“Yang tadi datang ke sekolah dan ngaku-ngaku Tante aku."
Zean manggut-manggut paham. “Ibu-ibu random yang nggak sengaja ketemu di minimarket. Dia lagi ngawasin anaknya yang disuruh minta-minta. Pernah lihat yang kayak gituan, nggak?”
Tanpa menyembunyikan keterkejutan Medina menggeleng. Dia baru tahu ada ibu yang seperti itu. Dia pikir pasti akan sangat klop kalau ibu-ibu itu berteman dengan mamanya. Sama-sama suka menyetir anak untuk keuntungan dan kebahagiaan diri sendiri.
“Orang kayak gitu biasanya disuruh apa aja mau. Yang penting ada ini,” ucap Zean sembari menggesekkan telunjuk dengan ibu jarinya. “Dikasih lima puluh ribu juga gercep dia.”
Nah, persis Latifa! Mama diktator yang sangat terobsesi membesarkan kios buahnya. Seolah materi yang Papa berikan tidak pernah cukup. Selain bekerja sebagai auditor yang memiliki firma sendiri, Luthfi juga punya usaha di bidang kuliner dan puluhan pintu rumah kontrakan. Tidak mungkin Latifa kekurangan uang. Apalagi Medina tahu papanya bukan tipe orang yang pelit.
“Jujur aku kaget lihat penampilan kamu kayak gini. Tadi aku sempat nggak yakin kalau yang keluar dari gerbang sekolah itu Medina yang kukenal,” celetuk Zean tiba-tiba.
Medina menghela napas, menahan bibirnya yang siap melepaskan senyum masam. Mau beralasan hijab yang dipakainya berdasarkan peraturan sekolah percuma saja. Sebagai alumnus, Zean pasti tahu tidak ada peraturan seperti itu di SMA Nusa Pertiwi. “Kenapa memangnya? Aku jelek, ya, kayak gini?”
Zean menoleh, menyelisik Medina dengan saksama. Bibir tipisnya membentuk senyum simpul. “Siapa bilang kamu jelek? Cantik, kok!”
“Jadi, kenapa Kak Zean kaget?”
“Kamu kayak gitu cuma ke sekolah apa gimana?” tanya Zean sangat ingin tahu.
“Aku pernah bilang, kan, kalau mama aku orangnya resek? Nah, jilbab ini salah satu bentuk ke-resek-an Mama. Mama lebih baik dengar aku nangis sambil jerit-jerit seharian daripada ngasih izin aku pergi tanpa jilbab.”
Bibir Zean membulat. Dia paham sekarang. “Berarti selama ini kamu keluar tanpa jilbab itu sembunyi-sembunyi dari Mama kamu?”
“Begitulah!”
Zean kembali bertanya, “Selama ini kamu merasa terkekang, ya?”
Secepat kilat Medina mengangguk. “Betul pakai banget,” katanya. “Mama aku itu otoriter. Apa-apa dalam hidupku serba diatur. Harus begini, nggak boleh kayak gitu! Padahal aku bukan anak kecil lagi. Zaman sudah secanggih ini, peradaban juga semakin maju, perkembangan fashion sudah bagus banget. Tapi Mama aku cuma bolehin aku pakai gamis atau baju-baju longgar. Sering banget aku merasa kayak emak-emak mau pergi ke pasar.”
Zean tergelak. “Bunda aku aja nggak gitu, loh! Mana mau Bunda aku pakai kayak gituan. Bunda aku fashionable banget orangnya. Sudah usia kepala empat, tapi penampilannya bikin orang selalu mengira kalaua dia puluh lima tahunan. Berarti Mama kamu tipe yang kolot gitu, ya?”
Lagi lagi Medina mengangguk. “Kolot pakai banget pokoknya! Untung aja kami makan tetap pakai piring bukan alas daun pisang kayak zaman purba!” celoteh Medina tanpa merasa berdosa.
Zean mengakak.
“Kakak jangan berisik, dong! Tadi yang ngelarang aku jangan ketawa kenceng-kenceng siapa coba? Kalau dedemitnya beneran bangun terus menampakan diri gimana?”
“Ya, gitu aja! Memangnya mau gimana lagi? Kalau beneran muncul, biar dia nggak ngajakin aku tetap mau ikut, kok! Capek banget sama dunia ini.” Zean mengembus napas berat.
Medina menjotos sekali lengan Zean hingga lelaki itu jatuh ke samping. “Ish, nggak lucu!” omelnya. “Sudah tau kita lagi di hutan, yang mungkin aja gudangnya para makhluk halus, malah ngomong yang aneh-aneh!”
