Loading...
Logo TinLit
Read Story - DocDetec
MENU
About Us  

Hari ini sungguh panjang bagi Arin, dan dia merasa cukup lega belum bertemu kedua orang tuanya.

Pukul sembilan malam saat Arin tiba di rumah, lampu masih padam, menandakan belum ada siapa pun yang pulang sejak pagi. Ini memang hal yang biasa, orang tuanya selalu berangkat sebelum dia bangun dan kembali setelah dia terlelap. Namun, kali ini, Arin merasakan kelegaan tersendiri dengan suasana yang kembali normal.

Arin belum siap menghadapi orang tuanya. Jujur saja, meskipun sebelumnya dia begitu marah, ada sedikit rasa malu atas sikapnya yang mengurung diri selama seminggu penuh karena kekecewaan. Arin sadar, dia bukan lagi seorang anak kecil. Orang tuanya selalu bekerja keras demi memastikan dia bisa terus bersekolah. Pikiran inilah yang sempat membuatnya termenung dan tergerak tadi malam, terutama setelah kedatangan Han. Terkadang, Arin luput menyadari pengorbanan mereka karena terlalu fokus pada mimpinya. Mungkin, orang tuanya sudah melakukan yang terbaik. Satu-satunya yang masih mengganjal adalah perdebatan mereka di sekolah waktu itu, yang membuat Arin merasa malu untuk kembali menginjakkan kaki di sana. Selebihnya, Arin menyesal. Dia tak bisa selamanya keras kepala dan terus membebani orang tuanya. Seharusnya, Arin bersikap lebih dewasa.

Arin belum siap bertatap muka dengan ibu dan ayahnya yang tak henti mengantar makanan ke depan pintu kamarnya selama ia mengurung diri. Mereka bahkan sempat tak bekerja beberapa hari hanya untuk membujuknya. Untungnya, hari ini mereka sudah kembali bekerja seperti biasa. Mungkin ini berkat pesan yang Arin kirimkan tadi malam kepada orang tuanya, saat Han memanjat kamarnya, bahwa dia akan kembali sekolah hari ini.

Selain itu, Arin juga merasa bersalah kepada seluruh anggota tim peneliti. Dia merasa bertanggung jawab atas penyelidikan dan pameran, namun karena masalah pribadi, dia sempat menghilang dan mengacaukan banyak hal. Arin bertekad untuk meminta maaf dengan tulus dan membicarakan masalah ini nanti bersama orang tua serta anggota timnya. Namun saat ini, Arin sangat membutuhkan istirahat. Seluruh tubuhnya terasa lelah, dan besok ia harus bangun pagi untuk melanjutkan penyelidikan. Arin akan menyelesaikan satu per satu masalah yang dia ciptakan melalui penyelidikan ini, setelah itu, dia akan kembali menata mimpinya.

 

Malam pukul sepuluh, harusnya Arin sudah bisa beristirahat dengan tenang setelah mandi, bebersih, dan merapikan kamar. Hari ini sungguh hari terpanjang dalam hidupnya. Tidak pernah dia menjalani hari dengan menginterogasi kawan-kawannya sendiri, menyusup masuk ke sekolah pada malam hari untuk mencuri sebuah dokumen dari ruang kepala sekolah, dan bersandiwara layaknya orang gila yang meremukkan seluruh tulang di tubuhnya.

Baru saja Arin merebahkan tubuhnya di kasur, dering telepon membuat dia harus mengangkat tubuhnya lagi dan mengambil ponsel di meja.

Arin merasa puas dengan hasil penyelidikan hari ini, pun kegiatan melelahkan yang mereka lakukan, itu seru. Tapi sekarang dia mau berteriak. Tubuhnya lelah, otaknya juga lelah. Butuh segera istirahat dan seharusnya tidak diajak berpikir lagi. Telepon yang masuk adalah telepon dari wakil ketua di klub biologi, Han. Han yang sudah pasti ingin membahas sesuatu soal penyelidikan yang mereka kerjakan seharian ini.

Begitu telepon diangkat, Arin menarik napas dalam-dalam dan bicara tanpa jeda.

“Han, aku tahu kau bersemangat, tapi apapun yang mau kau bahas ini, bisakah kita urus besok saja? Kumohon pergilah tidur. Aku mohon. Kepalaku sudah mau pecah dan badanku remuk karena meronta-ronta selama lima belas menit seperti orang kesetanan, memanjat pagar pembatas dan hampir terlempar dari lantai tiga. Biarkan aku istirahat! Bukankah kau tadi sudah mengantuk dan sempat tidur di bus sampai Ryan harus memapahmu? Apa yang membuatmu meneleponku lagi jam segini?”

