Life isn't easy for people with overthinking minds and sensitive hearts
***
RUBY ANDALUSIA TELAH MENYINGKIRKAN BELANTARA RIMBA DARI PERINGKAT SATU PARALEL
Judul berita itu langsung terbit dari Buletin Online Sekolah tepat setelah ia menerima piala yang diberikan kepala sekolah. Ada rasa bersalah mendera yang membuatnya menunduk sedari tadi, bahkan tidak berani melirik sebelah kiri di mana Rimba berada. Ruby turun dan berjalan menatap tanah, dengung tak terima masih terdengar dan mulai menyorakinya.
"Apa sih lo semua? Kalo Ruby yang jadi ranking satu ya berarti dia yang berhasil. Kok julid?!" Mira menghampiri Ruby. Selain dengungan tidak terima, tiga orang pemuda yang biasa ribut di kelas juga menyorakinya.
"Hebat, Olive! Hebat!" seru Untung tak peduli melawan arus. Cowok itu ber-'hip-hip hura' dengan yang lain. Ruby menatap Mira, Untung, Zikra dan Nanda yang tersenyum dengan acungan jempol ke arahnya. Dia tidak menyangka akan mendapat dukungan dari teman dekat Rimba, mengingat yang lain menuduhnya sengaja mendekati cowok itu sebagai trik untuk mengalahkan sang Peringkat Satu Paralel.
Ruby menarik bibir untuk membalas ucapan yang ada. Mereka berempat seperti ikut gembira atas pencapaiannya dan tidak menuduhnya seperti yang lain. Gerak mereka lepas begitu saja seperti sangat mengenalnya. Orang-orang ribut yang sempat Ruby harap enyah dari muka bumi malah menjadi pendukungnya. Melihat itu, Ruby menyadari satu hal. Ia sudah salah menilai penghuni belakang kelas. Diam-diam, Ruby menyapu pandangan ke sekeliling untuk mencari Rimba. Sungguh, dia tidak pernah bermaksud menyingkirkan cowok itu. Tidak dapat yang sedang dicari, ia kembali berjalan menunduk sambil menggigit bibir, tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pendukung dadakan yang ada.
Salah satu pengawal Om Andreiy mendekat dan berdiri di sampingnya. Lelaki itu ulurkan tangan, menyodorkan kesediaan untuk membawa piala peringkat satu. Ruby beri piala kepada sang pengawal dan ikut berjalan ke arah Om Andreiy yang sedang berjabat tangan dengan seorang bapak yang kharismatik. Tidak sendiri, bapak itu bersama istri yang sedang berada di belakang kursi roda Naraya.
Om Andreiy menunjuk ke arahnya seolah memberitahu bahwa kedatangan ke sekolah ini karena dia. Naraya yang menoleh dan langsung menghampiri. "Selamat ya, By. Keren lo bisa kalahin Rimba!"
Ruby kembali tersenyum datar, dia tidak pernah berniat mengalahkan Rimba. Ia duduk di sebuah kursi semen, berdampingan dengan Naraya. Para murid mulai berangsur meninggalkan sekolah, ada juga yang masih bercengkerama dengan teman-temannya. Ruby memandang para siswa yang tampak hangat bersama sahabat. Mereka tampak bahagia, tidak sepertinya yang tak pernah memiliki persahabatan seperti itu. Pohon di atas mereka bergoyang pelan mengikuti angin. Baik dia maupun Naraya hanya diam.
"Renard itu adik dari orang yang gue benci di dunia. Enam tahun yang lalu, kakaknya ... tikam kakak gue dengan pisau," ujar Naraya parau membuat Ruby terperangah. Dia tidak tahu antara cewek itu dengan sang pacar memiliki kisah yang mengerikan. Naraya melanjutkan ceritanya tanpa ditanya, "Dulu, gue juga benci dia tapi ternyata membenci itu nggak selesaikan apa-apa. Mungkin Tuhan punya maksud kenapa akhirnya gue jadi kenal dan berurusan sama dia. Buat berdamai sama diri gue sendiri, mungkin."
Naraya menoleh ke arahnya. Ruby dapat melihat mata Naraya berkaca-kaca tapi tak lama cewek itu mengulas senyum. "Sori, gue baru tahu kalo bokap lo udah nggak ada. Gue ikut berduka ya, By."
Ruby mengangguk dengan sunggingan tipis. Angin siang ini cukup bersahabat untuk matahari yang menyengat panas. Angin memainkan rambut mereka.
