Tidak lama setelah bel dipencet oleh Ryan, gerbang besi sekolah dibuka sedikit. Seorang satpam paruh baya yang sering berjaga malam melongok keluar untuk mengecek siapa yang datang. Arin segera mengenali wajah itu, itu Pak Anwar. “Malam, Pak.”
“Ada apa?” Melihat sosok Arin berdiri di sana, Pak Anwar bertanya datar, menduga ada sesuatu di balik kedatangan dua siswa yang berdiri di depan gerbang saat ini. Keduanya masih lengkap mengenakan seragam dan terlihat lusuh seolah sama sekali belum pulang ke rumah.
"Ada barangku yang tertinggal, Pak..." Setelah mengumpulkan tenaga, Arin mulai bersandiwara, menunjukkan wajah memelas.
“Kau dan kawan-kawanmu di sini sampai sore sekali. Kenapa bisa tertinggal?”
“Maafkan aku, Pak. Aku benar-benar lupa membawanya.”
"Tolong biarkan kami masuk, Pak. Barang kami yang tertinggal adalah barang untuk penelitian yang penting sekali. Kami meninggalkannya karena terburu-buru tadi, takut bapak hendak mengunci pintu dan marah pada kami. Hal tersebut terjadi juga karena saat ini jam malam tidak diberlakukan, kami tidak bisa lanjut mengerjakan penelitian di sekolah. Kami saat ini sedang lanjut mengerjakan di rumah Arin, namun baru menyadari adanya barang yang tertinggal. Aku yakin Pak Anwar sudah tahu kami sedang mengerjakan sesuatu untuk klub biologi, kepala sekolah juga pasti sudah bilang kami punya izin untuk mengerjakannya, kan? Bisakah bapak menemani kami masuk dan mengambil barangnya?" Ryan berbicara dengan nada lembut. Wajahnya sangat ramah dan meyakinkan, bahkan gaya bicaranya pun berubah. Arin dari sebelahnya juga mengangguk, berusaha meyakinkan. Dalam bujukannya, Ryan mengungkit peraturan baru itu, tidak diberlakukannya jam malam sebagai dasar kedatangan mereka saat ini. Itu alasan yang bagus.
Menjelang parade, siswa dan siswi pulang lebih cepat. Biasanya jam pulang sekolah adalah pukul tiga, tapi sekarang hanya sampai pukul dua belas siang. Mereka tidak lagi belajar karena sudah selesai melewati ujian semester. Karena peraturan sekolah sedikit diubah menjelang parade, class meeting yang seharusnya diberlakukan sebelum pembagian rapor justru dilaksanakan setelahnya demi mengisi kekosongan jadwal.
Peraturan ini diberlakukan agar siswa dan siswi bisa membantu mempersiapkan parade bersamaan dengan diberlakukannya class meeting. Selama class meeting, memang ada beberapa siswa yang masih melakukan kegiatan akademik seperti lomba dan olimpiade, ada juga yang berlatih seperti siswa dari klub olahraga sampai malam. Awalnya, kepala sekolah tidak masalah adanya dengan adanya kegiatan pada jam malam meski persiapan parade masih berlangsung. Tapi, peraturan jam malam sementara ditiadakan karena kasus pencurian itu. Untuk saat ini, siswa tidak boleh berada di sekolah mulai dari pukul lima sore sampai parade selesai agar tidak menimbulkan kekacauan tidak terduga lagi. Maka dari itu, Arin dan Ryan harus membujuk sang satpam dengan benar agar mereka diizinkan masuk.
"Barang apa yang tertinggal?"
"Dokumen laporan, Pak. Di ruangan tambahan yang kami gunakan seharian ini. Sore tadi bapak melihat kami pergi dari sana, kan?" Arin memberi jawaban yang tentu saja jawaban bohong.
"Apa tak bisa diambil besok pagi saja? Ini sudah larut." Pak Anwar mencoba melarang, dia tidak mau terjadi masalah.
