Sejak kecil, standar kecerdasan di keluarga Bona itu nyaris tidak masuk akal. Itu disebabkan oleh ayahnya yang merupakan seorang dosen dan ibu yang merupakan seorang dokter. Karena Bona anak tunggal, semua harapan dilimpahkan padanya.
Bona tumbuh dengan penuh tekanan yang tidak sehat dan ekspektasi keluarga yang tidak realisti. Tidak seperti anak tunggal kebanyakan yang bisa bermanja, Bona lebih banyak ditekan oleh orang tuanya untuk bisa menjadi lebih baik dari mereka. Kalau Ayah bisa mendapat gelar doktor di negara mereka, maka Bona harus bisa mendapatkan gelar tersebut di negara lain dengan kampus yang lebih bergengsi. Kalau Ibu bisa menjadi dokter spesialis, maka pendidikan Bona harus sampai subspesialis.
Tekanan ini membuat Bona tak banyak punya kawan. Dia selalu menghabiskan waktu untuk belajar. Dan Bona selalu menerima saat dia dijadikan alat pemenuhan ambisi kedua orang tuanya.
Namun, semuanya berubah sejak ayahnya yang merupakan seorang dosen mengalami kemunduran karena terlibat kasus korupsi di universitas. Mereka sekeluarga pindah kota. Di kota itu, ayahnya menjadi kepala sekolah swasta lewat jaringan yayasan kenalannya. Bona ikut pindah kota dan sekolah karena tidak boleh sampai kecipratan buruknya kasus tersebut terhadap nilai dan kinerja akademiknya.
Naik kelas sebelas, Bona melanjutkan sekolah di mana ayahnya merupakan seorang kepala sekolah di sana. Awalnya, semua masih sama seperti sebelumya. Bona selalu tak punya banyak kawan, tak ada keseruan dan kawan dekat. Namun, ditemani sepupunya yang diminta ayahnya untuk menemani Bona, dia mulai bertemu orang-orang yang lebih seru dan terbuka.
Jibar Rizky, sepupu jauhnya yang tinggal di kota ini membantu Bona beradaptasi dengan senang hati.
Bona yang tidak pernah merasakan keseruan remaja mulai melupakan tujuan akademik yang selalu membuatnya tertekan, melewatkan jadwal tambahan yang dibuat ayah ibunya. Membuat kedua orang tuanya marah.
Namun, Bona sudah mulai berani menyampaikan perasaannya, melawan orang tuanya seperti remaja lain. Dia berterus terang kalau dibiarkan bermain dengan kawan-kawannya, Bona berjanji akan lebih rajin belajar dan memenangkan olimpiade yang dapat menyokong kebutuhan masuk perguruan tinggi. Orang tuanya tidak perlu terlalu khawatir karena nilainya tidak pernah turun sekalipun dia sering melewatkan kelas tambahan.
Tapi Bona justru semakin tertekan karena keberaniannya bicara memunculkan persyaratan baru untuk dikabulkan. Sang ayah memberi syarat jika Bona ingin bebas bermain dengan kawan-kawannya, Bona harus membuktikan bahwa dia mampu menjadi yang terbaik dengan mengalahkan siswa terbaik di sekolah.
Ayahnya mengamati bahwa selalu ada satu anak yang berada selangkah di depan Bona dalam olimpiade, evaluasi bulanan, dan nilai-nilai akademik. Itu Arin Tarim. Siswa XI IPA 1. Sejak awal kepala sekolah menjabat, Arin Tarim sudah berhasil mencuri perhatiannya dengan pelantikan ketua klub biologi dan pengajuan proposal penelitian yang dibuatnya.
Siswa yang mendapat gelar siswa terbaik tahun ini.
Arin Tarim.
Itulah syarat dari ayahnya, Bona akan mendapatkan kebebasannya kalau dia berhasil menggeser posisi Arin Tarim dari gelar itu.
Bona tahu siapa Arin, dia tidak pernah punya masalah dengan gadis itu pada awalnya. Bona mengakui, Arin adalah anak yang cerdas. Dia punya mimpi dan ambisi besar yang ingin dicapainya, Bona tidak tertarik untuk ikut campur juga akan itu.
Meski Bona sedikit iri bahwa Arin bisa memilih mimpi yang dia mau, punya banyak kawan yang mendukung mimpinya, dan berdiri satu langkah di depannya, mereka tidak pernah punya masalah serius selama enam bulan saling mengenal. Sesekali keduanya belajar bersama saat persiapan olimpiade, berdiskusi. Arin adalah rekan yang baik dan dapat diandalkan.
Namun, semuanya berubah total sejak ayahnya membuat persyaratan itu. Mau tidak mau, Bona harus lebih keras lagi belajar untuk mendapatkan gelas terbaik. Mengalahkan Arin Tarim itu bukan perkara mudah, anak itu punya kecerdasan dan kapabilitas yang mumpuni di jurusan IPA. Selain itu, ambisi juga mendorongnya. Sementara Bona, dia tidak pernah punya mimpi yang dia bangun atas kemauannya sendiri. Semua mimpi yang tertera dalam kepalanya adalah mimpi-mimpi yang ditanam kedua orang tuanya. Ambisi dangkal karena paksaan orang tidak mendorongnya dengan kuat seperti yang Arin lakukan.
