Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

Time give you experience and maturity to face thing in different ways.

***

Rimba tahu ia tidak boleh mengumpat waktu meski detik demi detik terus berjalan dan hari akan berganti hari. Minggu berganti Senin dan Senin beranjak malam. Semua terasa berlari. Ia sedari tadi menggenggam tangan Ruby, tak mau lepas. Sekalipun diledek Untung atau Nanda, ia tidak peduli. Cekalan itu masih saja kencang.

"Yuklah cabut, udah dikodein dari tadi juga. Kode lo udah nggak mempan lagi, Mbek." Mira tersenyum simpul. Sedari tadi, Rimba sudah menyindir supaya yang lain pulang tetapi tetap saja diabaikan. Kalimat Mira menyelamatkan Rimba. Akhirnya seperti tahu diri, yang lain izin pulang saat waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Lepas dulu, Mbek. Gue mau say goodbye sama Olive," pinta Mira.

Setelah Rimba merenggangkan tangan, Mira lalu merangkul dan menempelkan pipi kanan dan kirinya dengan Ruby. "Hati-hati di jalan ya, Liv. Makasih buat undangan jalan-jalannya," ucap Mira menyodorkan sebuah kantong. "Kami nggak bisa kasih apa-apa. Semoga dengan ngeliat ini, lo jadi inget sama kami."

Ruby menerima pemberian Mira. "Sama-sama. Makasih ya Mir, Tung, Zik, Nda. Maaf kalo ada kesalahan-kesalahan yang pernah gue buat, dan maaf juga, gue nggak ada siapin kenang-kenangan untuk kalian."

Mira mengibaskan tangan ke udara. "Yang kemarin kan udah kenang-kenangan, Liv. Santuy! Lagian harusnya yang minta maaf tuh mereka. Banyak dosa sama lo, suka ngeledekin lo."

"Iya, Liv. Maafin gue, ya. Beneran gue cuma bercanda, kok." Untung memajukan badan ke arah Ruby, hendak cipika-cipiki juga.

"Heh, heh! Mau ngapain lo?" Badan Untung ditarik Zikra. "Lempeng amat badan. Liat tuh herdernya udah siap nerkam."

Dehaman Rimba seakan mengiakan ucapan Nanda, sedangkan Untung hanya menanggapinya dengan cengiran. "Tenang, Liv. Rimba bakal aman dijagain kita, kalo dia macem-macem bakal dilaporin sama lo."

Ucapan Untung tadi membuat Rimba menipiskan tatapan ke arah cowok itu, tetapi yang namanya Untung tetap saja tidak peduli. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya, dua buah gelang rajut buatan tangan bermotif dan berwarna sama merah hitam.

"Ini buat kalian berdua. Sengaja kami kerjainnya barengan, sehari kelar." Untung kemudian memakaikan sebelah gelang di pergelangan tangan Rimba dan Mira memakaikan di pergelangan Ruby.

"Cakep," sahut Nanda. "Udah kayak anak panti, mereka berdua."

Zikra menepuk bibir Nanda. "Perlu digerinda bibir lo kayaknya."

Nanda mengusap bibirnya. "Pedih, oon."

"Lha, lo ogeb. Kalo nanti mereka jadi nggak mau pake, gimana?"

"Kan gue cuma bercanda. Elah!" Nanda masih berkali-kali mengusap bibir. "Awas aja kalo bibir gue rusak! Aset bangsa ini."

"Sini aset, gue suntik formalin dulu sebelum dipajang di museum." Untung menggapai-gapai leher Nanda, hendak memiting.

"Lama! Jadi balik nggak lo pada?" tanya Rimba menampilkan ekspresi datar.

"Buset, diusir." Tawa Untung meledak diikuti kedua cowok lainnya. "Siap, Komandan. Siap!"

Diiringi anggukan sok mengerti dan penuh ejekan, keempat orang itu benar-benar undur diri. Ruby menyikut Rimba saat bayangan lainnya sudah menjauh. "Kok gitu, sih?"

