Jika yang berdekatan adalah dua benda bermuatan tidak sejenis maka kedua benda tersebut akan tarik menarik.
***
"Gue nggak ada kasih izin lo buat masuk lebih dalam." Ruby mengingatkan tamunya yang sudah berada di ruang tengah. Tangan cowok itu memegang foto Mentari.
"Ini siapa lo?"
"Nyokap gue. Kenapa?" Ruby melipat tangan dan kembali defensif. Pandangannya meruncing.
"Hah?!" Rimba memandangi foto wanita yang tersenyum ramah berbingkai kayu kekuningan khas jati belanda. Sosok berkebangsaan Rusia yang diketahuinya pindah kewarganegaraan ke Indonesia, bernama Mentari Mahameru, lebih dikenal oleh anak pencinta alam dengan sebutan Mema.
Ia termasuk pengagum wanita itu. Seorang penjelajah juga aktivis yang konsen dalam isu global. Masih segar di ingatannya saat SMP dahulu, berita tentang Mentari yang membawa anaknya untuk ekspedisi seven summits, deretan gunung tertinggi di tujuh benua yang ada di dunia. Yang Rimba baca, Mentari di antara kesibukannya sebagai penggiat, tetap ingin menuntaskan pendakian tujuh gunung tersebut bersama anak perempuannya.
Jadi anak perempuan itu Ruby? Jantung Rimba terasa tersetrum. Cewek yang dikiranya hanya anak rumahan dengan hobi mendekam di dalam kamar, berselimut dan berpendingin ruangan. Tidak ada tampang pendaki atau penjelajah sama sekali. Kalau saja tidak ada deretan foto Ruby kecil dengan wanita itu, tentu Rimba tidak percaya. Akan tetapi jejeran gambar di hadapannya ini bukti nyata. Ada macam-macam pose, mulai dari Ruby kecil digendong di dalam tas saat ekspedisi sampai foto mereka berdua sama-sama berjalan dan menggendong carrier masing-masing. Setiap foto tercetak tulisan tahun, dan foto terakhir diambil di Gunung Elbrus, dua tahun yang lalu.
Buang Rimba ke Digul saja, Tuhan! Di tahun itu, Belantara Rimba bahkan belum mendaki gunung. Rimba benar-benar merasa kecil. Betapa tidak, Ruby pernah menapaki gunung yang sampai sekarang hanya berani dimimpikannya saja. Ia belum mendapat restu berangkat ke sana, apalagi mental dan fisiknya juga belum cukup tangguh untuk ekspedisi ke puncak berselimutkan es abadi, sedang Manekin Hidup ini pernah berdiri menjulang pada titik tertinggi di benua tersebut. Sebuah tangan menahan lengannya. "Gue izinin lihat, tapi jangan dipegang, jangan tergeser satu milimeter pun."
Dengan tenggorokan yang mendadak seret, Rimba memastikan kembali penglihatannya. Berjalan menelusuri foto-foto yang ada. Siapa tahu semua ini hanyalah foto editan? Kan sekarang lagi zaman. Kakinya berhenti pada foto bertiga dan Ruby terlihat makin remaja. Benar! Ruby adalah anaknya Mema.
"Lo beneran anaknya Mema?" Kali ini Rimba benar-benar memindai inci demi inci sosok Ruby. Setitik freckles pun tidak ingin ia lewatkan.
Manekin Hidup itu masih bersedekap. "Kenapa memangnya?" balas Ruby datar.
Oh, dia tanya kenapa? Rimba ingin mengumpat keras. Mema adalah sejarah dalam dunia pencinta alam Indonesia. Pendaki wanita yang menyemangati anak-anak muda untuk mengenal Indonesia dan juga dunia. Semua buku Mema juga menjadi koleksi Rimba. Tulisannya tajam, pedas dan menyentil. Namun, gamblang apa adanya. Setahun yang lalu, kabar tentang Mema yang Rimba tahu adalah kematiannya dalam insiden hilang sebuah pesawat di Laut Tengah.
