Sabtu sore,
Museum Seni Rupa dan Keramik sore itu dipenuhi cahaya senja yang menembus kaca tinggi di sisi kanan ruangan. Suara langkah kaki bergema lembut di lantai marmer tua, berpadu dengan dengung obrolan ringan dan nada musik klasik yang diputar pelan dari sudut ruangan.
Kiran berdiri di ambang pintu pameran, mengenakan kemeja putih longgar dan sepatu datar berwarna krem. Tangannya sedikit gemetar, tapi wajahnya tenang sebuah keberanian yang dikumpulkannya selama seminggu penuh.
Di tengah keramaian, sosok yang ia kenal muncul. Ray, dengan tas kamera selempang dan jaket cokelat lusuh yang seakan tak pernah diganti, menatapnya sambil tersenyum.
“Hey,” sapa Ray. “Kamu datang" wajah antusias Ray tampak bahkan hanya dari nada bicaranya.
Kiran mengangguk. “Kamu yang bilang, ini duniaku.”
Ray tertawa ringan. “Benar juga.”
Mereka berjalan menyusuri lorong galeri, melewati lukisan-lukisan penuh warna dan tekstur. Ray berhenti di depan sebuah karya besar yang menggambarkan perempuan berdiri di tepi jendela dengan latar belakang langit yang patah menjadi serpihan kaca.
“Ini karya temanku, Nara,” ucap Ray sambil menunjuk lukisan itu. “Judulnya ‘Dalam Diam, Aku Tetap Bergerak’. Setiap serpihan itu mewakili waktu yang tidak dia mengerti, tapi tetap dia lewati.”
Kiran menatap lama lukisan itu. Matanya menelusuri retakan-retakan langit, lalu jatuh ke siluet perempuan di tengah kanvas.
“Kenapa dia nggak keluar dari jendela?” bisik Kiran, setengah pada dirinya sendiri.
“Karena dia pikir dia harus tetap di dalam. Harus kuat. Harus taat,” jawab Ray tenang. “Tapi pada akhirnya, dia sadar: diam bukan berarti kalah. Bergerak nggak harus ribut.”
Kiran menghela napas dalam. “Melukis, buat aku... bukan cuma mimpi. Tapi akhir-akhir ini, rasanya malah jadi beban. Kayak… kalau lukisanku nggak hebat, aku juga nggak berarti. Kalau aku terus melukis, aku gagal sebagai anak. Tapi kalau aku berhenti, aku gagal sebagai aku.”
Ray memalingkan wajah, menatap Kiran lama.
“Kamu tahu kenapa aku suka moto orang di tempat aneh?”
Kiran menggeleng.
“Karena di situ mereka nggak bisa berpura-pura. Mereka nggak tahu harus terlihat kayak siapa. Waktu kamu duduk sendiri di taman itu... kamu nggak sedang jadi anak siapa pun. Kamu cuma Kiran, yang duduk dan menggenggam sisa dirinya.”
Ray mengangkat kameranya pelan. “Boleh aku potret kamu sekarang?”
Kiran tertawa kecil, matanya basah tapi berbinar. “Di sini?”
“Di tempat tak biasa. Di waktu tak biasa. Supaya kamu ingat, kamu pernah utuh tanpa perlu alasan.”
Kiran mengangguk pelan.
Klik.
Ray menurunkan kameranya. “Seperti biasa... nanti aku titip fotonya di tempat spesial. Jangan lupa diambil.”
Kiran tersenyum, kali ini lebih terang dari cahaya senja. Di tengah museum tua, di depan lukisan yang terasa terlalu dekat dengan hidupnya, ia merasa untuk pertama kalinya, ia tidak sendiri.
Saat mereka melangkah ke lorong berikutnya, Kiran membatin,
"Mungkin, hidup bukan soal memilih satu jalan yang benar. Tapi tentang berjalan sambil membawa serpihan-serpihan kecil yang pernah membuat kita utuh."
***
"Anak Pintar"
Ayah berdiri tepat di balik pintu, menunggu Kiran kembali dengan jawaban yang pasti. "Dari mana kamu?"
"Cuma jalan-jalan aja yah" Kiran merunduk, mencoba tenang dalam degup hati yang bergejolak riuh.
"Bisa Ayah percaya omongan mu itu?"
"Bisa, bisa banget yah. Sama bisanya dengan ego ayah selama ini" Nada bicara Kiran naik, ritme nya tak beraturan. Mata berbinar penuh air mata yang tertahan.
"Sudah berani sama ayah kamu!"
Kiran tediam, tidak seharusnya kalimat lantang itu telontar. Langkahnya terasa payah, menyesal namun rasanya terlambat.
Apa yang dikatakan tempat spesial itu? kalau nyatanya, semua tampak sama pahitnya.
Jika boleh bertanya dan Puan berkenan menjawab, referensi buku-buku apa yang puan baca (1 saja cukup), sehingga bisa menciptakan karya tulis yang hidup seperti ini? 👌
Comment on chapter Prolog