Kekacauan: Ketika masa kini menentukan masa depan. Namun, perkiraan masa kini tidak secara pasti menentukan masa depan.
***
Ruby menapaki teras dengan hal asing yang membuatnya pusing. Mukanya semerah tomat dan bibirnya tertarik terus sedari tadi. Sampai-sampai, ia perlu menggigitnya agar bibir tersebut berhenti bereaksi. Ia mencium buketnya, mawar merah muda yang wangi dan cantik. Duh, Ruby ingin tersenyum lagi. Sepertinya ini tidak benar, mengapa dia senyum-senyum sendiri, sih?
Setelah membuka pintu, ia langsung mengisi vas bunga dengan air dan meletakkan mawar tersebut di kamar. Dibukanya jendela lebar, membiarkan angin menerpa masuk, yah Ruby perlu menenangkan diri dari sesuatu yang panas dari tadi.
Matanya memandang buku pemberian Rimba. Buku itu ditulis oleh salah satu penulis kesukaan Ruby, Dee Lestari. Dia memang belum membeli trilogi Rapijali, hanya sempat membaca buku pertama di Ipusnas. Rupanya, rezeki tetap tidak akan tertukar. Mungkin, Pluto dengan segala rahasianya memberi bisikan kepada Rimba tentang hal-hal yang diketahui. Dengan cepat, jalinan pita di sampul dibukanya. Hidungnya mengendus bau kertas dari buku baru. Khas dan melenakan.
Bagaimana bisa manusia menyukai hal-hal aneh yang susah dijelaskan? Bau buku baru, harum rumput setelah dipotong, aroma hujan yang susah dideskripsi dan sejumput riak asing mengganggu juga menyenangkan.
Masih dengan memegang buku, Ruby memandang halaman rumah. Ia ingin membaca tetapi tidak bisa konsentrasi. Padahal sekitar sepi, benaknya kosong melompong dan ia hanya ingin melamun, mengingat kembali kejutan yang dibuat oleh Rimba. Kok bisa ya di luar prediksinya?
Buku diletakkannya di meja, ia bergerak membuka laci, meraih kain berwarna merah. Slayer Pasuspala yang ditemukan sebelum melihat Rimba dipukuli geng yang beraninya keroyokan. Apa slayer ini punya Rimba?
Suara pintu dibuka membuat Ruby segera menaruh slayer tersebut dan menutup laci. Badannya berputar hendak menoleh keluar. Namun, Gamal lebih dahulu masuk ke dalam kamarnya yang terbuka.
"Lho, baru pulang?" Gamal mengamati Ruby yang masih mengenakan seragam. Ruby bergeming. Ia tidak memberitahu papanya kalau pulang sore, hari ini.
"Nggak masak, dong? Padahal Papa kangen sambel terasi Ruby." Gamal memasang muka merajuk. Lelaki itu menaruh ransel besarnya di pinggir tempat tidur, berjalan perlahan menuju sesuatu yang menarik matanya.
"Bunga dari siapa? Bunga kiriman Papa bukan warna merah jambu, deh." Mata Gamal memicing dan bibirnya menyeringai geli. Saat ulang tahun kemarin, Ruby juga menerima paket bunga pesanan Gamal. Namun, Gamal selalu mengirimkan bunga berwarna putih untuk Ruby.
Muka Ruby memerah, dan kesulitan untuk menjelaskan ke Gamal.
"Oh, jadi ini yang bikin anak Papa pulang sore," cetus Gamal sambil mengamati buket merah muda yang terangkai cantik.
"Apa sih, Pa?" Ruby berusaha melawan rasa hangat yang melumuri wajahnya. "Itu dari temen, kok."
Gamal terkekeh. Lelaki berambut gondrong dengan jambang liar ini jelas tahu, teman mana sih yang akan kasih mawar seistimewa ini? "Iya, temen. Temen jadi demen," kelakar Gamal sambil mencolek hidung bangir Ruby. "Bilang sama temen Ruby, besok-besok jangan kasih bunga segar lagi soalnya Papa udah kasih. Kasih bunga bank, deposito, emas gitu."
Ruby membelalak sedangkan Gamal tertawa sampai batuk. "Saking 'temennya' sampai nggak masak buat Papa lagi," tambahnya makin memanasi. Lelaki itu bersandar pada kusen jendela yang dibuka Ruby.