Rimba mengernyit heran pada Ruby, kok tidak bilang kalau ibunya meninggal kepada pihak sekolah? Bukankah setahun yang lalu, saat kelas sepuluh, mereka juga sekelas?
"Kenapa lo nggak kasih tau nyokap lo meninggal sama sekolah? Kan kejadiannya waktu kita kelas sepuluh."
Ruby duduk di kursi kayu yang ada. Kursi sederhana dengan sedikit lengkungan gaya lawas. "Supaya?" tanya cewek itu kepadanya.
Supaya pancen oye! Astaga! Rimba sudah ingin mengutuk. Bukan hanya rumah bertegel kunci ini saja yang unik, pemiliknya juga sama ajaib. Hanya tarikan napas Rimba yang menjawab pertanyaan paling aneh sedunia. Ada ya cewek yang tanya apa maksudnya ketika teman peduli tentang berita keluarga dia?
Rimba membalikkan badan, menipiskan jarak. "Supaya tau, gue pengagum Mema soalnya," bisiknya tipis di samping Ruby dan ikut duduk di samping cewek itu. "Kalau tau Mema nyokap lo kan bisa minta tanda tangan di buku gue."
Mereka menghadap ke pintu yang terbuka. Angin yang datang membawa gerimis sebagai pertanda bahwa tak lama akan turun hujan. Benar saja, hujan yang turun sangat lebat, menghalangi Rimba untuk pulang. Semesta seperti memberi kesempatan baginya untuk duduk, menikmati sepoci teh lemon bersama, bertukar cerita yang dahulu tidak pernah ada.
"BTW, Liv bukannya lo nggak mau bawa kendaraan kalo belum tujuh belas tahun? Kenapa tadi mau?" tanya Rimba sembari meneguk isi cangkir.
Ruby mengisi kembali cangkir Rimba yang sudah kosong. Sosok itu terlihat tidak berminat menjawab tetapi Rimba masih menanamkan pandangan kepadanya, menunggu jawaban. "Ada deh."
"Nggak konsisten juga lo," sindir Rimba sambil mengulum senyum.
"Atas dasar apa nuduh gue begitu?" Ruby meneguk tehnya dengan air muka keki.
"Ya bener, 'kan? Belum tujuh belas tahun tapi ..." Picingan mata Rimba menyudutkan Ruby.
"I'm officially seventeen," potong Ruby cepat. Tidak enak sekali rasanya dituduh tanpa tahu fakta yang benar. Toh, ia memegang teguh prinsipnya.
Dengan tiba-tiba, Rimba menggeser badan, menghadapnya. "Really?"
Rambut kecoklatan itu bergerak karena kepala Ruby terangguk.
"Hari ini?" Rimba memastikan ulang dengan membuka ponsel dan mencari sesuatu. "Oh, kita nggak bertemen di FB, ya? Pantes nggak ada di notifikasi."
"Facebook?" Ruby mulai meringis, tidak pernah dan tidak akan pernah dibuatnya akun itu. Tidak hanya itu, Ruby juga tidak memiliki Instagram, Tiktok dan sosial media lain yang sedang populer. "Gue nggak punya FB."
"Kenapa? Alasannya?"
"Ya, nggak papa. Nggak kepingin aja. Bukan karena kasus kebocoran data Meta, ya." Ruby merasa lebih nyaman dengan tulisan. Untuk itu dia memiliki akun Twitter guna melihat kerecehan warganet atau mengetahui info berkembang, dia sering membaca novel di Tinlit atau meminjam buku di Ipusnas, berselancar dari blog ke blog, sesekali membaca pendapat orang di Quora atau ulasan buku di Goodreads.
"Aneh bener lo ini!" Rimba menghidupkan lilin kembali dan menyodorkan ke arahnya. "Liv, selamat ulang tahun! Make a wish!"
Beberapa saat, Ruby mematung. Ada gelombang yang beriak di hatinya, tidak tahu apa.
