Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Since you've been around, I smile a lot more that I used to.

***

Sepanjang mata memandang yang terhampar hanyalah air. Garangnya matahari tidak mengikis keindahan laut yang  gelombangnya memantul-mantulkan sinar berkilau seperti berlian. Ia berdiri di depan anjungan kapal, bersandar di besi pembatas, menikmati bagaimana perahu besi melaju membelah air. Ditutupnya mata, dibiarkannya gelora angin mengempas tubuh dan memainkan cepol ikalnya.

"Senang, Neng?" tegur seseorang di belakangnya.

Ruby menoleh kepada Rimba yang menyambanginya. Cowok itu tampak bersinar dengan senyum secerah matahari.

Senyum Ruby terbit dan ia mengangguk. "Gue udah lupa kapan terakhir ke pantai."

"Lo benar-benar bukan warga Jakarta yang baik kalo belum pernah main ke Kepulauan Seribu." Rimba ikut menaruh kedua siku di pagar kapal.

"Jadi? Gue dideportasi, nih?"

"Kami nggak sejahat itu kok, tapi mulai sekarang lo mesti urus visa kalo mau masuk Jakarta," canda Rimba.

Membahas tentang visa, Ruby ingat kemarin ia sudah mengurus visa Rusia. Proses pengurusannya sangat mudah dan dia tidak perlu diwawancarai. Untuk pas foto pun tidak ada aturan terkait dimensi yang saklek, cukup pas foto berlatar putih saja.

"Oh, gitu. Ya, kalo disusahin bikin visanya. Gue nggak usah datang ke Jakarta lagi aja," jawab Ruby jual mahal.

Rimba yang sudah tahu letak titik geli Ruby langsung mencolek pinggang cewek itu dengan telunjuk. "Nganceeeeem. Ngancem, nih?"

Seperti biasa, Ruby menepis meski sempat tertawa geli, dan Rimba masih berusaha menggelitikinya.

"Teruuus, terusin aja. Yang lain cuma debu-debu kapal!" Untung yang sedari tadi duduk bersila di bawah atap depan kaca ruang nakhoda, merasa terganggu.

"Sabar, Tung. Orang sabar jidatnya lebar," sahut Nanda sambil merogoh kacang atom dan melempar kacang itu satu per satu ke udara kemudian ditangkap oleh mulutnya yang terbuka.

Selain Untung dan Nanda, tentulah ada Zikra dan Mira juga. Mereka memang diajak Ruby untuk ikut serta. Ketika dua hari yang lalu Rimba bertanya apa yang diinginkan Ruby sebelum berangkat. Tiba-tiba terpikirkan olehnya untuk mengunjungi pantai terdekat. Ia juga meminta Rimba untuk mengundang Nanda, Zikra, Untung dan Mira. Jadilah, hari ini, mereka bersama-sama melakukan perjalanan menuju Kepulauan Seribu.

Pukul sebelas kapal yang ditumpangi bersandar di Pulau Pramuka, mereka bergegas mencari makan siang karena memiliki banyak rencana. Setelah makan, mereka lalu menyewa sepeda dan mengelilingi pulau itu. Sepeda digowes santai melewati banyak gerobak pedagang di sepanjang pantai. Pulau ini ternyata cukup lengkap, Ruby melihat ada rumah sakit, gedung perkantoran dan juga sekolah. Ruang publik yang ada juga tertata dan indah. Ada ayunan, perosotan dan beberapa permainan anak-anak. Ada lapangan futsal juga, dan dia melihat sekelompok pemuda sedang bermain di sana.

Mereka terus mengayuh sepeda, sesekali berkejar-kejaran. Sepeda mereka makin ke arah belakang pulau, melewati Tempat Pelelangan Ikan menuju area konservasi mangrove dan tempat penangkaran penyu. Mereka sempat berhenti sebentar untuk foto-foto dan melihat bagaimana lucunya bayi-bayi penyu sebelum nanti dilepas ke habitat asli. Puas melihat bayi penyu, perjalanan dilanjutkan. Kali ini, mereka juga melihat bayi hiu di penangkaran pinggir pantai.

"By, sini...," panggil Rimba, "jangan jauh-jauh, nanti dimakan hiu," bisik cowok itu menarik lengannya agar mendekat.

Ruby hanya bisa mengulum senyum. Ia tidak mengerti mengapa sedari tadi matanya selalu saja hendak melirik ke Rimba. Sekuatnya Ruby berusaha untuk biasa saja, tetapi setiap apa yang Rimba bikin, selalu saja membuatnya ingin tersenyum.