Dari seberang terdengar suara Han yang terkekeh samar mendengar omelan Arin. Arin rasanya ingin menjambak rambut ikal juniornya itu detik ini juga.

“Aku belum bisa tidur nyenyak kalau belum mempersempit daftar tersangka. Kak… berdasarkan dokumen ini, ukuran sepatu Davine adalah 37…”

“Naila?” Arin mengerjap, menegakkan punggung, otomatis bertanya.

“35...”

 

***

 

Pagi hari, tanggal tujuh Desember, pukul tujuh enam belas. Arin membelokkan arah langkahnya ke gedung laboratorium dengan ritme cepat untuk bertemu Bulan.

“Bulan, aku minta maaf baru mampir, kemarin di ruang bukti sangat sibuk sampai-sampai aku tak sempat menemuimu.” Arin memulai pertemuan dengan cerita setelah menyapa Bulan yang sudah mengisi satu kursi laboratorium. “Bagaimana kondisi di sini?”

Bulan menyerngit, tidak menjawab pertanyaan Arin dan malah bertanya balik. "Ruang bukti? Apa itu?"

"Ruang yang kami gunakan untuk penyelidikan." Arin menjelaskan. "Kami berkumpul dan menyimpan salinan dokumen terkait penyelidikan di sana. Kami sudah mengecek bukti rekaman dan mendiskusikan perihal tersangka lebih dalam. Sejauh ini, kami berhasil mempersempit tersangka. Semalam Han menelponku, katanya dari 445 tersangka sudah lebih sedikit jadi 16 tersangka saja."

Bulan menatap Arin sebentar kemudian terkekeh. "Sekarang kau jadi mirip detektif betulan, ya? Rasanya lucu melihatmu serius membicarakan hal lain selain belajar."

Arin mengerjap, kemudian ikut terkekeh. "Hei, aku juga sering membahas hobi dan film favoritku dengan serius juga, ya! Lagipula, mana mungkin identitasku berubah hanya dalam satu hari begitu..."

"Tapi ini terasa berbeda, sebab kau serius sekali mengerjakannya. Tampaknya penyelidikan kalian seru, maka dari itu kau seperti menyiksa Kanali karena menyuruhnya meneliti ulang bersamaku."

Mendengar itu, Arin memandang Bulan dengan wajah bingung. "Loh? Aku memilih dia karena kemampuannya hebat. Dia sama telitinya seperti kau. Kau ingat, saat kita semua mencoba memotong daun setipis mungkin agar kita bisa melihat struktur daun matoa untuk penelitian? Hasil irisan daun Kanali adalah yang hasil irisannya paling tipis dan bagus. Aku sendiri sudah mencoba berkali-kali dan sulit sekali untuk berhasil." Arin menghela napas. "Seharusnya dia senang meneliti ulang, duduk di laboratorium, tidak perlu berlari ke sana kemari. Penyelidikan ini sungguh melelahkan. Semalam aku baru sampai di rumah pukul sembilan, untung saja orang tuaku belum pulang jadi aku tidak ditanya-tanya apa yang kulakukan di sekolah sampai pulang selarut itu."

"Justru Kanai mau melakukan hal melelahkan itu. Kanali, kan, anak yang suka tantangan. Dia pasti tidak nyaman harus bekerja denganku. Kenapa harus kau masukkan dia dalam timku? Aku bisa mengerjakannya sendiri."

"Tidak, tidak." Arin menggeleng tidak setuju. "Justru menyenangkan bisa bekerja denganmu. Kau itu rekan yang hebat, pengalamanmu banyak karena dulu kau sering ikut orang tuamu ke laboratorium. Aku punya alasan kenapa memilihmu dan Kanali. Lagipula, katanya, dia mau jadi ilmuwan. Bukankah sangat bagus kalau dia punya kenalan seperti kau? Dia bisa belajar banyak."

Arin mempercayakan Bulan bukan tanpa alasan. Perempuan itu benar-benar punya banyak pengalaman dan familiar dengan laboratorium. Ibu Bulan adalah seorang peneliti pangan, sementara ayahnya adalah seorang pilot. Sejak kecil, dia sering dibawa ke laboratorium oleh ibunya karena kedua orang tuanya jarang di rumah. Jadi, dia sangat memahami apa saja yang terdapat di laboratorium ilmuwan asli meski menjelang dewasa, Bulan tak mampir sesering dulu. Dia hanya ke sana kalau ingin melihat-lihat, mempelajari sesuatu, atau menemui orang tuanya saja.

"Tapi..."

Arin meletakkan jari telunjuknya di bibir Bulan, memintanya berhenti berdebat.

"Tidak ada lagi perdebatan tentang ini. Pokoknya, kau bisa ajari dia dengan baik. Aku tahu kau bisa kerjakan sendiri, tapi, pekerjaannya akan lebih cepat selesai kalau kau kerjakan berdua dengan Kanali. Dia bisa membantumu, kau bisa mengajari dia. Oke?"

