Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
MENU
About Us  

Sejujurnya, aku nggak pernah merasa jadi orang yang spesial. Bukan juga tipe manusia yang nyentrik, artis, atau punya gaya hidup aneh-aneh yang bisa dijadikan konten YouTube. Aku nggak punya hobi yang antimainstream, nggak punya kepribadian misterius yang bikin orang penasaran, dan waktu ditanya “apa kelebihan kamu?” di interview kerja, aku sempat pengen jawab: “Saya bisa diem lama banget, bahkan sampai orang lupa saya ada.”

Jadi ya, aku biasa-biasa saja. Tapi anehnya, setiap kali aku mencoba jadi seperti orang lain—yang lebih keren, lebih asyik, lebih instagramable—hasilnya malah seperti aktor figuran yang dikasih peran utama: canggung, kaku, dan cepat ketahuan pura-puranya.

Aku pernah, lho, mencoba jadi anak yang fashionable. Modalnya beli jaket denim sobek-sobek, celana kulot, dan topi baret. Tapi waktu aku pakai dan masuk ke kafe, yang terjadi adalah: barista nanya, “Mbak, pesenannya mau dine-in atau photoshoot aja?”

Jleb.

Pernah juga nyoba gaya ngomong yang cool, ala-ala influencer. Setiap kalimat ditambahin kata “literally”, “basically”, dan “it’s giving…” Tapi waktu aku ngomong gitu ke temen SMA, dia langsung refleks nyeletuk, “Lu kenapa? Kesurupan TikTok ya?”

Capek, sumpah.

Aku sempat mikir, jangan-jangan hidup ini sebenarnya kayak lomba cosplay, dan aku satu-satunya yang gagal riset karakter. Karena semua orang kelihatannya tahu harus jadi siapa. Ada yang jadi si lucu, si ambisius, si misterius, si aesthetic. Dan aku? Aku jadi si… bingung.

Waktu SMA, aku sempat berusaha keras masuk geng anak populer. Kamu tahu, kan, tipe geng yang kalau jalan ke kantin selalu formasi segitiga, kayak video klip. Aku belajar gaya tertawa mereka, ikut nonton drama Korea meski aku waktu itu lebih suka kartun Jepang, dan rela nahan lapar cuma demi beli lip tint yang mereka pakai.

Tapi lama-lama capek. Karena ternyata, jadi orang lain itu kerja penuh waktu. Dan gajinya? Nggak ada. Bonusnya? Cuma rasa kehilangan diri sendiri.

Suatu hari, aku kelepasan tertawa ngakak gara-gara salah satu temanku nyeletuk jokes receh soal ayam. Bukan ayam dalam konteks jorok, tenang. Cuma ayam kampus yang kakinya gede kayak gorengan kantin. Aku ketawa sampe keluar air mata, sampai anak-anak geng itu mandangin aku dengan ekspresi: “Oh no, dia rusak.”

Dan sejak hari itu, aku kayaknya nggak diundang nongkrong lagi.

Tapi anehnya, aku malah lega. Iya, sedih juga sih karena nggak punya tempat lagi di kantin. Tapi ternyata, ketawa jadi diri sendiri itu rasanya jauh lebih enak daripada nahan tawa demi jaga image.

 

Waktu kuliah, aku coba mulai dari nol. Maksudnya bukan daftar ulang, tapi mulai hidup yang (katanya) lebih bebas. “Jadi aja dirimu sendiri,” kata salah satu kakak tingkat di acara ospek. Tapi begitu aku tampil dengan pakaian nyaman versiku—kaus longgar, celana training, dan sandal jepit—aku langsung dijadikan contoh di slide "Tampilan Mahasiswa Tidak Disarankan".

Lagi-lagi, jadi diri sendiri nggak seindah teori buku motivasi.

Tapi di balik semua kebingungan itu, aku mulai nemu pola kecil. Ternyata, tiap kali aku berhenti mikirin bagaimana caranya jadi seperti orang lain, justru aku mulai ketemu bagian kecil dari diriku yang… bisa dinikmati. Bukan karena unik, tapi karena jujur.

Misalnya, aku mulai nulis. Bukan puisi-puisi melankolis atau esai filsafat, tapi catatan konyol soal kejadian sehari-hari. Kayak betapa susahnya buka toples sambel yang dikencengin emak-emak, atau betapa misteriusnya nasib kaus kaki yang hilang satu tiap dicuci. Anehnya, waktu aku iseng upload tulisan itu ke blog, orang-orang mulai baca. Mereka ketawa. Mereka bilang, “Aku banget!”

Dan untuk pertama kalinya, aku ngerasa: jadi diri sendiri itu… bisa nyambung juga, ya?

Bukan karena aku luar biasa. Tapi karena ternyata banyak orang juga ngerasa capek jadi versi palsu dari diri mereka. Kita cuma terlalu sibuk pura-pura buat tahu kita semua mirip: lelah, bingung, tapi pengin diterima.

