Loading...
Logo TinLit
Read Story - HABLUR
MENU
About Us  

The worst illiterate is the political illiterate.

***

"Are you okay?" tanya Rimba lirih.

Mereka berdua duduk di tingkat paling atas rumah sakit, tempat terbuka yang lebarnya sama seperti gedung ini, ada lingkaran dengan lambang tambah terletak di sentral. Di tengah lambang tambah itu ada huruf H besar berwarna merah. Iya, Rimba membawa Ruby ke helipad rumah sakit, lapangan yang ada di atas ruang kerja papanya.

Pemandangan kota Jakarta ada di hadapan. Jalanan kota tampak kecil dari tempat mereka duduk. Langit malam tanpa sinar bintang, dikalahkan oleh pesona lampu-lampu dari gedung pencakar langit.

"It's okay not to be okay." Rimba menyuarakan pengertiannya. Meskipun tanpa jawaban dari mulut Ruby, seolah mengerti, Rimba lalu diam. Membiarkan angin mengisi kesenyapan antara mereka. Sedari kecil, ia sering melihat bagaimana Nabila memberi waktu pasiennya untuk take the time, diam dan merefleksikan diri, jika perlu nangis pun akan dibiarkan menangis sepuasnya. Yang Rimba tahu, emosi dalam tubuh mesti disalurkan, memendam hanya akan memperkeruh keadaan. Memendam emosi negatif seperti menyimpan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Walaupun begitu, Rimba juga sadar dia tidak selalu bisa menyalurkan emosinya dengan baik. Contohnya saat pertama kali dia masuk ruang BK akibat pengaduan Ruby. Jujur, rasanya Rimba ingin mencekik Ruby jika tidak ingat bahwa sosok di depannya adalah perempuan. Akhirnya Rimba memilih memukul meja sebagai pelampiasan dan penyaluran emosi. Dia tertawa pelan, mengingat konflik pertama kali yang membuatnya mengenal Ruby.

Ruby hanya menutup mata, meletakkan kepala di tekukan lutut. Semua masih seperti mimpi buatnya, mimpi buruk yang ingin sekali ditinggalkan saat terbangun nanti. Sayangnya ini bukan mimpi. Dingin mulai datang bersama malam yang semakin kelam, dan ia tidak suka dengan suara-suara yang berulang kali menggaung di kepalanya.

NGAPAIN BELA DIA? DIA ANAK TERORIS! ANAK KOMUNIS!

Ruby meremas-remas tangan, mengutuk  ingatannya. Jika bisa, ingin sekali diusirnya dengung-dengung yang mengganggu. Namun, bukan hilang malah semakin sumbang.

NGAPAIN BELA DIA? DIA ANAK TERORIS! ANAK KOMUNIS!

Terbayangnya muka pemimpin algojo tadi, Ruby mengemam sambil memijit pelipis.

"Hey... Don't hide your tears. Crying doesn't means you're weak." Rimba bergeser mendekat. Cowok itu menepuk bahunya.

Memang benar, ada bulir yang mencelat tanpa diminta. Ruby menutup telinganya, membenci kalimat yang masih saja terkurung dan berteriak-teriak dalam benak.

NGAPAIN BELA DIA? DIA ANAK TERORIS! ANAK KOMUNIS!

Ya Tuhan, kenapa kalimat itu teringat terus olehnya? Tidak bisakah sekadar lenyap seperti suara Bu Hartini yang bahkan jarang sekali singgah di otaknya? Ia mendesah keras, kesal dengan keadaannya sendiri. Sekejap, Ruby merasa tangannya yang menutupi telinga tertarik. Ada hangat yang membungkus telapak tangannya, seolah sedang berusaha membantu lewati pengalaman tidak menyenangkan tadi.

"By?"

Ruby tersadar dan mengusap asal mukanya memakai tangan kiri yang tidak digenggam Rimba. "Sorry... But I heard you."

"It's okay."

Mereka terdiam lagi. Hanya terdengar embusan napas masing-masing di antara suasana yang hening. Tangan kanannya masih digenggam Rimba, seperti menyalurkan kekuatan yang Ruby tidak mengerti apa tetapi membuatnya sedikit tenang.

