Loading...
Logo TinLit
Read Story - Finding My Way
MENU
About Us  

“Coba tebak! Kura-kura apa yang bikin nyesek?” Zean bertanya sambil memandang Medina. Ekspresi lelaki berambut hitam lurus dengan belahan di bagian kiri itu terlihat sangat jenaka. Serius, dia punya karakter muka yang imut dan polos seperti Hwang In Youp. Didukung suara yang enak di dengar, rasa-rasanya Medina bisa terbang tanpa bantuan sepasang sayap.

Sambil menyisipkan helaian rambut ke belakang telinga, Medina menggeleng. “Nggak tau!” jawabnya, menyerah dengan mudah. Meskipun langganan juara kelas sejak SD, dia paling payah kalau disuruh memecahkan teka-teki. 

Memangnya siapa yang bisa berpikir jernih saat berhadapan dengan Zean? Dia punya wajah yang tidak cuma tampan dengan hidung mancung, bibir merah cerah dan senyum semanis gula-gula, tapi juga tubuh tegap yang tinggi menjulang. Dadanya yang bidang sepertinya nyaman untuk dijadikan sandaran. 

“Kura-kura jomlo padahal gebetannya bertebaran di mana-mana.” Zean mengerling, menggoda gadis berambut panjang di depannya.

Untuk sesaat Medina hanya diam, mencerna ucapan Zean. Tak lama kemudian dia tertawa. “Itu, sih, pura-pura, Kak! Bukan kura-kura!” 

“Ayo, tebak lagi! Kali ini nggak boleh nyerah, ya!” Zean mengacungkan telunjuknya seakan sedang mengancam. “Baper, baper apa yang horor?”

Medina menelengkan kepalanya, kali ini berpikir dengan lebih serius. Otaknya bekerja keras berusaha menemukan jawaban. Namun, dia tidak bisa memikirkan apa pun. Medina pikir, jawaban dari pertanyaan Zean kali ini pun plesetan seperti tadi. 

“Nyerah, deh!” Medina mengangkat kedua tangan. Mungkin saja angin yang berembus dari penyejuk udara telah membuat otaknya jadi beku. Gadis berbulu mata lentik itu memang tidak begitu tahan lama-lama berada di ruangan ber-AC.

“Baper … gian ke alam gaib.” Zean tertawa-tawa melihat mulut Medina menganga.

“Kakak culas, ih! Kasih pertanyaan semuanya di luar nalar,” keluh Medina dengan suara manja yang dibuat-buat.

“Cieee, yang baper … yang baper! Cemberut gitu aja cantik, apalagi kalau senyum? Tuh, pipinya menyala, kan, kayak habis mukbang cabe sekilo!” goda Zean menunjuk kedua pipi tembam Medina. Benderang pencahayaan kafe memperjelas rona merah yang menyebar di kedua pipi gadis itu. Yang digoda mendengus, menyembunyikan wajah yang memanas dengan menunduk.

“Apaan, sih? Nggak, tuh!” sangkal Medina. Gadis itu memainkan gantungan kunci berbentuk boneka panda yang terpasang pada tas sekolah untuk mengurangi salah tingkahnya.

“Aku punya satu teka-teki lagi. Eh, ada banyak sebenarnya.” 

“Coba, aku mau dengar. Kali ini aku pasti bisa jawab!”

“Kalau gitu, coba tebak ini! Tapi … firasatku bilang nggak bakal bisa ketebak lagi, deh, kayak yang dua sebelumnya itu.” Zean tersenyum meremehkan.

“Itu sih karena Kakak aja yang nyeleneh ngasih tebak-tebakannya.”

“Ngeles aja kamu!” Zean terkikik geli melihat bibir Medina mengerucut. “Coba tebak, ya! Telor apa yang suka dibawa para climber atau hunter?”

“Telor yang ini pasti bukan terbuat dari telor ayam ataupun telor bebek. Telornya nggak bisa dimasak apalagi dimakan, kan, Kak?”

