Loading...
Logo TinLit
Read Story - DocDetec
MENU
About Us  

Matahari turun ke kaki langit dengan cepat. Sebelum diusir dari sekolah karena satpam hendak mengunci pintu-pintu dalam gedung, tim detektif telah meninggalkan ruang kelas matematika tambahan yang berada di lantai 3 gedung kelas formal.

Han menenteng salinan berkas penyelidikan hari ini di dalam sebuah map. Dia berusaha berjalan lebih cepat untuk menjajari Arin yang terburu-buru keluar dari sekolah. Mereka belum selesai berdiskusi, tapi Arin sudah berjalan ke luar sekolah menuju halte tanpa bicara apapun sekembalinya dia dari panggilan singkat via telepon dengan Pak Kimu. Han menerka-nerka, dari ekspresi Arin, sepertinya mereka tidak bisa mendapatkan dokumen itu dengan cara memintanya pada kepala sekolah.

“Jadi apa rencananya, Kak?”

Arin bergeming. Sepanjang jalan, dia terus memaksa kepalanya untuk berpikir. Apa rencananya yang bisa mereka lakukan?

Pasalnya, benar-benar tidak ada jalan lain selain mencurinya karena kepala sekolah tidak mau memberi dokumen tersebut pada mereka. Tapi, kalaupun harus mencurinya… Arin khawatir dengan peluang dan konsekuensinya jika rencana pencurian ini mereka lakukan. Mereka hanyalah kumpulan siswa klub biologi biasa yang sedang melakukan penyelidikan atas hilangnya penelitian yang harus dipamerkan enam hari lagi. Tiba-tiba saja rencana mereka menjadi berbahaya, menyusup masuk ke ruang kepala sekolah untuk mencuri dokumen berisi data ukuran kaki siswa. Sewaktu-waktu, apabila mereka gagal dan tertangkap, mereka semua bisa terkena masalah, hukuman, atau bahkan dikeluarkan dari sekolah.

Bagaimana mereka bisa menjalankan aksi dengan mulus tanpa ketahuan dan menimbulkan masalah?

Kepala Arin seperti berdenyut. Ini rumit. Karena mereka memang tidak punya pilihan lagi.

 

“Kalau kau ragu, kita batalkan saja, Kak.”

Arin yang sedang berpikir keras menoleh saat Ryan berkata begitu. Jibar dan Han melotot dan menyikut Ryan. Kini semua anggota sudah meninggalkan sekolah. Mereka berempat duduk berdampingan di halte bus yang jaraknya hanya lima belas meter dari gerbang sementara langit mulai gelap. Jam sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh.

Arin melihat dari wajahnya, Ryan pun tampak ketika berat hati mengatakan kalimat itu padanya. Tapi sepertinya Ryan berusaha membesarkan hati Arin bahwa mereka tidak harus melakukan hal beresiko begitu.

“Aku berusaha memahami lagi bahwa resiko yang didapat bisa lebih besar kalau saja alih-alih mendapat dokumen itu, kita justru tertangkap dan dipanggil ke BK. Bahaya kalau kita mendapat masalah seperti itu. Bukan hanya tidak diizinkan mengikuti pameran, kita juga bisa mendapat hukuman berat atau bahkan dikeluarkan. Aku minta maaf karena sudah mendesakmu.” Ujar Ryan bijaksana. Jibar dan Han langsung berhenti menyikut Ryan dan duduk bergeming di kursi halte.

“Kita semua putus asa, aku paham itu. Aku pun tidak bisa berpikir jernih. Meski penyelidikan baru berjalan satu hari, kita sudah cukup banyak bergerak dan menurutku sangat disayangkan kalau kita berhenti sekarang. Kalian serius ingin menyerah pada penelitian kita?”

“Tapi apa ada cara lain, Kak?”

Arin menghela napas berat, menggeleng pelan. Han dan Jibar turut mendesah, sampai tidak mampu berkomentar apa-apa. Buntu, tidak ada solusi. Mereka tidak akan dapat data konkrit dan akan tertinggal jauh jika tetap ngotot mengumpulkan dengan cara konvensional. Penyelidikan rahasia ini pun bisa bocor karena cara itu terlalu mencurigakan.

Mustahil mereka mendapat data pribadi orang banyak. Mereka ini hanya detektif main-main. Bukan detektif sungguhan yang bisa mendapatkan dan meminta orang awam menyerahkan data milik mereka.

“Bagaimana kalau kita datang ke rumah orang-orang yang kita perkirakan bertubuh kecil dan mengecek ukuran sepatu mereka?” Usul Han setelah hening cukup lama. Arin langsung mengusap wajahnya frustasi, tentu saja Han mengatakan itu tanpa berpikir jauh karena mereka sudah buntu.