Bulan akhirnya mengangguk pasrah.

"Apa ada yang kau butuhkan lagi? Itu buku referensi yang kubawa dari rumah, barangkali kau membutuhkannya untuk tambahan laporan penelitian. Tolong buat lebih baik dari yang sebelumnya, ya?" Pinta Arin sambil mengeluarkan dua buah buku dari ranselnya.

"Tentu akan kuusahakan yang terbaik. Selain itu, tidak ada yang kami butuhkan. Kami sudah mendapatkan ekstrak daunnya. Kita tidak kekurangan dana karena aku meminjam alat-alat yang rusak dari laboratorium ibuku. Semua aman."

Arin membelalak.

"Sudah dapat ekstrak daunnya? Bukankah seharusnya dikeringkan dulu? Itu seharusnya butuh waktu lebih lama... Kau menggunakan apa?"

"Aku pakai oven, kok."

Ah, teknik pengeringan instan rupanya. Arin ber-oh ria kemudian mengangguk.

"Kau betul-betul tidak butuh bantuan? Kalau memang butuh, kau bisa memanggilku kapan saja. Kami sudah berjalan cukup jauh, jadi tidak masalah kalau kau memanggilku. Kau ingat, kan, aku bertanggung jawab untuk dua tim?"

Bulan mengangguk yakin. "Iya, tidak ada masalah. Percayakan ini padaku."

Arin mendesah lega. "Syukurlah, tidak salah aku percayakan ini padamu. Nanti kalau sempat, kau akan kuhubungi lagi. Hari ini kami cukup sibuk karena kami akan membuntuti tersangka utama."

Bulan menyerngit lagi. “Kalian akan membuntuti orang?”

 

***

 

Semakin siang, sekolah terasa semakin sibuk. Separuh siswa mengikuti class meeting, separuhnya lagi sibuk mempersiapkan parade. Semua orang hilir mudik dengan kegiatan dan keseruan masing-masing, termasuk Bulan dan Kanali di laboratorium, juga Arin dan tim detektif di ruang bukti.

 

Mari kita berfokus pada aktivitas sekumpulan orang di ruang bukti.

Jibar dan Ryan tidak begitu terkejut saat Han memberitahu ukuran kaki tersangka utama mereka.

"Aku sudah memperkirakan dari tinggi badan Kak Naila dan Davine. Tapi aku tak mencurigai mereka." Ujar Ryan menjabarkan alasan dia tidak terkejut.

"Aku cukup yakin mereka memang punya keterlibatan kuat dalam pencurian ini." Jibar juga memberitahu alasan dia tidak terkejut, membuat Han mendecih karena komentarnya itu tidak didasari fakta.

 

Han mencetak tiga lembar kertas salinan tersangka dengan ukuran kaki 35 sampai 37 dan membagikannya pada anggota tim. Arin memintanya untuk menjabarkan dugaannya pada setiap tersangka.

"Sebetulnya, hanya ada lima orang yang masuk radarku." Han membuka diskusi.

"Nama yang tidak kuberi tanda silang adalah nama yang tidak aku curigai sama sekali. Tanda silang mencapai 16 orang."

Daftar tersangka dengan ukuran kaki 35 sampai 37:

1. Tania Yugirada: 35 ❌

2. Hamin Karaio: 37 ❌

3. Pinna Algian: 35 ❌

4. Tare Firdiansyah: 36 ❌

5. Ghea Indri: 37 ❌

6. Naila Akina: 35 ✅

7. Zafian: 36 ❌

8. Jian Tamtama: 37 ❌

9. Alfahri Ghian: 37 ❌

10. Dion Arezha: 37 ❌

11. Zea Samira Adinda: 36 ❌

12. Bora Marino: 37 ❌

13. Nana Niswaya: 35 ❌

14. Fina Narian: 35 ❌

15. Tutun Hamid: 36 ❌

16. Muhammad Haji Abi: 37 ❌

17. Wenny Rizkyan: 36 ❌

18. Davine Ariska: 37 ✅

19. Narana Ias: 35 ✅

20. Rafli Izqaq: 37 ✅

21. Nanda Madara: 36 ✅

 

"Dengan adanya daftar ukuran kaki ini, kita bisa membuang nama tersangka yang tidak memenuhi ciri-cirinya. Orang-orang yang kucentang adalah orang-orang yang tergabung dalam klub, karena menurutku mustahil para tersangka lain berkaitan dengan hilangnya penelitian kalau mereka tidak punya minat terhadap biologi. Namun, ada satu yang kucentang meski dia bukan anggota klub. Yaitu si Nanda Madara. Dia kawan Davine yang orang tuanya dokter dan tahu bahwa penelitian itu bisa dijual."