"Kadang, ada masalah yang nggak pernah diprediksi serang kita tiba-tiba. Bikin kita jatuh, nggak percaya siapa pun termasuk diri sendiri. Ya, tapi memang masalah harus dijalanin, harus dihadapin." Naraya tersenyum lagi. "Dan kita nggak akan sangka sekuat apa kita sampai kita berhasil melewatinya. Iya, 'kan?"
Ruby mengerjap, mengiakan omongan Naraya. Ia sudah berhasil melewati saat-saat kritis Gamal dengan berusaha berdiri tegak, meski akhirnya papanya juga tetap pergi. Melewati masa-masa sedih dengan tetap berusaha fokus belajar untuk UAS dan malah meraih peringkat satu paralel, hal yang tidak pernah Ruby sangka-sangka kalau dia bisa.
"Tapi jangan lupa ... selesaikan semua masalah yang ada, By." Seperti dapat membaca masalah Ruby, cewek itu mengusap bahunya. Naraya seolah mengerti di dalam diri Ruby ada yang belum dia selesaikan.
Saat Naraya hendak beranjak, Ruby menitip pesan. "Kak, boleh minta bantuan? Bisa tolong tanya sama papa Kakak, kenal sama Om Andreiy di mana?"
"Ok, sip." Naraya memberi tanda oke sebelum meninggalkannya.
Kedatangan Om Andreiy bukan hanya disadari papa Naraya, tetapi juga dewan guru. Saat Ruby akan berdiri, Om Andreiy memberi isyarat kalau dirinya akan ke kantor kepala sekolah dahulu. Ruby kembali duduk, menatap ujung sepatu yang diketuk-ketuknya ke paving block.
"Ruby..." Seorang wanita berpakaian rapi dengan menjinjing tas tangan menghampiri. Senyum hangatnya tampil di sana. "Lagi apa? Boleh bicara sebentar?"
Kedatangan wanita yang diingatnya sebagai mama Rimba itu mengejutkan. Ruby mengangguk sambil menggigit bawah bibir.
"Maaf ya kalo ganggu."
"Nggak kok, Tante." Ruby bergeser, memberi tempat di sebelahnya sembari memperhatikan sekilas muka wanita itu. Benar kata perawat, Dokter Nabila memang sangat anggun.
"Kata Rimba, kemarin Cleo pernah mau menyerang Ruby. Kamu nggak papa? Ada yang luka?" Tatapan Nabila naik dan turun, mengamatinya.
Menyerang? Ruby menggeleng.
"Syukurlah kalo nggak papa. Tante nggak nyangka kalo Cleo sampe menyerang. Dia sudah rutin terapi soalnya. Mungkin ada hal yang membuatnya meledak."
Ruby bergeming. Ia ingin bertanya tetapi semua kata hilang di ujung lidah.
"Cleo itu depresi sejak kecil tetapi tidak segera dibawa ke profesional. Sewaktu kecil, dia pernah melihat perselingkuhan ibunya dan mengadu kepada ayahnya. Cleo berharap tindakan itu membuat rumah kembali menjadi lebih baik. Tetapi ternyata tidak, ayahnya menjadi semakin jarang pulang dan Cleo sering dipukuli ibunya. Lama kelamaan, ibunya Cleo juga sibuk dengan urusan dan jarang pulang. Keadaan itu yang membuat Cleo depresi dan kekurangan kasih sayang. Ia sempat beberapa kali berusaha bunuh diri."
Ya ampun, Cleo. Semua kekesalan Ruby kepada gadis itu berubah menjadi empati. Tidak semua anak memiliki tempat berteduh yang hangat. Untuk Cleopatra, rumah yang seharusnya menjadi pelindung malah menjadi penghancur. Ia tidak bisa membayangkan jika dirinya yang berada di posisi itu. Meski sekarang Ruby tidak memiliki orang tua, tapi cinta mereka tetap Ruby rasa dan menjadi kekuatannya sampai saat ini. Bagaimana dengan Cleopatra?
"Saat SMP, nenek yang merupakan satu-satunya orang terdekat Cleo meninggal. Itu juga yang membuat Cleo makin kekurangan perhatian. Ia berusaha membeli perhatian sekitar dengan loyal kepada teman-teman, tetapi pergaulan membuatnya semakin buruk. Dia pernah mengaku ke Tante kalau dia tidak suka dikalahkan. Dia tidak suka miliknya diambil. Cleo sebenarnya sangat penyayang, By. Sebagaimana dia menyayangi nenek dan keluarganya, Tante tahu dia menyayangi Rimba. Mungkin saking sayangnya dia ke Rimba yang bikin dia menyerang Ruby."
