Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
MENU
About Us  

 

Katanya, jadi diri sendiri itu bentuk tertinggi dari kebebasan. Bentuk cinta diri paling sejati. Sinyal bahwa kamu telah mencapai puncak kedewasaan dan penerimaan hidup. Tapi… kenapa ya, tiap kali aku mencoba jadi diri sendiri, isi kepalaku malah kayak diskusi panel tanpa moderator?

Iya, aku overthinking.

Nggak sekali dua kali, tapi nyaris setiap saat.

Misalnya nih. Aku pernah memutuskan buat tampil apa adanya di acara ulang tahun temen. Maksudnya bener-bener jadi versi santai dari diriku—tanpa makeup, pakai hoodie belel, dan celana jeans yang sudah mulai berbicara sendiri (saking tuanya). Begitu masuk ruangan, semua mata menoleh. Nggak ada yang ngomong sih, tapi ekspresi mereka kayak pengen bisik-bisik, "Itu dateng buat ulang tahun atau abis lari dari kontrakan?"

Langsung, otak mulai bekerja keras:

“Bener nggak sih pakai baju ini?”
“Harusnya tadi pakai lip tint deh, biar kelihatan hidup.”
“Orang lain pasti mikir aku nggak niat.”
“Ya Tuhan, kenapa aku begini?!”

Padahal sebelumnya aku sudah semangat banget ngomong ke kaca, “Hari ini, aku akan jadi diriku sendiri!” Tapi nyatanya, jadi diri sendiri itu ternyata bukan cuma soal jujur sama dunia, tapi juga soal tahan mental ketika dunia kasih ekspresi bingung. Aku pernah juga, dalam semangat penuh kejujuran, memutuskan buat upload isi kepala di media sosial. Tulisan pendek. Tentang hari-hari yang nggak selalu baik, tentang rasa lelah, dan betapa absurdnya hidup dewasa. Kukira, akan banyak yang relate. Kukira, ini akan jadi momen literasi yang menyentuh.

Yang terjadi?

Cuma satu yang like, dan itu juga akun fake-ku sendiri.

Otak langsung overdrive:

“Berarti tulisan gue jelek ya?”
“Jangan-jangan mereka mikir aku cari perhatian.”
“Ya ampun, aku harus hapus post-nya!”
“Aku bodoh banget.”

Padahal… ya cuma tulisan. Cuma satu postingan. Tapi otak ini, dengan ajaibnya, bisa membuat itu terasa kayak bencana internasional.

Aku heran. Kok bisa ya, jadi diri sendiri malah bikin kepala penuh suara?

Suara-suara yang bilang aku nggak cukup baik, nggak cukup menarik, nggak cukup layak untuk didengar. Padahal, bukannya kita disuruh buat mencintai diri kita sendiri? Bukannya sekarang zamannya self-love? Tapi ternyata, mencintai diri sendiri itu nggak semudah pakai skincare. Kadang, overthinking datang bahkan saat kita sedang benar-benar mencoba untuk jujur.

Ada satu waktu, aku nekat tampil stand up comedy di acara kampus. Ini salah satu mimpi kecilku yang nggak pernah kesampaian—karena terlalu takut dinilai.

Tapi hari itu, aku pikir, “YOLO! Kalau gagal, paling juga diketawain… eh, emang niatnya biar ditawain sih.”

Aku naik panggung. Tangan gemetar, keringat dingin, dan aku hampir melupakan punchline pertama. Tapi kemudian aku mulai bicara. Tentang hidup jadi mahasiswa miskin tapi tetap ngopi. Tentang dilema antara bayar kosan atau nonton konser. Tentang overthinking yang datang bahkan pas lagi buang air kecil—karena denger suara orang di toilet sebelah mirip dosen killer.

Penonton ketawa.

Aku nggak nyangka. Beneran ketawa. Bukan yang sopan, tapi yang lepas. Ada yang sampai tepuk-tepuk meja. Dan di momen itu, aku ngerasa... kayaknya inilah rasanya jadi diri sendiri yang benar.

Tapi, tahu nggak apa yang terjadi pas aku turun panggung?

Otak mulai kerja:

“Bener nggak ya aku lucu?”
“Ada yang ketawa karena beneran lucu atau karena kasihan?”
“Gaya ngomongku terlalu norak nggak ya?”
“Tadi waktu aku batuk, ada yang ilfeel nggak ya?”

DAN BEGITULAH, overthinking menyerang lagi.

