Menit demi menit berlalu. Gelap yang tadi menyelimuti perlahan berganti menjadi cahaya terang berkilauan. Meski demikian, Medina masih setia menutup matanya. Medina takut kalau-kalau yang dia rasakan saat ini hanya ketenangan semu yang dibisikkan oleh alam bawah sadarnya.
Di depan sebuah danau yang airnya tenang Zean menghentikan sepeda motornya. Perjalanan panjang nan melelahkan yang mereka lalui tadi berakhir sudah.
“Ayo, turun! Cepetan, nggak pakai lelet!” titah Zean. Dia menoleh karena Medina bergeming. “Matanya dibuka, Beb! Lihat, ke depan! Kita sudah sampai.”
Dengan panik Medina menggeleng. “Nggak mau!”
Pipi Zean menggelembung menahan tawa yang hampir menyembur. Reaksi Medina sangat lucu. Badan saja yang besar, tetapi nyali segede upil semut. Baru diajak lewat hutan saja sudah ketakutan begini, bagaimana kalau sampai Zean iseng bersembunyi atau meninggalkannya? Zean yakin Medina sudah berguling-guling di tanah sambil meraung meminta tolong dan memanggil-manggil kedua orang tuanya. “Loh, kenapa nggak mau? Kita sudah sampai, loh!”
“Tadi Kakak diam aja waktu aku tanya. Kak Zean pasti lagi ngerjain aku sekarang. Kita putar balik aja, yuk! Aku nggak mau main prank-prank-an,” keluh Medina.
“Nggak, ah! Sudah jauh-jauh ke sini, masa baru datang sudah mau balik? Pinggangnya aja belum berhenti linu,“ tolak Zean. Dia tidak berbohong. Dua jam lebih perjalanan mengendarai sepeda motor, siapa yang tidak lelah?
“Dasar pemuda jompo!” hina Medina semena-mena.
“Nggak apa-apa jompo. Jompo-jompo gini banyak yang naksir. Bucinnya sepanjang tembok besar Cina, tau!”
Sekalipun hatinya membenarkan ucapan Zean, di depan cowok itu Medina tetap mencibir. “Najis tralala trilili. Percaya diri sekali Anda!”
“Kalau ngotot tetap nggak mau buka mata, ya sudah! Aku mau turun dan jalan-jalan sendiri.” Zean pura-pura tak acuh.
Pegangan Medina di kedua sisi jaket Zean mengerat. “Jangaaan!” Dengan panik dia berteriak.
“Hush!” Zean membekap mulut Medina. Jangan ribut! Nggak mau, kan, dedemit penunggu hutan ini terganggu tidurnya karena dengar teriakanmu? Auto pindah alam betulan kita nanti.” Zean meringis. “Amit-amit,” imbuhnya tanpa suara.
Mendengar Zean menyebut dedemit, Medina merasa matanya memanas. Tenggorokannya yang haus semakin cekat. Bulu halus di sekujur tubuhnya mendadak meremang. Bibirnya bergetar saat bertanya, “Kakak bawa aku ke mana, sih? Kita nggak lagi sesat di Saranjana, kan, Kak?”
Pohon-pohon besar yang mereka lewati sepanjang jalan pun kembali melintasi ingatan Medina. Kelebat bayangan yang berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya membuat Medina menggigil seperti diguyur dengan seember air es tepat di ubun-ubunnya. Gigi-gigi Medina sampai bergemeletuk.
Di kegelapan tadi tanpa sengaja Medina menangkap bayangan hitam di salah satu pohon. Sepasang bola merah yang tampak menyala Medina yakini sebagai mata setan yang mengawasi pergerakan mereka. Meski tidak tahu yang dilihatnya kuntilanak, wewe gombel, suster ngesot atau nenek gayung, tetap saja Medina ketakutan.
Itulah alasan mengapa dia menutup kedua matanya, sampai detik ini. Medina tidak sanggup jika harus menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana menyeramkannya atau tidak enak dipandangnya wujud makhluk astral itu. Bisa-bisa dia trauma seumur hidup.
Zean terbahak mendengar celetukan polos cenderung konyol yang barusan Medina lemparkan. “Makanya jangan suka nonton film kayak gituan! Otak kamu jadi berisi sama hal yang aneh-aneh,” ledeknya di ujung tawa. Sudut-sudut mata Zean sampai berair karena mentertawakan kekonyolan cewek gemoy di belakangnya.
“Kakak, sih, tadi pakai nyebut dedemit segala. Aku, kan, jadi takut!” Kata dedemit disebutkan dengan lebih lirih dari kata-kata lainnya, takut memanggil si makhluk halus dan bala tentara tak kasatmata. “Ini aja aku merinding parah! Bulu hidungku aja sampai tegak kayak tiang bendera,” keluh Medina hampir menangis seraya mendongak untuk menunjukkan lubang hidungnya.