Efek kehilangan orang yang disayang memang dahsyat, Ruby tahu itu. Ia benar-benar miris membayangkan apa yang sedang berusaha dihadapi Cleopatra.Wanita di samping menatap Ruby, menarik sedikit ujung bibir. "Suasana hatinya sering tidak terkendali. Bahagia dan sedihnya cepat sekali berganti, naik turun. Cleo positif Bipolar, dia butuh dibantu. Tidak semua orang bisa mengerti tentang gangguan mental malah banyak yang menghakimi. Tante yakin Ruby nggak begitu. Tolong maafkan dia, ya. Jujur, Tante khawatir waktu Rimba bilang Cleo sampai serang Ruby pakai cutter segala."
Cutter? Ruby kemudian mengedip sambil coba mengingat ulang. Ia ingin bertanya maksud 'menyerang' dan 'cutter' tadi tetapi usapan Nabila di lengannya membubarkan kata-kata.
"Oh, ya. Selamat ya, buat peringkat satunya." Nabila tersenyum.
"Tante..." Ruby paksakan diri untuk bicara. "Maaf, Ruby nggak pernah punya maksud untuk menyingkirkan Rimba dari peringkat satu paralel."
Tawa pelan wanita di sampingnya lepas. "Bukan salah Ruby, Sayang. Ini biar jadi pelajaran buat Rimba. Kata wali kelas, nilai kalian sama tetapi poin Rimba berkurang karena pernah bermasalah di BK."
Poin? Ruby menelan ludah. Tetap saja ini ada hubungan dengannya, Rimba dua kali masuk BK karena dia. Rasa bersalah Ruby makin menjadi, ia menunduk sambil menjentikkan ujung kuku.
"Tante duluan, ya. Tante cuma mau pastikan kamu nggak papa."
Setelah berpamitan, mama Rimba itu pergi. Ruby makin menghubungkan penjelasan tadi dengan kejadian Cleopatra. Ia bangkit menuju belakang sekolah. Beberapa siswa mulai menegurnya dengan ramah, tetapi ada juga yang mencibir. Sepertinya nama Ruby makin dikenali di sekolah.
Kakinya menyusuri pelan daerah toilet dan menemukan barang di dekat tempat Cleopatra berdiri waktu itu. Cutter berwarna merah yang sudah ada di dalam selokan kecil. Ruby terdiam. Jadi waktu itu Cleopatra menyerangnya saat dia tidak lihat? Dan rangkulan Rimba? Astaga ternyata ia sudah salah duga juga kepada Rimba.
"Liv, ngapain?" tanya Mira yang baru keluar dari toilet.
Ruby yang tersadar dari memandangi cutter hanya menaikkan bahu. Matanya memandang cewek tomboi yang mendekat. Sungguh, rasa bersalah yang ada makin menjadi. Selama ini ia menganggap orang salah menilainya, kenyataannya ia pun salah menilai orang. Ia menilai penghuni belakang dari stigma yang ada; rusuh, ribut, tukang bikin onar. Faktanya, mereka yang ribut itu malah banyak membantu Ruby. Mulai dari Rimba, lalu Mira juga yang lain. Dia berbalik untuk berjalan sejajar dengan Mira. "Mir, makasih ya."
"Buat?"
"Banyak. Udah dukung gue tadi, buat yang lalu-lalu juga. Maaf kalo gue pernah salah duga ke kalian," jelas Ruby dengan penyesalan tampak nyata di rautnya.
Mira tertawa kecil. "Santailah. Orang rusuh kayak kami udah biasa dipikir yang bukan-bukan. Gue malah salut sama lo, bisa diam aja kalo diganggu."
Mereka berdua kembali menyusuri koridor lantai satu. "Sekali lagi makasih ya, Mir. Sampein juga ke yang lain: Untung, Zikra, Nanda. Gue ngerasa nggak enak banget sama kalian. Lo juga, bukan temen gue tapi mau belain gue, tadi."
"Nggak papa. Pacarnya anak Pespel berarti teman gue juga," balas Mira.
"Hah?"