"Aw... Ya, aku kan pengin quality time," sungut Rimba. "Mereka lama banget epilognya."

Rimba lalu mengajak Ruby masuk ke sebuah kafe, duduk di kursi yang jauh dari pintu masuk. Ia menaruh jaket di kursi dan ditatapnya Ruby kemudian memesan beberapa menu. Pesawat Ruby akan berangkat lewat tengah malam. Rimba hanya memiliki sedikit waktu untuk benar-benar bisa bersama. Setelah itu, Rimba harus menunggu sampai liburan tiba.

Rasanya baru kemarin, mereka bangun terburu-buru dan mengejar matahari terbit yang berada di balik pulau. Tertawa bersama-sama, bermain air, membakar ikan sampai bosan, berenang sampai belang, diledek sampai kebal. "Makan dulu, ya. Mos..."

"Moskow itu jauh," potong Ruby mengemam, seolah sudah tahu apa yang akan dibilang Rimba.

Rimba kembali mencolek pinggang Ruby. "Jahat banget sama pacarnya, udahlah bakal ditinggal, dicengin terus lagi."

Muka pucat itu berwarna kemerahan ketika tertawa. "Habisnya kamu ngulang-ulang itu melulu. Rim, Jakarta sama Moskow cuma beda empat jam, loh."

"Tetap aja beda."

"Sama Jayapura aja kita beda dua jam."

"Biarin."

"Kaku amat mukanya kayak masker kering," canda Ruby.

"Ruby..." Rimba menggeram sambil menggenggam kembali jemari pacarnya. Dihirupnya punggung tangan Ruby, seakan selalu ingin wangi itu berada di dekatnya. "Aku tuh nggak pengin kamu pergi, tau nggak? Kalo kamu godain melulu, nanti beneran kuculik biar sekalian nggak jadi pergi."

Ruby hanya menanggapi dengan tersenyum. Ia rebahkan kepala di sofa tempatnya duduk.

"Capek?" Rimba menoleh ke arah kanan, menatap Ruby. Tak lama cowok itu mencubit kecil pipi Ruby. "Jangan senyum aja, jawab. Senyum kamu tuh payah diartiin. Dulu kamu senyum, aku masuk BK kedua kali. Terus kamu senyum habis itu ngehilang nggak ada kabar sampe aku temuin di rumkit. Kamu senyum juga bisa bikin hujan deras."

"Apaan, sih." Ruby mulai tertawa.

Seluruh badan Rimba dihadapkannya ke arah Ruby. Ia ingin memulai pembicaraan serius. "By, aku minta maaf, ya." Ia menarik napas sejenak, perlu nyali untuk mengakui kesalahan. "Kalo selama ini aku pernah ganggu kamu, ngatain kamu, ngisengin kamu, ngeremehin kamu, nilai yang bukan-bukan tentang kamu. Seandainya bisa ngulang semua, aku nggak akan ngelakuin itu," sesal Rimba.

Ruby menoleh ke sosok di kirinya. Cowok yang memakai kemeja kotak-kotak itu tampak risau. "Biasa aja. Lagian kalo kamu nggak ngelakuin itu, kamu nggak bakal bisa kenal sama aku, nggak bakal notice sama aku," ujarnya. Tak lama pandangan Ruby menuju ponsel yang berkedip, notifikasi dari grup bahwa namanya disebut.

"Kata siapa? Aku notice, ya," balas Rimba sambil menutup layar ponsel Ruby. "Bisa nanti aja liat hapenya? Waktu kita nggak lama, lho."

Setelah anggukan Ruby, dia melanjutkan ceritanya. "Aku masih inget kok ada anak yang remedial matematika sendirian."

Memang sih dia beberapa kali sering memperhatikan Ruby, semata-mata karena cewek itu aneh. Ya, seperti kejadian kelas 10 di mana cewek itu menjalani remedial sendirian ketika sekelas mendapat nilai bagus untuk ulangan matematika. Atau ketika cewek itu mendapat urutan terakhir saat ambil nilai lari mengelilingi luar sekolah karena tidak ikut memotong lewat jalan rahasia. Dulunya Rimba mengira Ruby kelewat polos, ternyata tidak. Cewek itu bukan polos melainkan jujur.

