Katanya hidup itu kayak jalan.
Ada yang mulus kayak tol Cipali, ada yang berkelok kayak jalan ke puncak pas long weekend. Tapi kenapa ya, rasanya jalan hidupku lebih mirip gang sempit yang tiap lima meter ada ibu-ibu ngerumpi dan motor parkir sembarangan?
Setiap kali aku scroll media sosial, muncul update dari teman-teman:
“Akhirnya wisuda!”
“Jalan-jalan ke Swiss!”
“Pindah kerja ke Singapura!”
“Nikah sama sahabat sendiri!”
Sementara aku?
Masih mikirin, “Tadi mie instan udah aku masukin bumbu belum ya?”
Dulu aku pikir hidup itu kayak film, ada alurnya.
Setelah babak satu selesai, pasti lanjut babak dua, babak tiga, dan klimaks di akhir.
Tapi ternyata hidup itu lebih mirip drama tanpa naskah.
Kadang maju, kadang mundur, kadang muter-muter di tempat yang sama sambil bilang, “Lah, ini kan udah pernah?”
Dan aku sering banget merasa stuck.
Kayak lagi jalan tapi di treadmill.
Capek iya, maju kagak.
Contohnya waktu aku ngelamar kerja.
Setelah nganggur selama tujuh bulan (yang mana aku bilang ke orang-orang itu “recharge mental health” biar keren), aku akhirnya dapet panggilan wawancara. Pakai kemeja terbaik (yang udah kusut karena setrikanya rusak), naik ojek, sambil nyemangatin diri sendiri kayak: “Kamu bisa! Kamu mampu! Kamu bukan beban negara!”
Tapi pas sampai ruang wawancara, aku blank.
Yang keluar dari mulut malah kayak orang baca quotes motivasi yang ditulis waktu ngantuk.
“Apa motivasi kamu kerja di sini?”
“Karena saya percaya... bahwa setiap manusia punya potensi untuk berkembang dalam tekanan...”
(Apa sih??)
Dua hari kemudian, emailnya datang: “Maaf, Anda belum berhasil.”
Aku langsung bengong.
Lah, berarti aku masih harus berkembang di tekanan dompet dulu, ya?
Aku juga pernah nyoba usaha kecil-kecilan.
Jualan cookies rumahan dengan brand “Cemilan Ceria”.
Logo lucu, bungkus gemes, rasanya... lumayan.
Tapi baru tiga minggu jualan, tetangga sebelah buka usaha brownies kukus yang viral di TikTok.
Dan ya, bisnis ku hancur sebelum sempat panen.
Akhirnya aku cuma bisa nulis di caption Instagram,
"Semua orang punya rezekinya masing-masing."
Sambil diem-diem nyicipin stok cookies yang gagal laku itu sampai jerawat muncul satu regu di dagu.
Kadang aku ngerasa, jalan hidup orang lain tuh kayak jalan tol yang udah dibuka 24 jam.
Sementara jalan hidupku masih direnovasi, dan papan pengumumannya tulisannya begini: “Maaf, sedang diperbaiki. Harap bersabar.”
Tapi aku juga nggak bisa nyerah gitu aja.
Karena tiap kali aku hampir menyerah, ada satu dua hal kecil yang bikin aku senyum lagi.
Kayak... nemu cemilan diskon di minimarket.
Atau tiba-tiba temen lama chat, “Kangen ngobrol sama kamu.”
Atau lagu lama yang tiba-tiba muter di shuffle playlist, yang bikin aku inget betapa dulu aku juga pernah bahagia walau nggak punya apa-apa.
Lucunya, di tengah semua kemacetan jalan hidup itu, aku justru belajar banyak hal.
Aku jadi tahu, ternyata aku bisa tahan banting.
Tahan ditolak.
Tahan diabaikan.
Dan tahan untuk tetap bangun tiap pagi, meski nggak tahu hari itu bakal ngapain.
Aku jadi belajar menikmati proses, walau kadang prosesnya absurd banget.
Kayak hari ini belajar buat lebih disiplin, tapi besoknya bangun siang karena begadang nonton video kucing.
Tapi ya itu proses juga kan?
Proses menyadari bahwa aku manusia, bukan robot.
Aku pernah ngobrol sama temenku yang hidupnya keliatan perfect banget.
Dia kerja di perusahaan multinasional, punya mobil, dan feed Instagram-nya aesthetic parah.
Sementara aku masih mikirin beli token listrik sambil pakai kipas dari kertas.
Tapi pas ngobrol, dia bilang, “Gue capek banget sebenernya. Tiap hari kerja sampe malem, tidur nggak nyenyak, dan kadang mikir, ini semua buat apa sih?”
Aku kaget.
Ternyata hidup orang yang kita kira lancar pun bisa penuh kemacetan yang nggak kelihatan.
Dan saat itu aku sadar:
Semua orang punya jalan masing-masing.
Tapi nggak semua jalan terlihat dari luar.
Jalan hidupku memang sering mampet.
Tapi di sela-sela mampet itu, aku ketemu banyak hal lucu dan menyentuh.
Aku ketemu orang-orang yang tulus.
Yang nggak peduli kamu sukses apa nggak, tapi peduli kamu makan atau belum.
Aku belajar nikmatin hari yang nggak produktif, tapi hangat.
Dan aku belajar bahwa nggak semua hal harus masuk timeline ideal versi masyarakat.
Kadang jalanku memang sempit. Tapi karena sempit, aku jadi lebih hati-hati.
Jadi lebih peka.
Dan jadi lebih menghargai setiap langkah, sekecil apa pun itu.
Kalau kamu sekarang lagi ngerasa jalannya mampet, atau kayak stuck di satu tempat terus, tenang aja.
Nggak semua orang harus sampai duluan.
Kadang, orang yang nyampe belakangan justru dapet pemandangan yang lebih indah di sepanjang perjalanan.
Jangan bandingin hidupmu sama orang lain, karena GPS mereka beda.
Ada yang pakai tol.
Ada yang lewat pinggir sawah.
Ada yang naik ojek.
Dan ada yang... jalan kaki sambil nyanyi sendiri (kayak aku).
Yang penting, terus jalan.
Pelan nggak apa-apa.
Tersesat juga nggak masalah.
Asal jangan berhenti terlalu lama sampai lupa arah.
Dan kalau jalannya mampet, duduk dulu.
Minum teh.
Tarik napas.
Dengerin lagu favorit.
Kadang, jalan bisa terbuka setelah kita berhenti maksa.
Karena ternyata...
Jalan hidup itu bukan tentang cepat-cepetan.
Tapi tentang seberapa jujur kita melangkah.