Pacar anak Pespel? Ruby nggak salah dengar, 'kan? Keterkejutan Ruby membuat Mira seketika menyengir gugup. Cewek itu mengibaskan tangan, meminta Ruby lupakan ucapan barusan. Ruby teringat sesuatu dan mulai merogoh tasnya. "Eh, iya. Ini punya siapa, ya? Siapa tahu ada yang kehilangan ini. Gue nemu di dekat rumah gue."
Slayer yang disodorkan Ruby diterima Mira. Cewek itu mulai membuka lipatan, di sudut lipatan itu ada tulisan kecil pena bertuliskan angka Romawi empat belas, garis miring lalu nomor 005.
"XIV/005?" tanya Ruby.
Mira mengangguk. Ia tahu siapa yang bernomor seri 005 di angkatannya. "Punya Rimba. Balikin sendiri gih ke orangnya. Gue duluan, ya. Daaaah."
Sepeninggal Mira, Ruby menyempatkan diri berpamitan dengan dewan guru. Bu Hartini berkali-kali memeluknya dan membisikkan kata maaf. Wanita itu menjelaskan bahwa dahulu dia pernah dibohongi murid kepercayaannya yang pendiam seperti Ruby. Murid tersebut mengadu domba Bu Hartini dengan pihak sekolah. Sejak saat itu, Bu Hartini selalu waspada dengan murid yang terlihat aneh dan terlalu pendiam. Ruby hanya membalas semua cerita itu dengan anggukan dan senyuman. Ia cukup mengerti, setelah ia menyadari bagaimana selama ini dirinya juga menilai hanya dari satu sisi. Ponselnya bergetar saat Ruby keluar dari kantor guru. Ada sebuah pesan dari Naraya.
Naraya Hardianto: Kata Bokap, pernah beberapa kali ketemu di acaranya Pangeran waktu dia lagi tugas di Abu Dhabi. Kira-kira tiga tahun yang lalu.
Ruby mengetikkan pesan balasan.
Ruby Andalusia: Orangnya gimana, Kak?
Naraya Hardiyanto: Baik kok kata Bokap. Kenapa? Eh, kok bisa ngewaliin lo?
Ruby Andalusia: Nggak tahu, Kak. Om Andreiy tiba-tiba dateng dan bilang dia yang urus Ruby.
Naraya Hardiyanto: Oh, gitu. Ya semoga itu yang terbaik ya, By.
Setelah kembali mengantongi ponsel, Ruby menatap sekeliling sekolah. Titik-titik gerimis kembali turun menyapa dunia, seakan menyampaikan bagaimana rindu seperti tetes yang melebur, pasrah dan jatuh. Hujan dan ingatan tentang seseorang yang datang. Apakah cuma Ruby yang pernah merasakannya?
Om Andreiy belum selesai dari ruangan kepala sekolah. Ruby menunggunya dengan duduk di bangku panjang, di salah satu koridor. Dalam diam, dipandanginya hujan turun yang membuat suasana menjadi sejuk, wangi aneh yang disukanya kala rinai pertama datang ke bumi. Kepalanya sibuk dengan ingatannya sendiri sampai tidak mendengar langkah kaki hingga sosok itu berdiri di dekatnya. Ruby menoleh.
"Kata Mira, lo manggil gue?" tanya Rimba. Begitu mendengar Mira memanggil namanya dan menyebutkan nama Ruby di kantin, Rimba lantas tidak berpikir banyak lagi. Ia hanya ingin datang dan memenuhi panggilan Ruby. Cewek itu terlihat bertanya dari alis mata yang terangkat seutuhnya. Seperti terkejut atas kalimat Rimba. "Oh... Nggak, ya? Sori."
Rimba merasa malu, pasti Mira sengaja menjailinya. Bergegas ia membalikkan badan untuk kembali ke kantin dan berniat memiting Mira sampai cewek itu meminta maaf. Baru tiga langkah Rimba pergi, Ruby memanggilnya.
"Rim..."
Rimba menoleh kembali.
"Gue nggak manggil lo tapi ini pasti punya lo, kan? Kata Mira, slayer ini punya lo."
Cewek itu menyerahkan kain segitiga yang sudah Rimba cari hampir beberapa bulan belakangan ini. Memang Rimba diam-diam sudah memesan gantinya agar tidak diberi sanksi dari senior, tapi slayer asli tetap berharga. Benda itu bukti perjuangan dan persaudaraannya di Pasuspala. Rimba mengambil slayer merah yang disodorkan Ruby, membuka lipatan untuk memastikan itu adalah miliknya.