Aku sadar, jadi diri sendiri itu bukan akhir dari perjuangan. Justru itu awal dari fase baru: berdamai sama suara-suara di kepala sendiri. Karena jujur itu mengundang risiko. Risiko dinilai, risiko ditolak, risiko dianggap aneh.

Tapi tahu nggak?

Semakin sering aku memberanikan diri untuk jadi apa adanya, aku sadar satu hal penting: overthinking itu tanda bahwa aku peduli. Tanda bahwa aku manusia, bukan robot. Dan ternyata, banyak juga orang lain yang punya kepala seberisik ini—mereka cuma jago menyembunyikannya. Satu malam, aku ngobrol dengan temanku, Nara. Dia orang paling chill yang aku kenal. Gayanya nyantai, suka pakai tote bag bergambar ayam, dan cara tertawanya kayak mesin motor mogok—keras tapi tulus. Aku cerita soal semua overthinking-ku. Tentang bagaimana aku pengen jadi diri sendiri tapi kok malah makin cemas. Tentang takut nggak cukup, takut dibilang aneh, takut kehilangan arah. Dia dengerin sambil makan keripik pisang.

Lalu dia bilang, “Lha, itu berarti kamu manusia. Kalo kamu jadi diri sendiri tapi nggak pernah ragu, itu namanya bukan jadi diri sendiri. Itu jadi tokoh film.”

Aku diem.

Lalu dia lanjut, “Justru karena kamu mikir, berarti kamu sadar. Dan sadar itu langkah pertama buat terima diri sendiri. Capek sih, tapi lama-lama kamu akan ngerti: kamu nggak harus dimengerti semua orang.”

Dan anehnya, kalimat itu nancep banget.

Karena selama ini, aku pikir jadi diri sendiri itu berarti harus jadi kuat, harus jadi yakin, harus jadi stabil. Padahal, nggak selalu. Kadang jadi diri sendiri itu artinya… bingung, tapi jujur. Ragu, tapi tetap jalan. Overthinking, tapi nggak kabur. Dan sesekali—ketawa sendiri meski dunia nggak ngerti lucunya di mana.

Sekarang, aku mulai berdamai. Dengan diri sendiri. Dengan isi kepala yang sering ribut sendiri. Dengan ekspektasi yang kadang bikin lelah. Aku belajar kasih jeda. Nggak semua komentar harus dimasukin hati. Nggak semua overthinking harus dijawab. Kadang, cukup bilang ke diri sendiri: “Tenang. Kamu baik-baik aja. Ini cuma otakmu yang lebay.” Dan yang paling penting, aku belajar: jadi diri sendiri itu bukan soal jadi keren. Tapi soal punya keberanian untuk tetap muncul, meski dunia bilang kamu terlalu aneh, terlalu biasa, atau terlalu banyak mikir.

Capek? Iya. Tapi lucu juga.

Karena di tengah semua overthinking, aku pelan-pelan bisa bilang ke diriku sendiri:

“Hey, kamu nggak sempurna, tapi kamu lucu juga, kok. Dan itu cukup.”

“Terkadang, kepala kita adalah tempat paling ramai meski kita sendirian. Tapi bukan berarti kita tersesat. Mungkin kita cuma sedang mencari jalan pulang—ke diri sendiri.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Monokrom
117      95     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Lantas?
42      42     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Yu & Way
169      137     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Utha: Five Fairy Secret
1572      770     1     
Fantasy
Karya Pertama! Seorang pria berumur 25 tahun pulang dari tempat kerjanya dan membeli sebuah novel otome yang sedang hits saat ini. Novel ini berjudul Five Fairy and Secret (FFS) memiliki tema game otome. Buku ini adalah volume terakhir dimana penulis sudah menegaskan novel ini tamat di buku ini. Hidup di bawah tekanan mencari uang, akhirnya ia meninggal di tahun 2017 karena tertabrak s...
Langkah yang Tak Diizinkan
195      163     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Layar Surya
1750      1012     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Sendiri diantara kita
1264      728     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
MAMPU
7369      2434     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
Pasal 17: Tentang Kita
139      59     1     
Mystery
Kadang, yang membuat manusia kehilangan arah bukanlah lingkungan, melainkan pertanyaan yang tidak terjawab sebagai alasan bertindak. Dan fase itu dimulai saat memasuki usia remaja, fase penuh pembangkangan menuju kedewasaan. Sama seperti Lian, dalam perjalanannya ia menyadari bahwa jawaban tak selalu datang dari orang lain. Lalu apa yang membuatnya bertahan? Lian, remaja mantan narapidana....
My First love Is Dad Dead
56      53     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...