"Suara orang itu kedengeran terus di kepala gue," keluh Ruby sambil memukul pelan kepala. Matanya masih memandangi gedung yang berjajar di depan mereka, tidak berani menoleh. "Padahal gue nggak pengen inget tapi susah ngusirnya pergi. Malah semakin kuat suaranya."

Rimba membalas kalimat Ruby dengan bergumam sebentar lalu diam, tanpa komentar. Seperti menunggunya bercerita lagi.

"Kenapa coba mesti keinget? Kesel gue," ungkapnya.

Cowok di sebelahnya masih mengemam tanpa kata, sudah seperti Nissa Sabiyan, membuat rasa malu karena digenggam Rimba hilang dan bertambah kesal. Melihat Ruby yang mendelik tajam, kemudian cowok itu bersiul-siul tanpa dosa.

"Mirip Scorpion lo." Ruby merogoh ponselnya lalu membuka sesuatu. Tangan kidalnya itu luwes bergerak di layar. Tak lama, ada sebuah lagu lama mengalun. Memang seperti siulan Rimba tadi. "Mirip, 'kan?"

Rimba menoleh sejenak kepada cewek yang sedang meletakkan ponsel di samping kirinya. Ruby terlihat mulai membaik bahkan ia mendengar Ruby bernyanyi lirih lagu Scorpion, band kesukaan Opa.

"I follow the Moskva. Down to Gorky Park. Listening to the wind of change."

Tangannya tidak dilepas Ruby. Ia dapat merasakan Ruby juga menggenggam tangannya, membagi kehangatan yang tanpa diketahui cewek itu bahwa genggamannya juga menyulut sengatan asing dalam jantung Rimba.

Cewek itu masih ikut melirih. "An August summer night. Soldiers passing by. Listening to the wind of change."

Memang cewek aneh! Dari awal ia tahu Ruby itu aneh, semakin mengenal ia semakin dibuat terkejut-kejut dengan bermacam-macam keanehan yang ada. Selain tahu Bob Marley, cewek ini juga hafal lagu jadul milik Scorpion. Benar-benar aneh.

"Masih?" sela Rimba memotong nyanyian pelan Ruby, membuat cewek itu menoleh. "Masih keinget dan kedengeran suara si Kunyuk itu?"

Kepala Ruby mengangguk. "Dikit," ujarnya lalu melanjutkan nyanyian.

"Lo kok bisa hapal sih lagunya? Ini lagu kesukaan Opa gue, lho." Rimba menatap heran Ruby.

Sambil menyelipkan juntaian rambut ke belakang telinga, Ruby tersenyum pelan. "Nggak tahu, sering denger waktu kecil. Terus ya inget aja, walaupun udah lama nggak denger."

"Serius?" tanya Rimba tak percaya. "Tapi lo hapal banget."

Kepala Ruby teralih ke kanan, menatap Rimba. Ia mengedikkan bahu. "Sama kayak suara orang tadi, cuma denger sekali, tapi gue tetep inget."

"Kalo sama gue, ingetnya apa?"

Pertanyaan Rimba hampir membuat Ruby gelagapan. Tidak mungkin ia bilang kalau semua perkataan Rimba diingatnya, 'kan?  "Pengkhianat. Pantes nggak punya temen." Ruby menaikkan sebelah alisnya. "Gitu 'kan kata lo dulu?"

Persis! Rimba tersenyum. "Terus, apa lagi?"

"Ini Rimba. Lo jangan main-main sama gue, ntar nyasar terlalu jauh. Mencari jalan pulang tidak mudah, Kawan!" ulang Ruby dengan yakin. Tentu saja ia sangat ingat kalimat itu.

"Terus?"

"Cepu, nggak cocok ada di SEPATU."

Mata Rimba membulat, tidak menyangka Ruby bisa mengingat jelas semua perkataannya. "Terus?" cobanya lagi.

"Ah, terus melulu. Nabrak nanti."