"Tiup, woy. Lo bukan Limbad yang dilihatin aja bisa mati apinya." Rimba menyenggol pelan bahu di sebelahnya.
Tangan Ruby terangkat dan bertepuk di atas lilin tersebut sehingga apinya mati. Meski tidak ditiupnya, rasa itu merekah, bergerak memenuhi dada. Kali ini, selain Gamal dan penghuni dojo, ada orang lain yang mengucapkan selamat atas ulang tahunnya.
Tanpa Ruby sadari, mereka bicara apa saja dan larut dalam keseruan. Bibir cewek itu bergerak-gerak lucu ketika bercerita, antusias sekali saat membahas buku milik Mentari. Ruby bercerita saat ikut ke hutan Kalimantan kala Mentari menulis tentang pembalakan liar dan pembantaian orang utan.
Seperti disengaja Sutradara Kehidupan, hujan masih deras dan mengurung Rimba di sini, membuatnya tidak mampu beranjak. Ia sudah menumpang makan dan membaca buku juga. Berapa banyak lagi tentang Ruby yang tidak diketahuinya? Sepertinya banyak. Semua itu laksana senapan mesin, fakta datang membombardir Rimba.
Beberapa kali Rimba melontarkan candaan konyol dan sudut itu juga tertawa, menampakkan keindahan yang tidak pernah Rimba lihat sebelumnya.
Sesuatu yang terus melekat dalam ingatan Rimba sesampainya di rumah. Hal aneh yang membuka memarnya tidak terasa berdenyut. Bahkan Rimba tidak dapat menahan senyumnya sendiri. Yakinlah Rimba tidak kehilangan kewarasan, dia hanya menjadi sedikit aneh saja.
***
"Liv, Olive." Rimba mengejar Ruby dan bersisian dengan cewek itu. Panggilannya membuat Ruby menoleh dan berhenti. "Mikroskopnya udah bener, entar siang kita ambil, yuk!" ajaknya sambil menarik lengan Ruby agar tidak berada di tengah koridor.
Ruby menatap tangan yang menggenggam lengannya akrab. Beberapa mata yang lewat memperhatikan mereka. "Kenapa nggak lo sendiri aja yang ambil?" sahut Ruby sambil bergerak melepas tangan Rimba.
"Ya kali, Liv. Kan musti dipegangin kotaknya. Lagian kan lo yang bikin rusak gitu."
Manik cokelat yang Rimba suka itu membulat, menyerang ke arahnya, membuatnya tersenyum karena Ruby terlihat sangat cantik.
"Asal kalo ngomong," ujar Ruby sambil melirik jam tangan dan mulai berjalan ke arah kelas, meninggalkannya.
Rimba menyusul kembali dengan langkah besar. "Main tinggal-tinggal aja sih, Liv. Belom selesai ngomong juga. Dasar Olive." Rimba menarik pelan rambut ikal nan halus yang belakangan sering ditatapnya dari belakang.
"Kalo gue ini Olive, berarti lo Brutus." Ruby mencebik. Brutus cocok untuk Rimba yang selalu mengganggu ketentramannya.
Rimba tertawa, giginya berbaris rapih. "Terus siapa Popeye-nya?" tanyanya ingin tahu.
"Ada, deh," sahut Ruby sambil memasuki kelas.
Rimba mengekori Ruby dengan senang hati. Beberapa ledekan datang dari penghuni belakang, melihat mereka berdua datang bersama. Ruby sudah duduk di bangku dan bersiap untuk pelajaran pertama. Rimba juga sudah duduk di belakang Ruby, masih menilik rambut yang menggemaskan itu.
"Liatin terus, Rim. Liatin terus, sampe gosong!" Ledekan Zikra dari pojok belakang mulai mematik.
"Lagaknya aja dia nyumpahin Untung yang nantangin DoD, padahal seneng gitu. Bisa modus sama Olive," tambah Nanda yang duduk di sebelah Zikra.