"Sori, baru balikin. Gue sempet kelupaan. Gue nemuin di pinggir lapangan dekat rumah. Yang waktu lo di ...." Ruby menghentikan kalimat. Cewek itu menunduk sambil terlihat berpikir, mungkin sedang mencari padu padan kalimat yang cocok.
Sori? Dia bilang sori? Rimba hampir melonjak saking senangnya. Dia yang harusnya meminta maaf, bukannya Ruby. "Gue pikir udah bener-bener hilang," gumamnya. Ia mengantongi slayer itu di kantong belakang celana sebelah kanan dengan menyembulkan sudut segitiganya. "Banyak kenangannya di sini. Thanks, ya, By."
Ruby mengangguk pelan. Mereka kembali ke dalam kebisuan.
"Oh, iya. Selamat ya buat ranking satunya." Rimba berusaha merangkai kata-kata tetapi hanya itu yang bisa terucapnya sambil berusaha menyunggingkan sebuah senyum yang mungkin terlihat canggung. Semua dilakukannya tanpa beban, jika Ruby mengabaikannya lagi, ya tidak apa-apa.
"Rim... G-gue nggak bermaksud begitu," pungkas Ruby. Ia sudah membaca komentar warganet di artikel BOS. Semua menudingnya melakukan kejahatan kepada Rimba. Bahkan ada yang terang-terangan menuduh Ruby sengaja membuat Rimba galau dan hilang konsentrasi. Tuduhan yang sangat beralasan karena berita tentangnya dan Rimba lebih dahulu datang sebelum kejadian ini. Tetapi demi Pluto, Ruby tidak selicik itu!
Rimba menatap muka memelas yang terlihat sangat bersalah. Padahal itu bukan kesalahan Ruby. Semua karena kesalahannya, Nabila sudah jelaskan mengapa dirinya terdepak dari singgasana. "Merasa bersalah banget kayaknya," ujarnya tersenyum simpul. "Nggaklah, nggak papa. Kan udah pernah gue bilang 'just hear what you wanna hear', gitu juga baca, baca aja yang bagus-bagus. Ngapain baca komentar mereka?"
Cewek itu mengiakan kalimat Rimba barusan dan hendak kembali ke bangku panjang. Rimba menahan tangan Ruby. "Tadi itu siapa?"
"Siapa?"
"Yang ambilin rapor," tanya Rimba. Tangannya masih di pergelangan Ruby.
Ruby meliriknya lalu kembalikan pandangan ke seorang pengawal yang terus memantau mereka dari jauh. "Om Andreiy, teman Mama," tutur Ruby sambil melepas pegangan tangan Rimba.
Rimba mengekori Ruby dan ikut duduk di bangku panjang yang ada. Hujan bertambah deras, mengurung mereka dalam ingatan lama yang pernah ada. Cukup lama mereka diam menatap hujan.
*
Pouring Rain
Hujan yang pernah menanammu di sisi
Tidak lagi menjadi basah yang sejuk
Kau memilih berteduh dari rindu
Berpaling dan mengangkat dagu
Embun bukan lagi selimut jiwa-jiwa sepi
Karena mendung tidak lagi memetik senyum
Hujan kali ini hanyalah sekadar hujan
Bukan seperti yang dahulu
Kita rapat tapi bersekat
Sebelahan tapi berseberangan
Dekat di diri, jauh di hati
Jarak apalagi yang lebih mengenaskan daripada ini?
*
"Coba di sini ada teh lemon ya," desis Rimba sambil mengingat bagaimana hujan pernah membuatnya mengenal Ruby lebih dekat. Ruby menarik lengkung kecil di sudut bibir, tidak membalas kalimatnya, dan kembali terdiam. Rimba menghela napas pelan memikirkan bagaimana mereka rapat tapi bersekat, sebelahan tapi berseberangan, berdekatan namun kembali asing. "By, apa gue masih boleh kasih penjelasan sama lo tentang yang kemarin? Sekali aja gue minta, habis itu kalo lo mau marah sama gue juga boleh," pinta Rimba.
"Lo sengaja, 'kan?"
Rimba manggut-manggut. "Tapi gue ada alasannya, Ruby, dan itu buat kebaikan lo juga."