"Kerja bagus, Han. Dengan begini, tersangka jadi lebih sedikit. Tapi, kita tetap harus memastikan orang-orang di luar klub yang tidak berminat ini betul-betul tidak ada kaitannya dengan kita."

"Kalau begitu, apa rencana kita, Kak? Kalau belum bisa dipersempit menjadi lima, artinya kita harus menyelidiki 16 orang lagi. Itu akan memakan waktu dan mencurigakan mendekati orang yang sepertinya tidak ada kaitan dengan kita."

Arin menggeleng. "Tidak perlu, Kok. Kita akan membuntuti lima orang ini saja, atau bahkan cukup dua saja. Karena sisanya akan kuserahkan pada orang-orang yang aku percaya."

Jibar menyerngit, orang lain?

"Memangnya tidak masalah jika melibatkan orang lain dalam penyelidikan rahasia ini?"

Arin tersenyum kecil, wajahnya terlihat sangat yakin.

"Kau akan percaya padaku setelah tahu siapa yang akan kuminta terlibat di sini."

 

Arin membawa dua orang yang berada di luar dugaan semua anggota tim detektif. Dia membawa Aleen Difariz dan Tania Jinu.

Aleen adalah siswa kelas dua belas dari jurusan sebelah, yakni IPS 1. Dia benar-benar seperti hewan kapibara karena sifatnya yang bisa akrab dengan siapapun yang dia temui. Dia mengenal nyaris seluruh penduduk sekolah dan mereka pun mengenal Aleen. Aleen sangat ahli berbicara dan Arin selalu menobatkan Aleen sebagai orang paling seru yang pernah dia kenal.

Pertemuan pertama keduanya sungguh tidak terduga, terjadi di hutan, saat persami di semester satu kelas sepuluh. Arin berkenalan dengan Aleen saat pria itu terluka karena tersesat kemudian tersandung di hutan. Kakinya robek akibat batang pohon yang tajam. Arin lah orang yang saat itu menemukan dan membalut lukanya selaku anggota PMR.

Sejak saat itu mereka sering mengobrol dan Arin mendapat banyak kenalan dari Aleen.

Aleen adalah sosok yang bisa dipercaya. Mereka saling mengenal dua tahun lamanya. Menurut Arin, itu cukup untuk mengenal bagaimana pribadi Aleen yang seru dan setia pada janjinya. Aleen bersedia membantu karena merasa dia berhutang pada Arin yang membantunya saat itu.

Arin juga mengajak Aleen karena pria itu suka tantangan. Hal ini akan menjadi kesenangan buat Aleen di tengah latihan basket ketat yang aktif dia lakukan untuk pertandingan semester depan. Arin yakin Aleen bisa melakukan apa yang dia minta. Sebab, kalau mengobrol dengannya, siapapun akan merasa nyaman dan tidak kehabisan topik karena Aleen tahu apapun tentang segala sesuatu yang sedang tren. Sepertinya, orang pun tanpa sadar akan membagikan informasi yang Aleen cari.

Aleen Difariz, si kapibara sekolah, akan terlibat dalam penyelidikan.

Arin menjelaskan bahwa Aleen lah yang akan bertugas menyelesaikan 16 orang itu sendirian dan mengorek informasi tentang mereka sebanyak-banyaknya.

Sementara Arin juga membawa Tania Jinu, siswa kelas 11 IPA 3, anak dari koki di kantin. Arin dekat dengan Jinu sejak awal anak itu masuk sekolah. Sekalipun berada di angkatan yang berbeda dan Jinu tidak tergabung dalam klub biologi, Arin bertemu Jinu setiap hari karena masakan Ibu Jinu adalah kesukaan Arin. Setiap koki punya stan sendiri, dan stan favorit Arin adalah stan milik Ibu Jinu. Selain murah, Ibu Jinu juga sangat ramah. Arin sama sekali tidak keberatan saat Ibu Jinu memintanya berkenalan dengan Jinu yang saat itu sangat pemalu. Kini mereka sudah sangat akrab dan aktif bertemu di kantin. Jinu tidak menginginkan imbalan apapun. Jinu bilang, mereka kawan dekat, tidak perlu balasan. Anggap saja Jinu sedang balas budi karena Arin berhasil membuatnya tidak menjadi anak yang begitu pemalu seperti saat masuk dulu.

Jinu tidak seperti Aleen yang bisa menempel di mana saja seperti bunglon ataupun akrab dengan siapa saja seperti kapibara dan handal menyesuaikan diri, tapi Jinu yang selalu duduk di kantin saat menemui ibunya punya telinga yang tajam. Dia punya seribu satu gosip yang tidak orang tahu tentang anak-anak di sekolah yang suka mengobrol di dekat dapur kantin. Juga, satu keunggulan lain, tiga orang yang diserahkan pada Jinu, dia mengenal ketiganya.