Zean geleng-geleng. “Begitulah,” katanya seraya mengedikkan bahu lalu bersedekap. Tatapannya lurus pada Medina yang tengah memilin rambut 

“Nggak ada clue atau apa gitu?”

“Yang tadi sudah termasuk clue, loh, ya!” jawab Zean sambil cengengesan. Dia yakin kali ini pun Medina tidak bisa memecahkan teka-teki yang dia berikan.

“Culas banget! Kenapa cuma seuprit clue-nya?” Zean cuma mengangkat bahu tak acuh. Medina diam lagi. Beberapa kali Medina menggaruk-garuk pelipis, yang entah apa bisa membantu dirinya berpikir atau memang karena gatal. “Nyerah, deh! Buntu banget aku,” pungkasnya beberapa menit kemudian sembari mengangkat kedua tangan.

“Yah, nyerah lagi? Katanya juara kelas terus. Masa sama pertanyaan sepele kayak gini nggak bisa jawab?”

“Masalahnya, Kak Zean ngasih pertanyaan ngasal semua.” Medina tidak mau kalah. Dia sebal diremehkan. Walau kadang suka telmi alias telat mikir, otaknya encer, kok! “Sudah, cepetan jawab!”

“Yakin nggak mau—”

“Cepetan jawab!” Medina mulai merajuk.

“Cieee, tadi baper, sekarang esmosi,” olok Zean yang tidak mendapat tanggapan selain juluran lidah Medina. “Oke, deh, daripada kamu penasaran terus nggak bisa tidur malam ini. Jadi, jawabannya adalah … telor pong!”

Medina mengernyit. Dengan polosnya dia bertanya, “Telor pong itu apa, Kak? Hewan, kah?” 

Zean tergelak mentertawakan Medina. Butuh beberapa saat hingga tawanya reda baru lelaki itu menerangkan, “Telor pong itu gunanya buat membantu melihat sesuatu di kejauhan. Telor pong punya lensa kayak kaca mata, cuma beda bentuk doang.”

Saat akhirnya berhasil menangkap maksud Zean, dengan kesal Medina memekik, “Itu te … ro … pong! Teropong, Kak Zean yang budiman!”

Tawa Zean mengudara lagi. Dia sangat suka melihat wajah Medina saat cemberut. “Kita setop main tebak-tebakan, deh! Terbukti kamu memang nggak cukup pintar buat jawab teka-teki.”

“Hilih! Situ aja yang kocak kebangetan.”

Bye the way, aku punya cerita lucu! Kamu mau dengar, nggak?” 

Medina mengangguk antusias dan terus menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Zean. Gadis berseragam putih abu-abu itu terus dibuat terkikik. Dia baru tahu kalau Zean tidak hanya ramah dan hangat, tapi juga pandai melucu. Sejak mengenal Zean lewat media sosial tiga bulan lalu, lelaki itu seolah punya begitu banyak kejutan. Kali ini pertemuan ketiga mereka dan semua hal tentang Zean makin terasa menyenangkan.

Zean tersenyum puas. Saat lelaki itu menandaskan caramel macchiato-nya, ponsel Medina berdering. “Nggak diangkat?” tanyanya dengan kening berkerut lantaran Medina bergeming, seolah benda yang tengah ribut itu bukan miliknya.

Medina menggeleng malas. Tanpa melihat layar pun, dia sudah tahu siapa yang tengah menghubunginya. Gadis itu menggigit bibir, tidak enak hati.

Untungnya Zean cukup peka membaca situasi. “Kamu sudah selesai?” Lelaki itu menunjuk sajian di atas meja. Roti bakar yang mereka pesan masih tersisa tiga potong, sementara jus stroberi Medina pun masih tersisa setengah gelas.