Ryan menggeleng takzim, bibirnya menekuk ke bawah. "Tidak bisa, Pak. Kami butuh sekarang juga. Tolonglah kami, Pak. Kalau kami kerjakan besok, kami akan terlambat menyelesaikannya untuk pameran. Waktunya sudah semakin dekat."
Pak Anwar akhirnya mengangguk setelah beberapa detik berpikir. Dia berbalik untuk berbicara dengan rekannya sebentar kemudian membuka pintu gerbang sedikit lebih lebar.
"Masuklah. Akan saya temani mengambilnya ke sana."
Di luar dugaan, mereka bisa masuk tanpa bersusah payah lagi bersilat lidah. Padahal, Arin sudah menyiapkan jurus tambahan. Diam-diam, Arin menyeringai picik. Setelahnya dia melangkah masuk gerbang sambil berbisik untuk memberi kode pada Han melalui telepon yang tersambung.
“Kami sudah masuk.”
Dengan menenteng senter besar, Pak Anwar berjalan di belakang Arin dan Ryan menuju ruang bukti di lantai 3 gedung kelas formal untuk menemani. Lampu sekolah saat malam biasanya dinyalakan semua, tapi karena jam malam sudah tidak diberlakukan, banyak lampu yang dimatikan dan hanya menyala sedikit demi menghemat listrik karena tidak ada aktivitas siswa. Perjalanan menuju ruang bukti terasa suram, lampu koridor yang remang-remang membuat bulu kuduk berdiri.
Perjalanan di koridor lantai tiga membuat Arin sangat gugup. Bukan karena dia takut dengan suasana suram ini, tetapi karena pertunjukan sandiwaranya akan dimulai sebentar lagi.
Radius lima belas meter dari ruang bukti, langkah Arin memelan, dia mempertimbangkan waktu. Satu… dua… Pertunjukannya dimulai sekarang.
"Ryan..."
"Ya, Kak?"
"Malam ini agak dingin, ya... aku merasa ada sesuatu yang berhembus barusan. Jangan-jangan ada…"
Ryan membelalak, dia otomatis mundur dan mendekati Pak Anwar yang berjalan di belakang.
"Kak, jangan bercanda, deh. Ayo kita cepat menuju ke ruang kelas itu saja, ambil barang, lalu langsung pulang. Kau jangan bicara tentang setan denganku meski kau bisa melihatnya, ya?"
Pak Anwar menghela napas, memotong pembicaraan Arin dan Ryan. "Kalian tidak perlu terlalu mempedulikan hal mistis. Ayo. Lebih cepat jalannya, lebih cepat kita turun."
Tidak mempedulikan Pak Anwar, langkah Arin tambah pelan. Dengan suara gemetar, dia melirik ke belakang. "Aku tidak bercanda, Ryan..."
Tiba-tiba suara Arin menjadi serak, dia mengusap tengkuknya dengan ekspresi tidak enak. Langkahnya berhenti, membuat langkah Ryan dan Pak Anwar yang mengikuti di belakangnya ikut terhenti. Ruang bukti tinggal sepuluh meter, Arin menunjuk ke ujung koridor di depan ruang bukti dengan tatapan kosong.
"Itu apa?"
"KAK, JANGAN BERCANDA, DEH!" Ryan berteriak histeris, menempel ke belakang bahu Pak Anwar ketakutan. Dengan badan gemetar, Ryan menggelayuti lengan kanan Pak Anwar yang menyorot ujung koridor dengan senter besarnya hingga satpam itu merasa tak nyaman.
"Arin, di sana tidak ada apapun. Cepat lanjutkan langkahmu atau tidak usah ambil barangnya sama sekali. Saya tidak diperbolehkan kalian berlama-lama di sini." Pak Anwar memperingatkan dengan tegas, mengabaikan Ryan, maju beberapa langkah untuk mensejajari Arin.
Arin masih bergeming. Dia tidak menurunkan telunjuknya dan masih terpaku layaknya patung.
"AAAAKH!"