Jinu akan bertugas membututi tiga orang sepantarannya yang masuk daftar tersangka utama, yakni Narana Ias, Rafli Izqaq, dan Nanda Madara.

"Rencana kita hari ini adalah memeriksa dugaan dan memperkecil lagi daftar tersangka. Kita harus bergerak lebih cepat."

"Berarti, tim detektif hanya akan membuntuti dua orang? Kak Naila dan Davine?"

"Benar, karena dari delapan tersangka utama yang berasal dari tim anggota inti yang sepenuhnya memahami nilai penelitian, hanya mereka berdua yang memiliki ukuran kaki antara 35 sampai 37. Maka dari itu, sesuai yang kukatakan kemarin, kita akan memfokuskan penyelidikan pada mereka."

Jibar menyentuh lengan Arin, berbisik pelan. “Kau yakin bisa mempercayakan ini pada mereka, Kak? Aku kenal mereka berdua, sih, mereka punya banyak kenalan. Tapi, kau yakin mereka takkan buka mulut atau keceplosan membicarakan penyelidikan rahasia ini?”

"Alih-alih curiga, kau akan berterima kasih atas bantuan dan keahlian mereka nanti."

Aleen mendekat kepada Arin dan Jibar yang sedang mengobrol.

"Bisa kuganggu sebentar? Arin, aku perlu bicara denganmu."

Arin mengangguk, meminta tim detektif dan Jinu menunggunya bicara dengan Aleen sebentar. Sebelum pergi dengan Aleen, Arin sempat melingkari sebuah nama dari salinan kertas nama tersangka dengan ukuran kaki 35 sampai 37 miliknya. Setelahnya, mereka keluar dari ruang bukti untuk berbicara pribadi di ujung koridor lantai tiga, lokasi Arin berakting kesurupan kemarin malam.

"Apa?"

"Kau yakin menangkap pencurinya akan mengembalikan penelitianmu? Maksudku, aku tetap akan mengerjakan tugas yang kau beri ini. Tapi aku butuh memastikan, apa bantuanku ini akan berguna nantinya. Kalau kita berhasil menangkapnya, lantas apa? Kalau penelitiannya sudah dihancurkan atau dijual bagaimana?"

Arin memang belum menjelaskan secara rinci terkait rencana dan perjalanan mereka pada Aleen dan Jinu, dia hanya memberitahu garis besarnya saja. Tapi pertanyaan yang dilontarkan Aleen saat ini, memang belum dia jawab pada siapapun yang bertanya.

Semua orang yang terlibat dalam penyelidikan pastilah mengarahkan mata mereka pada Arin, menunggu perintah, menunggu jawaban dan kepastian karena dialah yang memimpin penyelidikan.

Tapi sampai sekarang, Arin memang belum menjawab kepastian yang dibutuhkan timnya maupun orang yang dia minta untuk membantu tentang apakah mereka benar-benar bisa menangkap pelakunya jika menyelesaikan penyelidikan.

"Pertanyaanmu ini sama dengan pertanyaan anggota timku. Ada satu pertanyaan yang belum kujawab meski mereka mendesak. Inilah pertanyaan itu. Bagaimana cara mendapatkan kembali penelitian dari si pencuri? Bagaimana membuat si pencuri mengaku? Dan bagaimana kalau pencurinya sudah membuang, menghancurkan, atau menjual penelitiannya?"

Arin menatap Aleen, menggeleng pelan. Dia selalu punya jawabannya, namun tidak bisa mengatakan itu pada timnya.

"Itu tidak akan terjadi, Aleen. Bantuanmu hari ini akan sangat-sangat berguna, percayalah. Penelitian itu aman. Karena sejak awal aku sudah tahu, pencurinya adalah orang yang punya ego tinggi dan tidak akan menyentuh penelitian itu untuk hal yang dia sendiri akan malu untuk melakukan hal itu dengan tangannya."

“Seberapa yakin kau dengan dugaanmu ini?”

“Aleen, kau mengenal aku. Aku takkan bertarung pada pertandingan yang takkan kumenangkan. Sekarang, aku sedang bertarung soal harga diri dengan si pencuri.”

 

***

 

Ada tiga hal yang jadi poin utama mengapa Davine dan Naila menjadi orang yang perlu dibuntuti secara diam-diam untuk mengetahui apakah mereka pelakunya atau bukan.

Pertama, mereka adalah anggota inti yang keluar setelah penelitian menghilang.

Kedua, jawaban wawancara keduanya menunjukkan keadaan saling tuduh yang menimbulkan ambiguitas.

