Matahari masih sangat terik, tapi Medina menggigil kedinginan. Dunianya runtuh, gelap gulita, hancur berkeping digilas fakta menyakitkan yang baru hari ini menghampiri. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa tidak lebih awal dia tahu? Kenapa setelah dia mati-matian membenci mamanya? Kenapa setelah ratusan hari terlewat yang tidak sedetik pun Medina lalui dengan mengalamatkan semua kesalahan pada Latifa?
“Kenapa …?” Medina terisak. Di area parkir yang sepi cewek itu terduduk. Tenaganya nyaris habis. Dia terlalu lelah menghalau rasa bersalah. Banyak suara bermunculan dalam benaknya, mengejek kekeraskepalaannya. Lebih buruk lagi, dia merasa menjadi yang paling bodoh dan tidak berguna.
“Dik,” tegur Santi. Dia berjongkok menyetarakan tinggi dengan sang adik. Dibelainya puncak kepala Medina dengan sayang. Dia tahu betul bagaimana perasaan Medina.
“Mbak ….” Medina meraung.
Tanpa berkata-kata, Santi membawa Medina ke dalam pelukan. Dibiarkannya Medina menangis, selama yang adiknya mau. Dia tidak peduli gamis dan jilbabnya kotor oleh liur dan ingus. Dia mau adiknya punya sandaran, hal yang tidak dia punyai lima tahun silam. Dia mau Medina tahu kalau mereka memiliki satu sama lain untuk saling menguatkan.
“Sudah lebih baik, Dik?”
Respon Medina hanya berupa anggukan pelan. Bohong! Tidak ada yang lebih baik. Lega itu cuma sebatas kata yang teramat dipaksakan. Sebenarnya dadanya penuh sesak oleh luapan berbagai emosi. Itu yang tengah cewek itu rasakan.
“Kita pulang, yuk!”
Tertatih Medina bangkit dibantu Santi. Kepalanya nyut-nyutan karena terlalu banyak menangis. Diam di dalam bui hingga menanti datangnya Mama ternyata bukan kejadian paling buruk dalam hidupnya. Tidak tahu apa-apa sekian tahun lamanya justru hal paling menyakitkan.
“Mama mana?”
“Mama nunggu kita di mobil. Mama—”
“Mama kenapa, Mbak?”
-***-
Tujuh tahun lalu Luthfi menikah untuk kali kedua. Pernikahan diam-diam itu dilaksanakan di tanah kelahiran Zarina, istri barunya. Beralasan perjalanan bisnis, Luthfi punya waktu lebih dari cukup untuk menggelar resepsi besar-besaran, berbulan madu selama sepekan dan memboyong Zarina ke hunian baru yang mereka tempati hingga sekarang.
Latifa tahu telah dipoligami dua tahun setelahnya. Luthfi, Zarina dan Latifa bertemu di rumah sakit secara tidak sengaja. Arkhan bayi demam tinggi hingga kejang sedangkan Medina kecil mengidap tukak lambung. Kakak beradik beda ibu itu dirawat dalam satu lorong yang sama. Kamarnya persis berseberangan.
Jangan tanya bagaimana perasaan Latifa saat itu. Babak belur saja tidak akan cukup menggambarkan kondisi hatinya. Latifa memilih bersikap tak acuh dan tidak meributkan pengkhianatan Luthfi padahal dia punya hak marah. Kesembuhan Medina menjadi fokusnya. Pelukan Santi menjadi penguatnya.
Meski demikian, hampir di setiap malam sunyi bertemankan suara detak jarum jam Latifa larut dalam tangis kepiluan. Perempuan tunawicara itu makin sering mempertanyakan kasih sayang Tuhan. Dia menangisi hidupnya yang tidak ubahnya ladang penderitaan.
Sebagai anak sulung Latifa memikul banyak beban. Tekanan demi tekanan dari berbagai sisi seringkali membuat pijakannya goyah. Orang tua yang tampaknya memberi support di mata banyak orang menjadikannya sebagai materi pencitraan. Ketiga adiknya pun tidak jauh berbeda.
Bertemu, jatuh cinta dan dicintai secara ugal-ugalan oleh Luthfi membuatnya merasa sangat beruntung. Dia pikir menikah di usia yang terbilang matang menjadi jaminan kebahagiaan di masa depan. Rupanya hari-hari damai bertabur bunga itu pun memiliki ujung. Latifa yang lelah makan hati meminta cerai setelah lebih dari lima tahun bertahan.
Sebelum mengajukan gugatan, Latifa berjuang mati-matian membesarkan usahanya. Dia tidak mau terus bergantung pada Luthfi. Bukan perkara gengsi, melainkan harga diri. Latifa mau menunjukkan bahwa dia perempuan mandiri. Dia tidak suka dikasihani.
“Jangan benci Papa,” pinta Latifa usai bercerita. “Mama mohon.”
“Jadi, Arkhan beneran anak Papa?”