Arin tiba-tiba berteriak keras sekali. Dia menurunkan telunjuknya dari berlari menuju ujung koridor dengan langkah pincang, memanjat pagar pembatas yang hanya setinggi satu meter.
Ryan terpaku di tempatnya, sementara Pak Anwar langsung melempar senter dan mengejar Arin, berusaha menghentikan tindakan Arin yang seperti hendak melompat dari gedung lantai tiga.
"Hei, ada apa ini? Kau kenapa?!" Pak Anwar menarik Arin turun dari pagar, berusaha mengembalikan kesadaran siswi itu dengan menggoncangkan bahunya. Namun setelah jatuh terduduk di lantai, Arin terus memberontak dari cengkraman Pak Anwar pada bahunya. Berusaha melepaskan diri seperti orang kesetanan.
Arin terus menerus mengeluarkan suara aneh, menggeliat seperti ulat. Tindakannya membuat Pak Anwar kelabakan menahan Arin yang mulai mencakar lengannya karena tak kunjung dilepaskan.
"Hei, kau! Apa yang kamu lakukan?! Cepat panggil petugas keamanan lain dan bawa mereka ke sini untuk membantu saya!" Pak Anwar menoleh, berteriak pada Ryan yang mematung di tempat tadi.
Ryan yang masih terkejut langsung mengangguk dengan wajah pucat, dia berlari turun untuk memanggil petugas keamanan lain yang masih berada di pos sesuai perintah Pak Anwar.
Dalam perjalanannya menuruni tangga, Ryan memelankan langkah sebentar, berbisik.
"Bersiap masuk dua menit lagi. Dengarkan instruksiku baik-baik, tepat saat mereka kubawa pergi dari pos, langsung masuk."
***
Sepuluh detik setelah suara langkah dua satpam yang berjaga menghilang, Han dan Jibar masuk mengendap-endap di depan pagar, berusaha agar bayangan mereka tidak tertangkap kamera CCTV.
Meski langkah mereka hati-hati, menyelinap dengan wajah serius, sesungguhnya Han menahan tawa. Ketika menunggu dari balik pagar tadi, Han bisa mendengar bagaimana suara Ryan dibuat-buat panik dan bergetar. Suaranya pun terdengar melengking saat membentak satpam baru yang tidak percaya padanya bahwa Arin kerasukan dan Pak Anwar memintanya untuk memanggil mereka. Han tidak sangka, Ryan bisa jadi seseorang yang seperti itu kalau bersandiwara. Betul-betul berbeda dengan Ryan yang biasanya sangat tenang dalam bertindak.
“Kami sudah masuk.” Jibar berbisik sambil memperhatikan satpam yang telah menghilang masuk ke dalam gedung, menaiki tangga menuju lantai tiga.
Han dan Jibar sudah membagi tugas lebih lengkap lagi sebelum masuk. Sepakat, Han mencari kunci, Jibar mencabut setiap kabel yang menghubungkan komputer kamera CCTV dengan kontak. Sambil fokus mengerjakan tugas, Han dan Jibar juga bisa mendengar keributan di lantai tiga lewat airpods mereka. Suara Arin yang berteriak dengan kalimat aneh mengalahkan suara para satpam.
“Wah, aku tak sangka Kak Arin akan bersandiwara begitu.” Han berkomentar dengan bibir yang setengah mati ditahannya agar tidak mengeluarkan tawa.
“Jadi ini yang mereka sebut rencana…” Jibar juga tampaknya sama, suaranya seperti tikus terjepit karena menahan tawa.
“Jangan sibuk berkomentar, nanti Kak Arin tidak fokus. Bereskan tugas kalian selagi Kak Arin mengalihkan perhatian mereka. Waktu kita terbatas.” Ryan berbisik, mengingatkan. Posisinya berada tepat di belakang para satpam yang tengah menahan Arin agar tidak mengamuk dan mencakar. Berpura-pura ketakutan agar dia tidak diminta ikut campur sementara Arin menahan mereka lebih lama. Sandiwara Arin sempurna, tak ada satupun satpam yang curiga. Mereka semua terlihat betulan panik sampai melupakan pos dan gerbang yang bisa saja dimasuki siapapun.