Setelah melihat hiu kecil, mereka melewati pemukiman penduduk yang di bagian depan rumah memiliki taman kecil. Sesekali mereka dibuat terkagum karena penduduk berhidroponik untuk menanam berbagai macam sayuran, mengingat minimnya tanah di lahan berpasir tersebut.

Selesai mengelilingi pulau, mereka kembali ke dermaga. Matahari sudah tidak berada di atas kepala, Ruby menyempatkan berjalan sendirian menyusuri pantai. Ia menolak diajak berenang.

"Liv, sini! Jangan sendirian, kesambet nanti!" panggil Untung sembari melambaikan tangan.

Sepanjang perjalanan, pasukan itu memang berisik sekali tetapi kali ini Ruby sangat menikmati kerusuhan mereka. Rimba sesekali menyuruh mereka diam, tetapi ada saja yang memulai keributan. Seperti saat ini, Untung memanggilnya iseng lalu berakhir dengan olok-olokan yang menyindir Rimba lagi.

"Iya, Liv. Kasian Rimba kalo lo kesambet. Udah cukup ditinggal lo pindah aja dia udah galau, jangan tambahin kegalauannya," imbuh Zikra. Belum sampai beberapa detik, Rimba sudah menggetok kepala Zikra.

Ruby kembali ke tempat mereka duduk.

"Udah jalan sendirinya?" tanya Mira.

Ruby mengangguk.

"Soalnya kata Rimba, lo nggak boleh jalan sendiri. Nanti dia kehilangan. Aduh."

Ruby tersenyum lagi melihat Mira dijewer Rimba. Mereka berlima sudah menepi selesai berenang di laut dan saat ini, sedang menyerbu sepiring rujak.

"Liv, yang namanya ke pantai itu kena air laut. Ngapain coba ke pantai cuma buat liat-liat doang?" ujar Nanda sambil membereskan rujak yang sudah habis, menyatukan sampah ke dalam kantong.

"Biarin, sih. Setiap orang punya kesukaan sendiri-sendiri. Ribet deh lo," sahut Rimba.

"Ciaaaa dibelain, ciaaaa," ejek Nanda kepada Rimba.

Ruby hanya memandangi teman-temannya yang masih berbaju basah dilapisi handuk. Mereka tidak mau ganti baju, mau main lagi, katanya. Seandainya saja ia bisa mengenal mereka lebih lama, tentu akan banyak kenangan indah yang tertoreh semasa SMA. Ada yang bilang masa yang paling indah adalah masa sekolah. Saat SD dan SMP, Ruby hanya merasa semua datar saja. Jika bisa dibilang, saat-saat SMA-lah hidupnya penuh warna, bukan hanya hitam putih.

"Minum, Liv." Mira menyodorkan sebuah minuman kemasan. "Santai aja sama kita-kita. Apalagi sama mereka, anggap aja mereka kacung."

Kalimat Mira memancing celaan dari yang lain, cewek itu terbahak-bahak sambil menepis toyoran yang datang. "Sebelum nyebrang, banana boat dulu, yuk?" ajaknya, "yuk, Liv."

Ruby terperangah oleh ajakan spontan itu. "Nggak, ah."

Kali ini, tolakan Ruby tidak memengaruhi yang lain termasuk Rimba. Oleh Rimba dan Mira, dirinya dipapah dan dilemparkan ke air agar basah. Setengah dipaksa, Ruby diajak naik banana boat.

Mereka berenam ikut semua. Rimba menitipkan kamera ke salah satu kru untuk mengabadikan momen itu. Kapal kecil berbentuk pisang mulai berjalan, perlahan bertambah cepat, menabrak air, membuat jiwa petualang dalam diri Ruby bangkit. Seruan yang lain menambah semarak. Untung yang paling depan tampak sangat bersemangat. Air mengempas-empas kaki mereka.

Kapal penarik makin kencang, membuat perahu pisang mulai berkelok. Saat kapal menungkik tiba-tiba dan mereka berenam terpental ke air, pekikan memenuhi sekitar.

"Nyaaaaak!" seru Untung dan sekejap mereka masuk ke dalam air.

Ruby dapat merasakan Rimba menggapai tangannya ketika ia terjatuh ke air. Cowok itu langsung menariknya ke permukaan.

"Nggak papa?" tanya Rimba.

