(Me:)
Aku bete banget, nih, Kak!
Kenapa. sih, bapak sama ibu guru hobi banget bikin muridnya sengsara?
Hari ini aja sudah dua guru yang ngasih PR.
Kapan mau senang-senangnya kalau kerjaanku cuma mikirin tugas sekolah?
Bisa-bisa cepat keriput kalau gini π
Derita banget jadi pelajar.
(Kak Zee_AN:)
Makanya tugas sekolahnya jangan dipikirin.
(Me:)
Jadi aku kudu gimana?
Masa iya berhenti sekolah? Ogah, ah!
Nanti malah disuruh Mama nikah sama juragan jengkol, gimana?
Sama aja nggak asyiknya.
Bantu solusi, dong, Kak!
(Kak Zee_AN:)
Tugas sekolahnya dikerjain.
Jangan dipikirin doang!
π
Dilarang ngegas ya!
(Me:)
Dipikirin bikin rambut rontok.
Dikerjain bikin gatal ginjal.
Sebal π
Pundak Medina ditepuk keras dari belakang. “Beli es tape sama Kak Ros. Hape terooos!” seloroh si pelaku tindak kekerasan yang membuat ponsel di tangan Medina nyaris mencium kerasnya lantai.
“Mpiiit!” jerit Medina kesal. “Sehari aja nggak bikin kaget nggak bisa, apa? Besok-besok kayak gini lagi, kubikin kamu jadi perkedel!” Medina lanjut mengomel. Matanya yang belo memelototi Fitri sampai nyaris keluar. Seperti bayi mungil yang rapuh, ponsel kesayangan yang baru saja terhindar dari malapetaka didekapnya erat.
Mpit, begitu Fitri biasa disapa. Gadis itu hanya cengengesan sambil menggaruk hijab yang membungkus kepalanya. Tidak terlihat sedikit pun rasa bersalah dari raut wajahnya. “Halah, sok iya banget mau bikin perkedel! Bedain mana ketumbar sama lada aja nggak bisa. Kentang sama buah kiwi juga jangan-jangan tertukar saking miripnya,” ledeknya lantas menjulurkan lidah.
Medina mendengus. Sambil menormalkan detak jantung yang sesaat tadi sempat mengebut, gadis itu meletakkan ponselnya ke atas meja dalam keadaan telungkup. “Iya deh, iya! Hamba yang cuma tau makan mengaku kalah sama Suhu Perdapuran.”
Fitri menduduki meja di depan Medina. Gadis bermata sipit itu bertanya, “Yang lain pada ngantin, kamu masih nempel aja sama ini bangku. Nggak lapar, apa? Keburu bel masuk bunyi, terus nggak sempat jajan baru tau rasa!”
Medina mengedarkan pandang ke sekeliling kelas. Tidak ada siapa pun di sana kecuali dirinya dan Fitri. Normalnya, jam istirahat begini dihabiskan dengan berkumpul dan jajan bersama kawan-kawan di kantin. Namun, ada juga yang memilih perpustakaan sebagai pelabuhan. Biasanya para kutu buku, mereka yang sedang mengerjakan tugas atau memang yang terdesak karena tidak membawa uang jajan. Untuk tipe yang terakhir biasanya untuk menghindari ejekan atau ajakan teman.
Medina mengedikkan bahu. “Nggak lapar,” sahutnya asal. Hanya demi menunaikan niat diet yang mendadak tebersit semalam, tepat setelah Zean bilang kalau dia suka perempuan bertubuh proporsional. Tinggi dan berat badan Medina kan jauh dari kata ideal.
“Ah, yang benar?” Fitri tidak serta merta percaya. “Mama kamu lagi cuti ngasih uang jajan? Habis bikin masalah, ya, kamu?”
Tanpa menjawab, Medina merogoh kantong di balik hijab abu-abu yang menutupi dadanya dan memamerkan selembar uang kertas berwarna merah dengan penuh rasa bangga.
Fitri manggut-manggut, percaya kalau bukan krisis ekonomi yang menyebabkan Medina mendadak absen jajan hari ini. “Noh, Cessa cuma habis dua mangkuk mi ayam. Lesu dia nggak ada saingan,” imbuhnya yang langsung ditingkahi kikik geli Medina.
“Lesu aja habis dua mangkuk, gimana kalau ada saingan, Mpit?”
“Bisa-bisa kalap habis segerobak.”
Keduanya pun tergelak-gelak mentertawakan kekonyolan mereka. Tawa keduanya tidak bertahan lama, terinterupsi oleh getar ponsel Medina. Peraturan di SMA Nusa Pertiwi memang mengizinkan siswa-siswinya membawa gadget, dengan catatan wajib dalam keadaan silent selama jam belajar-mengajar berlangsung.