Han dan Jibar mengangguk dalam diam, menelan tawa masing-masing. Dua menit kemudian, Han berbisik bahwa kunci kantor kepala sekolah sudah dia temukan, Jibar juga berbisik bahwa semua kabel sudah dipastikannya tercabut dan komputer perekam telah mati. Mereka menyelesaikan rencana pertama lebih cepat dari dugaan.
Sebelum keduanya benar-benar pergi dari pos, dari seberang sana, Ryan berbisik lagi, “Kalian masih di pos? Mendekatlah ke pusat kontrol dan cabut salah satu kontak listrik dengan kode 3-9.”
“Hei, itu tidak ada di rencana!” Jibar mengeluh, dia sudah keluar dari pos.
“Lakukan saja. Kau mau rencana kita berhasil atau tidak?”
Perdebatan Jibar dan Ryan berhenti karena si satpam muda yang melepas pegangan pada Arin beralih menepuk bahu Ryan karena merasa ada yang aneh. Si satpam muda menatap Ryan sambil mengguncang bahunya ngeri. “Hoi, kau berbicara dengan siapa? Kau tidak kerasukan juga, kan?”
Ryan segera menutup mulutnya dan menggeleng pelan.
Tanpa diminta dua kali, Jibar menuruti permintaan Ryan. Dia mencabut kontak listrik nomor 3-9 dan menyeret Han meninggalkan pos.
Di seberang sana, terdengar keributan para satpam dan teriakan sandiwara Ryan yang lebih melengking daripada sebelumnya karena listrik di koridor tempat mereka berada tiba-tiba padam. Daerah ujung koridor lantai tiga gedung kelas formal yang memang sudah gelap sejak mereka datang menjadi tambah gelap. Dengan improvisasi Ryan yang menguatkan, Arin mengamuk sampai bisa merangkak di pagar. Di balik sandiwara paniknya, Ryan terperangah betulan melihat seniornya merangkak dengan rambut awut-awutan.
***
Sesuai rencana, Han dan Jibar berhasil berjalan mengendap-endap ke gedung administrasi, tempat di mana kantor kepala sekolah berada selama lima menit tanpa ketahuan. Selagi berjalan tadi, mereka bahkan bisa mendengar suara teriakan Arin langsung, bukan melalui airpods. Arin berhasil mengalihkan perhatian para satpam sepenuhnya tanpa membuat Han dan Jibar was-was takut ketahuan.
Sampai di depan gedung, Han langsung menuju ruang kepala sekolah dan membukanya dengan hati-hati.
Tiga menit berlalu, Han sudah masuk ke ruang kepala sekolah. Sudah mengitari loker besar yang menyimpan data dan dokumen siswa. Sudah menemukan loker nomor berapa yang menyimpan data ukuran kaki siswa jurusan IPA. Tapi ada perkara baru sekarang, dokumennya terlalu banyak. Tiga menit seharusnya cukup untuk menemukan dokumennya jika arsip data tersebut disusun rapi. Tapi mereka tidak memperkirakan bahwa arsip tentang data ukuran kaki akan sebegini berantakannya.
Sepuluh menit telah berlalu.
Jibar yang berjaga di luar berbisik pada Han untuk segera menyelesaikan tugasnya. Waktu yang mereka punya tinggal empat menit. Dari airpods yang terhubung dengan Ryan dan Arin di seberang sana, Jibar bisa merasakan Arin mulai kelelahan berteriak. Mereka harus lebih cepat, belum lagi mereka harus berjalan secepat mungkin ke gerbang.
“Dokumennya terlalu banyak, Jibar. Kalau kau memintaku cepat, cobalah bantu aku.”
Jibar mendengus. Dia melirik seluruh bagian luar gedung sebentar, kemudian mengendap masuk ke tempat Han berada. Dia duduk bersimpuh di depan loker. Membantu Han mencari dokumen tersebut secepat mungkin.