"Kirain Papa nggak pulang tadi. Kan, Papa bilang pulangnya lusa." Bibir Ruby mulai mencuat, sifat manja yang hanya keluar jika bersama orang tua.
"Digidaw! Tapi ternyata Papa dateng lebih cepat, ye... Papa kan mau kasih surprise. Eh, ternyata Papa yang dapet surprise."
Jalinan bibir Ruby tersimpul senyum mendengar kalimat Gamal. Dasar Papa! Sudah tua tapi masih sok berjiwa muda. Gamal sering bilang kalau orang lapangan sepertinya tentu lebih berjiwa muda. Bertemu dengan banyak orang dan banyak karakter membuat Gamal tetap awet muda. Lihat saja, di umurnya yang sudah enam puluh tahun, Gamal masih sering memakai celana jins dengan kaus raglan sesiku ditutup kemeja lapangan berkantung. Jangan lupakan rambut ikal yang tidak dipotong-potong bersama uban yang menghiasi warnanya. Papanya biasa menguncir rambut menjadi bulatan tinggi, benar-benar Rastafarian.
"Cie, anak Papa udah punya pacar." Gamal dan Ruby mulai keluar kamar, menuju dapur yang letaknya tidak jauh dari sana.
Ruby mulai menurunkan lauk beku dari freezer. "Ayam atau ikan, Pa?"
"Cinta aja," jawab Gamal mengerling.
"Papa..." sungut Ruby sambil mencebik.
Mendapati putri satu-satunya beraksi begitu, Papa makin memperuncing olokan. "Yang mana sih anaknya? Kenalin dong sama Papa. Sebagai bapak yang baik, Papa ini bisa menilai kriteria pacar idaman. Tenang, nggak akan Papa tes apa-apa. Nggak harus ngalahin Papa main catur dulu sebelum ajak Ruby nge-date."
"Pa..." Ruby mendesah pasrah. "Mau makan ikan atau ayam?"
"Siapa nama cowoknya?" Gamal masih saja mengabaikan pertanyaan Ruby. "Biar Papa tebak. Anton? Budi? Atau Iwan?"
Tawa Gamal lalu memecah suasana dapur. Muka Ruby yang sudah sewarna dengan buah plum itu membuat Gamal geli. Badan Ruby tidak akan bereaksi seperti itu jika tidak merasa. Anaknya itu meski kecil tetaplah batu. Jadi, Gamal tahu kalau Ruby pasti ada sesuatu dengan si pemberi bunga.
"Mancung bener bibirnya. Sama Papanya aja ngambek, gimana sama cowok coba?" Kalimat Gamal berganti logat Melayu seperti Kak Ros menceramahi Upin dan Ipin. "Nasiblah jadi cowoknya Ruby. Nasib badan..."
"Ruby males masak nih, ya," ancam Ruby agar Gamal berhenti meledek. Ia memasukkan ayam dan ikan ke dalam kulkas kembali.
"Selow. Jangan kayak orang ribet. Ayo kita makan malam di luar!" ajak Gamal santai. "Sekalian ngerayain Ruby ulang tahun juga. Mandi dulu biar cakep dan dapet banyak bunga."
"Pa..." Dia berusaha biasa-biasa saja agar Gamal tidak curiga tetapi tidak bisa. Bibirnya tertarik saja dari tadi tanpa kendali. Ulang tahun kali ini Ruby merasa cukup bahagia meski terasa kurang dengan tidak hadirnya Mentari. Ada Gamal dan Rimba yang datang dengan ketiba-tibaan yang menyenangkan. "Makasih, ya. Udah pulang cepat untuk Ruby."
***
Malam ini, ruang tengah rumah Ruby kembali berwarna. Sepulang dari makan malam, Gamal dan dia duduk bersama, berbagi cerita. Ruby ada menceritakan Rimba sedikit, sedikit saja tanpa menyebutkan nama. Ia juga bercerita akan mengikuti penyisihan olimpiade fisika juga tentang ujian kenaikan tingkat aikido.
Gamal tersenyum dan terangguk-angguk mendengar ceritanya. "Kalo Ruby memang mau coba ikut penyaringan olimpiade, Papa senang. Artinya, Ruby udah mulai berani berkompetisi."
