Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
MENU
About Us  

Setiap pagi, begitu bangun, hal pertama yang kulakukan bukan stretching atau meditasi. Bukan juga minum air putih seperti yang dianjurkan akun kesehatan di Instagram. Tapi… milih topeng mana yang kupakai hari ini.

Bukan topeng literal sih—aku bukan tokoh di film horor—tapi semacam versi diri yang "layak ditampilkan". Versi yang bisa tersenyum meskipun baru aja mimpi ditinggal nikah. Versi yang bisa bilang, “Nggak papa kok,” walau hatinya kecut kayak lemon expired. Versi yang kelihatan tenang padahal di dalam dada ada konser heavy metal.

Dan anehnya, topeng itu udah jadi bagian dari rutinitas. Kayak sarapan. Atau scrolling TikTok dua jam tanpa sadar.

Aku sadar aku pakai topeng sejak zaman sekolah. Waktu itu, aku bukan anak populer. Tapi juga bukan anak yang bisa ngilang kayak ninja. Aku ada di tengah-tengah. Bukan siapa-siapa, tapi juga bukan nggak siapa-siapa banget. Masalahnya, di masa itu, eksistensi ditentukan oleh seberapa "oke" penampilan dan kepribadianmu. Maka mulailah aku menciptakan versi diriku yang “enak dilihat” orang lain. Nggak terlalu aneh, nggak terlalu pintar, nggak terlalu vokal. Pokoknya aman.

Pernah suatu hari, aku ketawa keras karena mendengar lelucon absurd dari temen sebangku. Ketawaku lepas banget, nyaris kayak suara bebek dipelintir. Dan beberapa orang nengok dengan tatapan aneh. Sejak saat itu, aku belajar… ketawa juga ada tekniknya. Harus dikontrol. Harus sopan. Jangan sampai suara ketawamu lebih menggelegar daripada mic MC acara.

Aku mulai belajar nahan komentar. Nahan gerakan. Bahkan nahan ekspresi. Bukan karena takut, tapi karena… capek juga dibilang “terlalu ini” dan “terlalu itu”.

Masuk dunia kerja, topengku makin canggih. Kalau di sekolah dulu pakainya versi topeng dari kardus, kini upgrade jadi versi full face mask dengan teknologi anti-bocor. Aku jadi si profesional. Si dewasa. Si sabar. Si nggak pernah marah walau revisi datang jam 9 malam saat aku lagi makan indomie pake telur dua (karena hari itu terasa berat dan aku butuh protein dobel).

“Ayo dong, kamu tuh pinter banget. Kamu pasti bisa.”

Itu kata bosku. Padahal dalam hati aku pengen jawab, “Bu, saya pinter nangis. Pinter bikin kopi. Tapi ngerjain laporan sambil burnout, itu sih seni.”

Tapi ya… senyum aja. Angguk. Balas dengan emoji semangat.

Karena kalau jadi diriku yang sebenarnya, bisa-bisa aku dianggap kurang profesional. Kurang tangguh. Kurang cocok naik jabatan. Kurang segalanya. Padahal aku cuma... manusia. Yang kadang salah. Kadang pengen diem. Kadang pengen tidur tiga hari tanpa diganggu. Tapi manusia yang pakai topeng, lama-lama lupa wajah aslinya kayak apa. Aku pernah coba eksperimen kecil.

Satu hari, aku memutuskan untuk “puasa topeng”.

Aku bangun pagi dan bilang ke diri sendiri, “Hari ini, kita tampil sebagai diri sendiri. Nggak perlu pura-pura ceria. Nggak perlu senyum palsu. Nggak perlu bilang ‘oke’ kalau emang nggak oke.” Hari itu aku ke kantor dengan wajah tanpa ‘makeup sosial’. Nggak pasang topeng ramah. Nggak pasang topeng rajin. Aku cuma jadi aku.

Ketika ditanya, “Gimana kabarnya?”

Aku jawab jujur, “Lagi nggak semangat sih. Tapi ya hidup terus berjalan, kan?”

Responsnya? Temenku menatapku kayak aku habis ngaku alien.

“Loh, kok gitu? Biasanya kamu ceria banget!”

Tiba-tiba aku ngerasa… bersalah.

Seakan-akan ketidakceriaanku itu kesalahan. Seakan aku menyalahi kontrak diam-diam yang bilang kalau aku harus selalu menyenangkan. Di situ aku sadar. Kadang, bukan cuma aku yang pengen pakai topeng. Tapi orang lain juga udah nyaman melihatku pakai topeng tertentu. Dan ketika aku coba lepas, mereka malah bingung. Tapi ada juga momen langka—ketika aku ketemu orang yang bikin aku bisa buka topeng tanpa takut.