“Kau bisa memperkirakan dan mempersempit tersangka tanpa data? Mana boleh seperti itu, Han. Maka penyelidikan kita tidak lagi konkrit dan hanya berdasarkan spekulasi saja. Kalau kau mau begitu, tangkap saja langsung orang yang paling kau curigai. Entah itu aku, Naila, atau Davine. Lagipula, apa kau punya waktu untuk datang ke rumah mereka masing-masing? Apa kau tahu alamat seluruh siswa jurusan IPA yang kira-kira ukuran kakinya 35-37?”

Han terdiam, dia menggigit bibir segan. Tidak ada lagi solusi yang terpikir di benaknya.

“Kita tidak boleh mempertaruhkan masa depan kita demi rencana konyol ini. Sekalipun penyelidikan akan terlambat, mari kita lagi caranya pikirkan saja besok. Penyelidikan belum berhenti, masih kita lanjutkan, tapi kita putuskan setelah pulang dan istirahat.” Arin membuat keputusan.

Han masih terlihat enggan. “Tapi…”

Arin menatap Han tajam. “Apalagi?”

“Kenapa kita harus terlalu menurut pada sekolah ini? Mereka sudah berlaku jahat. Mereka menolak mencari siapa pelaku pencurian penelitian yang sudah kita usahakan satu tahun ini, menarik dana anggaran, bahkan siap mencabut izin stan kita kapan saja. Sekolah ini sejak lama tidak pernah melirik klub kita entah apa alasannya. Terus kenapa kalau anggotanya sedikit? Kita yang anggotanya sedikit memang tidak boleh mengejar mimpi?” Han mulai mengoceh kesal. Selama ini, dia banyak menahan kekesalannya pada kebijakan sekolah ini yang kurang masuk akal menurutnya.

“Aku tak tahu apa masalah si kepala sekolah dengan klub biologi. Kenapa dia harus begini hanya pada kita, sih? Bahkan sekadar untuk memberi dokumen ukuran kaki saja mereka tidak mau. Pak Kimu pasti berkata kita tidak bisa mendapatkan dokumen itu karena bersifat personal, kan? Mereka sengaja bersikap begini pada kita. Menurutku, peduli setan jika kita mencurinya. Kita sudah bicara baik-baik demi memperjuangkan hak kita, kalau tidak bisa dengan bicara baik-baik, kita lakukan saja dengan cara ilegal.” Han melanjutkan omelannya, tidak peduli pada Arin yang ada di sana. Han mengusap wajahnya lelah. Bagaimanapun, mereka sudah sampai di sini sekarang, menyelidiki kasus sampai hampir malam, belum pulang sama sekali dan makan dengan benar, hanya agar klub biologi bisa lebih dilihat dan mendapat perhatian lebih.

Anak-anak yang ingin belajar lebih banyak soal ilmu hayat selalu kesulitan. Wajar jika Han merasa kesal. Perjalanan mereka lagi-lagi terhambat.

Arin diam, dia menatap Han yang menunduk setelah meluapkan kekesalannya. Suasana menjadi semakin tidak enak karena Arin juga tidak mengeluarkan jawaban apapun.

Beberapa detik kemudian Jibar dengan segan mengangguk, mendukung ucapan Han, bicara dengan suara kecil. “Aku setuju dengan Han… Kita lebih baik mencurinya saja. Kita tidak perlu terlalu menurut pada sekolah ini.”

Mendengar itu, Arin menghela napas kesekian kalinya. Lebih berat dari yang sebelumnya. Sejenak, dia beralih menatap Ryan. Jalanan lengang. Jam digital yang tergantung di tiang halte menunjukkan bus selanjutnya akan sampai dalam dua puluh menit. Kalau rencana ini tidak jadi dijalankan, mereka masih bisa menunggu bus sebentar lagi dan pulang ke rumah masing-masing, beristirahat. Tapi, Arin juga mau mendengar pendapat terakhir sebelum membuat keputusan.

“Kau juga setuju?”

Ryan yang sejak tadi ikut menunduk dengan dua kawannya sebab suasananya memanas kini menatap Arin karena diajak bicara.

“Kalau kau memintaku jujur. Aku tidak ingin perjalanan kita berhenti hanya karena hal seperti ini. Apabila sekolah menganggap pencurian penelitian kita itu perihal sepele… maka kita anggap juga mencuri dokumen data ukuran kaki siswa itu juga hal sepele.” Ryan berkata mantap. Dia menatap Arin tanpa gentar, yakin dengan ucapannya.

Arin memang tidak ingin penyelidikan mereka berhenti sekarang, melanggar aturan juga bukan hal besar buatnya. Tapi dia mengkhawatirkan nasib anggota timnya. Dia khawatir konsekuensi dari perbuatan mereka ini akan memberatkan anggota timnya.

“Kalian yakin bisa menerima konsekuensinya kalau kita ketahuan?”

Han, Jibar, dan Ryan saling tatap kemudian menjawab serempak. “Maka kita usahakan jangan sampai ketahuan.”

Arin mengurut pelipis.

“Kita akan membuat keributan nanti malam. Bersiaplah.”