Ruby menangguk setuju. Dia sudah memutuskan kalau tidak ada salahnya mencoba ikut dahulu.
"Kompetisi jangan hanya dinilai dari kalah atau menang. Bagi Papa dan Mama, semua itu nggak masalah. Asalkan Ruby nyaman dan suka menjalaninya. Nggak usah dipaksain. Karena ketika kita menjalani sesuatu yang disuka atau sesuatu yang dipaksa, beda efeknya ke diri kita, 'kan?"
Ruby mengangguk lagi. "Iya, Pa."
"Anak Papa udah gede, ya?" Gamal terlihat tersenyum bangga. Ada rasa senang terselip dalam hati Ruby melihat gurat senyum itu, dan Ruby berjanji akan membuat papanya lebih bangga. Karena hanya Gamal yang tersisa, hanya Gamal yang dipunyainya. Seseorang yang menjadi payung peneduhnya selama ini. Walaupun Gamal sering bertugas jauh, Ruby tetap merasa dekat. Jarak bukan masalah untuk komunikasi ayah-anak tersebut.
Gamal memandangi bingkai foto dimana ia, Ruby juga istrinya berfoto bersama. Sepertinya masih kemarin, berpetualang dengan dua orang yang disayang. Jujur saja, ia merindukan istrinya. Seseorang yang hilang tanpa kabar berita hingga maskapai mengumumkan nama wanita itu sebagai korban. Badannya menuju ke pojok ruangan, mengambil sebuah piringan hitam dan memasang ke pemutar.
Sudah dapat Ruby duga apa yang diputar Gamal. Musik yang secara tidak langsung mengkontaminasinya, musik reggae. Kali ini yang diputar Gamal, lagu dari musisi reggae Indonesia, Ras Muhamad.
"By, tau nggak?" Papa membuka percakapan lagi. Tangannya menuang teh ke dalam cangkir. Mereka memang terbiasa duduk dan ngeteh bersama. Kata Gamal, minum teh adalah kebiasaan baik yang diterapkan di banyak bangsa seperti Eropa, Jepang ataupun Rusia.
"Enggak," pungkas Ruby terkikik. Kali ini, ia merasa akhirnya bisa membalas Gamal.
"Ye... Nih anak, dengerin dulu. Musik reggae ini, yang mempertemukan Papa sama Mama." Gamal tersenyum-senyum seperti sedang mengingat kisah romantis ala film India. "Tau nggak, Papa dan Mama ketemu di mana?"
"Konser musik?"
"Bukan."
"Padang gurun?"
"Bukan."
"Alcatraz?" tebak Ruby asal.
Gamal berdecak keki. "Bukan. Nebaknya nggak banget sih? Papa sama Mama ketemu di pinggir pantai, di Lombok."
Ruby ber-huwo ria. Sebenarnya dia ingat kalau Gamal pernah bercerita jika papanya itu menikah di usia cukup matang, di usia empat puluh tiga tahun. Awalnya, Gamal berikrar tidak ingin menikah, tetapi pertemuannya dengan Mentari mengubah segalanya.
"Jadi, pas banget Papa lagi duduk di bawah pohon kelapa, lagi nyanyi-nyanyi kecil pakai ukulele..."
"Terus ketimpa kelapa?" sahut Ruby iseng.
Papa berdesis cuek. "Motong aja! Ceritanya, Mama yang baru pulang dari ekspedisi Rinjani, lagi jalan-jalan di Senggigi. Waktu denger Papa nyanyi, dia samperin Papa. Terus bilang kalau Mama suka permainan musik Papa."
Ruby bergeleng sangsi. "Nggak mungkin, terlalu frontal."
"Orang Rusia gitu emang, By. Nggak banyak basa-basi, apa adanya dan sekali ngomong dalam kayak Ruby."
"Masa sih, Pa?"
Gamal menggoyangkan kepala pelan mengikuti alunan lagu Ras Muhamad. "Masak sih pake kompor."
"Kalo kata Mama, Massa itu gaya dibagi percepatan. Massa itu volume dikali berat jenis." Ruby menjawab penuh dedikasi.
"Itu kalo menurut fisika, tapi masa juga bisa berarti waktu, By. Jadi, ilmu juga relatif. Menurut Einsten, nggak ada yang mutlak di alam semesta ini."