“Arsipnya berantakan. Aku tidak mengerti kenapa ini bisa begini, tapi ini di luar perkiraan kita.” Ujar Han sambil mengobrak-abrik dokumen.
“Aku akan membantumu, carilah lebih cepat.”
Dua menit berlalu. Jibar mulai merasa was-was dan putus asa. Tumpukan dokumen itu tebalnya mencapai dua puluh senti. Dokumen itu terlalu banyak untuk diperiksa satu persatu. Selama lima menit sejak Han masuk, mereka hanya menemukan data siswa kelas X dan XI saja. Sementara data kelas XII angkatan tahun ini tidak kunjung ketemu. Arsip tersebut bercampur dengan data alumni-alumni entah dari tahun berapa, itu membuat Han dan Jibar sulit menemukannya dan terkecoh beberapa kali.
Suara bisikan Ryan terdengar lagi di airpods, dia memperingatkan Jibar dan Han bahwa tidak ada lagi waktu jika dokumennya masih belum ketemu juga. Arin yang kesetanan sudah bersiap dibawa turun secara paksa oleh para satpam. Mereka menyerah membacakan doa-doa dan menahan Arin yang memberontak. Selain itu, para satpam khawatir Arin yang kesurupan akan melompat dari pagar kalau mereka masih membiarkannya mengamuk di lantai tiga.
“Kami sedang mengusahakannya. Tahanlah sedikit…” Jibar memohon, dia mulai mencari dokumennya dengan berantakan, tidak peduli dokumen itu berhamburan. Waktu mereka makin menipis,
Dua menit lagi berlalu, keringat menetes di pelipis keduanya. Tersisa satu menit sebelum lima belas menit yang panjang itu berakhir. Sayup-sayup dari airpods terdengar para satpam yang berhitung, bersama-sama siap menangkap Arin yang memanjat pagar pembatas dan menyeretnya turun. Arin pasti tidak lagi punya tenaga melawan tiga satpam sekaligus. Han menggigit bibir. Kalau memang tidak bisa didapatkan data kelas XII, dia akan mencarinya secara konvensional apapun caranya. Mereka harus pergi sekarang! Han berdiri, menarik tangan Jibar. Kalau Jibar dan Han kalah cepat keluar dari para satpam, matilah mereka semua…
Di saat genting seperti itu, saat para satpam siap meringkus Arin yang bergerak-gerak bak hewan buas, entah ide dari mana, Ryan berteriak, membuat para satpam yang siap meringkus Arin mundur.
“Cukup, bapak-bapak mundurlah, biar aku yang tangani! Aku punya kemampuan menangani ini!”
Sungguh, kalau situasinya tidak serius, ucapan Ryan betul-betul patut untuk ditertawakan. Sebab, Han tidak pernah mendengar Ryan berteriak sekencang itu dan mengatakan hal semenggelikan itu.
“Sekarang!”
Mendengar bisikan Ryan, Jibar melepas tangan Han yang menariknya. Dia melanjutkan pencarian dokumen. Sekarang mereka punya waktu tambahan. Han juga yang tadinya sudah berdiri kembali bersimpuh untuk mencari sekaligus membereskan dokumen sekuat tenaga.
Di seberang sana, para satpam terperangah. Ajaib, ketika Ryan berteriak, Arin berhenti berteriak dan merangkak. Dia turun dan bersembunyi di sudut koridor. Arin menggeram di tempatnya. Para satpam ternganga, saling lirik. Bukankah ini bocah yang daritadi ketakutan tidak jelas? Penuh sandiwara, Ryan mendekat ke arah Arin, menyentuh ubun-ubunnya, kemudian menggumamkan sesuatu seperti mantra yang tidak didengar jelas oleh para satpam. Berlagak seperti dukun. Dalam hati, Arin merasa Ryan sudah gila karena improvisasi sinting ini. Tapi karena sekarang dia lawan mainnya, Arin juga harus ikut menjadi gila.