Ketiga, ciri-ciri mereka sesuai dengan ciri-ciri tersangka yang ditemukan oleh saksi.

 

Pada operasi ini, tim detektif terpecah lagi. Tapi kali ini Arin pergi dengan Han untuk membuntuti Naila sementara Ryan dengan Jibar pergi membuntuti Davine. Tersangka yang tersisa diserahkan pada Jinu dan Aleen.

 

Pukul sembilan, Arin dan Han sudah duduk di kursi paling belakang perpustakaan sekolah, membuntuti Naila yang tidak mengikuti class meeting dan belajar di sana.

Dua jam mereka berada di sana, tidak ada kegiatan berarti yang dilakukan Naila. Dia belajar dengan fokus, membaca buku sukses tes UTBK, mengenakan airpods di telinga. Selama dua jam itu, Naila sepertinya sudah membaca tiga puluh halaman dan mencoba mengerjakan lima puluh soal latihan. Tangannya gesit, matanya fokus, tidak menyadari sama sekali ada yang membuntuti dan memperhatikan gerak-geriknya.

Pukul sebelas, dia keluar dari perpustakaan, meninggalkan barang-barangnya dan pergi ke kantin. Naila makan bakmi goreng dan minum kopi kaleng sekitar lima belas menit di kursi dekat pintu masuk kantin sendirian, kemudian kembali lagi ke perpustakaan, belajar lagi hingga pukul dua belas.

Ketika bel berbunyi, Naila pulang sesuai jadwal, tidak mampir kemana-mana. Arin dan Han mengikuti Naila sampai rumah menggunakan bus. Pukul satu siang, keduanya duduk di taman komplek perumahan Naila yang tak jauh dari rumah perempuan itu, menunggu gerakan mencurigakan si tersangka. Tapi Naila tidak keluar rumah sama sekali sampai pukul empat sore. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu.

Han yang duduk di ayunan taman menyenggol bahu Arin yang duduk di ayunan sebelahnya. Atas perintah Arin, keduanya mengenakan masker dan topi sebab dalam mode penyamaran. Jadi, mereka tidak perlu repot-repot bersembunyi selama menunggu Naila.

"Aku paham sekarang kita sedang bertingkah seperti detektif, tapi aku bosan setengah mati, Kak. Memangnya tidak ada lagi yang bisa kita lakukan?"

"Memang tidak ada. Dia tersangka utama, kita harus terus memantau. Setidaknya, kita harus berjaga-jaga kalau dia membawa penelitiannya pergi."

Han menyerngit. "Memangnya itu mungkin? Bukannya yang bisa dijual hanya laporannya?"

Arin diam, tidak punya jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaan Han. Han menatap Arin lamat-lamat, menyadari ada yang disembunyikan oleh seniornya.

“Sebenarnya kita membuntuti Kak Naila buat apa? Kalau penelitiannya ternyata sudah dijual bagaimana? Kita tidak punya alasan lagi untuk mengikuti dia.” Han bertanya penasaran. Arin berdeham, pertanyaan ini lagi.

“Belum, penelitiannya belum diapa-apakan.”

Han menaikkan alis bingung. “Kenapa kau bisa begitu yakin, Kak?”

Baiklah, Arin juga akan menjelaskan sedikit pada Han.

“Begini, Han, aku akan menjelaskan apa yang membuat aku menyetujui permintaanmu untuk bergabung malam itu. Karena dari awal sebetulnya aku sudah menduga siapa saja yang menjadi tersangka dan siapa orang yang aku rasa adalah pencurinya. Aku sudah tahu cara mendapatkan penelitian kita kembali. Hanya saja, kenapa perlu melakukan ini? Karena aku tidak boleh menuduh orang tanpa dasar. Kita perlu menemukan bukti agar penelitian itu bisa kembali ke tangan kita.”

“Aku masih belum paham.”

Arin berdiri dari ayunan. “Kau tidak perlu memahaminya. Nah, sekarang kita perlu bergerak lagi kalau tidak mau kehilangan tersangka utama dan bukti kita.”

Han mengerjap bingung.

“Mobil Naila baru saja lewat, dia keluar diantar Ayahnya. Tepat saat kau minta penjelasan tadi.”

Han refleks berdiri, siap hendak mengejar mobil itu, namun Arin menahannya.

“Jangan dikejar! Aku tidak minta kau mengejarnya.”

“Lantas apa yang harus kita lakukan?” Han terlihat panik.

Arin menunjuk pos satpam komplek yang terdapat di sebelah gerbang masuk, tak jauh dari taman. Di pos tersebut, mereka bisa melihat ada seorang satpam paruh baya dengan seragam hitam yang duduk sambil minum kopi hitam dan menyantap pisang goreng, bersantai.