Ruby menyisir rambutnya yang berlekuk seperti milik papa, mencepol dengan tinggi. Ia masih menyunggingkan sukacita melihat Papa bergoyang reggae. Ketukan musik yang santai, wangi teh, obrolan hangat dan Papa yang selalu menenangkan. Kolaborasi nikmat apalagi yang Ruby akan dustakan?
"Ruby suka fisika kayak Mama?" tanya Gamal.
Ruby mengiakan. "Papa bangga nggak kalo Ruby bisa sepintar Mama?"
"By, hidup ini bukan masalah pintar atau enggak aja melainkan bagaimana kita berguna buat orang lain. Ruby lihat Mama, 'kan? Kalo Mama mau kaya, bisa banget, By. Tapi bukan itu tujuan Mama."
Papanya yang sudah mulai menua itu masih terlihat segar, hanya saja sedikit tidak tertata. Mata dan senyumnya selalu bersemangat. Kata-katanya membuat Ruby tunduk, patuh juga merasa aman.
"Padahal kalo kita kaya enak ya, By? Naik Limousine gitu." Papa berkelakar lagi. Tangan itu mengelus janggutnya. "Tapi bukan Mama ah kalo gitu. Kalo Mama matre mah, mana mau sama Papa."
"Tuh, sadar." Ruby menyengir. Jika saja Mentari dari dulu mau menerima sogokan para konglomerat perusak hutan, mungkin keluarganya sudah menjadi Orang Kaya Baru, saat ini.
"Tapi..." lanjut Ruby, "apa yang bisa dibikin sama anak SMA kayak Ruby? Palingan sekedar baksos atau donor darah?"
"Hal-hal kecil yang kita lakukan kadang berdampak besar untuk orang lain. Bansos atau donor darah itu bukan 'sekadar' bagi orang yang membutuhkannya," jelas Gamal.
"Lebih konkrit, Pa," tuntut Ruby.
Baru saja akan menyahut, pintu depan digedor keras, membuat mereka berpandangan. Gamal menuju depan, akan membuka pintu. Ruby membuntut di belakang Papa, ingin mengetahui siapa yang berlaku tidak sopan barusan.
"Kalau Papa pergi, ada tamu yang kayak gini?" tanya Gamal sebelum membuka pintu.
Ruby menggeleng cepat. Gamal mengintip dari jendela, tetapi si pengetuk tidak terlihat.
Gedoran keras berbunyi lagi, Gamal menyahut. Dengan ringan, lelaki itu membuka pintu, hendak menegur tamu tanpa adab tersebut. Namun, belum sempat Gamal membuka suara. Sebuah tembakan meletus dan bersarang di dadanya.
Pekikan Ruby tertahan di tenggorokan. Mukanya sudah seputih salju. Seorang berbaju serba hitam dengan penutup muka berwarna sama, menodongkan pistol ke arah papa. Gamal yang terjungkal, memegangi dadanya. Matanya membelalak melihat sang penembak. Tamu tidak dikenal itu kembali menembakkan satu peluru lagi, Gamal mencoba berkelit sehingga peluru hanya terkena pinggangnya. Sosok itu berlari keluar, melompat ke motor yang masih hidup dikendarai komplotannya.
Gerungan motor itu meninggalkan Ruby yang jatuh terduduk. Mencoba sekuat mungkin merangkak menuju Gamal. Kakinya terasa lumpuh seketika. Darah menggenang di ruang tamu dan Gamal terengah-engah seperti kehabisan oksigen. Otak Ruby mendadak tumpul, untuk berpikir saja ia tidak mampu. Inginnya membopong papanya pergi secepatnya, tetapi ia tidak bisa menopang Gamal dengan kelemahannya ini.
"Pa... Papa." Ruby memeluk Gamal. Ayahnya itu masih bernapas. Ruby panik harus berbuat apa lebih dahulu. Ya Tuhan, kenapa dia tidak ambil ekskul PMR saja?! Ia tidak tahu tindakan pertama pada kecelakaan seperti ini.
Tangan Gamal naik ke arah pintu, menunjuk ke arah luar. Ruby menoleh, tetangga yang tadi mengintip sekarang sudah ada yang berani mendekat.
"Toloooong," pekik Ruby semampunya. Ia berlari ke luar, berteriak sebisa kekuatannya. "Toloooong."