"Kamu itu kelewat jujur," ujar Rimba sambil mencolek ujung hidung Ruby. "Sampe dimusuhin gitu sama yang lain."

"Nggak nyaman hidup dalam kebohongan, Rim. Nggak papa dimusuhin manusia, asal nggak dimusuhin penghuni langit." Jawaban Ruby membuat Rimba tertawa merdu. "Bercanda," tambah Ruby. Ia tahu perumpamaan itu dari unggahan-unggahan orang di Twitter.

"Beneran juga nggak papa." Rimba mengusap pipi Ruby. Matanya menatap hangat menyiratkan rasa sayang di sana. "Jangan berubah, ya. Tetap jadi Ruby yang aku kenal."

"Setiap orang pasti berubah. Wajarlah kalo berubah. Aneh kamu," sahut Ruby, memukul pelan bahu Rimba.

"Asal berubahnya buat kebaikan, nggak papa. Jangan jadi Thanos." Rimba menangkap pukulan dan menggenggam tangan Ruby. "Makasih, ya. Buat ... semuanya."

"Aku yang harusnya terima kasih. Kamu tuh orang yang ada di saat-saat aku butuh pertolongan, butuh dukungan. Kamu juga yang ajarin aku caranya belajar dan nemuin gaya belajar aku." Nada Ruby mendadak parau. "Mungkin kamu nggak sadar kalo kamu itu sering ngehibur aku, waktu aku lagi sedih. Makasih ya, Rimba."

"Jangan nangis." Rimba mengusap pipi Ruby tiba-tiba terbasuh setitik air. "Aku nggak suka lihat kamu nangis. Nanti harus senang terus di sana, ya. Soalnya aku nggak bisa temenin kamu langsung."

Ruby mengangguk. Hidangan sampai ke meja mereka. "Ayo, makan. Perpisahan butuh tenaga ekstra," timpal Rimba sambil tersenyum miris.

Sembari makan, Ruby mengeluarkan isi dari kantong yang diberi Mira. Rencananya, barang itu akan dimasukkan ke ransel. Ruby terbelalak atas pemberian Mira. Sebuah foto yang dibingkai. Bukan foto biasa tetapi guntingan foto-foto yang ditambah banyak hiasan, ditambah tempelan emote atau tulisan seperti efek suara, juga bunga kering. Ada foto mereka di banana boat, foto  berdua dengan Rimba di Pulau Opak saat tidur berhadapan, foto tampak belakang saat berburu sunrise, foto ia memancing, foto mereka berenang. Astaga! Foto ini diambil diam-diam?

Ruby mengulurkan bingkisan Mira ke arah Rimba. Cowok itu melihat dan tersenyum. "Mira memang jago banget bikin scrapbook gitu."

"Nggak nyangka, ih. Ini foto tidur di-candid gini."

"Tenang, nggak bakalan nyampe ke BOS, kok." Rimba mengerling dan mulai makan. "Nanti dipajang, ya. Di depan meja belajar, biar ingat pulang."

Pulang? Ruby terdiam sambil menelan makannya. Ia bahkan tidak tahu kapan akan kembali ke Jakarta, karena saat ini Moskow- lah tempatnya pulang.

"Ini beneran berangkatnya sendirian?"

"Oh, ya. Enggak, kok. Aku nanti ditemenin Dmitri."

"Dmitri? Who?" Pandangan Rimba yang tadi mulai fokus ke makanan menjadi berbalik lagi ke Ruby.

"Asistennya Om Andreiy yang kemarin ke sekolah." Ruby melirik jam tangannya. "Masih di jalan mungkin, kita kecepatan nih sampe sini."

"Kok nggak bilang berangkatnya sama orang lain?" protes Rimba. Mendadak nafsu makannya hilang, ia menaruh sendok dan meneguk es teh. Badannya sontak panas.