Han menatap Arin bingung, memang ada apa dengan pos tersebut?

Arin menghampiri pos tersebut sembari melepas masker dan topinya. Han segera mengikuti Arin dengan kegundahan di hati.

"Permisi, Pak. Selamat sore." Arin menyapa dengan suara ramah, senyum mengembang lebar di bibirnya. Han turut menyapa di belakang Arin, menundukkan kepala sopan. Apalagi rencana aneh yang terlintas di kepala seniornya ini?

"Oh, ya, selamat sore. Ada butuh apa?" Satpam tersebut balas menyapa dengan senyum.

Dari responnya, sepertinya satpam tersebut tidak menyadari mereka bukan penghuni komplek.

"Kami bukan penghuni di sini, tapi kami hendak berkunjung ke rumah sepupu kami yang tinggal di rumah nomor A9. Saat kami sampai, mobilnya tidak ada. Apakah mereka pergi keluar?"

Satpam tersebut mengangguk. "Oh, penghuni A9, ya? Ya, mereka baru saja keluar. Apakah kalian tidak melihat mereka atau mereka tidak melihat kalian?"

Arin menggeleng pelan. Tersenyum kecut. "Kami belum mengabari hendak mampir sebetulnya. Sepupu kami yang tinggal di sana itu berulang tahun tanggal tiga kemarin, jadi kami datang tanpa mengabari untuk memberi kejutan. Semalam pun begitu, juga malam sebelumnya lagi. Pokoknya, kami terus mampir beberapa hari ini, berusaha mengejutkan dia. Tapi tidak pernah ketemu waktu yang pas. Setiap mampir, dia tidak di rumah."

Si satpam menatap Arin bingung, muncul raut curiga di wajahnya. Han jadi was-was.

"Kenapa aku tidak melihat kalian datang?"

"Mungkin bapak melupakannya." Arin beralasan. Han hampir tersedak.

"Iyakah..." Melihat bagaimana satpam itu bahkan tidak menyadari Arin masuk ke komplek dengan Han tadi, Arin sudah menduga satpam tersebut tidak begitu awas dengan lingkungannya. Sehingga, mudah untuknya melancarkan aksi. Dia sudah memikirkan rencana ini sejak mereka menunggu di taman tadi.

"Terkecuali tiga hari lalu, Pak. Kami tidak mampir karena hujan. Apa saat itu dia ada di rumah?" Arin bicara seolah baru teringat sesuatu. Han menduga, inilah informasi yang ingin Arin dapatkan.

Si satpam menggeleng. "Tidak. Saya mengingatnya karena tidak ada penghuni komplek yang pergi keluar malam itu. Hanya penghuni rumah A9 yang pergi menggunakan mobil saat hujan."

Arin berdecak, "Untunglah kami tidak memaksakan diri untuk datang malam itu. Dia tidak di rumah juga rupanya..."

"Lantas, kalau tidak menemukan waktu yang cocok, kenapa kalian tidak meneleponnya saja untuk membuat janji? Tapi jangan diberitahu bahwa itu untuk kejutan ulang tahun." Sang satpam memberi usul.

Arin menggeleng, "Tidak bisa, Pak. Nanti ketahuan. Anak muda sangat peka, loh, terhadap hal seperti ini... Kejutan itu tidak boleh tertebak sama sekali."

"Tapi penghuni A9 memang sering keluar saat malam ataupun sore. Agak sulit menemui mereka. Kenapa tidak menemuinya saat siang?" Si satpam bertanya lagi. Sepertinya, dia tidak lagi begitu curiga saat Arin menyebutkan kata kunci ‘anak muda’ yang belakangan memang suka bertindak di luar dugaan orang dewasa.

Arin tahu itu. Naila pernah memberitahunya bahwa dia juga mengambil kelas sore untuk persiapan masuk perguruan tinggi, jadi, dia pasti selalu pergi keluar diantar oleh ayah dan ibunya jam segini.

“Kami pergi ke sekolah saat siang, Pak, itulah kenapa kami hanya mampir saat sore atau malam seperti sekarang ini. Lagipula, kejutan kami ini cocok sekali kalau dilaksanakan di malam hari.” Arin tersenyum usil.

“Ah, begitu. Anak muda jaman sekarang memang ada saja ya tingkahnya.” Si satpam berkomentar.

“Kalau begitu, kami akan memikirkan cara lain agar tidak sia-sia begini besok. Terima kasih, Pak. Kami permisi! Mohon jangan beritahu dia kalau kami mencari, ya? Nanti kejutannya gagal.” Arin menyalim satpam tersebut, Han dengan kikuk mengikuti.

Kemudian keduanya pergi meninggalkan komplek perumahan tersebut menuju halte bus terdekat.