Namanya Raka. Temen nongkrong yang kutemui di kelas yoga, ironisnya, pas aku nggak niat ikut. Aku niatnya cuma nemenin temen. Tapi malah kenal dia.

Raka ini absurd. Ketawa keras, suka pakai kaos yang tulisannya “Lelah Tapi Lucu”, dan tiap ngobrol nggak pernah sok-sokan bijak. Dia orang pertama yang bilang, “Capek ya, pura-pura kuat terus.” Kami jadi sering ngobrol. Di kafe, di trotoar, di taman kota. Aku cerita kalau aku ngerasa tiap hari jadi aktor. Tapi bedanya, aku nggak pernah dapet Oscar. Bahkan tepuk tangan pun jarang. Yang ada cuma ekspektasi lebih.

Dia ketawa. Terus bilang, “Yah, kita ini pemain figuran di film orang lain. Tapi lupa kalau kita juga bisa jadi bintang utama di film sendiri.”

DAN ITU, JUJUR, MEMBENTUR HATIKU.

Selama ini, aku terlalu sibuk mikirin peran yang cocok buat orang lain. Sampai lupa tanya ke diri sendiri: “Sebenernya, kamu pengen jadi siapa?”

Akhirnya aku bikin proyek kecil-kecilan: hari tanpa topeng.

Mulai dari hal sederhana. Nggak pakai ‘iya-iya’ kalau sebenarnya nggak setuju. Nggak pakai emoji senyum kalau hati lagi murung. Nggak bilang, “Aku nggak apa-apa,” kalau memang lagi pengen nangis.

Ternyata… sulit. Tapi menyegarkan.

Dan yang paling mengejutkan, nggak semua orang kabur saat aku jadi versi jujur dari diriku. Ada yang bertahan. Bahkan ada yang bilang, “Aku lebih suka kamu yang ini. Lebih nyata.” Itu bikin aku mikir: mungkin selama ini aku terlalu sibuk nyenengin orang, sampai lupa bahwa kejujuran itu juga menarik. Bahwa jadi manusia yang rapuh pun bisa dicintai. Bahwa nggak harus sempurna untuk bisa diterima. Tiap hari kita belajar jadi diri sendiri.

Dan tiap hari juga, kita diuji: masih mau pakai topeng nggak?

Topeng itu memang melindungi. Tapi lama-lama bisa bikin sesak. Kayak pakai masker N95 terus-terusan sambil lari pagi. Aman sih, tapi nggak bisa napas. Jadi sekarang, aku coba lebih sering buka topeng. Biar tahu siapa aja yang tetap tinggal. Dan biar aku sendiri juga ingat, wajah asli ini nggak seburuk yang kubayangkan.

Mungkin aku nggak akan pernah dapet Oscar. Tapi setidaknya, aku bisa dapet tidur nyenyak karena nggak harus terus akting.

Dan itu cukup, kan?

“Melepas topeng bukan berarti kita lemah. Tapi karena kita akhirnya percaya: jadi diri sendiri itu bukan hal yang memalukan. Meski capek, setidaknya… lucu juga.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SABTU
2447      1008     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
1 Kisah 4 Cinta 2 Dunia
25794      3434     3     
Romance
Fina adalah seorang wanita yang masih berstatus Mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Ia adalah wanita yang selalu ceria. Beberapa tahun yang lalu ia mempunyai seorang kekasih yang bernama Raihan namun mereka harus berpisah bukan karena adanya orang ketiga namun karena maut yang memisahkan. Sementara itu sorang pria yang bernama Firman juga harus merasakan hal yang sama, ia kehilangan seoarang is...
Intertwined Hearts
997      560     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
I Found Myself
41      37     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
One-room Couples
1154      577     1     
Romance
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini. "Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri lay...
Mendadak Pacar
9240      1867     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
A Ghost Diary
5388      1755     4     
Fantasy
Damar tidak mengerti, apakah ini kutukan atau kesialan yang sedang menimpa hidupnya. Bagaimana tidak, hari-harinya yang memang berantakan menjadi semakin berantakan hanya karena sebuah buku diary. Semua bermula pada suatu hari, Damar mendapat hukuman dari Pak Rizal untuk membersihkan gudang sekolah. Tanpa sengaja, Damar menemukan sebuah buku diary di tumpukkan buku-buku bekas dalam gudang. Haru...
FaraDigma
835      485     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Penantian Panjang Gadis Gila
271      214     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Jual Jimat Anti Corona
334      212     1     
Short Story
Desaku mendadak ramai akhir-akhir ini. Rumah kakek tua yang disebut-sebut sebagai dukun sakti, kini dipadati pasien karena spanduk "Jual Jimat Anti Corona" terpajang di depan rumahnya. Ya Gusti, musibah macam apa lagi ini?