Hari itu aku duduk diam di warung pecel lele.
Depan piring isinya cuma nasi dan sambel, lele-nya belum datang. Tapi sepertinya bukan itu yang bikin aku murung.
Aku bengong sambil ngaduk-ngaduk nasi pakai sendok.
Dari samping, temanku nanya dengan suara pelan:
“Kamu kenapa?”
Dan jujur aja… aku nggak tahu harus jawab apa.
Pertanyaan “kamu kenapa?” itu sebenernya sederhana.
Cuma dua kata. Tapi bisa bikin jantung deg-degan dan kepala makin muter.
Karena kadang, bukan karena aku nggak mau jawab...
tapi karena aku sendiri nggak ngerti kenapa aku begini.
Aku nggak marah. Nggak sedih banget juga.
Cuma… kosong.
Kayak lemari es yang lampunya masih nyala tapi isinya cuma kecap.
Anehnya, semakin sering ditanya,
“Kamu kenapa?”
aku malah makin merasa bersalah.
“Apa aku terlalu cengeng?”
“Apa aku lebay ya?”
“Kenapa aku bisa begini cuma karena hal sepele?”
“Apa aku bikin suasana jadi nggak enak?”
Padahal mereka cuma peduli.
Tapi kadang kepedulian juga bisa terasa seperti spotlight yang menyinari semua kekosongan yang bahkan aku sendiri belum paham.
Aku pernah coba ngejelasin:
“Aku nggak tahu kenapa. Aku cuma ngerasa aneh aja.”
Dan mereka jawab:
“Coba ceritain aja, nanti kita bantu cari solusinya.”
Nah, itu dia masalahnya.
Aku nggak butuh solusi. Aku bahkan nggak tahu apa masalahnya.
Yang aku butuh saat itu... mungkin cuma duduk bareng.
Diem.
Nggak usah ditanya,
nggak usah disuruh cerita,
cukup nemenin.
Kayak nonton film bareng, tapi TV-nya mati.
Aku punya hari-hari kayak gitu.
Hari di mana semuanya kayak abu-abu.
Bukan hitam. Bukan putih. Tapi… ngambang.
Nggak ada tragedi.
Nggak ada konflik besar.
Tapi juga nggak ada semangat.
Cuma… hidup. Tapi rasanya kayak nonton sinetron 500 episode yang isinya adegan orang pingsan dan kamera muter-muter.
Dan anehnya, hari-hari kayak gini tuh bisa datang kapan aja.
Bisa waktu lagi jalan-jalan di mall.
Bisa pas lagi ngobrol bareng teman-teman.
Bahkan bisa muncul saat aku baru ketawa ngakak lima menit lalu.
Kayak lagi duduk di kursi roller coaster yang awalnya seru, terus tiba-tiba nyungsep tanpa aba-aba.
Tapi dari semua itu, yang paling bikin capek adalah berpura-pura nggak kenapa-kenapa.
“Aku oke kok.”
“Nggak apa-apa.”
“Cuma ngantuk aja.”
“Capek dikit.”
“Lagi PMS, biasa…”
Semua kalimat itu jadi semacam sabun cuci piring buat membersihkan perasaan.
Tapi sayangnya, kadang perasaan bukan piring.
Bukan sesuatu yang bisa disabunin lalu beres.
Aku pernah coba jujur,
bilang aku lagi nggak baik-baik aja.
Tapi ada yang jawab:
“Kamu mikirin apa sih? Hidupmu mah enak.”
“Kamu mah masih muda, jangan overthinking lah.”
“Udah, banyak-banyakin bersyukur aja.”
Dan aku tahu maksud mereka baik.
Tapi tetap saja, itu membuat aku berpikir:
“Oh… berarti aku emang nggak pantas ngerasa begini.”
“Berarti aku salah, ya?”
Lalu aku kembali diam.
Kembali menjawab semua “Kamu kenapa?” dengan…
“Nggak apa-apa, kok.”
Padahal dalam hati aku teriak:
“Aku juga pengen tahu kenapa! Tolong!”