Rimba sudah membeliak kepada orang yang berbicara. Ia duduk di meja agar bisa melihat yang lainnya. "Terusin, terusin. Gue tontonin."
"Seneng diledekin, seneng."
Penghuni belakang tertawa. "Jadi? Sudah sampe mana kemajuannya sama keindahan surga yang terperangkap dalam dunia fana?"
Beberapa dari mereka melihat interaksi Rimba dengan Ruby saat di koridor. Hal aneh yang tidak pernah tampak di sekolah.
Rimba ikut terkekeh sambil mengumpat. Harga dirinya dipertaruhkan karena Dare or Dare terkutuk. Syukurlah, Ruby tidak membahas itu ketika bersamanya Sabtu kemarin.
Guru pelajaran pertama belum datang. Ejek-ejekan masih menggaung. Untung bahkan duduk di samping Ruby dan mengajak cewek itu mengobrol. "Liv. Gimana Rimba, Liv?" tanyanya sambil melepas penutup telinga Ruby.
Sebelum Ruby menjawab, Rimba langsung menepis tangan Untung dengan kasar dan menarik Untung untuk kembali ke tempat duduknya. "Jangan diganggu!"
Kor 'cieeeee' lalu membulat. Makin menyoraki Rimba dengan menghubungkan unggahannya beberapa hari lalu.
"Dia boleh ngeganggu Olive, kita nggak boleh. Bisaan lo ya, Rim." Nanda meledek tak henti.
"Rasain si Rimba. Dulu musuhan sekarang demenan. Rasain! Mamam tuh modus." Zikra masih saja memanas-manasi dan memanggil Ruby, "Olive, oh Olive.."
Saat Ruby menoleh karena merasa dipanggil, mereka masih cengar-cengir termasuk Rimba. Ruby memalingkan muka dan kembali memasang earphone. Cewek itu terlihat mengetik di ponselnya dan tidak peduli dengan sekitar.
"Baru tau gue kalo orang sespesial Rimba juga nggak ada bedanya sama martabak. Sama-sama dikacangin!"
Seekor nama hewan terlontar luwes dari mulut Rimba, menyulut ledekan-ledekan yang lebih dahsyat lagi. "Mulut apa kotak sampah, Rim? Kotor amat!"
Rimba membalas tidak terima. "Lagian lo mancing perkara."
"Ya, kalo lo bukan ikan, harusnya nggak kepancing dong," sahut yang lainnya.
"Bangke!" hardik Rimba sambil melempar bola kertas. Tak lama, sahut-sahutan itu mereda tanda guru fisika sudah masuk.
***
Belantara Rimba: Posisi?
Ruby Andalusia: 06º 10' LS 106º 49' BT
Belantara Rimba: 😪😪😪
Belantara Rimba: Serius gue
Ruby Andalusia: Gue duarius
Belantara Rimba: Bodo, Liv. Bodo!
Ruby Andalusia: Iya deh yang pinter.
Belantara Rimba: Kalah mulu ngomong sama lo. Lo di mana, sih? Masih lama gak?
Ruby Andalusia: Lama kayaknya. Lo ambil mikroskopnya sendirian aja, ya. Gue masih disuruh ngehadap Pak Iksun.
Belantara Rimba: Ngapain?
Pesan terakhir Rimba bahkan tidak dibaca kembali oleh Ruby. Centang dua biru belum terlihat di sana, Rimba berdecak kesal. Perutnya sudah lapar dan tadinya, ia ingin mengajak Ruby makan bersama.
Belantara Rimba: Gue tunggu aja
Rimba menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Sebagai orang yang selalu merencanakan dan mengeksekusi sesuatu dengan target sempurna, hal-hal mendadak yang merusak rencana sangat mengesalkan bagi Rimba. Ada urusan apa Pak Iksun dengan Ruby? Apa olimpiade? Oh, iya bulan-bulan ini memang waktunya penyaringan siswa olimpiade. Ia sendiri didaulat Bu Hartini untuk mengikuti olimpiade biologi.
