Pagi itu, rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena diam yang menggantung terlalu tebal. Kiran turun ke meja makan dengan langkah berat, hanya mendapati ibunya menatap kosong ke cangkir teh yang tak disentuh. Pak Adi tidak tampak disana.
Tanpa bicara, ia melangkah ke ruang tamu. Tapi langkahnya terhenti. Di atas meja kaca ruang tamu nya, tergeletak buku sketsa yang selama ini disembunyikannya di balik lemari lukis.
Halaman-halamannya terbuka, terburai seperti rahasia yang dipaksa telanjang. Di dalamnya ada selembar foto cetak dari Ray, catatan pendek yang ditulis dengan tinta hitam:
“Aku ingin hidup di dunia yang tak harus kutinggalkan demi sebuah nama.”
“Ayahmu menemukannya semalam,” suara ibunya pelan. “Dia... tidak bilang apa-apa. Hanya membukanya dan menyimpannya di sini.”
Kiran tak menjawab. Tapi dadanya sesak. Ia naik ke kamar, hendak melukis untuk menenangkan diri. Namun sesuatu terasa aneh. Palet dan kuasnya hilang.
Ia membongkar seluruh rak, laci, bahkan kolong tempat tidur. Tidak ada.
Dan seperti menjawab keresahannya, pintu kamarnya diketuk keras. Pak Woko,muncul dengan wajah datar. “Kiran, Ayahmu minta aku antar kamu ke kantor hari ini. Dan pulangnya nanti, aku juga yang jemput.”
Kiran membeku. “Apa maksudnya ini? Aku bukan anak kecil.”
“Maaf, Mbak. Pa Woko cuma disuruh Pak Adi. Katanya, biar Mba fokus kerja. Biar gak ‘kabur-kaburan’ lagi katanya.”
Kiran mencengkeram pegangan pintu. Matanya memanas, tapi tak setetes pun air mata jatuh.
Di perjalanan ke kantor, Pak Woko mencoba mencairkan suasana. “Saya cuma ingin bilang… Dulu Pak Adi juga suka gambar, lho. Tapi hidupnya beda sekarang.”
Kiran menoleh. “Dan sekarang dia paksa hidupku beda juga.”
Tak ada lagi obrolan sepanjang jalan. Namun, sepersekian detik Kiran bertanya dalam benak, "ayah suka melukis?"
Di kantor, ruangan Kiran kini terasa lebih seperti sel. Tak ada lagi buku sketsa di dalam lacinya. Kalender meja yang dulu ia gambar sendiri diganti dengan model perusahaan. Bahkan notepad kecilnya kini bertuliskan "target meeting minggu ini".
Flo muncul di sela waktu makan siang. Membawakan dua gelas kopi dan senyum setengah canggung.
“Lo tegang begitu kaya tawanan kelaparan” ujar Flo sambil duduk di kursi depan meja Kiran. “Serius, lo butuh liburan. Atau... pelarian?” lanjut Flo sedikit menekan.
Kiran tertawa pahit. “Bahkan mau beli kuas aja sekarang aku gak bisa.”
Flo mendesah. “Mau gue pinjemin kuas? Di kost gue ada cat air sisa skripsi waktu kuliah. Nggak tahu masih bisa dipakai atau nggak.”
Kiran menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Mungkin. Tapi tetep ga bisa gantiin kuas kesukaan gue. Gue cuma... pengen sedikit dikasih ruang buat jadi diri sendiri aja Flo.”
Flo mengangguk, lalu menggenggam tangan Kiran sebentar. “Kalau kamu butuh tempat sembunyi, gue tahu satu. Tapi jangan bilang siapa-siapa.”
Kiran tersenyum samar, untuk pertama kalinya hari itu. Retak di hatinya belum menyatu, tapi ada yang mencoba merekat.
Dan malam itu, di kamar yang sunyi dan kosong dari warna, Kiran menulis di balik amplop bekas:
“Mereka bisa ambil kuasku, bisa kunci mobil, bahkan bisa patahkan lukisanku. Tapi mereka tak bisa menuliskan akhir cerita untukku.”
***
Malam menjelang, tapi kamar Kiran masih terang. Lampu meja menyala redup, dan tirai jendela dibiarkan terbuka, menampilkan bayangan pohon yang bergoyang pelan tertiup angin. Di pangkuannya, amplop lusuh tempat ia menulis tadi kini menjadi sandaran tangan yang lelah.
Ponselnya bergetar.
Ray:
“Kiran, kamu udah ambil foto yang aku titip di taman, belum? Atau masih belum sempat?”
Kiran menatap layar lama, ia lupa membalas pesan Ray bahkan setelah ia berhail menyimpan fotonya. Ia mengetik, menghapus, mengetik lagi, lalu akhirnya hanya membalas:
Kiran:
“Sudah. Aku simpan.”
Tak sampai satu menit, balasan masuk.
Ray:
“Bagus. Itu bukan cuma foto. Itu pengingat. Kamu tetap cantik di tengah layu bunga.”
Matanya berbinar sama merekah dengan senyuman. Tapi sebelum sempat membalas, satu pesan baru muncul. Kali ini berupa gambar. Sebuah poster digital dengan latar hitam-putih yang elegan:
"PAMERAN LUKISAN KONTEMPORER TUA"
π Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta Kota
ποΈ Akhir pekan ini, jam 15.00
Ray:
“Ini bukan pameranku. Tapi ini tempat di mana aku tahu, orang-orang kayak kita bisa merasa hidup lagi. Aku bakal ada di sana. Kalau kamu datang, aku pasti akan datang untuk menemani duniamu.”
Kiran membekap mulutnya pelan. Ada sesuatu yang menyesak, bukan karena sedih, tapi karena ditanya hal yang selama ini bahkan tak ia tanyakan pada dirinya sendiri: Apakah aku sudah menyerah?
Ia menatap langit di balik jendela. Bintang tak tampak, tapi malam itu terasa memberi ruang. Untuk bertanya. Untuk menimbang. Untuk memilih.
Tangannya bergerak ke laci. Ia keluarkan sebuah post-it kecil, dan mulai menulis:
Sabtu. Jam 3. Museum.
Aku akan datang. Tapi bukan karena aku belum menyerah.
Tapi karena aku ingin tahu,
siapa aku di dunia yang tidak butuh persetujuan siapa pun.
Kiran menempelkan catatan itu di belakang casing ponselnya. Lalu tidur dengan posisi miring ke kiri, menghadap jendela. Dengan mata masih terbuka, ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Besok aku akan tetap ke kantor. Tapi hari Sabtu... aku akan berjuang untuk jadi diriku.”
Jika boleh bertanya dan Puan berkenan menjawab, referensi buku-buku apa yang puan baca (1 saja cukup), sehingga bisa menciptakan karya tulis yang hidup seperti ini? π
Comment on chapter Prolog