Sayangnya Ruby tidak menyadari itu. "Kan ini dibilang?"

"Ya, baru dibilang. Bukannya kemarin-kemarin." Rimba mengempaskan badan di sofa dan menyilangkan tangan di dada. Menatap lekat cewek yang tidak merasa berdosa atas ucapannya barusan.

"Memangnya kenapa?" tanya Ruby. Cewek itu masih menggulung spageti di garpu. "Mau coba spagetiku nggak?"

Suapan Ruby ditolak Rimba dengan gelengan. "Kenapa? Nggak suka, ya?" ujar Ruby kembali memakan spagetinya tanpa tersinggung.

"By...," panggil Rimba. Cewek itu hanya menggumam. "Aku lagi kesal ini."

Ruby menoleh dengan ekspresi heran yang tidak dibuat-buat. "Kenapa? Nggak suka makanannya?"

Decakan Rimba sepertinya tidak menjawab pertanyaan Ruby. Mau tidak mau, Rimba memilih jujur, tidak ada waktu lagi mengharap Ruby mengerti kodenya. "Nggak suka dengar kamu pergi sama orang lain."

Pengakuan itu membuat Ruby diam. Cewek itu memperhatikan muka Rimba yang tidak ada unsur bercanda sama sekali. "Aku juga nggak tahu, mendadak dikasih tahu Om Andreiy kalo aku ditemenin Dmitri. Kamu nggak suka?" tanya Ruby menggeser badan, menghadap ke Rimba.

"Kalo aja kamu nggak mendadak pindahnya. Aku bisa anter kamu," tukas Rimba. Ia meraih tisu dan mengusap sisa saus di ujung bibir Ruby.

"Rim...." Ruby mengambil tisu dari tangan Rimba dan mengusap bibirnya. Ruby tidak ingin Rimba kecewa. Ruby tidak mengerti jika tentang Dmitri bisa menjadi hal penting buat Rimba.

Sedangkan Rimba berusaha membuang kesalnya ke udara. "Belasan jam kamu bareng dia terus. Aku yang ngomong beberapa menit aja bisa suka sama kamu."

Ruby menggigit bibir bawahnya. Entah mengapa ia ingin tertawa.

"Ketawain aja." Rimba tersenyum setelah berulang kali menghela napas.

"Nanti kamu tersinggung." Senyum Ruby terlepas. Secara nggak langsung Rimba tadi mengakui kalau cowok itu menyukainya jauh sebelum mereka sedekat ini, 'kan?

"Kali ini, nggak papa. Aku bakalan kangen sama senyum ini." Tangan Rimba mencubit kedua pipi Ruby. Cowok itu juga langsung mengambil ponsel, mengarahkan ke arah mereka berdua, mengambil banyak foto.

"Udah nggak marah?" tanya Ruby pelan.

Rimba melirik jam, waktu berjalan semakin malam. "Nggak ada waktu buat ngambek."

"Gitu, ya?" Ruby tertawa. Ada-ada saja memang Rimba, mau ngambek masa lihat-lihat waktu dulu. "Eh, itu Dmitri."

Pukul sepuluh malam, lelaki yang bernama Dmitri datang ke arah mereka. Memang saat di sekolah, Rimba melihat dua pengawal Om Andreiy yang memakai jas tetapi saat salah satu pengawal itu memakai baju biasa, mengapa terlihat berbeda? Jadi tampak lebih ... muda.

Dmitri memperkenalkan diri kepada Rimba. Cowok dengan aksen Rusia itu juga ikut memesan makan malam dan terlibat percakapan bersama mereka. Sosoknya tampak luwes dan tidak kaku seperti saat berjas. Rimba menelan ludah frustasi.

"Batalin aja, sih," bujuk Rimba berbisik saat Dmitri yang selesai makan permisi ke wastafel. Meski umur mereka berjarak jauh, Dmitri terasa mengancam posisi Rimba. Kalau di cerita-cerita, cewek mana yang nggak akan terpesona sama cowok bule tegap nan macho yang berkulit putih dan bermata biru?