"Lo kenapa bisa remed biologi, kemaren?" Rimba pernah melihat Ruby menghadap Bu Hartini untuk remedial biologi. "Memang lo nggak ngerti?"

"Penjelasan Bu Hartini sama yang di buku beda. Bingung gue. Gue juga nggak klop sama cara neranginnya yang kurang jelas."

Rimba menyuarakan kepahamannya atas keadaan Ruby dengan mengangguk pelan. Suara Bu Hartini memang cenderung kecil dan cepat dengan artikulasi tidak jelas. "Lo tuh kayaknya punya kecerdasan verbal. Gaya belajar lo yang bagus ya auditory. Pantes lo suka pake earphone melulu."

"Gue pake earphone karena nggak suka berisik, susah nyambung kalo rame gitu."

"Iya, lo tuh auditory. Harusnya lo jangan duduk di belakang." Tidak mengherankan jika Ruby mudah mengingat perkataan pimpinan algojo tadi atau perkataan yang pernah ia lontarkan, cewek ini memiliki kemampuan lebih dalam mengingat sesuatu yang berhubungan dengan suara.

"Kalo nggak salah auditory hypersensitivity. Nggak konsen kalo ada suara ribut," tambah Rimba. "Tapi untuk lebih pastinya, lo memang harus assesment dulu."

Setiap orang punya kecerdasan majemuk, itu yang Rimba tahu dari asisten Nabila yang pernah membimbingnya untuk menemukan gaya belajar yang tepat. Setelah mereka telaah bersama, ia mendapati bahwa dirinya memiliki kecerdasan numerik dan natural dengan gaya belajar visual kinestetik. Itu mengapa, cukup dengan membaca atau melihat sekilas, Rimba dapat menangkap apa yang diajarkan. Namun, karena sering bergerak, Rimba merasa harus duduk di belakang agar tidak mengganggu teman yang lain.

"Gue boleh tanya sesuatu?" Rimba berusaha membaca gerak Ruby. "Tapi kalo lo nggak mau jawab nggak papa."

"Apa?"

"Tentang tadi." Rimba berusaha mencari padanan kata yang sesuai agar tidak membuat Ruby tersinggung. "Kata si al— eh, si Kunyuk tadi."

Tentu saja Rimba terkejut mendapati rumah Ruby dipenuhi orang-orang bermuka garang. Rasa tidak terimanya muncrat begitu saja melihat algojo itu kasar kepada Ruby. Seperti warga sekitar, Rimba juga mendadak emosi dan menyerbu mereka. Akan tetapi, dia lebih terkejut lagi saat pimpinan algojo meneriaki Ruby anak Komunis dan teroris. Rimba tidak percaya, tetapi warga sekitar ragu-ragu.

Ruby melepas genggaman tangannya. Sepertinya Rimba salah bicara. Dalam hatinya merutuk kencang, menyalahkan bibir yang seenaknya saja bertanya di kondisi yang tidak tepat.

"Komunis? Teroris?" Ruby mendengkus. Cewek itu lalu terdiam, memeluk lutut dengan lengan jaketnya ditarik menutupi telapak tangan agar tidak kedinginan. Keadaan jadi canggung. Rimba ingin meminta maaf dan berkata kepada Ruby agar melupakan pertanyaannya, tetapi bibirnya lengket terkatup. Aduh, kenapa dirinya bodoh sekali, sih?

"Kata Bertold Brecht, buta yang terburuk adalah buta politik. Dia yang buta politik adalah dia yang tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik." Ruby mengantongi kedua tangannya. Cewek itu menatap Rimba.

" ... Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga-harga komoditas, obat, tepung, makanan, tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya akan lahir pelacuran, anak terlantar, politisi busuk serta rusaknya perusahaan nasional dan multinasional."

"Karena itu kami berusaha melek politik dan belajar banyak hal, tapi itu bukan berarti keluarga kami mendukung Komunis, Rim. Mama sangat setuju dengan kata-kata Soe Hok Gie, 'Dalam politik tidak ada moral dan politik adalah barang yang paling kotor. Kalau bisa dihindari, ya hindari, tetapi kalau suatu saat tidak dapat menghindari lagi, maka terjunlah'."