Meski air masuk ke mata, hidung dan telinga, tetap saja semua terasa lucu untuk Ruby. Ia tertawa. Apalagi melihat Untung yang tadinya paling berani, menjadi yang paling heboh mau pindah ke tengah. Kontan Untung menjadi bulan-bulanan yang lain.

Sebelum melanjutkan perjalanan, mereka menyempatkan mengisi perbekalan dan air bersih, tidak lupa juga menyewa peralatan snorkeling. Sebuah kapal kecil juga sudah disewa untuk mengantar mereka. Kapal yang hanya berisi mereka saja mulai membelah lautan dan sempat berhenti di tengah laut. Sang nelayan yang bernama Bang Olid memberi tahu mereka titik menarik untuk snorkeling. Ruby sempat dua kali turun untuk menyapa ikan-ikan yang berenang bebas di sekitarnya.

"Kita nggak jadi ke Semak Daun, Mbek?" tanya Untung heran. Pasalnya kapal terus jalan ke arah yang berbeda dari tempat yang akan mereka singgahi.

"Kata Bang Olid banyak banget yang ke sana," jawab Rimba. Kebetulan Bang Olid adalah penduduk setempat yang sudah mengenal seluk beluk Kepulauan Seribu. Awalnya mereka memang berniat menginap di pulau terdekat yaitu Pulau Semak Daun tetapi pengunjung kali ini cukup banyak. "Ini kita liat dulu. Ada alternatif lain mau Pulau Opak atau Pulau Dolphin."

Kapal jalan kembali menuju pulau yang dimaksud. Dua-duanya adalah pulau kecil yang tidak berpenghuni tetapi diperbolehkan untuk camping. Rimba bertanya kepada yang lain, apakah mau ke Pulau Opak atau Pulau Dolphin. Cowok itu juga menjelaskan bagaimana kondisi pulau tersebut.

Suara terbanyak memilih Pulau Opak, termasuk saran dari Bang Olid. Menurut lelaki berkulit hitam tersebut, banyak bulu babi dan ikan lepuh di sekitar Pulau Dolphin. Ikan lepuh adalah ikan yang paling berbahaya dan mematikan di lautan. Kalau telat penanganan sampai dua jam maka racun ikan lepuh bisa menjalar sampai ke jantung dan mengakibatkan meninggal dunia. Yang lebih mengkhawatirkan bentuk ikan tersebut mirip karang, sehingga manusia susah membedakannya.

Kapal akhirnya menepi di sebuah pulau kecil dan menurunkan muatan. Cowok-cowok berjalan menyusuri pantai, mencari spot bagus untuk mendirikan tenda. Selain tenda dan perbekalan air bersih, Bang Olid juga membawa ikan segar untuk dibakar sebelum meninggalkan pulau ini.

Kelompok pun mulai dibagi. Ada yang membangun tenda, ada yang menyiapkan makanan dan mencari kayu bakar. Sebenarnya, Ruby ingin membantu siapkan makanan, tetapi kata Mira biar cowok-cowok saja yang masak nasi, cewek jalan-jalan saja.

"Kapan lagi coba mereka masak kalo nggak lagi camping? Biarin aja mereka yang masak." Begitu kata Mira dan akhirnya Ruby mengikuti Mira untuk mencari ranting kering.

Ruby menatap pulau yang terlihat sepi, hanya ada satu dua tenda yang berdiri agak jauh dari tenda mereka. Pasir putih yang berada di sela-sela kaki lembut menyapa. Rasanya damai sekali. Semua penat yang ada seperti dibawa pergi oleh ombak datang dan pergi.

Pohon yang berdiri di sepanjang deret pantai menambah keindahan yang ada. Angin yang menyisir daun-daun membuat suara gemirisik khas pantai. Jujur, ia tidak menyangka kalau Kepulauan Seribu yang tidak jauh dari Jakarta ternyata cantik. Ketika otaknya memikirkan bagaimana bisa ke Anambas, Derawan, Wakatobi, atau Raja Ampat, ia melupakan surga kepulauan yang ada di dekatnya. Seharusnya ia mengenal tempat ini lebih lama.

Manusia memang seperti itu, sering terkesan oleh sesuatu yang jauh dan melupakan hal indah yang ada di dekatnya. Ruby mendesah dan mulai memilih ranting kering. Melihat kondisi pulau-pulau yang dilihatnya dari tadi, ia terbayang sebuah lagu, Rayuan Pulau Kelapa. Betapa Indonesianya sangat indah. Hutan-hutan yang hijau, barisan pegunungan berapi yang membentang sepanjang titik, pulau-pulau yang beribu dengan keindahan masing-masing, pantai yang eksotis. Ia tersenyum, Indonesianya memang sangat indah. Pantas mama jatuh cinta sama negara ini.