“Sorry, sorry! Bercanda aja tadi.” Alih-alih kembali duduk, Zean sekalian merebahkan diri. Kedua tangannya dijadikan bantal. Padahal tempatnya berbaring sangat keras. Beberapa batu bahkan menusuk punggungnya.
“Kalau Kak Zean mau, Kakak boleh banget cerita soal keluarga Kakak sama aku. Aku pasti dengarin.” Medina memancing Zean untuk bicara semakin banyak tentang dirinya. “Kenapa Kakak bisa kuliah dan ngekos sendiri di kota ini? Saat sakit kayak kemarin, apa sama sekali nggak ada keluarga yang bisa dihubungi atau dimintai tolong? Bahaya, lho, kalau Kakak sampai sakit parah, tapi malah nggak ada yang bantuin.”
Raut Zean mendadak murung. Cowok itu diam cukup lama sebelum membuka mulutnya dan bercerita. “Aku pernah bilang, kan, kalau aku produk broken home?”
Medina membenarkan lewat anggukan pelan.
“Jadi, awalnya pernikahan orangtuaku itu ditentang sama kedua pihak keluarga lantaran beda keyakinan. Sayangnya, mereka ngeyel. Entah gimana ceritanya sampai akhirnya Ayah mutusin log out dari agamanya. You know what I mean, kan?”
Lagi-lagi Medina mengangguk.
“Ayah tanpa sepengetahuan keluarganya ngikut agama Bunda supaya pernikahan mereka tercatat secara hukum. Di mana sesuai kesepakatan mereka, Bunda ngasih izin Ayah buat balik lagi ke agama asalnya setelah mereka nikah resmi. Yang penting keluarga besar Bunda taunya kalau Ayah, tuh, mualaf.”
“Memangnya bisa kayak gitu, Kak?”
Zean mengedikkan bahu. Seumur hidup, dia tidak pernah diajarkan tentang agama oleh orang tuanya. Bahkan sampai saat ini dia bingung menyebutkan siapa Tuhannya. Tempat ibadah pun sekadar numpang lewat saja. Di kartu tanda penduduk Zean memang mencantumkan Islam sebagai agama yang dianutnya, tetapi tidak pernah sekalipun beribadah sebagaimana seorang muslim.
Jangankan puasa Ramadhan, salat lima waktu saja Zean tidak pernah mengerjakan. Satu-satunya surah yang dia hafal cuma Alfatihah, itu pun terpaksa dan dengan sangat susah payah demi mengikuti ujian akhir praktik agama menjelang kelulusan sekolah dulu. Agama hanya sekadar formalitas baginya.
“Nggak tau juga,” sahut Zean singkat setelah diam cukup lama.
Medina yang sama awamnya, juga ikutan diam. Walaupun dalam hati kecil Medina menilai bahwa yang dilakukan kedua orang tua Zean itu salah, seperti mempermainkan agama, tetapi lebih baik dia menyimpan asumsi itu untuk dirinya sendiri. Dia juga tidak lebih paham agama dari Zean, makanya dia memilih tidak banyak bicara daripada berpotensi menyakiti hati.
Zean kembali melanjutkan ceritanya. “Tahun demi tahun berlalu. Bangkai serapat apa pun disimpan pasti akan terendus, kan, baunya?”
Medina memilih diam dan menjadi pendengar saja, tidak berani berkomentar. Dia yakin, Zean sendiri mungkin tidak memerlukan tanggapannya.
“Bunda dihujat sana-sini, khususnya sama keluarga sendiri. Aku dikata-katain anak haram sama banyak orang. Sementara itu terjadi di depan Ayah, dia cuma diam. Nggak ada sedikit pun usahanya untuk membela Bunda sama aku. Mungkin karena memang penjelasan seperti apa pun itu percuma.” Kegetiran terdengar dari setiap kalimat yang Zean ucapkan. Cowok itu pun menelan ludah, menenggelamkan kekecewaan yang sekali lagi berontak minta dikeluarkan.
“Seiring berjalannya waktu, rumahtangga mereka diwarnai pertengkaran. Masalah datang silih berganti. Aku ingat betul, waktu itu aku kelas dua SMP. Saat sarapan sebelum berangkat sekolah, Bunda bilang kalau dia sudah nggak kuat lagi. Ayah pun tanpa pikir panjang langsung mengabulkan permintaan cerai Bunda. Aku pikir mereka sama bosannya.”