Tatapan Ruby merajamnya. "Atau tunggu aku turun dari Triple S, nanti aku anter?"

Ruby melengos, memangnya dia anak konglomerat apa? Yang bisa membatalkan dan membiarkan semua yang sudah keluarkan banyak dana menjadi sia-sia. Ruby sudah memilih penerbangan dengan waktu transit tersingkat, otomatis harga tiket jauh lebih mahal dari biasa.

Setelah Dmitri kembali dari wastafel, Ruby bangkit dan memanggul ranselnya. Rimba mendorong koper Ruby dan berjalan bersama mereka dalam gundah gulana.

"Rim, aku masuk, ya?" Ruby sudah sampai di depan pintu pemeriksaan. Dmitri yang sudah bersalaman dengan Rimba telah masuk lebih dahulu. Cowok itu berdiri menunggu Ruby di samping X-Ray.

Rimba membuka jaketnya yang sedari tadi ditenteng, memakaikan di luar jaket Ruby. Ia tahu saat ini di Moskow pasti sedang musim dingin. "Dipake terus, ya. Kegedean sih, tapi buat dobelan jaket bisa kok."

"Makasih. Nanti pulangnya hati-hati, udah malem, jangan ngebut-ngebut." Ruby mengambil kopernya, mengukir senyum dan menatap dalam Rimba. "Aku masuk dulu, ya. Dadah."

Ruby berbalik dan mulai berjalan.

"Kenapa mesti Moskow?" bisik Rimba yang dapat didengar keduanya. Ruby berhenti dan Rimba refleks menarik pergelangan tangannya. Mengentak Ruby masuk ke dalam pelukan, menenggelamkan kepalanya dalam ikal yang wangi. "Sebentar aja. Please...."

Rimba tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Ia didera ketakutannya sendiri. Ia tidak siap dengan perpisahan yang tidak pernah dimau. Usapan Ruby di lengan Rimba menjawab kalau cewek itu juga berat untuk berpisah.

"Rim, jangan marah kalo aku baru kasih tau kamu sekarang," bisik Ruby, "Mama ternyata masih hidup, sekarang di Moskow."

Rimba melepas pelukan dengan takjub. "Serius?"

"Makanya aku ke sana. Jadi, jangan khawatir."

Ada rasa lega menyeruak di antara impitan besar di dadanya. Setidaknya, Ruby nggak sendiri di Moskow. Setidaknya ada orang yang akan memperhatikan Ruby. "Ya udah, kalo gitu kamu juga hati-hati. Salam buat Mema."

Ia mengusap pucuk kepala Ruby. "Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kamu."

***

Pelan tapi pasti, Ruby mengikuti langkah Dmitri. Setelah pemeriksaan imigrasi, Ruby dan Dmitri duduk di ruang tunggu. Dmitri bertanya-tanya sedikit tentangnya dan Ruby mau tak mau menjawab pertanyaan cowok itu. Menurut Dmitri, bahasa Rusia Ruby tidak buruk, hanya perlu sedikit dipoles dan dilancarkan. Itu membuat Ruby optimis kalau dia bisa menjalani hidup di negara yang tidak pernah dipikirkannya. Ruby mulai mengeluarkan ponsel dan mulai membaca pesan-pesan yang ada di grup kelas. Ada Untung dan penghuni belakang yang mulai mengucapkan perpisahan kepadanya.

Mira: @Ruby Hati-hati di jalan ya, Liv. Terima kasih untuk semuanya. Bon Voyage.

Untung: @Ruby Gonna miss you, Liv.

Nanda: Flight jam berapa @Ruby ? Take care ya...

Zikra: @Untung berani bener lo miss you, miss you sama pacar orang?! *lirik @Rimba

Agusta: Bentar, lo semua ngemeng apa? Gue gagal paham. Ruby ke mana? Ruby pacar siapa?

Nanda: Say it louder @Zikra

Ketua Kelas: Sttt... Udah malem.