Jadi, apa Ruby ikut olimpiade fisika? Jika iya, rasa kagum Rimba akan naik satu tingkat lagi kepada cewek itu. Suara langkah terdengar dari belakang. Sebelum Rimba menoleh, Ruby sudah di samping. "Lo nunggu?"
"Terus kalo bukan nunggu lo, ngapain gue di sini?" tanyanya retoris.
Ruby hanya mengedikkan bahu. Mereka berjalan menuju parkiran, kendaraan sudah lengang di sana. Leher Ruby berputar mencari sesuatu tetapi parkiran motor sudah kosong.
"Cari apa?" Rimba kembali bertanya sambil mengeluarkan kunci, membuka pintu penumpang dan mempersilakan Ruby masuk.
Ruby menatap Rimba heran. Rimba bawa mobil? Kalau dia bawa mobil, mengapa masih memerlukannya? Bukannya kotak mikroskop bisa ditaruh di jok saja? Rimba mulai menjalankan mobilnya menuju Pasar Pramuka. Ruby memasang sabuk pengaman lalu melirik Rimba. "Seat belt-nya dipake," ujarnya mengingatkan.
Rimba menarik sabuk pengaman miliknya. "Pasangin," pintanya membuat Ruby melirik malas. "Pasangin atau gue nggak pake, nih?"
Ruby berdengkus kesal. Tangannya meraih lempengan besi di sebelah lalu memasangkan ke sarangnya. Beberapa kali, ia hanya mengomentari singkat pembicaraan Rimba. Rasanya, makin lama, Alas Roban ini makin tidak jelas saja.
Coba dipikir, Rimba mengajaknya untuk memegang mikroskop tapi ternyata bawa mobil. Cowok itu bisa pasang sabuk pengaman sendiri tapi minta dipasangkan lalu memaksa makan siang karena lapar tapi tempatnya cukup jauh. Kesambet apa sih dia?
Rimba membawanya ke sebuah saung. Mereka duduk di sebuah pondok beratap rumbia yang ada di atas kolam. Ruby memandang ikan-ikan yang berenang bebas di bawahnya. Sembari menunggu pesanan, dia menabur makan ikan dan tak berkedip melihat bagaimana hewan berinsang itu berebut makanan.
"Nenangin, ya?" Rimba ikut duduk di sampingnya, meraih makanan ikan dan melemparkan ke kolam. "Melihat ikan gini bisa jadi terapi buat alzheimer, hiperaktif atau autis."
Meski tidak dijawab Ruby, sosok itu terus bercerita. "Gue sering ke sini kalo suntuk dan nggak bisa kabur ke gunung," aku Rimba. "Lumayanlah hilangin stres."
"Gaya lo udah kayak yang paling banyak pikiran aja," komentar Ruby tanpa memalingkan mata dari ikan mas koi yang berwarna-warni.
"Banyak pikiran karena punya otak." Rimba beralasan.
"Jadi, yang nggak banyak pikiran bisa dibilang nggak punya otak?" Ruby menyimpulkan kalimat Rimba. Cowok itu lantas terbahak-bahak dan menutupi mulutnya yang tak mampu diam dengan telapak tangan.
"Di KIR kalo ngerjain makalah dari bab satu langsung ke kesimpulan, ya? Mudah bener nyimpulin." Kekeh Rimba masih bersisa. Ia menarik pelan surai ikal Ruby yang menggantung di atas bahu. "Lo tuh sekalinya ngomong, pengen gue bungkus bawa pulang."
"Karet satu atau karet dua?" Ruby masih memasang muka datar, kontras dengan Rimba yang sedari tadi bereaksi.
"Karet dualah. Pedas soalnya, kadang-kadang malah beracun," jawab Rimba.
Makanan sudah datang, Ruby bangkit dan kembali ke meja. "Setiap makhluk hidup punya cara untuk melindungi diri," sahutnya pelan.
