Pukul sembilan malam. Arin mengobrol lama sekali dengan Bulan di pinggir danau itu, meluapkan segalanya. Setengah jam kemudian, barulah Arin berpisah dengan Bulan di halte karena bus menuju rumah mereka berbeda. Kali ini, Arin pulang terlambat menaiki bus terakhir, dan sampai bersamaan dengan orang tuanya di rumah.
Arin sesungguhnya tidak mau terlihat sentimental ketika mereka bertemu di pintu, tapi wajah bengkak habis menangisnya kelihatan jelas sehingga orang tuanya bertanya apa yang terjadi dan kenapa Arin pulang selarut ini. Karena ditanyai, tanpa dapat ditahan tangis Arin pecah lagi. Dia meraung-raung memeluk orang tuanya. Jujur saja, Arin masih merasa, sampai kapanpun dia tidak akan pernah rela. Tidak hanya karena dia merasa mimpinya jadi semakin jauh, tapi juga karena betapa marah dia pada Bona yang iri padanya sampai-sampai bisa melakukan hal sejahat itu padanya. Padahal, bagi Arin, hidup Bona jauh lebih baik darinya. Bona hidup dengan keuangan yang tidak bermasalah, bisa mengejar mimpinya, namun justru membenci Arin yang mati-matian berjuang untuk itu.
Mimpi adalah hal yang membuat Arin bisa bertahan sampai hari ini, teguh, optimis, dan kokoh. Arin terus berjuang, menata hidupnya, karena satu hal. Mimpi.
Hari ini, mimpi itu diinjak-injak oleh seseorang yang berkuasa. Orang yang punya jabatan dan uang.
Melihat Arin menangis seperti anak kecil, ayah dan ibu Arin saling pandang. Mereka balas memeluk Arin, menenangkannya dengan tabah, memeluk anak perempuan mereka hangat, menciumnya lembut.
Malam itu, keluarga mereka kembali hidup setelah sempat redup akibat masalah di sekolah waktu itu. Masalah yang terjadi karena kedua orang tuanya salah memilih tempat bertengkar, yakni di ruang publik, terlebih, membahas soal kesulitan ekonomi keluarga. Orang tua Arin ikut menangis, meminta maaf pada putri mereka. Begitupula Arin, dia memohon maaf pada kedua orang tuanya karena sempat bertindak kekanakan, tidak pernah memikirkan bagaimana orang tuanya telah bekerja keras untuk menyekolahkan dia di sekolah yang bagus. Seharusnya, Arin sedikit lebih dewasa dan pengertian bahwa mencari uang juga bukan perkara mudah.
Keluarga kecil itu berbincang tentang banyak hal yang harus ditata ulang di antara mereka. Kebijaksaan mereka dalam berkeluarga dan berkomunikasi, termasuk perbincangan tentang mimpi Arin yang tak boleh dijangkau orang-orang jahat itu. Cukup masalah ekonomi saja yang menghambatnya, karena orang tua Arin masih bisa membincangkan dan mencari cara agar bisa menyekolahkan anak mereka, jangan pula ditambah campur tangan orang jahat yang iri pada Arin. Malam itu Arin juga menceritakan, apa saja rencana yang dia bincangkan dengan Bulan untuk membalas si kepala sekolah yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan putrinya.
Sebagian alasan Arin ingin membalas Bona adalah karena dia tidak ingin hal ini terjadi pada siswa lain barangkali Bona membenci orang lagi. Orang seperti kepala sekolah harus diturunkan dari jabatannya agar dia tidak menyalahgunakan kekuasaannya.
Sepakat, Ibu Arin akan membantu membongkar penyalahgunaan kekuasaan si kepala sekolah dan tindakan putrinya yang melanggar norma itu dengan meminjamkan ponsel untuk mengirim seluruh bukti di grup wali murid. Atas itu, Arin juga akan mengakui kesalahannya telah menyelinap diam-diam bersama kawan-kawannya malam itu.