“Ketemu!” Jibar berteriak setelah lima detik improvisasi berlangsung. Han langsung membekap mulutnya dan mengambil dokumen itu dari tangan Jibar.
Di antara gumaman mantra palsunya, Ryan berbisik saat mendengar Han dan Jibar sudah mendapatkan dokumennya.
“Kembalikan dokumennya, cukup potret saja. Keluar detik ini juga, kunci pintunya, kembalikan kunci ke pos dengan berlari. Kalian takkan ketahuan.”
Pak Anwar melirik Pak Ebi dan si satpam baru. “Apa yang dia katakan, Pak?”
“Tidak tahu.”
Ryan membagi dua fokus. Telinganya mendengarkan aktivitas Han dan Jibar di seberang sana agar tahu kapan sandiwara mereka bisa berakhir, sementara bibirnya komat-kamit membaca mantra palsu. Jantungnya berdegup, keringat menetes di dahinya. Pak Anwar yang tidak tahu apa yang dia lakukan mulai mengira Ryan benar-benar punya kemampuan mengusir setan melihat betapa seriusnya dia.
Dua menit berlalu, dari airpods yang terhubung, Ryan dan Arin baru mendengar pintu yang dikunci. Mereka sepertinya baru keluar dari ruangan kepala sekolah.
Arin menggeram marah, dia mulai kesal! Kenapa Jibar dan Ryan lama sekali?!
“Hei, bocah, berhenti bercanda! Bantu kami membawa temanmu turun sebelum dia melompat ke bawah!” Pak Ebi meneriaki Ryan yang tidak kunjung berhenti juga mengkomat-kamitkan mantra tidak jelas. Arin masih menggeram dengan badan yang dibuat-buat memberontak namun seolah tertahan sesuatu.
Sesungguhnya, Arin hanya tidak tahu harus melakukan apalagi. Perpanjangan waktu ini di luar rencana yang mereka diskusikan. Biarlah Ryan yang mengurusnya.
“RRAAAAHHH! PERGILAH KAU!”
Arin juga bisa mendengar Han dan Jibar berlari secepat mungkin menuju pos. Suara langkah mereka tersamarkan oleh teriakan Ryan yang tiba-tiba pecah itu. Oh, inilah improvisasi rencana barunya.
“ARGGHHH! LEPASKAN AKU!” Arin ikut berteriak sekuat tenaga. Suara mereka bersahut-sahutan memenuhi gedung, membuat para satpam tersebut mulai sakit kepala mendengarnya.
“PERGILAH KAU!”
“LEPASKAN AKU!”
Satu menit lagi berlalu, hanya itulah kalimat yang diulang-ulang oleh Ryan dan Arin. Sebelum Pak Anwar maju lagi untuk menghentikan sandiwara bodoh mereka, suara Jibar yang terengah-engah di seberang mulai terdengar di airpods.
“Kami sudah di luar gedung sekolah. Sisanya kami serahkan padamu.”
***
Pukul delapan lewat tiga puluh.
Anggota tim detektif berkumpul lagi. Di warung bakso yang sudah mau tutup itu, Han dan Jibar menunggu sampai hampir tertidur. Operasi mereka terlambat satu jam karena Pak Anwar yang menahan Arin dan Ryan.
"Aku sungguh tak sangka reaksi Pak Anwar akan berlebihan begitu. Kita jadi terlambat pulang kalau begini." Keluh Arin sambil mengusap peluh, melempar tubuhnya ke kursi di samping kursi Han, kemudian mengurut bahunya yang terasa seperti remuk. Badan dan tulangnya sakit semua.
Setelah Jibar memberi informasi bahwa mereka sudah mengembalikan kuncinya dan keluar dari gerbang, Arin jatuh pingsan. Sungguh, nyaris bukan lagi sandiwara. Arin betulan kelelahan berpura-pura kesurupan dan bergerak seperti orang kesetanan selama kurang lebih sepuluh menit.