Tidak senang karena dikacangi, Fitri mulai mengonfrontasi. “Apa yang menarik di sana, sih? Itu benda dipelototi sudah kayak mau bikin bola mata kamu lepas dari rongganya, tau?” Gadis itu memajukan tubuhnya. Dengan lancang mengintip untuk mencari tahu apa yang membuat Medina mengulum senyum.
“Ish, nggak sopan!” Medina mendelik karena keasyikannya diusik.
Bibir Fitri maju lima senti. Telunjuknya mengacung ke wajah Medina. “Mencurigakan banget, ih! Jangan-jangan kamu—”
“Hush! Nggak boleh buruk sangka!” potong Medina dongkol. Untuk menghentikan pikiran Fitri agar tidak berkembang ke mana-mana, Medina menunjukkan layar ponselnya. “Gimana menurutmu?”
Kening Fitri berkerut. Dia tidak kenal siapa lelaki berjaket denim yang berpose—menurutnya, sok cool—di atas motor besar warna merah menyala yang tengah Medina tunjukkan. “Dia … siapa?”
“Coba tebak!”
Kedua bola mata Fitri berotasi. Dia buta soal artis, selebgram, selebtok, pun dengan jenis seleb lainnya. Yang familier baginya cuma selebaran rumah makan. Fitri cukup suka musik, terbatas pada lagu jadoel alias zaman dahulu, dan beberapa lagu kekinian yang mendayu sendu. Itu pun dia tidak pernah mencari tahu siapa penyanyinya, cuma penikmat pasif saja.
“Jangan bilang kalau dia ….”
Medina mengedip genit. Lantas manggut-manggut tidak menunggu Fitri menyelesaikan kalimatnya.
Kening Fitri makin banyak dihiasi kerutan. Pasalnya, kalimat itu cuma sebagai pancingan. Dia sama sekali tidak memiliki jawaban. “Dia … buronan polisi? Kasus apa?”
Medina kesal mendengar celetukan Fitri yang tidak masuk akal. Sangat jauh di luar ekspektasi. “Cakep gini mana ada tampang penjahat, Mpit!”
“Serius cakep? Nggak kelihatan pake masker gitu. Lagian, biar rupanya bagus nggak menjamin isi hati sama otaknya juga bagus, Mbul!” Mbul adalah panggilan kesayangan untuk Medina dari teman-temannya. Pipi Medina yang tembam seperti bakpao jadi asal muasal panggilan itu tercipta. Mbul, merupakan singkatan dari bulat, menyesuaikan dengan bentuk wajahnya. “Jangan dibiasakan menilai buku dari sampulnya,” tandas Fitri penuh penekanan.
Medina berdecak gemas. Tidak di rumah, tidak di sekolah, mengapa orang-orang dalam hidupnya berlomba-lomba jadi penceramah dadakan? Apa ini trend orang zaman sekarang? “Iya, Mpit! Ane paham. Don't judge book by its cover, right? Tapi, Kak Zean ini beneran baik. Luar dalam.” Padahal Fitri sendiri sembarang men-judge orang.
“Oke, sih, baik luar dalam. Tapi ada jaminan halalnya, nggak?”
“Memangnya dia produk makanan atau minuman?” Medina mulai terpancing emosi.
“Jaminan halal yang aku maksud, boleh nggak dipandangi sedemikian rupa? Boleh nggak, dielu-elukan sebegitunya? Boleh nggak, kalian berdekat-dekatan? Boleh nggak, secara intens bertukar kabar tanpa menimbulkan fitnah? Boleh nggak, dilihat, diraba, diterawang? Boleh, nggaaak?” Pertanyaan terakhir semakin jelas terdengar sebagai bentuk peringatan.
Bibir Medina terkatup rapat. Dia menyesal sudah memberitahu Fitri soal Zean. Di balik kehangatan dan keceriaannya, Fitri bukan tempat yang pas buat membuang keresahan yang beberapa waktu ini bersarang dalam hatinya. Medina mundur, bersandar pada punggung kursi yang didudukinya. Matanya tertuju pada papan tulis yang dihiasi coretan pelajaran matematika.
Fitri melompat turun, lantas mengimpit Medina, memaksakan temannya itu berbagi kursi yang jelas tidak muat untuk mereka tempati berdua. “Kamu suka sama dia?”
Ragu-ragu Medina mengangguk. Cara Fitri menyikapinya menunjukkan kalau gadis itu tidak punya pengalaman dalam percintaan. Bahkan mungkin, Fitri tidak pernah tersentuh romansa merah jambu seperti yang saat ini dia rasakan. Berbeda dengan Cessa dan Qiqi yang Medina tahu pernah punya hubungan istimewa dengan kakak kelas.