Mira: FYI, Olive pindah ke Moskow, manteman. Dan dia sekarang pacarnya Rimba. BHUAHAHA *kabuuur*

Agusta: What?

Nanda: What? (2)

Zikra: What? (3)

Untung: What? (4)

Agusta: Seriusan @Ruby lo mau pindah? Seriusan lo jadian sama Rimba?

Cleopatra: Ini beneran?

Setelah percakapan barusan, grup dibanjiri pertanyaan dan juga ucapan selamat jalan kepada Ruby. Membuat Ruby tersenyum membacanya. Jarinya bergerak untuk membalas tetapi balasan Rimba masuk lebih dahulu.

Rimba: Iya, Ruby pacar gue. Kenape?

Untung: @Rimba yang ditanya Olive sih ya. 😝

Nanda: Rimba kode minta di-cie-in gitu? πŸ˜ͺ

Zikra: Hush, jangan godain orang yang lagi galau. Pray for Rimba. 🀲

Untung: Iya dek @Cleopatra masa sih abang bohong sama adek?

Ruby: Makasih ya, Mira, Untung, Nanda, Zikra, kawan-kawan semua. Makasih buat semuanya. Maafin kesalahan yang ada. Keep contact, ya. πŸ™‚

Untung: Beda emang ya, sekalinya Olive yang nongol, grup langsung adem gitu kayak ubin mesjid. 🀩

Zikra: Cie, nggak diakui Olive lo, Rim. 😝

Ruby: Iya @agusta πŸ™‚

Nanda: Iya yang mana nih? Kan pertanyaannya Agus ada dua? *kompor*

Rimba: Nda, alamat rumah masih yang sama?!

Nanda: Masih, mau kirimin martabak? Nggak pake kacang ya... 😚

Ruby: Udah tau tapi nanya ya, Nda? Iseng.

Mira: Liv, jangan leave grup. Lo tetap bagian dari SEPATU. 😣

Ruby: Nggak kok, Mir. Tapi gue nggak papa kok kalo di-remove.

Rimba: Lagian siapa yang berani nge-remove kamu?

Untung: *menonton percakapan sepasang kekasih berbekal pop corn*

Nanda: *menyiapkan selimut*

Zikra: *menyiapkan bantal*

Mira: Nobar kale ah. 🀣🀣🀣

Tidak mau terpaku oleh pembicaraan di grup, Ruby lantas mengirimi Rimba pesan. Meminta cowok yang sudah mengganti foto profilnya dengan foto mereka berdua agar konsentrasi ke jalan dan tidak bermain ponsel. Kemudian, ada sebuah pesan pribadi dari nomor asing yang datang setelahnya.

+62813152254xx: Liv, ini Cleo. Lo beneran mau pindah?

Ternyata Cleopatra, Ruby pun lantas membalas dan menyimpan kontak cewek itu.

Ruby: Iya, Cleo.

Cleopatra: Liv, sori ya atas kejadian yg udah-udah. Padahal gue pikir bisa ketemu lg di sekolah, ternyata lo pindah.

Ruby: Sama-sama, Cleo. Gue juga minta maaf untuk kesalahan yg ada.

Cleopatra: Lo beneran jadian sama Rimba?

Ruby: Iya, Cleo. πŸ™‚

Cleopatra: Congrats ya, Liv. Safe flight and take care.

Ruby: Thank you. Take a good care of yourself, Cleo. See you.

Ia tidak tahu apakah Cleopatra benar-benar tulus meminta maaf atau tidak. Sebagai sesama manusia, setidaknya Ruby ingin memulai dan mengakhiri sesuatu dengan baik. Permintaan maaf Cleopatra tadi sangat berarti untuknya, karena dia pun tidak ingin hidup dengan membawa kenangan buruk. Ruby hanya berdoa semoga Cleopatra dapat pulih dari beban-beban yang menderanya.