Medina melirik sekilas ke atas meja, lalu diam-diam meneguk ludah. Naga yang bersemayam di perutnya tengah memuntir ulu hatinya, berdemo meminta bahan bakar. Dia menyesal karena makanan dan minuman itu harus berakhir di tempat sampah. Mau bagaimana lagi? 

Gengsi setinggi Shanghai Tower memaksa Medina membangun benteng superkokoh. Untung saja air liurnya yang dari tadi mengancam keluar bisa dibujuk. Medina berhasil mengendalikan diri dan nafsu makannya. Malu, dong! Bagaimana kalau lelaki itu ilfeel lalu mengatainya rakus, perut gentong atau sebutan buruk lainnya? 

Ragu-ragu Medina menggeleng. “Sudah kenyang,” dustanya. Untung nggak ada Mama di sini. 

Omelan sepanjang Jembatan Suramadu dalam bahasa alien bisa-bisa memaksa Medina harus duduk berlama-lama sampai sakit pinggang. Di benaknya sudah terbayang Latifa—mamanya—hilir mudik seperti setrikaan berceramah tentang tidak baiknya orang yang suka mubazir. 

Tawa Zean berderai renyah. Lesung pipinya terukir apik. Wajahnya yang rupawan semakin memesona. “Yuk, lah, kita pulang!” ajak Zean sembari bangkit, menyandang ranselnya di bahu kiri. Medina mengikuti langkah lelaki itu dengan kikuk. 

Sementara menanti Zean membayar tagihan, Medina menggunakan waktu supersingkat itu untuk menghubungi rumah. Jempolnya bergerak lincah mengetikkan sebaris kalimat di bilik obrolan dengan Santi, kakak sekaligus tangan kanan Latifa yang tadi menelepon. Medina bilang kalau sedang di perjalanan sehingga mamanya tidak perlu khawatir. Padahal dia cuma nongkrong di kafe sebentar, tapi sudah diributkan seperti pergi merantau berbulan-bulan tanpa kabar.

Di pelataran kafe, Zean bertanya, “Kapan-kapan kita ketemuan lagi, ya?” 

Medina mengangguk malu-malu. Jantungnya berdetak makin kencang karena saat ini dirinya hanya berjarak satu langkah dengan Zean. Mereka pun jalan beriringan menuju area parkir khusus roda dua.

“Kak Zean!” panggil Medina. Zean urung memasang helm, padahal dia sudah duduk nyaman di atas kuda besi kebanggaannya. 

Sambil menunduk, Medina berucap, “Kita pisah di sini aja.”

Kening Zean berkerut. “Kenapa? Sudah malam, loh, ini!” Dia mengingatkan dengan menunjukkan arlojinya.

“Mamaku orangnya ribet. Nanti malah ditanya ini itu,” kilah Medina. Terang saja dia takut. Dia tadi meminta izin belajar kelompok, bukan jalan-jalan. Tidak tanggung-tanggung, dia juga mengatakan pada mamanya kalau teman sekelompoknya semuanya perempuan. Mana berani dia pulang diantar lelaki. Meminta izin dengan mengatakan yang sebenarnya pada Latifa pun sama saja mencari mati. Latifa di mata Medina adalah perempuan kolot dari zaman batu yang terperangkap di era serbateknologi.

“Yakin nggak mau diantar?” Zean bertanya, sekadar memastikan. Mesin motornya sudah dihidupkan, siap melaju membelah jalan.

Kali ini Medina mengangguk dengan mantap. “Aku sudah order ojek daring. Kayaknya sebentar lagi driver-nya sampai.” Lagi-lagi gadis itu berdusta.

Zean tidak mendebat keputusan sepihak Medina. Lelaki itu pun memelesat pergi usai berpamitan. Gegas Medina berbalik ke arah kafe, menuju toilet khusus perempuan. Dari dalam tas, Medina mengeluarkan hijab sewarna rok seragamnya lantas membalut kepalanya, menutup rambut yang tadi tergerai bebas. Ketahuan berkeliaran tanpa hijab di ruang publik oleh Latifa? Dia belum siap dicoret dari kartu keluarga. Walaupun bosan terperangkap dalam rumah yang menurutnya tidak lebih baik dari penjara, jadi gelandangan tidak pernah masuk dalam wish list Medina.