"Liv, udah cukup, kok. Yuk, balik," ajak Mira memutar langkah. "Lo kenapa? Kok diam aja?"

"Nggak papa, kok."

"Jangan segan ya, Liv. Santai aja sama kami. Kalo ada apa-apa kasih tau gue." Mira menatap ke depan. Tak lama cewek itu berdecak melihat cowok-cowok sudah di pantai dengan modal kail sederhana.

Ruby dapat melihat Rimba melambaikan tangan. "By, sini! Kita mancing."

Setelah menaruh kayu, ia menyusul ke arah bibir pantai. Langkahnya membelah air Pulau Opak yang tenang dan jernih. Rimba memberikan sebuah kail yang terikat pada benang pancing.

"Nih, coba mancing, deh. Pasti ketagihan."

Nanda dan Zikra yang berada tak jauh dari Rimba mendengar ucapan cowok itu. "Iya, pasti ketagihan, Liv. Apalagi mancing keributan," sahut Zikra disusul tawa Nanda.

Ruby mulai mengikuti cara Rimba melempar kail. Tak perlu menunggu lama, dalam hitungan menit saja, umpannya langsung disambar ikan. Ruby berseru antusias mengumpulkan hasil pancingan.

"Seru, "kan?" tanya Rimba.

Ruby mengangguk gembira dan melemparkan kailnya lagi.

"Liv, lo musti tau." Untung yang sedari tadi diam lantas bersuara, membuat Ruby menoleh ke arahnya. "Carilah cowok yang hobi mancing soalnya dia setia. Ikan aja ditungguin, apalagi lo."

"Eaaaa... Eaaaa... Eaaaaaa..." sahut Zikra dan Nanda bersamaan. Gelak mereka bertiga lepas begitu saja.

Rimba menendangkan air ke arah Untung sehingga baju cowok itu yang sudah kering menjadi basah kembali. "Apa sih, Mbek? Sensi amat kayak perawan ditinggal kawin," balas Untung.

"Ya, kan, hampir sama, Tung. Kurang jelas nih lo. Perlu gue perjelas apa gimana?" tawar Nanda.

Ruby melirik waspada. Sepanjang yang dia tahu ucapan Nanda cenderung lebih tidak difilter dibanding Zikra, sebelas dua belas sama Untung.

"Perjelas coba, Nda," ajak Untung. Cowok itu masih saja sempat meladeni sindiran di antara pekikannya 'Mancing mania, mantap!' ketika ikan mampir di kailnya.

Belum sempat Nanda berkata, Mira memanggil mereka untuk mulai membakar ikan. Ruby menghela napas lega pelan-pelan, tidak ingin didengar siapa pun. Sudah sedari pagi, perasaan aneh berkutat di dalamnya. Ada senang dan sedih datang sekaligus jika melihat Rimba.

***

Kata Bang Olid, Pulau Opak adalah tempat yang tepat untuk menikmati matahari terbenam dan matahari terbit. Mereka menikmati bias sisa-sisa jingga di langit sembari membakar ikan dan bercerita.

"Liv, jadi lo belum pernah sekali pun ke sini?" tanya Zikra. Sini yang dimaksud cowok itu adalah Kepulauan Seribu.

"Iya," jawab Ruby sambil membolak-balik ikannya. "Cupu banget gue."

"Sans, Liv. Mbek suka yang cupu-cupu, kok. Biar mudah ngajarinnya," balas Nanda sambil mengambil langkah cepat, berpindah dari sebelah Rimba.

Rimba menggeleng-geleng. Cowok itu menusuk beberapa ikan di kayu yang sudah diruncingkan ujungnya. "Nggak capek-capek ya lo pada ngejekin gue?"

Untung yang mulai mencomot daging ikan miliknya lantas tertawa. "Sayangnya nggak, Mbek. Bisa nge-bully lo adalah anugerah terindah di hidup gue."

Mendengar Untung berkata seperti itu, Nanda langsung meraih gitar pinjaman Bang Olid, menyanyikan lagu Sheila on 7. "Melihat tawamu, mendengar senandungmu, terlihat jelas di mataku, warna-warna indahmu."

Zikra mulai mengetuk-ketukkan dua batang ke batang lainnya sehingga menghasilkan bunyi. Di mana saja dan kapan saja, mereka adalah orkestra berjalan.

"Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu, terlukis jelas bahwa hatimu.
Anugerah terindah yang pernah kumiliki."

Mereka bernyanyi bersama-sama, kecuali Ruby dan Rimba. Cowok itu terlihat sibuk dengan ikan-ikan yang ada. Syukurlah depan mereka adalah api unggun sehingga muka Ruby yang memanas tidak begitu kentara. Ruby diam-diam mengawasi Rimba yang sedang melumuri ikan dengan bumbu lalu menusuk hewan itu ke batang kayu.

Langit sudah berubah menjadi gelap seutuhnya. Penerangan yang ada di mereka hanyalah beberapa buah lampu minyak dari botol bekas diikat di kayu dan ditancapkan di pasir, juga api unggun untuk membakar ikan. Beberapa bintang mulai tampak, mewarnai langit.

"Dulu, gue pikir lo itu pengidap anemia, Liv," aku Untung setelah selesai bernyanyi.

"Gue kira dia Albino," sahut Nanda membuat Ruby tertawa kecil.

"Jangan geblek, sih. Ciri Albino nggak kayak dia," sahut Rimba. "Anemia apa, Tung? Dia anaknya Mema. Dia duluan muncak di gunung daripada lo."

"Eh, serius?" potong Mira, "Kak Nay pernah bilang sih tapi gue nggak percaya."

Mereka masih saja membahas dirinya seakan-akan Ruby tidak ada di sana. Memang keseluruhan bentuk fisik Ruby lebih condong ke Gamal, tidak menuruni mata abu-abu Mentari. Rambut dan mata cokelat di Indonesia adalah biasa. Hanya saja kulitnya pucat. Pucat dan kurus yang malah membuat dia tampak seperti orang berpenyakitan.

" Jadi... Lo bisa bahasa Rusia, Liv?" tanya Zikra.

"Sedikit."

Cowok itu mengangguk sambil mengamati ikannya. "Jadi, apa bahasa Rusianya 'aku suka hutan'?"

Ruby bergumam, "Ya lyublyu les."

"Oh, ya... ya... Dia juga kok, Liv," jawab Zikra membuat beberapa dari mereka tertawa.

"Ha? Maksudnya?" Pertanyaan Ruby malah membuat tawa semakin melebar.

"Udah, nggak usah dipikirin. Terus ngomong-ngomong, ekspedisi Seven Summits Mema sama lo kelar?"

Ruby menoleh ke Nanda, sang penanya. "Nggak. Vinson, Carstenz sama Everest belum. Duitnya belum cukup dan nyokap keburu pergi," jawabnya, "kalian nggak ekspedisi liburan begini?"

"Rencananya minggu depan, mau Triple S."

"Triple S?"

"Slamet, Sindara dan Sumbing," sela Untung.

Ruby mengangguk lagi. Ia melirik ke Rimba yang lebih banyak diam.

"Lo pernah naik gunung di Indonesia, Liv?" tanya Zikra.

Malam ini, seperti sesi mengorek info, mereka lebih banyak bertanya kepada Ruby. Ruby mengiakan.

"Ke mana?" tanya Zikra lagi.

"Cuma pernah ke Gunung Palung, Semeru sama Rinjani. Nyokap kan fokus ke konservasi orang utan. Jadi, ya, gue pernahnya ke Tanjung Puting, Kutai, Gunung Palung, dan sekitaran Leuser."

"Padahal kalo lo nggak pindah, enak ya kalo kita bisa naik bareng. Gue punya teman, bosen sama mereka mulu," sahut Mira.

"Ye... Gue juga bosen sama lo yang cerewet," balas Nanda.

"Galak lagi," tambah Zikra.

"Terus aja terus, biar gue racunin makanannya," balas Mira mencibir.

"Eh, ngomong-ngomong. Gue masih kepo lho gimana Olive sama Mbek bisa baikan, bukannya lo berdua dulu musuhan?" pancing Untung yang sedari dulu mengetahui bagaimana tindak tanduk Rimba dan Ruby.

"Nah, iya. Lo nggak mau cerita nih, Mbek?" Zikra menyeringai ke arah Rimba dan hanya dibalas Rimba dengan melengos.

"Mbek pendiam, ih. Ngerasa nggak sih, lo?" Nanda menyenggol bahu Zikra. 

"Yoi," balas Zikra. 