Dari situ aku belajar,
kadang bukan solusi yang aku butuhkan.
Tapi tempat yang aman buat ngerasa aneh tanpa dihakimi.
Tempat di mana aku bisa bilang:
“Aku lagi nggak tahu kenapa aku kayak gini.”
dan orang di seberang cuma jawab:
“Iya, nggak apa-apa. Aku temenin.”
Tempat seperti itu… langka.
Tapi saat kamu nemu, rasanya kayak nemu charger di saat baterai tinggal 1%.
Bukan buat ngeluarin kamu dari lubang. Tapi cukup buat kamu bisa napas sebentar.
Aku pelan-pelan juga mulai belajar untuk jadi tempat itu.
Buat diriku sendiri.
Aku belajar untuk nggak maksa ngerti perasaan yang belum sempat diproses.
Belajar duduk bareng rasa aneh itu, kayak:
“Hai, perasaan aneh. Aku nggak ngerti kamu. Tapi aku nggak akan usir kamu. Kita duduk bareng aja dulu, ya?”
Dan ajaibnya…
kadang setelah aku berhenti bertanya-tanya kenapa,
perasaan itu pelan-pelan mereda.
Nggak langsung hilang. Tapi kayak air yang tadinya bergelombang… mulai tenang.
Hari itu, setelah ditanya “kamu kenapa?” dan aku cuma jawab:
“Aku nggak tahu…”
temanku cuma diem.
Nggak maksa nanya lagi.
Dia pesenin aku teh manis,
dan bilang pelan:
“Ya udah. Kamu minum ini dulu aja. Kita ngobrolin hal random, yuk.”
Lalu kami ngobrolin film lama, meme lucu, dan kenangan waktu SMP yang nggak penting tapi bikin ketawa.
Dan tahu nggak?
Setelah ngobrol itu, aku masih nggak tahu kenapa aku tadi sedih.
Tapi setidaknya…
aku nggak sendirian.
Jadi kalau kamu lagi ngalamin fase kayak gitu…
yang ditanya “kenapa” aja kamu bingung jawabnya,
tolong jangan marah ke dirimu sendiri.
Perasaanmu valid.
Meski kamu belum tahu namanya.
Meski kamu belum bisa ngejelasin.
Meski kamu cuma bisa duduk bengong dan mikir,
“Aku kenapa sih?”
Itu wajar.
Kamu manusia.
Bukan Google Form yang harus selalu ada pilihan jawaban.
Dan kalau kamu punya teman yang lagi kayak gitu,
yang jawabannya selalu,
“Nggak tahu, aku juga bingung…”
tolong jangan buru-buru kasih solusi.
Jangan bilang,
“Ah, kamu mah drama.”
“Makanya ibadahnya diperbaiki.”
“Kamu kurang piknik tuh.”
Kadang cukup bilang,
“Oke, aku di sini ya. Kalau kamu butuh diem bareng, aku bisa.”
Karena sering kali, kehadiran jauh lebih menyembuhkan daripada nasihat.
Sekarang, aku masih kadang ditanya:
“Kamu kenapa?”
Dan meski aku belum selalu bisa jawab…
aku udah nggak panik lagi.
Aku cuma senyum dan bilang:
“Aku nggak tahu. Tapi kayaknya aku bakal baik-baik aja.”
Lalu aku duduk, minum teh, dan kasih ruang buat perasaan-perasaanku lewat.
Kayak angkot:
mereka datang, berhenti sebentar, terus jalan lagi.
Dan aku?
Tetap di sini.
Menunggu rasa yang berikutnya.
Dan semoga...
aku makin bisa mengerti diriku sendiri. Sedikit demi sedikit.
Karena terkadang, memahami diri sendiri bukan soal seberapa cepat kamu menemukan jawabannya...
tapi seberapa sabar kamu mau menemani dirimu, bahkan saat jawabannya belum datang.
Dan mungkin,
jadi diri sendiri itu memang capek.
Tapi kalau kamu bisa jadi tempat aman untuk dirimu sendiri...
itu keren banget, loh.