“Sudah kubilang kita pasti akan dapat sesuatu, kan?”

Han mengangguk cepat, bertepuk tangan. “Rencanamu keren, Kak! Dengan ini, kita mendapat bukti tambahan dan sepertinya Davine benar, pelakunya bisa saja Kak Naila.”

 

***

 

Di sisi lain hari ini…

Sesuai apa yang dikatakan Arin, Davine memang mencurigakan, namun alibinya lebih masuk akal dibandingkan Naila. Sepanjang Ryan dan Jibar membuntuti Davine, tidak ada yang aneh. Davine menjalani aktivitasnya seperti biasa. Dia sampai di sekolah pukul tujuh, mengikuti aktivitas class meeting, membaur dengan anak kelas lain dan melihat stan milik klub memasak, menonton siswa klub olahraga berlatih basket, mengobrol sambil menyantap sate dengan kawan-kawannya di kantin, pulang sesuai jadwal ke rumah. Dia tidak keluar sama sekali sampai sore ketika Ryan dan Jibar menungguinya di warung depan rumah Davine.

Mereka diminta membuntuti tersangka sampai pukul lima sore. Sambil menyedot es tebu yang tinggal ampasnya saja (dibeli saat pulang sekolah), Ryan bolak-balik mengecek jam di ponselnya. Davine tidak keluar rumah dan tidak menunjukkan perilaku mencurigakan.

Diam-diam, dua anggota ini juga bertanya-tanya apakah tindakan mereka ini ada gunanya.

Setelah membuang sampah Ryan bosan, dia ingin melakukan hal seru seperti kemarin.

Namun, tepat sebelum keduanya beranjak dari warung di depan rumah Davine karena jam sudah menunjukkan pukul lima, masuk pesan dari Han ke grup chat khusus tim detektif.

Han Adzirin (17.01): Kalian menunggu di warung, kan? Suruh Ryan mengobrol dengan pemilik warung. Tanyakan tiga hari lalu saat hujan Davine ada di mana atau apakah pemiliknya tahu sesuatu. Pokoknya, dapatkan informasi dari sana. Ryan pandai bicara, buatlah pertanyaan tersebut supaya terdengar alami.

Han Adzirin (17.02): Ini perintah Kak Arin.

 

Ryan berjingkrak, akhirnya ada hal yang bisa dia lakukan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
XIII-A
725      539     4     
Inspirational
Mereka bukan anak-anak nakal. Mereka hanya pernah disakiti terlalu dalam dan tidak pernah diberi ruang untuk sembuh. Athariel Pradana, pernah menjadi siswa jeniushingga satu kesalahan yang bukan miliknya membuat semua runtuh. Terbuang dan bertemu dengan mereka yang sama-sama dianggap gagal. Ini adalah kisah tentang sebuah kelas yang dibuang, dan bagaimana mereka menolak menjadi sampah sejar...
Taruhan
51      48     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Menanti Kepulangan
40      36     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Negasi
155      117     2     
Fantasy
"Manusia nggak bisa lihat jin?" Zoya terkekeh. "Periksa mata, sih. Buta kali." Dahi Rayna tampak berkerut. Dunia macam apa ini? Manusia di depannya ini waras atau tidak, sih? Sejak kesadarannya kembali, Rayna merasa seperti terbangun di dunia yang asing. Dunia aneh di mana jin terlihat berseliweran bebas tanpa bisa melihat manusia, justru dianggap normal. Terdampar di dunia asing tanpa ...
Fidelia
2069      890     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Sweet Like Bubble Gum
1072      768     2     
Romance
Selama ini Sora tahu Rai bermain kucing-kucingan dengannya. Dengan Sora sebagai si pengejar dan Rai yang bersembunyi. Alasan Rai yang menjauh dan bersembunyi darinya adalah teka-teki yang harus segera dia pecahkan. Mendekati Rai adalah misinya agar Rai membuka mulut dan memberikan alasan mengapa bersembunyi dan menjauhinya. Rai begitu percaya diri bahwa dirinya tak akan pernah tertangkap oleh ...
Guguran Daun di atas Pusara
505      347     1     
Short Story
She's (Not) Afraid
1937      859     3     
Romance
Ada banyak alasan kecil mengapa hal-hal besar terjadi. Tidak semua dapat dijelaskan. Hidup mengajari Kyla untuk tidak mengharapkan apa pun dari siapa pun. Lalu, kehadiran Val membuat hidupnya menjadi lebih mudah. Kyla dan Val dipertemukan ketika luka terjarak oleh waktu. Namun, kehadiran Sega mengembalikan semua masalah yang tak terselesaikan ke tempat semula. Dan ketika kebohongan ikut b...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
116      93     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Catatan Takdirku
1020      658     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...