Mereka terus mengajak Ruby bercerita, sedangkan Rimba yang sudah menyelesaikan ikannya memilih tiduran melihat langit. Dia masih tidak percaya Ruby akan pindah dalam waktu dekat. Beberapa hari tidak melihat cewek itu saja terasa ada yang hilang di hidupnya. Apalagi sampai tidak melihat Ruby dalam waktu yang lama?

Rimba menarik udara dalam-dalam agar sesuatu yang memberati hatinya berangsur lega. Dia pejamkan mata agar suara air yang menenangkan juga mampu menenangkan dirinya. Namun, bukannya tenang yang didapat, keriuhan gerombolannya malah semakin jadi.

"Liv, menurut lo, gue ganteng nggak?" tanya Untung mulai absurd.

Rupanya pembicaraan mereka sudah sangat panjang dan Rimba ketinggalan. Ia menoleh ke samping, Ruby bersama yang lain duduk menghadap api unggun.

"Ganteng itu relatif, Tung," jawab Ruby diikuti sahutan Nanda.

"Jelek itu mutlak!"

"Ngerti banget gue. Si Olive ini nggak enak hati mau bilang kalo lo blangsak, Tung," tambah Zikra memanasi.

"Nggak, gue nggak bilang gitu," sanggah Ruby, melambaikan tangan ke udara.

"Berarti gue gantenglah, ya?" Untung membuat kesimpulan sendiri.

Nanda dan Zikra makin meledek Untung. "Lagian percuma ganteng kalo dapetin Cleo sebiji aja nggak bisa. Makanya kalo suka sama cewek itu usaha, Tung. Jangan diam aja. Tiru dong si Mbek," kata Nanda.

"Halah, emang Mbek ngapain? Kalo nggak karena masalah Bu Heny, mana berani sih dia negor Olive?!" sahut Untung tidak mau kalah.

"Ya seenggaknya lo belajarlah dari Mbek, gimana melakukan pencitraan," tukas Nanda.

"Siapa yang pencitraan?!" potong Rimba tidak terima. Mereka yang sedang asyik berlima jadi menoleh.

"Kan... Masuuuk dia. Gas, Mbek. Gas! Ini si Nanda mulutnya baru diminyakin, licin bener." Zikra berusaha menyembunyikan tawa.

Tatapan Rimba bersirobok dengan mata Ruby, cewek itu lantas cepat-cepat membuang muka ke arah api. Rimba bangkit dari tidurnya dan ikut masuk ke lingkaran kembali. 

"By, kancingin sleeping bag-nya, nanti masuk angin," bisik Rimba. Ia mengambil tempat tepat di samping Ruby, tak peduli ejekan mengarah kepadanya.

"Olive aja yang diingetin, gue enggak?" sela Untung usil.

"Kancingin mulut lo," imbuh Rimba diikuti gelak yang lain.

Ruby kemudian menautkan ritsleting kantong tidur dan menariknya sampai dada. Terlihat Rimba meminta gitar dari Nanda dan cowok itu mulai memetiknya.

"Mau lagu apa?" Rimba meliriknya sebentar.

"Lagu cinta, Bang," jawab Untung. Cowok itu masih tidak mengikuti perintah Rimba.

"Kayak tau aja gimana cinta, Tung," sahut Zikra.

"Tau dong, yang bikin jantung deg-degan gitu." Untung memasang tampang percaya diri.

"Nanti paplitasi?" cela Rimba. Paplitasi adalah kondisi dimana jantung tiba-tiba berdetak tidak beraturan, penyebabnya dikarenakan banyak hal seperti stres, panik, pengaruh obat atau karena penyakit tertentu —bukan karena jatuh cinta pastinya.

Jawaban Rimba lagi-lagi menuai tawa. "Salah lo, Tung. Berurusan sama jantung-jantungan sih, Rimba pakarnya."

Merasa lelah duduk, mereka satu per satu sudah merebah berbantalkan tas. "Main ToD, yuk," ajak Untung.

"Nggak!" jawab yang lain serempak.

"DoD kalo gitu," balas Untung.

"Apalagi itu, gue masih inget dare lo buat Rimba dulu. Nggak kira-kira jebakannya." Nanda kemudian tertawa.

"Lo semua ini bego apa gimana? Padahal gue mau ngerjain Olive sama Mbek. Elah!" tandas Untung tidak sabar.

"Mbek nggak bego kali, Tung. Rugilah dia kalo nggak jujur juga sama Olive. Ya nggak, Mbek?" ejek Nanda.