Karena masalah ambisi, Bona mulai mencoba memupuk semangatnya dengan tujuan mendapat kebebasan. Namun, satu semester belajar mati-matian, Bona masih belum bisa mengejar Arin. Sekalipun nilai akademik mereka sudah hampir sama, analisis olimpiade dan praktek Arin berada jauh di atas Bona. Bona tidak pernah tahu di mana gadis itu belajar, tapi, kebebasan itu terasa semakin jauh dari genggamannya setiap dia melihat wajah Arin Tarim. Perempuan itu tidak pernah terlihat belajar sekeras dirinya sampai-sampai harus berhenti bermain dengan kawan-kawannya hanya untuk belajar dan mengalahkan Arin. Tapi, Arin selalu berada selangkah di depannya tanpa terlihat berusaha keras untuk itu. Seolah dia memang sudah ditakdirkan untuk menjadi orang yang selalu ada di depan Bona.
Lambat laun, rasa ingin mengalahkan Arin Tarim mulai berubah menjadi rasa benci yang besar dalam hati Bona. Hal itu dipicu oleh rasa iri dan cemburu karena ayahnya terus membandingkan dia dan Arin di rumah.
Arin ini lah, Arin itu lah.
Bahkan, ayahnya semakin memperhatikan klub yang sebelumnya tidak pernah dilirik. Klub biologi, klub yang sepi peminat, karena Arin menjadi pemimpin di sana. Kabarnya, mereka sedang melakukan penelitian rahasia untuk pameran saat parade tahun depan, itulah alasan lain kenapa ayahnya memberi perhatian lebih pada klub itu. Sang ayah bahkan menyuruh Bona bergabung ke sana karena ada Arin.
"Bergabunglah dengan klub biologi, ayah akan membantu fasilitas di sana kalau kau bergabung." Sang ayah bicara saat sedang makan malam keluarga. Hanya ada tiga orang di meja makan besar kediaman Marino. Bona, ayah, dan ibunya. Topik akademik bukan hal asing lagi jika meletus di meja makan, bahkan, topik itulah yang satu-satunya topik yang dimiliki keluarga ini. Membuat selera makan Bona menghilang.
"Aku tidak mau. Di sana ada Arin Tarim."
"Lantas kenapa? Anak itu cerdas. Laporan yang diajukannya pun bagus. Kau bisa belajar dari dia. Ayah berencana memajukan klub itu jika penelitian mereka terbukti berhasil."
"Kenapa ayah susah sekali percaya padaku?" Bona membanting sendok yang tadi digunakannya untuk makan ke piring, membentak ayahnya. Kini, keluarga Marino semakin kacau karena Bona sudah berani melawan. Sudah mengerti dia tidak lagi bisa dikendalikan layaknya boneka oleh orang tuanya. "Arin Tarim itu licik. Dia tidak secerdas yang ayah kira!"
Sejak Bona selalu gagal mendahului Arin, sejak Bona mulai membenci Arin, Bona selalu berusaha memprovokasi ayahnya bahwa kecerdasan Arin itu hanya ilusi. Dia menebar kebohongan bahwa Arin mendapat nilai bagus karena dia pandai menjilat guru. Apapun Bona lakukan agar ayahnya berhenti terlalu memperhatikan anak itu. Tapi ayahnya selalu membantah Bona dan tidak percaya pada anaknya sendiri, membuat Bona memupuk semakin banyak benci pada orang tidak bersalah.
"Bagaimanapun, dia lebih cerdas darimu!" Sang ayah ikut membentak marah. "Cobalah kau belajar lebih keras untuk menjadi secerdas dia. Menangkan evaluasi bulanan. Baru ayah bisa percaya pada kata-katamu yang entah benar atau tidak itu."
Bona sampai tidak tahu kapan itu bermula, tapi dia semakin membenci Arin hari ke hari, memberi tatapan dan respon tidak mengenakkan setiap kali perempuan itu mengajaknya berinteraksi. Sekalipun, perempuan itu tidak tahu apapun tentang apa yang terjadi di keluarganya.
Bona membenci Arin karena Arin adalah anak yang cerdas.
Setiap saat, tekanan membuat tumbuh dalam hati Bona kebencian gelap yang mengakar, membuatnya ingin melihat takdir Arin berubah, ingin melihat Arin mengalami kejatuhan dari seluruh kejayaan akademiknya.
Benci yang awalnya sekadar ditunjukan lewat tatapan sinis dan respon buruk mulai menjadi rencana jahat. Yaitu menggagalkan mimpi-mimpi Arin, memajukan klub biologi, masuk sekolah kedokteran. Bona ingin membuat Arin frustasi dan tertekan, sehingga perempuan itu tidak lagi merasa bisa menggapai mimpinya.