Jujur, Rimba membeku. Ia masih belum bisa menebak apa maksud dan tujuan Ruby menjelaskan itu. Matanya menyapu keadaan sekeliling, dua meter dari mereka adalah ujung gedung dan di bawahnya ada jalan raya. Bisa saja tiba-tiba ia dilempar jatuh ke bawah, kan? Jangan lupa, Ruby bisa membanting orang.

"Papa selalu menyuruh gue untuk banyak belajar dan membaca, supaya nggak bodoh dan dibodohi. Gue nggak tahu apakah bener kami Komunis atau enggak. Terserah lo mau nilai gimana. Biar gue ceritain sedikit."

Ruby menceritakan tentang Embah, orang tua laki-laki dari Gamal yang seorang petani miskin. Saking miskinnya, lahan yang satu-satunya dimiliki juga terjual. Lantas, Embah bekerja di lahan milik orang lain dengan upah yang sangat rendah. Saat itu, terdengar angin segar untuk memperbaiki perekonomian. Embah jelas tidak mengerti apa itu gerakan Marhaenis ataupun Komunis. Yang ia tahu, ia diajak berkumpul untuk mendengarkan orang berbicara dan diberi bekal makanan setelahnya. Hanya itu.

Meski tidak bisa membaca dan menulis, Embah tetap memegang teguh norma agama dengan keyakinan suatu saat perekonomian dapat membaik dan ia dapat menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Suatu hari, di pertengahan malam, rumah mereka digeledah. Embah diseret dan diikat bersama tetangga-tetangga lain. Orang yang datang seolah mencari sesuatu dalam rumah, tetapi tidak menemukan apa pun. Papanya yang baru berusia dua tahun hanya bisa menangis dan disuruh berlari bersembunyi di balik pohon belakang rumah sampai pagi datang. Ketika kembali, rumahnya sudah hangus, kakek neneknya hilang entah kemana.

Gamal tumbuh di sebuah masjid, diasuh oleh penjaga masjid tersebut. Tidur beralaskan tikar di atas tanah. Hari ke hari, Gamal selalu belajar dan mencari tahu apa salah orang tuanya. Ketika besar, dia akhirnya tahu bahwa orang tuanya dituduh makar dan Komunis. Namun, Gamal yakin Embah yang sangat mencintai Presiden Soekarno itu bukanlah bagian dari orang-orang yang ingin memberontak. Kesalahan Embah hanyalah satu, yaitu bodoh.

Embah yang buta aksara tentu tidak tahu bahwa gerakan yang menggaungkan perbaikan itu adalah salah satu angin segar yang diembuskan Komunis. Toh, saat digeledah tidak ada satu buku pun, tidak ada satu simbol pun tanda pendukungan kakeknya terhadap aliran itu. Embah hanya bodoh dan kebodohan itu melenyapkannya.

"Papa dan Mama gue nggak ikut-ikutan apa pun. Kami cuma membaca semua supaya kami tahu, Rimba. Sekalipun Mama orang Rusia, nggak ada seujung kuku pun dia mendukung Komunis, palingan pernah bahas kebijakan pemerintah. Keluarga gue masih bisa menghindari politik praktis, makanya mereka hindari."

Ruby menjelaskan tanpa ragu. Meskipun ia rancu, apakah Rimba bisa menerima atau tidak percaya.

"Mohammad Hatta aja pernah bicara Marxisme, kok. Bahkan Tan Malaka yang penganut Marxisme dan tokoh Komunis dibenci sama PKI angkatan selanjutnya. Atas dasar apa mereka menuduh kami Komunis?"

Cowok itu akhirnya berdeham, entah untuk apa. Ada yang tersangkut di tenggorokan atau meredakan ketidakpercayaannya. "Hm... Kalo gitu, lain kali hati-hati kalo ada yang ngetok rumah lo. Jangan langsung dibukain," ujar Rimba serius.