Ia meraih tangan Ruby, menggenggam tangan yang terasa dingin. Rimba tidak punya nyali untuk menatap mata Ruby. Ia menjelaskan semuanya dengan menunduk, memandangi kuku-kuku pucat milik gadis itu. Mungkin saja Ruby akan marah besar setelah ini. Mungkin juga genggaman ini akan diempas sekeras cewek itu bisa. Atau mungkin Rimba akan menjadi sasaran bantingan Ruby ke ubin? Tidak apa, Rimba sudah siap.
Ia menceritakan secara detail per kejadian beserta alasannya. Dirinya sudah pasrah, yang penting niatnya untuk menjelaskan sudah terlaksana, hasilnya tidak bisa diramal. Sekalipun Ruby akan membencinya, Rimba sadar memang kesalahannya teramat besar.
"Begitu ceritanya. Lo mau marah habis ini, mau pukul gue juga nggak papa. Gue tahu gue salah. Nggak seharusnya gue memutuskan dari pendapat gue sendiri. Gue minta maaf, Ruby. Semua salah gue. Gitu juga tentang Cleo, semua salah gue, gue menyeret lo dalam kemarahan Cleo," terang Rimba.
Ia masih memandang tangan Ruby yang digenggam. "Kalo gue boleh minta, jangan pernah benci gue. Nggak enak rasanya dibenci. Tapi ... kalo memang lo mau ngebenci gue, ya, gue nggak bisa apa-apa. Semoga lo mau memaafkan gue," gumamnya.
Mereka lalu senyap, hanya ruas-ruas kaki hujan yang mengisi keheningannya. Rimba tidak menyangka kalau sebelah tangan Ruby naik dan menangkup di atas genggamannya. "Gue memang marah sama lo ... tapi gue nggak bisa benci."
Kalimat itu seperti petir yang menyulut angkasa raya berawan kelabu. Rimba langsung mendongak, menatap kejujuran dalam mata Ruby. Gadis itu tersenyum sesaat, berusaha menampilkan penerimaan maafnya. "Gue malah mau terima kasih sama lo. Makasih udah bantuin gue selama ini. Makasih karena ternyata lo udah tahan Cleo buat nggak serang gue. Makasih udah repot-repotin diri lo buat memikirkan yang terbaik untuk gue."
Ada hangat yang datang menjalar dan tidak dapat Rimba tepis meski dingin menyelimuti koridor. Rupanya Tuhan masih menjawab semua doa-doa Rimba. Penerimaan maaf dari Ruby itu tidak ternilai harganya. Ia mulai menarik senyum lebih lebar, menampilkan bahagia. Rasanya lega sekali. "Kalo gitu kita damai, ya," ajaknya mengerjap-kerjapkan mata.
Ruby mulai tertawa. "Siapa yang musuhan?"
Rimba mengeluarkan earphone dari saku, menaruh sebelah di telinga Ruby dan sebelah di telinganya, memutar instrumental piano. "Iya sih nggak musuhan, tapi nuduh gue pembual," candanya.
Ruby menoleh cepat, terlihat Rimba sedang mengatupkan kedua bibirnya erat, menahan tawa. "Kata siapa?" potong Ruby dengan dada tiba-tiba berdegam.
Seketika Ruby ingat, Naraya pernah memanggilnya dari depan kantin Pespel. Cewek itu membuka puisi di BOS dan berbisik kepadanya kalau dia mengetahui nama pena Ruby. "Setelah tahu nama lo Ruby, gue udah curiga kalo lo Mirah Delima. Ini nama udah bikin gue kepo dari kelas sebelas tau," ujar Naraya kala itu yang dibalas dengan senyum oleh Ruby.
"Kak Naraya?" tanya Ruby lagi. Ia tidak tahu apakah kalimatnya terdengar bergetar atau tidak. Ruby ingin sekali berguling ke lapangan depan, pecah dan hilang bersama air yang mengalir ke selokan. Biar apa coba nulis puisi untuk orang lalu ketahuan? Pluto, where are you?!
Rimba mengangguk, bibirnya masih menahan senyum. "Kata Kak Nay, gue nggak peka. Jelas-jelas di setiap kata pengantar buku Mema ada tulisan 'Untuk permataku, Mirah Delima'. Arti nama Ruby kan batu permata berwarna merah delima. Ya, kan?!"
Ruby mendesah, coba mengingat mantra-mantra sakti miliknya Harry Potter. Silentio! Silentio! Ia teriakan dalam hati mantra itu berkali-kali ke arah Rimba tetapi cowok itu tak kunjung diam.