Melihat Medina ketakutan setengah mati, Zean pun tidak sampai hati. “Maafin aku, deh, kalau tadi kelewat usil. Ayo, turun sekarang! Waktu kita nggak banyak di sini.” Dari jam di pergelangan tangan, pandangan Zean bergeser ke gumpalan awan kelabu yang berarak di atas kepala mereka. Matahari yang beberapa saat lalu tampak gagah menyala sudah tak begitu terang lagi sinarnya. Sebentar lagi petang dan potensi turunnya hujan tampaknya cukup besar. “Jangan sampai kita terlambat keluar dari tempat ini.“
Dengan bibir mengerucut Medina bertanya, “Betulan aman, kan, ini? Kak Zean nggak lagi nge-prank aku, kan?”
“Lah, dari tadi prank terus yang disebut. Aku nggak seiseng itu, Melodya Medina.”
“Kalau sampai ngerjain aku, Kak Zean bakal terima akibatnya! Aku nggak bakalan segan-segan bikin Kakak jadi kayak adonan roti yang dibejek-bejek, diuyel-uyel, dicubit-cubit terus dibanting-banting sampai kalis,” ancam Medina berlagak berani padahal bermental kerupuk. Sekali sentil juga sudah rebah, sok-sokan mengancam mau membuat babak belur anak orang.
“Halah, bergaya! Dengar aku ngomong dedemit aja sudah mau ngompol.” Dengan nada yang dibuat-buat menirukan rengekan Medina, lelaki itu pun berujar, “Sudah merinding bulu ketek, nih!”
“Bulu kuduk, Kakak! Bukan bulu ketek! Lagian aku nggak ada segala nyebut bulu kuduk, ya!” protes Medina.
“Bulu hidung sudah tegak kayak tiang bendera. Pas banget Senin depan bisa dipakai buat upacara.” Zean kembali meledek Medina.
“Setop ngomongin bulu hidung! Bulu kaki Kakak, tuh, diamankan. Aku tarik ke salon buat di-rebonding baru tau rasa!”
Masih belum puas, Zean kembali meledek, “Kalau betulan melihat wujudnya, mungkin bakalan ngibrit sampai cepirit!” Sayangnya, omongan Zean tidak lagi dihiraukan oleh Medina. Medina telanjur tenggelam pada keindahan alam di depan matanya.
Telaga luas dengan air berwarna tosca dikelilingi hamparan rumput dan rimbunnya pepohonan menyambut ketika Medina membuka mata. Jauh di depan sana, gunung—entah apa namanya—menjulang tinggi dan kokoh, memamerkan warna hijau alami yang keindahannya sukar dijelaskan dengan kata-kata. Bunga-bunga liar berwarna-warni bergoyang tertiup angin seolah merayu Medina untuk segera memetiknya. Tempat ini sangat tenang dan damai, jauh dari ingar bingar yang seringkali membuat pengar.
Secara singkat Zean menerangkan bahwa tanah yang mereka pijak saat ini dulunya adalah lahan pertambangan batubara. Sementara telaga besar di depan sana adalah bekas galian yang telah direklamasi. Sedianya, tempat ini ditujukan sebagai sarana edukasi dan pusat rekreasi. Sayangnya, pengerjaan—yang baru rampung setengah—terpaksa dihentikan kala virus Covid mengguncang dunia. Kini, setelah bertahun-tahun berlalu dan keadaan sudah baik-baik saja, perusahaan yang berkewajiban melakukan reklamasi akibat kegiatan pertambangannya justru sesak napas memenuhi tanggung jawabnya. Mirisnya lagi, hal ini terjadi hampir di semua lubang bekas galian tambang di seluruh Indonesia. Padahal kegiatan reklamasi ini wajib dilakukan guna memulihkan ekosistem alam agar berfungsi kembali sebagaimana peruntukannya.
“Yakin masih mau putar balik?” Zean memainkan kedua alisnya. Lewat kaca spion, cowok itu menggoda Medina yang tadi terus-terusan merengek minta pulang.
Dengan mantap Medina menggeleng. “Nggak dong!” serunya sebelum melompat turun dari sepeda motor Zean. Senyum Medina mengembang makin lebar tidak dapat ditahan. Gadis itu membentangkan tangan lalu menghirup udara jernih sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paru yang selama ini diisi debu dan polusi udara perkotaan. “Ini sih, betulan surga dunia, Kak!” pekiknya senang. Di belakang Medina, Zean mengikuti dengan langkah santai. Lelaki itu juga merasakan kesenangan yang sama.
“Sayang banget kita kesorean sampai sini,” keluh Medina dengan bibir mengerucut.
“Kayak lagu Steven and Coconut Treez. Kamu tau nggak?” tanya Zean dengan suara lirih. Pandangannya jatuh pada bayangan gunung di air danau yang tenang.
Sepersekian detik Medina diam, mencerna ucapan Zean. Steven and Coconut Treez sangat familier di pendengarannya. Cewek itu pun mengangguk-angguk seperti boneka pajangan di dasbor mobil. “Welcome to my paradise, kan?” Senyum semanis es krim vanila mengembang di wajahnya.