“Aku nggak alergi sama lawan jenis, ya, Mbul. Kalau itu yang lagi kamu pikirkan sekarang. Aku normal, juga pernah merasakan apa yang kamu rasakan.” Fitri menjulurkan tangannya melewati punggung Medina untuk merangkul gadis itu. Dengan sayang sepenuh hati, dia menepuk-nepuk pundak Medina. “Perasaan suka atau sebut aja cinta ke lawan jenis itu salah satu fitrah kita sebagai manusia. Tapi … jangan sampai bikin kamu terombang-ambing hilang arah. Fokus sama hal-hal yang sekarang lagi kamu jalani aja, deh! Aku yakin, kamu tau kalau sekarang bukan waktu yang tepat buat mikirin cinta-cintaan. Ingat, kita masih sekolah. Tugas utama kita, ya, belajar. Demi masa depan gemilang nan cerah!”
“Dekat sama Kak Zean nggak bikin aku lupa belajar, ya, Mpit!” sanggah Medina. “Aku juga selalu ngerjain PR.” Meskipun aku suka malas dan sering banget menggerutu pas ngerjainnya.
“Yang kamu nggak sadar, belajar kamu cuma ala kadarnya. Ada tugas sekolah buka buku, nggak ada tugas belajarnya nanti dulu.”
Darah Medina mendidih mendengar tudingan Fitri. Dia tahu itu benar, tapi dalam dirinya menyangkal itu disebabkan oleh Zean. Memang dia saja yang sedang jenuh. Memangnya siapa yang tidak jenuh harus mengulang aktivitas yang sama dari hari ke hari? Dia butuh penyegaran. Zean itu pelarian yang menyenangkan.
“Fokus kamu terpecah, Mbul. Otak kamu jadi lebih banyak terisi cowok itu. Bapak ibu guru capek cuap-cuap di depan kelas, kamu nggak tau apa yang mereka omongkan. Badan kamu memang hadir di sekolah, tapi otak kamu melayang ke mana-mana. Hayooo, betul apa betul?”
Dicecar demikian, Medina diam seribu bahasa.
“Dia lagi ngapain, ya? Sudah makan apa belum? Kapan ketemuan lagi? Duh, aku kangen, nih! Kapan lagi, ya, bisa ketemu?” ledek Fitri dengan suara manja yang dibuat-buat.
“Lebay, ih!” Medina mencebik, menutupi kekecewaan yang menyusup hati. Dia tidak suka perasaannya yang meletup-letup itu dianggap sepele. Fitri jelas tidak mengerti apa yang sedang dia rasakan. Perasaannya tidak sesederhana itu. Perasaan ini membuatnya tidak enak makan, tidak nyenyak tidur, selalu gelisah karena Zean menempel kuat dalam ingatan. Medina selalu berusaha menampilkan versi terbaiknya berdasarkan gambaran lelaki itu tentang perempuan idaman. Perasaan ini … jelas tidak semudah itu dienyahkan atau diabaikan seperti angin lalu.
“Lagian, apa enaknya pacaran? Apa-apa serba dilaporin. Mau makan, lapor. Mau minum, lapor. Lagi nonton, lapor. Lagi jalan, ngesot, kayang, juga lapor. Sampai lagi eek pun kudu lapor. Hidup kayak nggak punya privasi.” Tidak rela nasihatnya terpotong oleh protesan Medina, dengan cepat Fitri melanjutkan. “Sudah gitu, kalau pergi mesti banget dua-duaan. Apa nggak seram dikerumuni setan?”
Dada Medina kian bergemuruh. Zean dan dia tidak begitu. Zean lelaki yang sopan. Mereka memang bertemu dan pergi berduaan, tetapi Zean menghindari mengajaknya ke tempat-tempat yang jauh dari keramaian.
“Jadi jomlo itu menyenangkan, kok, Mbul! Jomlo itu bukan aib. Justru harusnya kita bangga jadi jomlo, karena nggak semua orang bisa. Daripada buang-buang waktu terus dipusingkan sama hal-hal nirfaedah, mending sendiri, kan? Kita bisa fokus sekolah, terus bisa senang-senang sama teman-teman. Nggak ada yang namanya galau-galauan. Nggak ada yang namanya uring-uringan karena diabaikan. Hidup Jomlo!”
Fitri bangkit, menyambar kotak pensil berbentuk tabung milik Arwa, teman sebangku Medina, lantas mulai bernyanyi dengan penuh percaya diri mengabaikan fakta bahwa suaranya pas-pasan. “Kamu masih anak sekolah, dua SMA. Belum tepat waktu ‘tuk begitu begini.” Liriknya mengalami perubahan, menyesuaikan keadaan. “Anak sekolah datang kembali. Satu atau dua tahun lagi ….”
Medina cemberut. Lagu itu sukses membuatnya keki setengah mati. Dengan pasti Medina mengeliminasi Fitri dari daftar teman yang pantas dicurhati. Mungkin dia bisa bicara dengan Cessa atau teman lainnya nanti. Yang jelas-jelas lebih open minded, juga bukan golongan orang sok suci. Cih!