Pukul delapan kurang sepuluh menit Medina baru menjejakkan kakinya di rumah. Kedatangannya disambut raut cemas Latifa yang sedari tadi menunggu di ruang tamu. Bola mata Medina berotasi. Mamanya terlalu berlebihan untuk setiap hal. Tidak mungkin Santi tidak memberitahu Latifa pesan singkat yang dia kirim setengah jam lalu. Kecuali kalau Santi sengaja melakukannya supaya dia dimarahi. Namun, Medina tahu kakaknya tidak seusil itu.

Kedua tangan Latifa bergerak-gerak cepat. “Dari mana aja kamu? Kenapa baru pulang jam segini? Kenapa nggak angkat waktu ditelepon Mbak Santi?” Begitu katanya lewat bahasa isyarat. Perempuan berdaster panjang dengan hijab yang juga panjang itu berkacak pinggang, menuntut penjelasan. 

Ah, pantas Papa memilih berpisah. Mama dan semua kemauannya yang nggak bisa dibantah, siapa juga yang betah?

Medina berdecak sebal, mengentakkan sebelah kaki lantas melewati Latifa begitu saja menuju kamar tidurnya. Terdengar bunyi berdebam yang sangat nyaring saat gadis itu menutup pintu. Samar-samar Medina mendengar omongan-omongan tidak jelas keluar dari mulut sang mama. Bodo amat!

Medina mengempaskan tubuh tambunnya yang letih di atas kasur berpegas hingga beberapa kali memantul. Kedua tangannya terentang, sementara tatapannya lurus ke langit-langit. Bibir tipis Medina melengkung ke bawah. 

Kenapa makin hari Mama jauh dari kata asyik? Dibanding orang tua lain, Mama itu udik. Padahal aku sudah besar, tapi Mama selalu memperlakukanku seolah aku ini bocah cilik.

Ponsel dalam saku rok abu-abu Medina menjerit. Papa calling.

“Assalamu’alaikum, Medina.” 

Dengan malas Medina menyahut salam. “Kenapa, Pa?” tanyanya dengan bibir mengerucut.

“Kok, manyun? Habis berantem lagi sama Mama?” 

Andai Luthfi ada di sana, tanpa diminta lelaki itu pasti akan membelai lembut puncak kepala Medina. Sementara itu, Medina bisa menumpahkan luapan perasaannya dalam dekap hangat sang papa. Medina memutar bola mata, kecewa karena yang ada di pikirannya saat ini hanya omong kosong yang tidak lebih dari sekadar angan belaka. 

“Nggak, kok!” Menurut Medina, bertengkar itu adu mulut atau adu otot. Sementara dirinya dan Latifa tidak begitu. “Mama aja yang resek. Sudah aku bilang kalau hari ini pulang telat karena ada tugas kelompok. Eh, Mama main suruh Mbak Santi telepon. Kan, ganggu, Pa! Nggak enak sama anak-anak yang lain.” Gadis itu duduk di tepi ranjang dengan kaki menyilang.

Luthfi tersenyum maklum. Meski terlihat lelah, aura wajahnya tetap memancar cerah. “Wajar, kan? Sudah malam, loh! Sebenarnya Mama juga nggak ada niatan ganggu kamu, kok! Mama begitu karena khawatir. Nggak biasanya kamu begini. Lagian, bukan cuma kamu aja yang ditelepon kalau pulang telat. Papa juga gitu dulu. Mbak Santi juga.”

Bibir Medina semakin maju. “Namanya juga banyak yang harus dikerjain, Pa. Mama aja, tuh, kayak nggak pernah sekolah!” Medina terus berkilah tanpa rasa bersalah. Keras kepala tidak mau kalah.