Medina hanya bisa memandang Zean dengan tatapan prihatin. Medina pikir, pasti sangat berat berada di posisi Zean. Orang tua Zean cerminan orang-orang egois. Untuk apa memaksakan menikah kalau pada akhirnya memutuskan berpisah? Apakah sebelum memutuskan menikah dulu tidak pernah terpikirkan oleh mereka akibatnya di masa depan? Ke mana cinta yang membuat mereka nekat menikah meskipun dengan menghalalkan segala cara? Ah, orangtuanya pun tidak jauh beda.
“Setelah pisah, Bunda sama Ayah memutuskan saling menghindar. Nggak cuma itu, mereka kayak berlomba-lomba untuk jadi yang paling hebat menata hidup dan beradu cepat dapat pengganti. Sekarang, masing-masing dari mereka sudah berkeluarga lagi. Tersisa aku di tengah-tengah mereka, yang nggak punya siapa-siapa. Aku merasa sebagai anak yang nggak diinginkan.” Di akhir kalimatnya, Zean menitikkan air mata.
Meskipun bersimpati, Medina tidak tahu harus berbuat apa untuk menghibur Zean. Medina hanya bisa menyuguhkan segaris senyum yang dia harapkan bisa memberi sedikit penguatan untuk lelaki itu.
“Sampai beberapa bulan lalu Ayah masih rutin ngirimin uang bulanan untuk biaya hidup dan pendidikan aku. Tapi sekarang … semuanya disetop.”
Medina tahu dengan pasti alasannya. “Karena Ayah Kakak tau kalau ….” Cewek itu ragu melanjutkan, khawatir jika kata-katanya menyinggung Zean. Baru kemarin cowok itu mengaku pada Medina kalau uang yang dipinjamnya digunakan untuk membeli obat-obatan terlarang.
“Iya, Ayah tau kalau aku pemakai. Makanya uang bulananku disetop. Katanya, Ayah nggak rela uang yang susah payah dihasilkannya dengan bekerja dipakai buat membeli barang haram. Walaupun tahu kondisiku, Bunda juga lepas tangan. Dengan alasan nggak enak sama suami barunya Bunda menutup mata dan telinga rapat-rapat.”
Zean menghela napas panjang. Bayangan Ayah dan Bunda silih berganti menghampiri ingatannya. Ada benci dan dendam dalam cinta yang dia punya untuk kedua orang tuanya. “Padahal aku jadi pecandu juga karena ulah mereka. Aku capek menghadapi dunia yang kayaknya nggak memihak ke aku sama sekali. Aku punya orang tua lengkap, tapi aku sebatang kara. Aku kesepian. Nggak punya sandaran. Cuma obat-obatan itu yang bikin aku bisa tidur nyenyak tanpa sedikit pun merasa punya beban.”
“Orang tua memang seegois itu, Kak! Kalau kita sebagai anak membangkang, mereka mati-matian mengutuk dan bilang kalau kita ini anak durhaka. Terus apa namanya orang tua yang suka mengekang kayak Mama aku dan yang nggak peduli kayak kedua orang tua Kakak? Dari dulu aku bertanya-tanya sendiri, sebenarnya orang tua bisa durhaka juga nggak, sih, sama anaknya? Kayaknya nggak fair aja kalau cuma anak terus yang dilabeli durhaka. Konotasi buruk nempel cuma di anak, sementara orang tua bisa berbuat sesuka hati mereka. Sekalipun itu merugikan kita sebagai anak, mereka yang kayak nggak terjadi apa-apa gitu.”
Zean menghela napas panjang, tidak punya kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Medina.
“Sebelum cerai, Papa aku orangnya asyik. Papa selalu punya waktu buat aku. Tapi makin ke sini, Papa makin jauh. Papa ninggalin aku di rumah dengan sejuta aturan yang mencekik dari Mama. Sementara itu, Papa punya kehidupan sendiri yang bebas di luar sana. Hidup yang lega, jauh dari bayang-bayang Mama.” Getar amarah terselip di setiap kata yang berlompatan dari mulut Medina. Cewek itu menghela napas panjang sebelum kembali bicara. “Akhir-akhir ini Papa nyebelin. Bahkan Papa mulai ingkar janji. Apalagi kalau bukan karena terprovokasi sama Mama.
“Kayaknya makin aku besar, makin jadi juga kompornya Mama. Jujur, dengar cerita Kakak barusan bikin aku merasa kalau nasib kita sama-sama mengenaskan.”