Medina kembali menjalani hari-hari sibuknya sebagai pelajar. Kali ini dia tidak lagi ingin berbuat macam-macam. Cukup belajar dan beribadah. Kesenangan masa muda yang pernah menjadi impiannya terlupakan begitu saja. Kabar tentang Zean pun tidak lagi menarik minatnya. Sayangnya baru beberapa waktu berkumpul lagi dengan teman-temannya, kabar duka menyambangi mereka.
“Aku turut berduka, Mpit. Nenek sudah nggak sakit lagi sekarang. Insyaallah, beliau husnul khotimah.”
Fitri membiarkan Medina memeluk dirinya. Di depan tanah basah bertabur bunga dengan nisan kayu bertuliskan Musriah Hasani binti Hasan Zulkifli mereka berbaikan. Tangis yang semula Fitri tahan pun pecah saat Medina membisikkan permohonan maaf di telinganya.
“Please, jangan nangis. Apalagi kalau itu karena aku,” pinta Medina.
Berlagak melucu di tengah suasana hati yang babak belur oleh duka, Fitri berucap, “Sudah tau gendut, kaki mungilku kamu injak. Sakit, tau!”
Medina melihat ke bawah. Ujung kakinya hanya menyapa ujung kaki Fitri, bukan menindih. “Lagi berkabung, masih sempat-sempatnya ngelawak!” tegurnya gemas.
“Life must go on. Isn’t it, Mbul? Yang datang pasti akan pergi. Yang lahir pasti akan bertemu ajal suatu saat nanti,” kata Fitri sok tegar, padahal air matanya jatuh berurai menganak sungai. Kedengarannya saja dia baik-baik saja, padahal hatinya rapuh luar biasa.
“Kalau perlu bantuan, aku siap—”
Fitri menyela, “Ngerecok.”
Medina mendengus. Habis sudah sabarnya. Daripada mendengar ocehan Fitri yang semakin melantur, lebih baik dia pamit pulang.
“Mbul!” panggil Fitri sebelum Medina melangkah terlalu jauh. “Terima kasih kembali.”
Ada banyak kata yang masih ingin Fitri ucap, pun cerita yang ingin dia bagi. Termasuk tentang sosok Zean yang dia kenal secara tidak sengaja saat mengunjungi ibunya di rumah sakit. Entah Medina masih peduli tentang cowok itu atau tidak.
Cara Zean memperlakukan mamanya sangat tidak sopan. Mama cowok itu bekerja sebagai perawat, salah satu yang cukup akrab di ingatan Fitri. Tidak sekali dua kali Zean membentak mamanya karena keinginannya meminta uang tidak diberi. Menjadi tontonan bagi pasien rumah sakit jiwa mungkin tidak masalah, tapi bagi keluarga pasien dan teman sejawat pasti sangat memalukan.
Tanpa disadari, Zean membawa pengaruh sangat buruk bagi Medina. Fitri senang akhirnya Medina tidak lagi dekat dengan cowok badung itu.
-***-
Dari Arwa, teman-temannya tahu kalau selama ini Fitri tinggal hanya berdua dengan neneknya. Paman yang selama ini membiayainya tinggal di luar kota.
“Memangnya orang tuanya ke mana?” Zaid bertanya. Apa yang menimpa Fitri turut membuat hatinya dilanda kesedihan. Sebagai teman—walaupun baru saling mengenal—dia terbilang cukup akrab dengan gadis itu. Bukan karena genit, tapi pembawaan Fitri yang hangat dan ceria seringkali menularkan hawa positif ke semua orang yang mengenalnya.
“Kalau itu aku nggak bisa bilang.” Arwa menutup ceritanya. Tidak ada yang berkomentar atau menderanya dengan pertanyaan lagi. Mereka tahu Arwa paling anti buka suara untuk sesuatu yang sifatnya pribadi. Yang berkaitan dengan dirinya saja Arwa sering diam-diam menghanyutkan, apalagi jika itu berhubungan dengan orang lain yang menaruh kepercayaan penuh padanya.
“Dorami fa sol la si, cerita sama kita-kita soal pengalaman ketemu dan diwawancara Pak Polisi, dong!” todong Zaid. Panggilannya untuk Medina belakangan berubah. Berubah dengan sedikit penyesuaian, walau tetap tidak terdeteksi maksudnya.
Meski tidak sampai satu hari, kabar Medina yang mendekam di balik jeruji besi sudah menyebar ke seantero sekolah. Mendadak terkenal, Medina seringkali mendapat ledekan. Namun, kali ini dia menolak mentah-mentah di-bully. Dia menanggapi cemooh yang datang dengan senyuman dan kepala dingin. Pengalaman memang guru terbaik dalam kehidupan, kan?
Sudah cukup Medina melalui masa SMP penuh tekanan. Dia begitu karena tidak berani melawan. Dia pasrah diperlakukan seburuk apa pun. Namun, berbeda dengan masa kini. Medina tidak akan membiarkan siapa pun mengusik dirinya. Tidak ada lagi yang boleh menginjak harga dirinya.
Sekarang Medina sering bertemu Luthfi. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mereka juga makin sering bicara dari hati ke hati. Medina menceritakan pengalaman traumatisnya semasa SMP. Kejadian buruk yang mencetuskan kebencian Medina pada mamanya.
