Aku pernah terlalu serius sama banyak hal.
Serius mikirin masa depan, padahal besok aja belum tentu bangun pagi.
Serius mikirin omongan orang, padahal mereka juga belum tentu mikir aku.
Serius mikirin cinta, yang ujung-ujungnya malah cuma dianggap temen.
Dan yang paling sering:
aku terlalu serius mikirin diri sendiri.
Kayak misalnya, waktu aku salah kirim stiker "cium pipi" ke grup kerja.
Bukannya ketawa, aku langsung panik.
Deg-degan kayak lagi nunggu nilai ujian kelulusan.
Padahal… ya udah, paling juga diketawain sebentar, terus semua balik ngebahas tugas.
Tapi otakku beda.
Dia drama.
Dia bilang, "Hidupmu tamat. Reputasi hancur. Kamu akan dipecat, dan berakhir jadi penjual cilok di planet lain."
Padahal, kenyataannya...
Cuma satu orang yang bales, “Haha, salah kirim, Mbak?”
Dan semua lanjut ngebahas laporan minggu depan.
Aku belajar pelan-pelan bahwa:
nggak semua hal harus dipikirin dalam. Nggak semua kejadian harus bikin kita nyalahin diri sendiri.
Termasuk... ya aku ini.
Nggak harus selalu jadi sosok serius, bijak, tenang, dan bisa segalanya.
Aku manusia. Kadang lucu, kadang labil.
Kadang bijak, kadang nyebelin.
Kadang semangat, kadang rebahan sampai lupa mandi.
Dan semuanya valid.
Dulu aku sering mikir:
"Kenapa sih aku nggak bisa konsisten, kok mood gampang naik-turun, kok gampang baper?"
Tapi sekarang, aku jawab:
"Ya karena aku bukan jam digital. Aku manusia."
Dan manusia itu... unik.
Kadang ngelucu di tengah masalah.
Kadang nangis di tengah tawa.
Kadang ngelamun sambil makan keripik, terus tiba-tiba nangis sendiri karena inget masa lalu (yang sebenernya nggak penting-penting amat)
Aku pernah nanya ke temanku,
"Lo pernah nggak sih ngerasa kayak, lo tuh beban?"
Dia jawab sambil makan siomay:
"Pernah. Tapi terus gue ketawa. Karena yang mikir kayak gitu bukan orang lain, tapi gue sendiri. Jadi ya, salahin aja otak gue."
Kami ketawa. Dan tiba-tiba hidup jadi lebih ringan.
Itulah kenapa...
kadang kita cuma butuh diketawain bareng. Bukan dinasehatin panjang.
Ada masa-masa aku terlalu serius jadi “versi ideal” dari diriku.
Yang harus kuat. Harus produktif. Harus dewasa.
Tapi lama-lama capek sendiri.
Karena makin dikejar sempurna, makin merasa gagal.Akhirnya aku mulai menurunkan ekspektasi. Bukan berarti menyerah. Tapi belajar menerima.
Aku mulai bilang ke diri sendiri,
“Kalau hari ini nggak bisa sempurna, ya nggak apa-apa.
Kalau mood hari ini aneh, ya dimaklumi aja.
Kalau hidup belum jelas arahnya, ya sambil jalan sambil nyari warung kopi.”
Aku ingat pernah nangis gara-gara nemu video TikTok motivasi yang suaranya sok semangat, padahal isinya bikin aku merasa makin kecil.
"Kamu harus sukses sekarang juga!"
"Kamu gagal karena kamu malas!"
"Jangan tidur sebelum sukses!"
Aku diem, terus mikir:
“Lah, kalau tidur aja nggak boleh, trus aku harus bangkitnya gimana?”
Akhirnya aku matikan video itu.
Ganti dengerin lagu anak ayam turun seribu.
Karena... ya, hidup udah cukup berat. Kenapa motivasi malah kayak dosen killer?
Sejak itu, aku punya prinsip baru:
“Aku nggak akan terlalu serius sama yang nggak penting-penting amat.”
Termasuk:
..Komentar random dari netizen yang nggak kenal.
..Story orang lain yang keliatan bahagia (padahal belum tentu).
..Perasaan gagal karena belum punya pencapaian besar.
..Kegagalan diet karena kebanyakan ngemil kerupuk seblak.
Aku mulai ngetawain hal-hal itu.
Bukan karena aku cuek. Tapi karena aku butuh hidup yang lebih ringan.
Butuh ruang untuk ngelus dada dan bilang:
"Nggak apa-apa, yang penting hari ini aku masih ada."
Dan akhirnya, aku mulai sayang sama versi diriku yang nggak sempurna.
Yang nggak selalu kuat.
Yang kadang salah.
Yang kadang absurd.
Tapi tetap berusaha, walaupun pelan.
Aku mulai belajar menyayangi diri yang suka ngelawak saat sedih.
Yang suka makan sambil nangis.
Yang suka posting meme buat nutupin luka.
Karena ternyata...
itu caraku bertahan.
Satu hari, aku ngobrol sama keponakanku yang umur 6 tahun.
"Aku mau jadi astronot!" katanya sambil main lego.
Aku senyum dan tanya, "Kenapa?"
"Karena keren! Tapi kalau nggak jadi, ya nggak apa-apa. Aku masih bisa jadi tukang es krim."
Dan aku diem.
Terharu.
Seorang anak kecil bisa menerima kegagalan sebagai sesuatu yang biasa, kenapa aku yang udah dewasa malah drama terus?
Mungkin karena kita lupa bahwa…
kebahagiaan nggak harus pakai standar orang lain.
Sekarang, kalau aku gagal, aku nggak langsung nangis ke dinding.
Aku kasih waktu ke diri sendiri buat kecewa sebentar.
Tapi habis itu, aku tanya:
“Yuk, kita cari hal lucu dari ini.”
Dan kadang hasilnya... kocak.
Contoh:
..Dulu pernah salah kirim voice note curhat ke grup keluarga, isinya keluhan soal hidup. Yang denger? Tante-tante dan om-om yang langsung ngegas ngajakin ikut arisan.
..Pernah juga nangis karena nonton drama Korea, terus sadar, “Loh, ini bukan hidupku. Kenapa aku yang sedih?”
Ternyata, ketika kita nggak terlalu serius, hidup jadi lebih gampang ditertawakan.
Hidup nggak harus selalu berat.
Kita bisa tetap serius mengejar impian,
tanpa harus serius menyiksa diri.
Kita boleh bercanda di tengah badai.
Boleh rebahan di tengah deadline.
Boleh marah, lalu ketawa sendiri.
Yang penting:
kita masih jadi diri sendiri, tanpa harus benci diri sendiri.
Jadi, kalau hari ini kamu lagi merasa terlalu keras sama diri sendiri,
coba tarik napas, lihat cermin, dan bilang:
"Aku manusia, bukan karakter utama di film action.
Nggak semua harus dramatis. Nggak semua harus sempurna.
Kadang... cukup jadi lucu aja dulu."
Karena...
hidup ini udah banyak tekanan. Jangan bikin diri sendiri jadi musuh.