"Kenapa?" Ruby mendadak teringat akan peristiwa tadi. Apakah orang-orang itu akan kembali lagi karena tidak mendapatkan apa yang mereka cari?

"Ya, jangan langsung dibuka, ditanya dulu siapa mereka. Apalagi kalo mereka jawab 'Cakra'." Rimba melepas tawa ke udara.

Ruby kontan mencubit pinggang Rimba. Ia ingat film yang pernah mereka tonton saat kelas sepuluh. Ada instruksi yang mana mereka wajib menonton film G30S/PKI. Tentu Ruby tidak lupa adegan itu, adegan pasukan mengetuk pintu rumah seorang Jenderal dan ketika ditanya 'Siapa itu?' lalu dijawab dengan 'Cakra' sebagai identitas.

"Eh, tapi lo teroris, sih." Rimba menangkap tangan Ruby yang tadi menghadiahi jepitan kecil nan pedas. "Sudah meneror-neror hati Akang."

Rimba tidak peduli seringai jijik yang ia dapati dari raut Ruby. Melihat cewek itu kembali tertawa saja, ia sudah senang. Malam ini, Rimba menyadari bahwa ia sendiri yang tersesat terlalu jauh dan tidak menemukan jalan pulang. Rimba menunjuk hamparan gelap di atas mereka. "Lihat langit itu deh. Cuma ada satu bintangnya."

"Iya, kalah sama lampu." Ruby ikut tengadah, menatap satu bintang yang ada di atas kepala mereka. Hangat dari tangan Rimba terasa menusuk-nusuk telapaknya.

"Bukan gitu. Bintangnya malu, karena di sini ada yang lebih terang dari dia."

Pluto, ajarkan Ruby bagaimana caranya menahan bibir yang berkedut tertarik sendiri.

"Cie... Senyum aja udah."

Ruby menggigit pipi bagian dalam agar lekuk bibir tidak kentara.

"Gue suka senyum lo. Senyum aja udah, jangan ditahan-tahan."

"Rimbaaaa..." Ruby malu, Ruby malu, Ruby malu, Pluto!

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
House with No Mirror
464      349     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
Last October
1879      747     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Unexpected You
487      347     0     
Romance
Pindah ke Indonesia dari Korea, Abimanyu hanya bertekad untuk belajar, tanpa memedulikan apapun. tapi kehidupan tidak selalu berjalan seperti yang diinginkannya. kehidupan SMA terlalu membosankan jika hanya dihabiskan untuk belajar saja. sedangkan Renata, belajar rasanya hanya menjadi nomor dua setelah kegemarannya menulis. entah apa yang ia inginkan, menulis adalah pelariannya dari kondisi ke...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
197      138     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Secret Garden
316      264     0     
Romance
Bagi Rani, Bima yang kaya raya sangat sulit untuk digapai tangannya yang rapuh. Bagi Bima, Rani yang tegar dan terlahir dari keluarga sederhana sangat sulit untuk dia rengkuh. Tapi, apa jadinya kalau dua manusia berbeda kutub ini bertukar jiwa?
Warna Untuk Pelangi
8353      1781     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
DariLyanka
2998      1034     26     
Romance
"Aku memulai kisah ini denganmu,karena ingin kamu memberi warna pada duniaku,selain Hitam dan Putih yang ku tau,tapi kamu malah memberi ku Abu-abu" -Lyanka "Semua itu berawal dari ketidak jelasan, hidup mu terlalu berharga untuk ku sakiti,maka dari itu aku tak bisa memutuskan untuk memberimu warna Pink atau Biru seperti kesukaanmu" - Daril
Dear Vienna
375      286     0     
Romance
Hidup Chris, pelajar kelas 1 SMA yang tadinya biasa-biasa saja sekarang jadi super repot karena masuk SMA Vienna dan bertemu dengan Rena, cewek aneh dari jurusan Bahasa. Ditambah, Rena punya satu permintaan aneh yang rasanya sulit untuk dikabulkan.
Pacarku Arwah Gentayangan
5783      1736     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Dunia Saga
5775      1497     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.