Aku pernah mikir, kayaknya aku tuh masalah deh.
Soalnya, kenapa setiap aku nggak cocok sama orang, aku yang mikir, “Duh, aku salah ngomong ya tadi?”
Atau, “Jangan-jangan aku terlalu aneh?”
Atau, versi ekstrimnya: “Mungkin aku emang nggak layak temenan sama siapa-siapa.”
Dan itu nggak cuma sekali dua kali, tapi sering. Bahkan sama orang yang baru kenal di antrean bakso sekalipun.
Ceritanya dimulai pas aku ikut acara kumpul komunitas yang katanya sih buat “ekspresi diri dan healing bareng.”
Aku datang dengan semangat, rambut udah ditata (pakai minyak rambut yang aromanya kayak lem kayu), baju terbaik yang aku punya (walau kaosnya agak molor di bagian leher), dan senyum setengah bingung karena ini pertama kalinya aku niat banget keluar rumah buat “jadi diri sendiri.”
Tapi baru lima belas menit ngobrol, aku udah mulai merasa kayak alien yang nyasar di forum makhluk berprestasi.
Mereka ngobrolin start-up, pencapaian, goals lima tahun ke depan, dan bagaimana mereka mengatasi trauma masa kecil dengan journaling.
Sementara aku cuma bisa nyengir sambil mikir, “Tadi aku sarapan telor rebus dua, itu juga pencapaian nggak sih?”
Waktu giliran perkenalan, satu-satu nyebut passion mereka.
“Aku suka eksplorasi musik etnik dan menggabungkannya dengan synthwave.”
“Aku lagi bikin aplikasi meditasi yang terintegrasi dengan detak jantung.”
“Aku lagi belajar memahami inner child sambil mendalami filosofi Zen.”
Terus sampai di aku.
Dan dengan polosnya, aku bilang, “Aku suka tidur siang dan ngemil makaroni pedas.”
Hening.
Ada yang ketawa kecil, ada yang senyum simpati, dan ada yang nunduk sambil pura-pura ngikat tali sepatu padahal pakai sandal.
Malam itu aku pulang dengan satu pikiran: “Aku nggak cocok.”
Anehnya, otak kita tuh kayak hobi nyalahin diri sendiri dulu.
Setiap ada sesuatu yang nggak klop, kita buru-buru mikir: “Aku kurang apa ya?”
Jarang banget kita mikir: “Oh, mungkin emang kita beda aja.”
Aku pun mulai overthinking akut.
Kenapa aku nggak bisa suka hal-hal yang mereka suka? Kenapa aku nggak seambisius mereka? Kenapa aku lebih excited waktu nemu bantal baru daripada nemu peluang investasi?
Sampai suatu hari, aku cerita ke temen deketku, Dani.
Dan seperti biasa, Dani yang jujurnya kadang nyelekit, cuma jawab,
“Lha emang kenapa kalau kamu beda? Bukan berarti kamu salah. Kamu cuma... bukan mereka aja.”
Statement itu sederhana, tapi kena di ulu hati.
Selama ini aku nganggep beda itu berarti gagal menyesuaikan diri.
Padahal beda itu cuma... ya beda.
Nggak semua orang harus cocok satu sama lain. Bahkan kancing baju pun ada yang cocok, ada yang enggak. Masa manusia harus cocok semua?
Dan konyolnya, aku baru paham itu setelah nyicipin rasa tidak cocok berkali-kali.
Temen nongkrong yang ternyata toxic.
Temen kerja yang pas didiemin malah bikin drama.
Temen chat yang tiap kali bales selalu, “Wkwkwk” tapi nggak pernah ngajak ketemu.
Tapi bukan berarti setiap nggak cocok, kita boleh langsung nyalahin orang lain juga, ya.
Aku juga belajar buat evaluasi diri.
Mungkin kadang aku terlalu defensif.
Atau terlalu sarkastik.
Atau ngomongnya terlalu cepet kayak presenter berita.