Seperti tidak mendengar apa-apa, Rimba hanya memetik gitar dan menghasilkan nada-nada pelan. Satu per satu, sahut-sahutan yang ada akhirnya mereda. Rimba dapat mendengar dengkuran halus Untung atau Zikra yang berulang kali menguap. Ia menoleh ke sekitar, masih ada Ruby yang diam melihat bintang di atas mereka. Dilihatnya juga Mira yang tertidur dalam kantong tidurnya di samping Ruby. Lucu kadang, sudah repot-repot bawa tenda tetapi tidak ada yang mau menempati, lebih memilih tidur di kantong tidur masing-masing.

"Kalo ngantuk masuk tenda aja, By. Ajak Mira juga."

Suara Ruby pelan tertiup angin. "Pengin tidur langsung di bawah langit. Di sini bintangnya kelihatan, nggak kesaing lampu kota."

"Kapan jadinya berangkat?" gumam Rimba sambil menatap ombak kecil yang bergulung-gulung.

"Lusa." Jadwal keberangkatan Ruby memang Senin tengah malam hampir menuju Selasa.

"Cepat banget." Suara Rimba terdengar seperti rintihan saja. Petikannya berhenti, cowok itu membuang napas dari mulut seperti hendak mengeluarkan penat. Seketika Rimba ingin waktu berhenti, dan semesta kembali berbaik hati untuk memberi kesempatan bersama Ruby lebih lama lagi. Rimba mendesah, tersadar kalau berusaha melawan keadaan hanya menyia-yiakan waktu. Ia merapatkan diri tepat di sebelah Ruby. "Tau nggak kenapa bintangnya bagus banget?"

"Karena nggak ada banyak lampu."

"Bukan," jawab Rimba.

"Jangan bilang kalo lo mau ngomong karena gue lebih terang dari bintang," cibir Ruby.

Rimba terkekeh lalu meletakkan gitar di pangkuan. "Bintang sengaja tampak malam ini supaya lo tau kalo mereka tetap ada walau kadang nggak kelihatan."

Ruby hanya tersenyum, tidak menyangka atas jawaban Rimba. Bagaimana bisa menyingkirkan kekaguman dan rasa sukanya kepada Rimba? Hal yang membuat muka menghangat, dada tidak stabil dan bibir menarik sendiri.

"Dasar Manekin Hidup," kelakar Rimba untuk menghilangkan gugup karena melihat lengkung di pipi itu.

"Setiap anak dikasih nama sama orang tuanya sebagai harapan juga doa. Dan lo, bisa-bisanya nuker nama orang."

"Emang lo tahu apa arti nama lo?"

Ruby menopang punggung dengan dua tangan, menatap ke depan. Meski tebal, kantong tidur milik Ruby mengikuti bentuk tubuh, mirip seperti punya astronaut sehingga dia nyaman bergerak. "Permata adalah salah satu material terkeras di bumi. Mungkin orang tua gue pengin gue jadi anak yang kuat, nggak gampang pecah, walaupun menjadi permata juga pakai proses," jawabnya.

Rimba menoleh, dipandanginya gadis yang senyumnya lebih berkilau daripada bintang. Ia meringis. "Apa cuma gue yang nggak tahu apa arti nama gue?"

"Secara harfiah, belantara itu artinya luas, rimba itu hutan yang besar," jawab Ruby menebak-nebak. "Tapi gue rasa bukan itu maknanya. Lo itu mungkin diharapkan kayak ... apa ya ... Sesuatu yang besar, menaungi, diperlukan banyak makhluk. Lo itu penting."

Serius. Rimba bahkan tidak tahu kalau namanya bisa berarti sesempurna itu. Sepanjang hidup, ia sudah puas menerima ejekan mengenai nama, yang membuat dia terbiasa untuk mengejek balik, memperolok nama orang sebelum diperolok sebagai wujud mempertahankan diri.

"Nama gue dulu sering diejek, dituduh lahir di tengah hutan," ucap Rimba pelan.

"Itu kan karena mereka nggak tau artinya. Nama lo bagus, kok. Unik lagi." Ruby diam sejenak sebelum meneruskan kalimatnya. "Eh, kata Zikra tadi ada jujur-jujur gitu. Apaan, ya?"

Rimba menoleh ke sekitar, semua sudah tertidur. "Ke situ bentar, yuk?"