"Sekali-kali bikinnya puisi cinta gitu. Yang manis kek, terus ditulis 'Untuk Belantara Rimba' seorang," lanjut Rimba.
"Idih," potong Ruby mencebik. Mukanya sudah seperti kepiting rebus yang baru masak di atas kompor.
"Tapi yang kayak gitu nggak usah dikirim ke BOS-lah. Kasih langsung aja ke orangnya," bisik Rimba menampilkan seringai usil.
Wajah Ruby sudah terasa sangat panas. Ia berusaha mengalihkan cerita. Suara piano pelan masih mengalun di telinga mereka. Nada yang sedang berputar seperti Ruby kenal, sama seperti lagu yang ada dari penelepon yang tidak dikenalnya. "Kayak pernah dengar lagu ini."
"Di mana?"
"Di telepon. Dulu, ada yang nelepon cuma bunyi piano gini," jawab Ruby kelewat jujur.
Rimba kembali tersenyum. "Suka?"
"Kedengarannya sedih."
"Judulnya Novule Bianche. Lagu ini ada suka dan sedih, bahagia dan luka sekaligus."
"Lo bisa maininnya?"
"Bisa," jawab Rimba mantap.
"Atau lo yang maininnya waktu itu?"
"Iya... Eh." Rimba tergagap karena kelepasan menjawab. Sedang Ruby mulai tertawa-tawa kecil, membuat Rimba menarik sedikit rambut ikalnya yang masih saja menggemaskan. "Bisaan ya ngorek infonya."
"Satu sama," kata Ruby.
Mereka lalu tertawa lagi, Rimba bahkan menjepit pelan hidung Ruby. Suara berdeham hadir menyela tawa mereka.
"Permisi...," sapa Untung sambil lewat menundukkan badan. Cowok itu tidak sendiri di belakangnya ada Nanda, Zikra dan Mira yang berbaris lewat di depan mereka sambil menunduk seolah sedang melewati majikan. "Permisi Om, Tante..."
"Resek," timpal Rimba melihat teman-temannya mulai jail.
"Tadi bilangnya bentar, tapi nggak balik-balik. Gitu sih emang," canda Mira.
"Kalo udah senang mah dunia milik berdua. Kita dilupain," celetuk Nanda usil.
"Biasalah... tak ada logika," balas Zikra.
Lalu tiba-tiba Mira melengking, "Ye iye iye..."
Seolah aba-aba, keempat orang itu bergoyang dan bernyanyi Tak Ada Logika di lantai koridor yang sepi. Mira bertingkah seolah dia adalah Agnez dan yang lain adalah para dancer. Ruby benar-benar tidak bisa menahan gelaknya kali ini apalagi melihat Untung jatuh karena sok-sokan break dance. Dia tidak menyangka orang-orang seperti mereka tahu Agnezmo. Ya ampun, penghuni belakang kelas ternyata memang lucu-lucu sekali, ia telat menyadari karena keburu menilai miring mereka.
"Eh, bentar, bentar. Pantesan hujan, baru kali ini gue liat Olive ketawa. Ya Allah, kenapa nggak dari dulu, Liv?" decak Untung menangkupkan tangan di pipi, "manis banget lo ketawa, Masya Allah. Pantes Rimba jadi galau."
Nanda dan Zikra terkakah-kakah membalas komentar Untung, sedang Rimba benar-benar sudah membulatkan mata ingin menelan saudaranya itu hidup-hidup. Ruby tersenyum simpul melihatnya.
"Coba dari dulu senyumnya gini, Liv." Nanda mengerling.
"Betul, betul, betul," sela Mira.
"Apa?!" tanya Rimba.
"Wuih, herdernya galak." Zikra meledakkan tawa lagi. "Bukan milik pribadi kali, Bang. Biasa aja."
Ruby terus saja tertawa dan tersenyum kepada mereka. Ia rasa tidak perlu menjelaskan mengapa ia tidak pernah membagi hal itu bersama mereka. Mereka terus saja melucu, mengolok-olok Rimba sebagai korban. Cowok itu seperti kewalahan membela diri, sedangkan Ruby kembali tertawa menyikapinya. Tawa yang selama ini tidak pernah ditunjukan lagi kepada dunia luar. Tawa yang sempat hilang bersamaan dengan kehilangan Mentari. Tawa yang belum berhenti sampai Om Andreiy selesai dari kantor kepala sekolah dan mengajaknya pulang.