Pernah satu waktu aku nyoba lagi “ikut arus”. Aku daftar kerja di perusahaan keren, belajar ngomong bahasa korporat, pakai kemeja yang disetrika sampai kaku, dan ngafalin template jawab interview. Tapi waktu HRD-nya tanya: “Ceritakan tentang diri Anda,” aku kelepasan jawab, “Saya cukup random, tapi tanggung jawab, kok!”

Aku tahu, itu kalimat yang bikin pintu ditutup secara halus. Tapi waktu aku keluar dari ruang wawancara, aku nggak nyesel. Karena walaupun nggak dapat kerja, aku dapet satu hal: kejujuran kecil yang bikin napas lebih ringan.

Kita selalu dibilang harus jadi versi terbaik dari diri sendiri. Tapi gimana caranya kalau kita bahkan belum tahu versi diri yang mana yang asli?

Jawabannya: pelan-pelan. Dan salah satu cara terbaik yang aku tahu adalah berhenti nyamar.

Berhenti jadi orang yang terlalu banyak mikir “apa kata orang”. Berhenti terlalu sibuk menyesuaikan diri sampai lupa siapa kita di awal.

Bukan berarti nggak berubah. Tapi berubah karena kita ingin, bukan karena takut ditinggal.

Satu malam, aku duduk di kamar sambil ngunyah mi instan, nonton ulang kartun tahun 2000-an. Rambutku acak-acakan, wajah berminyak, dan baju kebesaran warisan abangku. Di detik itu, aku ngerasa: ini bukan versi paling cantik dari diriku, tapi entah kenapa, ini versi paling damai.

Karena aku nggak sedang pura-pura. Aku nggak berusaha jadi siapa-siapa. Aku cuma… jadi.

Dan ternyata, itu cukup.

Jadi ya, kalau kamu pernah ngerasa “aku kok nggak spesial-spesial amat ya?” atau “kenapa aku nggak bisa kayak orang lain yang keren itu?”—aku cuma mau bilang:

Mungkin kamu memang nggak unik. Tapi kamu juga bukan salinan siapa-siapa. Mungkin kamu nggak bisa jadi orang lain. Tapi kamu juga nggak diminta buat jadi. Yang penting, kamu masih bisa ketawa—walau di tengah krisis identitas. Dan kalaupun jadi diri sendiri itu capek… ya, semoga capeknya bisa kita lewatin bareng. Sambil ketawa. Sambil istirahat. Sambil nulis cerita. Karena siapa tahu, dari capek-capek itu, kita malah nemu versi diri yang ternyata cukup lucu untuk diceritakan.

“Aku nggak tahu harus jadi siapa. Tapi aku tahu satu hal: aku bisa jadi aku. Walaupun nggak spektakuler, tapi... cukup.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Atraksi Manusia
462      342     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...
Hey, I Love You!
1176      506     7     
Romance
Daru kalau ketemu Sunny itu amit-amit. Tapi Sunny kalau ketemu Daru itu senang banget. Sunny menyukai Daru. Sedangkan Daru ogah banget dekat-dekat sama Sunny. Masalahnya Sunny itu cewek yang nggak tahu malu. Hobinya bilang 'I Love You' tanpa tahu tempat. Belum lagi gayanya nyentrik banget dengan aksesoris berwarna kuning. Terus Sunny juga nggak ada kapok-kapoknya dekatin Daru walaupun sudah d...
Broken Home
29      27     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Cinderella And The Bad Prince
1234      836     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Bisikan yang Hilang
63      57     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Qodrat Merancang Tuhan Karyawala
1019      691     0     
Inspirational
"Doa kami ingin terus bahagia" *** Kasih sayang dari Ibu, Ayah, Saudara, Sahabat dan Pacar adalah sesuatu yang kita inginkan, tapi bagaimana kalau 5 orang ini tidak mendapatkan kasih sayang dari mereka berlima, ditambah hidup mereka yang harus terus berjuang mencapai mimpi. Mereka juga harus berjuang mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang mereka sayangi. Apakah Zayn akan men...
LABIL (Plin-plan)
7934      1630     14     
Romance
Apa arti kata pacaran?
The Bet
17122      2675     0     
Romance
Di cerita ini kalian akan bertemu dengan Aldrian Aram Calton, laki-laki yang biasa dipanggil Aram. Seperti cerita klise pada umumnya, Aram adalah laki-laki yang diidamkan satu sekolah. Tampan? Tidak perlu ditanya. Lalu kalau biasanya laki-laki yang tampan tidak pintar, berbeda dengan Aram, dia pintar. Kaya? Klise, Aram terlahir di keluarga yang kaya, bahkan tempatnya bersekolah saat ini adalah mi...
The First 6, 810 Day
595      429     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...