“Hush!” Luthfi pun mengingatkan Medina agar menjaga omongan. “Sudah salat, belum?” tanyanya setelah memberi wejangan yang tidak sama sekali meresap ke hati Medina.

“Coba, tuh, tanyain Medina sudah makan belum? Belajar apa aja tadi di sekolah? Uang jajannya masih banyak, nggak? Ini yang ditanya malah tentang salat.”

“Lah, salat, kan, penting!”

“Makan, keadaan aku hari ini sama uang jajan juga penting,” gerutu Medina. Lagipula, mana bisa beribadah dengan khusyuk di saat perut riuh berbunyi kukuruyuk. 

“Nggak boleh begitu, loh! Salat itu tiang agama. Ibadah yang pertama kali dihisab—”

Dengan cepat Medina menyela, “Ah, Papa kenapa nyebelin kayak Mama, sih? Sudah capek, lapar, malah diceramahi lagi.”

Luthfi terkikih. “Papa cuma mengingatkan, jangan dibiasakan menunda-nunda apalagi sampai meninggalkan salat. Kalau sudah waktunya, segera tunaikan.”

“Siap, Bos!” Medina memberi hormat semata agar Luthfi segera mengakhiri ceramah dadakannya.

Luthfi terkikih lagi. “Ya, sudah! Sekarang kamu bebersih dulu. Habis itu salat. Jangan lama-lama di kamar mandinya supaya salatnya nggak makin lama tertunda. Take care, Honey.” 

“Iyaaa,” sahut Medina. Luthfi meninggalkan ruang obrolan usai mengucap salam.

“Ribet amat, deh! Bikin makin badmood aja!” gumam Medina tepat ketika sosok sang ayah hilang dari pandangan. Untuk berjaga-jaga kalau Latifa mengecek ke kamarnya secara tiba-tiba, Medina menggelar sajadahnya menghadap kiblat, mengacak-acak mukenanya seolah habis dipakai. Dengan menyandang handuk di bahu kiri, Medina mengayun langkah menuju kamar mandi. “Hari ini salatnya libur lagi, ya? Engkau pasti tau gimana capeknya hamba hari ini.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pulang Selalu Punya Cerita
891      618     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
Diary Ingin Cerita
3398      1605     558     
Fantasy
Nilam mengalami amnesia saat menjalani diklat pencinta alam. Begitu kondisi fisiknya pulih, memorinya pun kembali membaik. Namun, saat menemukan buku harian, Nilam menyadari masih ada sebagian ingatannya yang belum kembali. Tentang seorang lelaki spesial yang dia tidak ketahui siapa. Nilam pun mulai menelusuri petunjuk dari dalam buku harian, dan bertanya pada teman-teman terdekat untuk mendap...
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
629      284     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
HURT ANGEL
168      132     0     
True Story
Hanya kisah kecil tentang sebuah pengorbanan dan pengkhianatan, bagaimana sakitnya mempertahankan di tengah gonjang-ganjing perpisahan. Bukan sebuah kisah tentang devinisi cinta itu selalu indah. Melainkan tentang mempertahankan sebuah perjalanan rumah tangga yang dihiasi rahasia.
Bottle Up
3050      1260     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Segitiga Sama Kaki
588      415     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
166      137     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Darah Dibalas Dara
619      351     0     
Romance
Kematian Bapak yang disebabkan permainan Adu Doro membuat Dara hidup dengan dihantui trauma masa lalu. Dara yang dahulu dikenal sebagai pribadi periang yang bercita-cita menjadi dokter hewan telah merelakan mimpinya terbang jauh layaknya merpati. Kini Dara hanya ingin hidup damai tanpa ada merpati dan kebahagiaan yang tiada arti. Namun tiba-tiba Zaki datang memberikan kebahagiaan yang tidak pe...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...