Pelan-pelan.
Nggak apa-apa.
Menjadi diriku sendiri itu bukan perjalanan cepat.
Bukan lomba siapa yang paling cepat sukses, paling stabil emosinya, atau paling rapi hidupnya.
Ini perjalanan panjang.
Kadang ada tawa.
Kadang tangis.
Kadang ketiduran pas niatnya mau produktif.
Tapi aku belajar mencintai prosesnya.
Walau kadang males, walau sering gagal fokus.
Karena dalam setiap fase, aku sedang berkembang.
Bahkan saat aku merasa stagnan—aku tetap berubah.
Tetap belajar.
Kadang kita mikir, "Kalau aku lebih disiplin, pasti aku udah sukses sekarang.”
Atau, “Kalau aku nggak overthinking, pasti aku udah bisa jadi kayak mereka.”
Tapi ternyata…
Nggak semua proses bisa dilompati.
Ada hal-hal yang cuma bisa kamu pahami setelah kamu ngerasain sendiri.
Dan itu… nggak semua orang mau cerita.
Mereka cuma nunjukin hasilnya.
Bukan malam-malam gelisahnya.
Bukan hari-hari penuh ragu yang nggak diunggah ke story.
Dan aku?
Aku mulai menerima bahwa setiap kesalahan, setiap kegagalan, itu bukan akhir dari dunia.
Tapi bagian dari versi beta-ku.
Hari ini, aku mau bilang ini:
“Aku belum selesai.
Tapi aku juga nggak di titik awal.
Aku di tengah.
Dan itu nggak apa-apa.”
Kalau kamu juga lagi di tengah—lagi bingung, lagi goyah, lagi ngerasa “kok aku gini-gini aja”,
Ingat, kamu bukan sendiri.
Versi betamu juga berharga.
Satu hal yang penting banget buat diingat:
Kita nggak harus ‘jadi’ dulu baru pantas dicintai.
Kita pantas dicintai bahkan saat masih berproses.
Bahkan saat masih belajar.
Bahkan saat masih nangis tengah malam karena ngerasa “nggak cukup”.
Kita pantas dimengerti, bahkan saat belum ngerti diri sendiri sepenuhnya.
Kita pantas ditemani, bahkan saat kita merasa nggak menarik buat ditemani.
Karena cinta—yang tulus—nggak nunggu kamu sempurna.
Cinta dateng justru pas kamu hancur, dan tetap bilang, “Aku di sini.”
Jadi, buat kamu yang juga merasa jadi manusia versi beta, sini pelukan dulu.
Nggak apa-apa belum sampai.
Nggak apa-apa belum stabil.
Nggak apa-apa kalau masih banyak bug di hidupmu.
Yang penting, kamu tetap jalan.
Dan suatu hari nanti,
Kamu bakal lihat ke belakang…
Dan sadar:
“Ternyata, jadi aku—versi beta ini—adalah hal terbaik yang pernah aku izinkan terjadi.”
Terima kasih ya, udah tetap jadi kamu.
Dengan segala error dan ketidaksempurnaannya.
Kamu hebat.