Sebelum mengantongi ponsel, Ruby sempat melihat status Mira, Untung, Zikra dan Nanda. Mereka kompak mengunggah foto berenam saat di Pulau Opak. Ruby tersenyum tipis, Rimba pasti sangat beruntung menemukan persahabatan dari orang-orang loyal seperti mereka. Mengetahui bagaimana perhatian mereka kepada Rimba membuat Ruby percaya kalau cowok itu akan baik-baik saja. Ia pun tergerak membuat status dengan foto yang sama, mengucapkan terima kasih untuk kebaikan yang ada.

Hari sudah tengah malam, tetapi bandara tidak pernah tidur. Ruby beranjak menuju antrian masuk pesawat bersama Dmitri. Ia akan meninggalkan Indonesia untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Ruby mengantongi tangan di saku jaket Rimba dan menatap langit Jakarta untuk beberapa saat. Tangannya terasa memegang sesuatu. Ruby menarik benda itu, sebuah benda berbentuk kotak kecil yang berisi earphone nirkabel dan sebuah flashdisk OTG dengan catatan kecil.

Buat teman di perjalanan kamu, Mirah Delimaku.

Ia tersenyum untuk kesekian kali, dititipnya doa, rindu dan harapan ke langit yang kelabu. Perihal perpisahan sebenarnya bukan hal yang berat jika tidak melibatkan perasaan. Sayangnya, kali ini, perasaan berperan penting. Ada kenangan dan orang yang disayang tertinggal di sini, di Jakarta, di Indonesia.

***

Perihal Perpisahan

Katanya, kehilangan adalah hal yang tidak menyenangkan
Serupa jatuh cinta sendirian
Atau rindu tak bertuan

Tapi bisakah sekadar percaya
Pada keajaiban atau rencana jagat raya?
Percayalah pada garis takdir yang membentang
Percayalah kalau rindu yang baik akan kembali ke perindunya,
cinta yang baik akan datang ke pencintanya, dan...
Doa yang baik akan kembali ke pendoanya

Kita adalah kisah tanpa terencana
Yang mencanangkan senyum pada cakrawala
Kamu adalah candu, melarungkan sedihku

Aku sayang kamu
Seperti halnya kamu menyayangiku.
Sebanyak apa pun debit rindumu, sebanyak itu pula milikku

Jika kehilangan adalah mesin
Semoga mampu mencetak dewasa
Menjadi kita yang layak, penuh lapang dada

—Mirah Delima—





 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Intertwined Hearts
1032      563     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
Paint of Pain
939      645     29     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
Foxelia
952      503     3     
Action
Red Foxelia, salah satu stuntman wanita yang terkenal. Selain cantik, rambut merahnya yang bergelombang selalu menjadi bahan bicara. Hidupnya sebagai aktor pengganti sangatlah damai sampai akhirnya Red sendiri tidak pernah menyangka bahwa ia harus melakukan aksi berbahayanya secara nyata saat melawan sekelompok perampok.
BestfriEND
35      31     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Salendrina
2427      897     7     
Horror
Salendrina adalah boneka milik seorang siswa bernama Gisella Areta. Dia selalu membawa Boneka Salendrina kemanapun ia pergi, termasuk ke sekolahnya. Sesuatu terjadi kepada Gisella ketika menginjakan kaki di kelas dua SMA. Perempuan itu mati dengan keadaan tanpa kepala di ruang guru. Amat mengenaskan. Tak ada yang tahu pasti penyebab kematian Gisella. Satu tahu berlalu, rumor kematian Gisella mu...
Survive in another city
124      103     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Tumbuh Layu
386      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
She Is Mine
376      252     0     
Romance
"Dengerin ya, lo bukan pacar gue tapi lo milik gue Shalsa Senja Arunika." Tatapan Feren makin membuat Shalsa takut. "Feren please...," pinta Shalsa. "Apa sayang?" suara Feren menurun, tapi malah membuat Shalsa bergidik ketakutan. "Jauhin wajah kamu," ucapnya. Shalsa menutup kedua matanya, takut harus menatap mata tajam milik Feren. "Lo pe...
Kesempatan
20128      3209     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Unexpected You
487      347     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...