Arin sedih, namun malam itu dia menyadari, bahwa perasaannya tidak sesedih saat orang tuanya berkata bahwa Arin tidak bisa lanjut pendidikan untuk pertama kali. Arin sudah berkomunikasi dengan orang tuanya, sudah meluapkannya dengan banyak tangisan, dan Arin juga sudah banyak diajak Bulan berbincang tentang cara menguraikan simpul rumit di kepala yang selalu membuatnya berkecil hati mimpinya takkan bisa ia capai.
Arin saat ini lagi-lagi memang berada di garis ketidakpastian. Tidak ada yang tahu apakah dia akan berhasil menjadi dokter atau tidak kalau kepala sekolah dilengserkan dari jabatannya, atau jika jurnal Arin berhasil menembus beasiswa perusahaan swasta. Tapi, dalam hatinya tumbuh rencana baru. Tumbuh identitas dan tujuan baru sehingga jiwanya tidak sekosong itu untuk berjuang lagi.
Kalau memang gagal menjadi dokter... Arin sudah berdiskusi dengan orang tuanya kalau dia bisa mencoba dengan belajar ilmu hukum yang biaya pendidikannya tidak semahal itu untuk sekarang. Bidang hukum masih memiiki kaitan dengan mimpinya menjadi dokter forensik, karena di sana dia tetap bisa membantu keluarga korban yang tidak mendapat keadilan jika pelaku kejahatan tidak tertangkap. Tidak ada kata terlambat untuk terus belajar. Arin akan mencari di tiap kesempatan agar mimpinya bisa terwujud, tapi, dia juga harus menetapkan alternatif. Arin tetap akan berjuang, tapi dia juga harus punya identitas cadangan kalau-kalau rintangan menyerang satu identitasnya. Agar Arin tidak terlalu terpuruk, agar hidupnya tidak terfokus hanya pada satu tujuan saja.
***
Sepuluh Desember, sehari sebelum parade, sekolah diliburkan agar para staf bisa merapikan seluruh sekolah dan panggung, selain itu, agar para penampil pengisi acara saat parade bisa melakukan gladi.
Pagi, sebelum Arin sempat menghubungi Jibar dan mengajaknya bicara untuk menyelesaikan permasalahan mereka kemarin, Jibar sudah berada di depan pintu rumah Arin dengan seluruh anggota inti.
Kemarin, setelah dipukul dan mengumpulkan nyali, Jibar mendatangi kawannya satu persatu untuk menceritakan apa yang terjadi, situasi apa yang memaksanya berkhianat. Namun, Jibar tetap meminta maaf dan dia merasa bersalah. Jibar bahkan sudah mempersiapkan diri untuk dipukul lagi, namun rupanya teman-temannya lebih tenang setelah diberi penjelasan meski Han dan Ryan terlihat masih marah sekali padanya.
Tapi, Jibar menunjukkan dengan sungguh-sungguh bahwa dia menyesal. Dia menyesal karena tidak punya nyali melawan Bona. Sehingga, ketika Jibar juga mengajak mereka melanjutkan rencana yang sempat mereka susun sebelumnya, membongkar kedok Bona sekaligus ayahnya, seluruh anggota inti setuju. Mereka akan mulai dengan mendatangi Arin.
Setelah berkumpul di rumah Arin di pagi hari tanggal sepuluh Desember, Jibar menjelaskan rencana tambahan apa yang telah dia pikirkan dan rancang untuk memperbaiki semua ini di ruang tamu Arin setelah ketua mereka itu mempersilahkan masuk.
"Ini bukan akal-akalanmu lagi, kan? Kau takkan melaporkan ini pada Bona lagi, kan?" Di tengah diskusi, Han bertanya sewot, dia masih kesal dengan pengkhianatan Jibar.
Jibar menggeleng cepat. "Aku bersumpah, aku melakukan ini untuk menebus kesalahanku. Aku sudah mengumpulkan seluruh dokumen bukti dan rekaman yang kita butuhkan. Besok, kita tinggal menyebarkannya saja. Tapi, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan untuk melancarkan rencana tambahan ini. Begini rencananya..."
Di rumah Arin, sepuluh Desember, sehari sebelum parade, operasi membongkar kedok kepala sekolah dan putrinya dirancang. Besok, operasi itu akan dimulai.