Bona memaksa sepupunya, Jibar, yang memang tergabung dalam penelitian itu untuk berkhianat. Melaporkan setiap kegiatan Arin kepadanya.
Awalnya, Jibar selalu menolak Bona. Sedari awal bergabung dengan klub, Jibar tulus ingin memajukan klub biologi. Dia tidak pernah berniat mengkhianati kawan-kawannya, apalagi Arin, ketua klub yang dihormatinya. Tetapi, Bona mengancam jika Jibar tidak menuruti kemauannya, surat rekomendasi kelulusan Jibar akan dia manipulasi sehingga ayahnya tidak mau mengeluarkan itu. Mengancam masa depan Jibar, membuat pria itu sama sekali tidak bisa menolaknya.
Bona mulai mengorek informasi latar belakang keluarga Arin, mencari cara terbaik menjatuhkan Arin. Agar perempuan itu tidak lagi bisa fokus pada tujuan akademiknya agar Bona bisa menyalip dan mengalahkan Arin. Agar Bona bisa mendapatkan kebebasan yang dia impikan, agar ayahnya berhenti membandingkan Bona dengan Arin.
Keluarga Arin adalah keluarga kelas menengah, mampu menyekolahkan Arin di sekolah yang bagus dengan bekerja keras. Namun, dilihat dari latar belakang itu, sepertinya keluarganya belum cukup untuk membiayai sekolah kedokteran. Bona lah orang yang meminta wali kelas XII IPA 1 untuk menyelipkan pembahasan tentang dana pendidikan sekolah kedokteran Arin saat pembagian rapor pada kedua orang tuanya. Agar keluarga mereka membahas ulang betapa mahalnya biaya sekolah kedokteran itu, agar Arin tidak fokus untuk belajar lagi. Setidaknya satu semester saja, satu semester sebelum lulus, Bona harus bisa mengalahkan Arin.
Tapi Bona tidak menyangka, orang tua Arin justru meledak karena pembahasan itu di ruang publik, di parkiran sekolah. Membuat rencana yang awalnya hanya ingin membuat Arin merasa tertekan karena keluarga akan kesulitan menyekolahkan dia ke sekolah kedokteran menjadi lebih kacau. Arin mengundurkan diri dari penelitian, menghilang selama satu minggu. Tidak ada tanda-tanda dia berniat kembali karena begitu sedih setelah tahu mimpinya mustahil.
Awalnya Bona merasa bersalah. Namun, sebagian perasaannya senang, dia tidak perlu mencuri penelitian itu untuk menjatuhkan Arin. Arin juga pasti akan mengalami kemunduran akademik setelah sadar perjuangannya sia-sia saja.
Tapi, ayahnya tidak merasa itu cukup sekalipun Bona sudah berusah payah membuat rencananya berhasil. Menurut ayahnya, Bona tetap belum membuktikan bahwa dia bisa sehebat Arin hanya karena Arin mundur dari perjuangannya.
“Aku yakin ayah sudah dengar, Arin dengan pengecut mundur dari penelitian. Dia juga tidak akan melanjutkan mimpinya karena merasa sia-sia sebab ekonomi keluarganya yang tidak mampu menyokong. Sekarang, aku terbukti menjadi yang terbaik di sekolah, kan? Ini sudah cukup, kan, Ayah?” Tanya Bona pada ayahnya saat makan malam di mana dia tahu dari Jibar bahwa Arin telah mengundurkan diri sebagai ketua klub biologi. Dia begitu berseri-seri, siap mendapatkan kebebasannya malam ini.
Namun respon yang dia dapatkan tidak sesuai ekspetasi. Ayahnya menggeleng tegas dengan wajah gusar.
“Mundurnya Arin dari klub biologi bukan indikator kemenanganmu, Bona. Selain itu, mundurnya dia penyebabnya adalah masalah pribadi, bukan karena kau lebih unggul. Kau masih jauh dari kata berhasil. Berjuanglah lebih keras. Lakukan sesuatu yang hebat seperti yang anak itu lakukan.”
Harapan Bona, setidaknya jika Arin jatuh, dia berharap tekanan dari orang tuanya akan berkurang sedikit dan dia tidak lagi dibandingkan.
Tapi tidak, dengan santai, ayahnya membandingkan mereka. Bona hanya belajar, Arin sudah menghasilkan. Menghasilkan sesuatu yang bisa diakui karena otaknya yang cemerlang. Lagi, ayahnya hanya terus memperhatikan Arin. Tidak pernah melihat ke arahnya, menghargai usahanya.
Didorong kemarahan, Bona memaksa Jibar ikut dengannya untuk mencuri penelitian itu satu minggu sebelum pameran. Penelitian yang menggabungkan usaha seluruh anggota, dicuri Bona hanya karena dia merasa marah.
Dia harus membuat Arin jatuh sejatuh-jatuhnya.