Ia mengajak Ruby berjalan sedikit dari tenda. Cewek yang sudah melepas kantong tidur itu diarahkan untuk duduk di atas batang kelapa yang melintang. Diraihnya tangan Ruby yang bebas di samping dan menyelipkan jarinya di antara jemari pucat. Rimba mengecup punggung tangan cewek itu dan menaruh genggamannya di atas dada. Tak peduli apakah sosok di sebelahnya tahu bagaimana jantungnya lepas dan menggelepar lalu tertancap rusuknya sendiri.

"Mungkin lo udah tau. Gue suka sama lo," akunya.

Cewek di sampingnya terlihat menahan napas.

"Gue nggak mau kehilangan lo, Ruby. Be mine," pintanya. Cewek itu hanya diam dengan kedip-kedip pelan di matanya. Dapat ia pastikan kalau Ruby terkejut, tapi apa boleh buat? Waktu tidak bisa menunggu.

"By..." Rimba melihat Ruby mulai gugup. Cewek itu menggigit bibirnya. "Ya?"

Ia membawa masuk genggaman itu ke kantong jaketnya, membagi kehangatan. "Maaf, gue nggak bisa kasih puisi atau kata-kata yang manis, tapi gue beneran. Semua yang gue lakuin karena gue suka sama lo. Ya?" tanyanya lagi.

Ruby yang dari tadi diam akhirnya mengangguk pelan. Disaksikan ribuan gemintang yang berpijar menjadi penerang, mereka bergandengan dalam diam. Menyusuri tepi pantai tanpa percakapan seolah menikmati semua dalam hening dengan debar meronta-ronta di dada mereka.

"Besok berburu sunrise, yuk?" ajak Rimba memecah sunyi.

"Yuk," balas Ruby. "Kita harus bangun cepat kalo gitu."

Ruby mengajak Rimba kembali ke depan tenda, merebahkan diri kembali di samping yang lain.

"Aku belum ngantuk." Rimba berdecak menatap langit. Bagaimana bisa ngantuk kalau jantungnya sedang berolahraga?

"Bisa. Kamu pejamin matanya coba." Setelah mata Rimba terpejam, Ruby mengusap alis lebat cowok itu. "Dulu waktu aku susah buat tidur, mama selalu usap alis gini dan aku jadi tertidur," bisik Ruby.

Rimba membuka mata, memutar badan ke samping, tetap membiarkan Ruby mengusap-usap alisnya. Ia menatap mata gadisnya yang memandang dengan lembut sambil tersenyum haru. "Gonna miss you teribbly."

Rimba mulai memejamkan mata dengan menggenggam sebelah tangan Ruby. Mungkin lusa dan seterusnya Ruby akan pergi, tetapi Rimba berjanji dalam hati akan menanti. Bukankah setiap manusia harus berusaha meski Tuhan yang menentukan? Rimba percaya Ruby. Mungkin cerita mereka baru dimulai di akhir tapi bukankah setiap akhir adalah awal yang baru?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Anikala
905      432     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Kacamata Monita
834      399     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Switch Career, Switch Life
351      295     4     
Inspirational
Kadang kamu harus nyasar dulu, baru bisa menemukan diri sendiri. Therra capek banget berusaha bertahan di tahun ketiganya kerja di dunia Teknik yang bukan pilihannya. Dia pun nekat banting setir ke Digital Marketing, walaupun belum direstui orangtuanya. Perjalanan Therra menemukan dirinya sendiri ternyata penuh lika-liku dan hambatan. Tapi, apakah saat impiannya sudah terwujud ia akan baha...
Intertwined Hearts
1004      561     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
The A-War
460      310     0     
Science Fiction
Hari seperti biasa di Bandung telah menjadi sebuah bencana ketika spesies alien bernama Lizardian muncul tanpa alasan yang jelas dan mulai memangsa umat manusia. Chris dan Adly, salah satu remaja di Bandung, harus menerima kenyataan bahwa dunia telah terbantai oleh para Lizardian. Lebih buruk lagi, kelompok militer gadungan bernama Alone mengorbankan umat manusia demi mengalahkan Lizardian dengan...
IMAGINATIVE GIRL
2659      1340     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
fall
4583      1366     3     
Romance
Renata bertemu dua saudara kembar yang mampu memporak-porandakan hidupnya. yang satu hangat dengan segala sikap manis yang amat dirindukan Renata dalam hidupnya. satu lagi, dingin dengan segudang perhatian yang tidak pernah Renata ketahui. dan dia Juga yang selalu bisa menangkap renata ketika jatuh. apakah ia akan selamanya mendekap Renata kapanpun ia akan jatuh?
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
426      193     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
166      137     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Nobody is perfect
13752      2479     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...