"Hmm... Sejenis autotomi, mimikri atau kamuflase?" Rimba menyusul Ruby ke meja dengan tertawa lagi. "Hewan dong lo?" guyonnya sambil menyendokkan lauk ke piring Ruby yang sudah berisi nasi.
"Bukannya kita semua hewan? Spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi." Ruby memulai makan, menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Rimba kemudian menyendokkan sayur ke piring Ruby. "Homo sapiens," gumamnya melengkapi pernyataan Ruby.
Ruby mengangguk. Dia menambahkan lagi karakter manusia sebagai makhluk ekonomi, makhluk berpikir dan makhluk sosial yang pernah dibacanya. "Homo economicus, homo mensura, zoonpoliticon."
"Homo faber, homo ludens," tambah Rimba sambil mengunyah.
"Dan ... Homo homini lupus." Ruby tersenyum kecil. Berdiskusi dengan Rimba ternyata sangat enak, seacak apa pembicaraan tetap nyambung. Pantaslah jika cowok ini banyak teman dan perlu Ruby akui diam-diam kalau Rimba memang pintar.
Hari menjelang sore, mikroskop yang direparasi sudah diambil. Mobil Rimba sampai di depan rumah bergaya klasik Jawa tepat pukul lima sore. Tadi, Rimba bersikeras mentraktirnya sebagai perayaan ulang tahun ke-17. Kotak mikroskop yang Ruby pegang lalu diletaknya di bangku penumpang. "Makasih ya, Rim," ujar Ruby ketika turun dari mobil.
"Liv, boleh nggak kotaknya taruh di bagasi aja?" Rimba lalu menarik tuas di bawah jok dan bagasi mobilnya terbuka.
Ruby mengangguk, berjalan ke belakang untuk menaruh barang yang pernah membuat mereka bermasalah. Namun, alangkah terkejutnya dia saat melihat isi bagasi. Ada beberapa buah buku dengan sampul berwarna warni diikat menjadi satu memakai pita. Buku tersebut bergambar depan siluet gedung-gedung tinggi dan berbagai manusia di atasnya. Tinta putih menghiasi judulnya, Rapijali. Tidak hanya itu, yang membuat tangannya berkeringat cukup banyak adalah buket bunga yang sangat cantik.
Berulang kali Ruby coba abaikan penglihatan, menaruh mikroskop di tempat yang tingginya pas sehingga tidak akan berguncang. Ia lalu bergerak hendak menutup bagasi mobil Rimba, seolah tidak melihat apa-apa tetapi tangannya ditahan. Tangan kokoh dengan pembuluh vena yang terlihat itu meraih buket bunga dan buku, mengangsurkan ke Ruby.
"Happy belated birthday. Enjoy your sweet seventeen," ujar Rimba manis.
Tanpa aba-aba muka Ruby kebas, jantungnya terasa mencuat keluar. Sore terasa makin panas dan keringat makin banjir di pelipisnya. Senyum Rimba barusan menariknya jatuh ke tempat aneh yang selama ini tidak pernah dikunjungi.
"Kaku bener kayak disuntik formalin." Rimba menarik tangan Ruby agar menerima bunga dan buku yang sudah disiapkannya. Setelah diterima Ruby, lantas bagasi ditutup dan Rimba pamit pulang. Cowok itu kembali menarik pelan ikal rambutnya sebelum masuk ke mobil lalu membunyikan klakson pendek, tanda permisi. "Popeye pulang dulu, ya."
Rimba meninggalkannya yang masih membeku atas kejadian tak terduga. Ruby melirik buku dan bunga yang tergenggam. Detak jantungnya masih tidak bersahabat, mengetuk sangat keras. Ruby bahkan tidak sadar Rimba sudah pergi dari tadi. Terakhir cowok itu bilang apa?
Popeye?! Asdfghjkl!
Pluto, bawa Ruby pergi saja! Ruby malu!