Intinya, kalau nggak cocok sama orang, boleh refleksi, tapi jangan buru-buru nyimpulin kita yang gagal jadi manusia.
Mungkin kita cuma salah lingkungan.
Kayak tanaman, nggak semua tumbuhan bisa tumbuh di tanah yang sama. Kaktus di rawa-rawa ya mati. Teratai di padang pasir ya garing.
Aku pernah satu kantor sama orang yang sangat... efisien.
Semua harus pakai spreadsheet, to-do list, reminder, dan weekly evaluation.
Sementara aku kerja dengan sistem ‘kerjakan berdasarkan ilham dan tekanan deadline’.
Setiap hari aku merasa kayak murid yang harus terus-terusan minta maaf karena “nggak seteratur itu.”
Tapi setelah keluar dari kantor itu dan kerja bareng orang yang lebih chaos, aku malah bersinar (sedikit).
Karena ternyata gaya kerja itu bukan soal benar atau salah. Tapi soal nyambung atau nggak.
Pelajaran paling penting yang aku dapat dari semua itu adalah: cocok itu bukan kewajiban.
Kita bisa nggak cocok sama orang, dan itu sah-sah aja. Yang jadi masalah adalah kalau kita maksa terus menerus untuk “masuk” ke kehidupan orang lain, padahal kita sendiri udah megap-megap, kayak nyoba pakai sepatu yang ukurannya kekecilan.
Sakit, tapi tetap dipakai demi kelihatan keren.
Padahal, kaki kita sendiri yang lecet.
Lucunya, setelah aku belajar nerima bahwa nggak semua orang harus cocok sama aku, aku jadi lebih santai.
Lebih jujur.
Lebih bebas jadi diri sendiri (meskipun tetap capek, sesuai judul buku ini).
Karena waktu kita berhenti pura-pura, kita bisa nemuin orang-orang yang benar-benar klik.
Bukan karena kita berusaha keras untuk nyambung, tapi karena emang nyambung aja.
Tanpa banyak basa-basi, tanpa overthinking.
Sekarang, kalau ketemu orang yang vibes-nya beda, aku lebih rileks.
Kalau emang nggak cocok, yaudah.
Daripada maksa terus, mending cari tempat yang lebih nyaman.
Kayak waktu aku nyoba gabung grup komunitas hobi “lari pagi.”
Aku datang dengan niat sehat.
Setelah dua kali ketemu, aku sadar: aku lebih cocok lari ke dapur buat ambil cemilan daripada lari keliling taman jam 6 pagi.
Akhirnya, aku resign dari grup itu dengan damai.
Bukan karena mereka buruk, tapi karena kita beda.
Dan itu oke.
Jadi sekarang, kalau kamu lagi ngerasa nggak cocok sama seseorang, atau sekelompok orang, coba tarik napas dulu.
Tanya ke diri sendiri:
1. Apakah aku udah jadi versi jujur dari diriku?
2. Apakah aku nyaman jadi diri sendiri di depan mereka?
3. Atau aku lagi capek pura-pura biar diterima?
Kalau jawabannya adalah: “Aku udah cukup jujur, tapi mereka tetap nggak nyambung.”
Ya mungkin memang waktunya kamu pindah tempat.
Kamu bukan kunci rusak, mungkin kamu cuma coba buka pintu yang salah.
Dan kalau kamu terus-terusan ngerasa asing di mana pun kamu berada,
jangan buru-buru simpulin kamu yang bermasalah.
Kadang dunia ini emang sibuk menyuruh kita menyesuaikan diri tanpa benar-benar peduli kita jadi siapa setelahnya.
Jangan takut beda.
Karena orang-orang terbaik yang aku kenal, justru yang paling unik caranya mikir, paling aneh gaya bicaranya, dan paling absurd cara ketawanya.
Dan mereka tetap disayang. Bahkan lebih.
Karena akhirnya, orang yang cocok sama kita bukan yang nyuruh kita berubah, tapi yang bilang:
"Kamu gini juga udah cukup lucu, kok."