Anggukan lemah Latifa menjadi jawaban. Hebatnya, ibu dua anak itu tetap bisa tersenyum. Dia sudah ikhlas menerima suratan takdir. Terjal dan pahitnya masa lalu dia jadikan pembelajaran dan sarana untuk memperbaiki diri.
“Dia adik kita. Suka atau pun nggak, kita harus menerima kehadirannya,” tutur Santi bijak. Amarahnya yang sempat membumbung pada sang ayah, Latifa juga yang memadamkan.
“Setelah selama ini aku dibohongi, kenapa aku nggak boleh benci Papa?” Medina menatap dalam-dalam Latifa. Luka itu kian nyata menganga. “Kasih satu alasan kenapa aku nggak boleh benci Papa, Ma.”
“Karena dia papamu,” sahut Latifa.
“Seburuk dan sebesar apa pun kesalahannya, Papa tetaplah orangtua yang baik buat kita. Sampai kapan pun, nggak ada yang bisa memutus hubungan ini, Dik.”
-***-
Setelah sepekan berlalu baru Medina bersedia menemui Luthfi. Bukan karena sudah memaafkan dan melupakan begitu saja kesalahan papanya, melainkan karena desakan Latifa. Dengan wajah tertekuk masam, dia ke rumah baru Luthfi ditemani Santi. Papa mereka memang sudah keluar rumah sakit tiga hari lalu.
Zarina menyambut kedatangan Medina dengan tangan terbuka. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya yang dipenuhi ketakutan, kali ini dia lebih siap menghadapi anak-anak tirinya. Sekalipun masih dihadiahi tatapan sinis, perlakuan baik Medina dan Santi terhadap Arkhan sedikit mengobati rasa bersalahnya.
Sadar diri kehadirannya tidak diharapkan, Zarina memilih berdiam diri di kamar. Kebetulan sekali Deandra, anak bungsunya bersama Luthfi, mengantuk. Sang suami beserta kedua anak tirinya itu dibiarkan menghabiskan waktu bersama di taman belakang. Dia sengaja memberi ruang pada ayah-anak itu bicara dari hati ke hati.
“Gimana keadaan Papa sekarang?”
“Bagaimana keadaan kamu, Nak?”
Medina dan Luthfi bertanya di satu waktu yang sama.
“Kayak yang Papa lihat, aku baik-baik aja.” Medina menyahut lebih dulu. “Kalau Papa sendiri gimana?”
Senyum teduh Papa mengatakan kalau dirinya jauh lebih baik dari yang Medina pikirkan. “Walaupun masih harus bolak-balik kontrol, Papa yakin bisa cepat pulih,” ungkapnya optimis.
Lama mereka diam, saling mengunci pandangan. Banyak yang ingin mereka bicarakan, tapi sama-sama tidak tahu bagaimana memulai. Medina tahu, semarah dan sekecewa apa pun pada Luthfi, lelaki itu tetaplah papanya. Sama seperti Mama, Papanya punya hati selembut sutra. Maafnya seluas jagat raya. Kasih sayangnya jauh lebih dalam dari palung Mariana. Medina tidak tahu cara membenci Luthfi sekalipun dia sangat ingin melakukannya.
“Aku minta maaf, Pa. Gara-gara aku, Papa jadi sakit. Aku menyesal,” lirih Medina dengan kepala tertunduk. Sesaat yang lalu, gadis berkaus kuning dengan gambar Spongebob itu menubruk tubuh Luthfi secara serampangan. Bukannya mengaduh kesakitan, papanya malah terkikih.
“Yang penting kamu sudah sadar.” Papa membelai belakang kepala Medina. Wangi sampo terhidu indra penciumannya. “Papa senang kamu kembali. Welcome home, Nak.”
“Alhamdulillah ….” ucap Santi. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Dengan senang hati dia ikut bergabung bersama Luthfi dan Medina meski tanpa diminta. “Welcome home, Pa.”
Luthfi tidak bisa berkata-kata. Dia sadar sudah gagal menjadi suami yang baik bagi Latifa, tapi dia berdoa dan berusaha agar tidak pernah menjadi ayah yang buruk untuk anak-anaknya.
“Papa, mau ikut peluk juga!” Arkhan bergabung memaksakan diri menyempil di tengah-tengah.
Dari jendela kamar, Zarina ikut tersenyum. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Dia pikir, tidak ada seorang pun perempuan yang akan dengan senang hati menjadi istri kedua seperti yang sudah terjadi padanya. Walaupun dia juga tidak bisa memungkiri pernah sangat bahagia saat mendengar Latifa memutuskan keluar dari lingkaran kehidupan suaminya. Namun, saat mengenal lebih dekat sosok Latifa, dia minder sendiri. Susah menyaingi perempuan seperti mantan madunya itu. Latifa boleh cacat di mata manusia, tapi perempuan itu punya ketulusan dan hati yang murni selayaknya bidadari surga.