Selesai sudah pertunjukannya. Sisanya biar Ryan yang mengurus, Arin akan fokus pingsan saja.
"Ambil tandu di UKS, Pak Ebi! Kita bawa siswi ini ke pos satpam!" Pak Anwar berseru.
Ryan yang tangannya terlepas dari ubun-ubun Arin berhenti membaca mantra, melanjutkan sandiwaranya dengan terkejut dan membantu para satpam membawa Arin menggunakan tandu ke pos. Dalam hati, Ryan bersorak gembira. Meski ada sedikit kendala, rencana mereka berhasil!
Setelah Arin dibawa ke pos, Pak Anwar mencoba membangunkannya dengan menyodorkan minyak kayu putih ke hidung siswi itu. Ryan terus berseru-seru panik meski dia tahu Arin hanya pura-pura pingsan. Ryan terharu sedikit, karena begitu totalitas, Arin yang memang belum mandi terlihat makin acak-acakan sehingga sampai akhir mereka tidak dicurigai.
Arin berpura-purang pingsan selama lima belas menit agar tidak terlalu kentara bahwa dia sedang berakting. Tapi karena Pak Anwar panik, dia nyaris menelepon ambulans dan membuat keributan. Beruntung Ryan berhasil menahannya dan berkata Arin bisa bangun tanpa dibawa ke rumah sakit.
Saat Arin berpura-pura telah siuman, Pak Anwar ngotot ingin mengubungi keluarganya atau mengantar Arin pulang sampai rumah. Tapi Ryan lagi-lagi berhasil membujuk Pak Anwar, mengatakan mereka tidak mau merepotkan dan bisa pulang sendiri dengan bis terakhir. Namun, mereka tetap tidak bisa lolos begitu saja. Arin ditanya-tanyai apa yang dia lihat dan rasakan. Dia juga ditawari teh hangat dari termos Pak Ebi, juga sarung yang dibawa si satpam baru untuk menghangatkan diri. Setelah satu jam berlalu hanya untuk memberikan jawaban-jawaban yang meyakinkan para satpam, didukung wajah lesu yang dibuat-buat, keduanya berhasil lolos. Kembali ke warung bakso.
"Aku lebih tidak menyangka kau bisa berakting begitu, Kak. Kau pantas jadi aktris." Jibar memberi pujian sambil mengucek mata, bertepuk tangan.
Han mengangguk setuju, dia ikut menegakkan kepala dari meja. “Benar, akting kalian berdua luar biasa. Dari mana kalian belajar sandiwara seperti itu?”
Ryan yang sedang membereskan tas sementara Arin yang sedang mengurut lengannya di kursi sebelah Han saling tatap, kemudian tawa keduanya pecah mendengar pujian itu.
“Kami tidak belajar, hanya kebetulan punya selera yang sama saja.”
“Apa itu?”
Arin nyengir. “Film horor!”
Han dan Jibar bertepuk tangan takjub.
"Biar kulihat foto dokumennya!" Ryan mengalihkan pembicaraan, berkata antusias. Dia betul-betul jarang menunjukkan ekspresi riang, tapi malam ini dia tampak sangat senang.
Han dengan setengah mengantuk menyodorkan ponselnya, menunjukkan foto dokumen yang dia ambil. Semua data ukuran kaki siswa jurusan IPA dari kelas X sampai XII lengkap dipotretnya.
"Kerja bagus teman-teman!" Arin melirik foto dokumen tersebut, berseru dengan senyum tipis, menepuk bahu Han.
Ketiga anggota balas tersenyum. Seluruh tim detektif berjalan ke luar warung bakso setelah berucap terima kasih pada pemiliknya karena temah mengizinkan mereka menitip barang. Dengan tawa puas, mereka berjalan ke halte menunggu bus terakhir.
Hari yang panjang ini akhirnya berakhir juga.
***
Di pos satpam, si satpam baru dengan ngeri baru menyadari keadaan pusat kontrol.
"Pak, kabel komputer CCTV tercabut. Sepertinya... sekolah ini memang angker, Pak."