Kebetulan sekali papanya suka mendengarkan lagu ini. Di mana pun Luthfi berada, ke mana pun tujuannya, lagu bergenre reggae yang pernah sangat populer di tahun 2005-an itu selalu terselip di daftar putar MP4 mobilnya. Medina pun mengakui lagunya memang seasyik itu. Meski terbilang sangat lawas untuk anak seusianya, Welcome to My Paradise sangat easy listening dan liriknya juga cukup mudah menempel di ingatan.
Lagi-lagi kesedihan menyusup saat menyadari itu hanya bagian dari masalalu. Nyatanya, lagu itu tidak pernah lagi menyapa rungu Medina. Entah kapan kali terakhir, yang jelas sudah sangat lama. Bahkan jauh sebelum perceraian terkutuk itu keluarganya jarang bepergian.
Dua kali dalam sebulan waktu yang dia miliki saat ini untuk bertemu dengan Papa terasa tidak pernah cukup. Dengan dalih letih atau belum meminta izin Latifa, Luthfi selalu menolak ajakan keluar. Pertemuan singkat mereka selalu dihabiskan di rumah.
Ya, selalu karena Mama. Cuma Mama yang suka mempersulit dan tidak suka melihat orang lain bahagia. Kedongkolan pada Latifa pun menggelembung hingga membuat dadanya sesak oleh rasa kecewa.
“Din, kenapa melamun? Jangan horor, deh!” tegur Zean takut-takut menyentuh pundaknya.
Kedua sudut bibir Medina terangkat setengah hati. “Aku nggak apa-apa, Kak. Cuma tetiba ingat sama Papa aja,” gumamnya dengan tatapan menerawang.
“Sudah, jangan sedih-sedih. Kita nyanyi aja, yuk!”
Medina mengernyit. Belum sempat bereaksi apa-apa, Zean sudah lebih dulu menarik tangannya.
“Welcome to my paradise. Where this sky so blue. Where the sunshine so bright.” Suara yang pas-pasan tidak menjadi halangan. Zean tetap percaya diri menyanyi. Kedua tangannya bergerak-gerak seperti penyanyi hula-hula berkalung bunga di pantai Hawai, menghibur Medina agar kembali ceria.
Dengan suara yang tak kalah fals Medina menyambung, “Welcome to my paradise. Where you can be free. Where the party never ending.” Gadis itu sangat menjiwai lirik lagu yang dilantunkannya. Tangannya dikepalkan, seakan tengah menggenggam mikrofon yang tersambung dengan speaker besar yang biasa digunakan saat hajatan. Mereka pun tertawa-tawa seperti sepasang anak kecil yang baru diberikan hadiah.
Semilir angin dengan ramah menyapa tepat ketika Medina melepas helm dari atas kepala. Hijab abu-abu Medina berderai dimainkan angin hingga berayun-ayun seperti bendera yang berkibar di langit tinggi. Dengan rakus Medina menyapu habis pemandangan sekitar, memetakan setiap detail tempat ini di memori otak untuk dikenang suatu hari nanti. Syukur-syukur jika dia bisa kembali menjejakkan kaki lagi di tempat ini.
“Udaranya beda banget sama udara di kota, kan?” Medina menanggapi pertanyaan Zean hanya dengan anggukan singkat. Medina sibuk berkelana dengan daya khayalnya.
Burung-burung berterbangan membelah langit, sementara kupu-kupu bermain, berpindah dari ranting bunga yang satu ke bunga yang lain. Di kejauhan Medina bahkan melihat hewan-hewan yang selama ini hanya pernah dilihatnya di buku ataupun layar televisi; rusa, tupai dan berang-berang. Keindahan yang tersembunyi di balik belantara hutan yang jauh dari peradaban ini sungguh-sungguh mengagumkan, persis kata Zean.
“Duduk di sana, yuk!” Zean mengacungkan telunjuknya ke suatu tempat yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. Medina pun mengikuti langkah Zean menuju area bebatuan di tepian telaga. “Itu helm kenapa nggak ditinggal aja, sih, tadi? Rempong banget dibawa ke sana kemari,” gerutu cowok itu.
Medina cuma cengar-cengir. “Boleh aku taruh di sini aja nggak, Kak?” tanya Medina menunjuk tanah berumput di dekat kakinya. Dia kelewat malas disuruh balik badan hanya untuk meletakkan helm di sepeda motor Zean.
Untungnya, Zean mengedikkan bahu tak acuh. “Taruh aja!” katanya dengan santai. Lelaki itu lebih dulu duduk disusul Medina di sebelahnya. Kedua tangan Zean jatuh di lutut dengan posisi kedua kaki ditekuk. Lewat sudut mata, dia melirik Medina. Lelaki itu membasahi bibir bawahnya yang kering.
“Tadi itu siapa?”
“Yang mana?” tanya Zean terus menatap Medina.
“Yang tadi datang ke sekolah dan ngaku-ngaku Tante aku.”