“Mama sudah sangat keras memaksakan diri menerima kekurangannya. Kalau bukan kita yang membesarkan hatinya, lalu siapa lagi? Nggak ada yang mau terlahir seperti Mama. Cacat itu komentar kejam buatan manusia sok sempurna yang nggak peduli kalau perbuatannya melukai bahkan menghancurkan hati sesama. Bukankah Allah menciptakan makhluk-Nya dengan sebaik-baik penciptaan?” Begitu yang Luthfi bilang. Rasanya sebutan Anak si Gagu, Bobi alias Bocah si Bisu dan sebutan buruk lainnya tidak lebih menyakitkan daripada yang Mama alami sendiri.
“Kalau mau bengong, pergi ke jamban sana!” ketus Zaid karena merasa diabaikan.
“Ke jamban bukan buat bengong, Sapu Lidi!”
“Jadi buat apa dong, Tutup Panci?”
“Noh, Arwa paling paham! Ke jamban buat cari inspirasi, kan, Wa?”
“Bukannya buat buang sial?”
Arwa menggaruk pelipis, kebingungan memberi jawaban. Soalnya, jawaban yang benar versi Zaid dan Qiqi seringkali di luar nalar. Dengarkan saja cara Zaid dan Qiqi saling memanggil. Selalu dengan nama-nama aneh dan terus berubah mengikuti harga emas antam dan saham di pasar modal.
Di tengah perdebatan Zaid dan Qiqi yang tidak kunjung menemukan ujung pangkal, Medina berdeham untuk menarik perhatian. “Teman-teman, kayaknya aku belum minta maaf secara langsung sama kalian. Berhari-hari ini aku terus kepikiran hal itu dan bikin aku nggak nyaman.” Medina menunduk canggung. Sambil memilin jari, Medina memutar otak untuk merangkai permohonan maaf yang elegan dan baik. Meskipun dia sendiri tidak tahu seperti apa permohonan maaf yang elegan dan baik itu.
“So?” Qiqi menunggu kelanjutan ucapan Medina.
Menunduk dengan tubuh sedikit membungkuk, Medina memohon maaf atas semua kesalahannya. Bukan hanya atas kata-kata kasar yang telanjur terlempar, tetapi juga atas semua kelakuan buruknya.
“Iya, sudah kita maafin, kok, Mbul. Dari jauh hari juga sudah dimaafin.” Cessa sebagai perwakilan Qiqi, Arwa, Fitri juga Zaid, menyambut dengan senang hati permohonan maaf Medina. “Kita-kita juga minta maaf, ya, Mbul. Kemarin-kemarin kami terlalu keras menekan kamu. Nasihat yang tadinya berawal dari niat baik, malah disalahartikan karena penyampaian kami yang buruk.”
“Terus gimana …?” Lagi-lagi Qiqi bertanya.
“Kita mulai dari nol, ya, teman-teman.” Untuk ke sekian kalinya juga Zaid yang menyahut. Adu mulut pun lagi-lagi tidak terelakkan. Sepasang teman yang memiliki pertalian darah itu pun kembali saling serang dengan sebutan-sebutan absurd.
“Daripada lihat mereka ribut terus, mending kita ke musala aja, yuk!” Medina memberi solusi.
“Cieee, yang sekarang mainnya di musala.” Zaid dan Qiqi bersamaan. Heran, kalau untuk urusan meledek, mereka satu jiwa, satu suara.
Hari kemarin boleh buruk, tapi hari ini harus lebih baik. Bahagia itu bukan dicari, tapi diusahakan sendiri. Tidak perlu merisaukan pendapat orang lain yang cuma berisi keburukan. Teman yang baik saling menasihati, bukan saling serang dengan kata tajam yang menyakiti hati.
Alhamdulilah. Medina bersyukur memiliki teman-teman yang superbaik. Di saat mungkin orang lain tidak lagi acuh setelah dicerca, teman-temannya justru berupaya untuk terus menariknya dari jurang yang berujung nestapa dan sesal yang tak berkesudahan.
Senyum Medina merekah melihat derai tawa teman-temannya. Dia lega Allah masih memberinya kesempatan pulang. Berkat doa Mama. Dia … Mama! Dia … yang doanya tidak akan tertolak, yang doanya menembus langit bahkan mengguncang Arsy-Nya. Dengan kesabaran seluas samudera, keyakinan sekokoh karang, terus memohonkan segala kebaikan untuk buah hati tercinta.
Saat menunggu waktu Asar, Medina mendengar lantunan ayat itu lagi.
“Wa, kamu tau ini surat apa?” Tanpa rasa malu, Medina bertanya. Prinsipnya sekarang, malu bertanya, bodoh selamanya.
“Ar-Rahman.”
“Kalau ayat yang tadi, kamu tau artinya nggak? Aku dengar, ayatnya terus diulang-ulang.”
Dengan mantap Arwa mengangguk. “Yup! Tepatnya sebanyak tiga puluh satu kali. Artinya, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.”
Mata Medina berkabut. Ayat itu benar-benar tamparan baginya. Allah dengan cara-Nya yang ajaib menyadarkan Medina dari segala kesalahannya. Punya orang tua yang penyabar dan penyayang, teman-teman yang baik dan mengajak untuk saling berbuat kebaikan, Medina malah sibuk mencari dunia yang memberi kesenangan semu.
Nikmat mana lagi yang akan kamu dustakan, Medina?