 

***

 

Setelah sepakat untuk melangsungkan rencana mencuri dokumen data ukuran kaki siswa jurusan IPA, tim detektif meluncur ke warung bakso yang jaraknya hanya lima puluh meter dari sekolah untuk makan dan mengisi energi. Selagi makan mereka juga membahas rencana penyusupan itu dan membagi tugas.

Tim detektif akan membuat kekacauan malam ini, selepas makan. Begitu rencananya.

Satpam sekolah telah diberitahu oleh kepala sekolah atas permintaan Pak Kimu bahwa para anggota klub biologi perlu menyelesaikan sebuah pekerjaan yang berkaitan dengan pameran nanti. Maka dari itu, Arin dan tim detektif diizinkan menggunakan ruang kelas sedikit lebih lama. Padahal, setelah pencurian itu, ada peraturan baru, yakni gerbang sekolah sudah ditutup mulai pukul lima. Juga, tidak boleh ada seorang siswa pun yang berada di sekolah saat malam hari. Nah, meski begitu, karena satpam sudah tahu mereka perlu menyelesaikan sesuatu, tim detektif dibiarkan pulang terlambat. Artinya tidak akan ada masalah kalau malam ini, mereka berusaha masuk ke wilayah sekolah pada pukul tujuh dengan menggunakan dalih adanya barang pribadi milik Arin yang tertinggal. Arin bersama Ryan akan berpura-pura mengambil barang tertinggal untuk mengalihkan perhatian.

Sejak pencurian, satpam jaga malam ditambah satu orang, seorang satpam baru. Totalnya ada tiga orang yang berjaga saat malam di pos sekarang. Pak Anwar, seorang satpam lama yang Arin kenal dan satpam tersebut mengenalnya. Kemudian ada Pak Ebi, satpam lama yang juga mengenal Arin. Lantas ada satu satpam baru yang belum diketahui siapa nama dan bagaimana rupanya. Namun, mengenal dua satpam tadi cukup untuk bisa masuk ke dalam. Mereka akan menggunakan relasi itu untuk melewati gerbang.

Sementara Arin dan Ryan mengalihkan perhatian ketiga satpam dan memaksa mereka kehilangan fokus berjaga, Han dan Jibar akan menyelinap masuk dari pagar, mencari kunci ruangan kepala sekolah, mematikan kamera CCTV dengan mencabut kabel listriknya. Setelahnya, mereka harus pergi secepat mungkin dari lingkungan sekolah dan kembali ke warung bakso, menunggu Arin dan Ryan yang harus pergi belakangan.

Arin sebetulnya agak khawatir meletakkan Han pada tugas mencari dokumen tersebut. Dia hapal betul, juniornya yang satu itu agak ceroboh. Tetapi, Arin tidak punya pilihan lain. Han adalah anak yang sama sekali tidak pandai berbohong dan bersandiwara. Arin takut kalau dia membawa Han mengalihkan perhatian bersamanya, junior itu justru akan membuat mereka ketahuan karena gugup dan panik. Rencana mereka bisa kacau balau dan aksi mencuri dokumen itu gagal. Seluruh anggota tim detektif bisa-bisa dipanggil kepala sekolah dan masalah ini akan diproses. Arin tidak membawa Jibar pun karena alasan yang sama, Jibar tidak terlalu pandai berakting. Pilihan terbaiknya adalah membawa Ryan yang lihai berbicara.

Sepakat, Arin dan Ryan mengalihkan perhatian, Han dan Jibar mencuri dokumennya.

Diperkirakan estimasi waktu yang mereka punya hanya sekitar lima belas menit. Artinya, Han dan Jibar hanya punya 15 menit untuk mematikan kamera, mencari kunci, dan membongkar lemari dokumen siswa di ruangan kepala sekolah untuk mencuri dokumennya.

Wah, gila. Itu mustahil! Awalnya Han berkata begitu sambil mengamuk, menyembur kuah bakso dari mulut. Mana mungkin dia dan Jibar bisa melakukan pencuriannya secepat itu? Jarak pos satpam dengan gedung administrasi di mana terdapat kantor kepala sekolah di dalamnya itu berjarak sekitar dua puluh meter lebih. Untuk berjalan ke sana tanpa suara butuh lebih dari lima menit. Belum lagi mereka harus mencari kunci kantor tersebut satu persatu di pos, kemudian membuka kantor kepala sekolah dengan hati-hati, mencari dokumen tanpa ketahuan. Semua itu harus dilakukan dalam lima belas menit? Han tidak bisa melakukannya!

"Kau saja, Kak! Demi Tuhan, lebih baik aku belajar berakting sekarang daripada harus melakukan itu dalam lima belas menit!"

"Lantas mengacaukan segalanya? Tidak, Han. Harus kau yang pergi. Kau bisa menemukan dokumen itu, aku yakin."

"Tapi aku tidak!" Han menggeleng keras. Sementara Jibar hanya mengangguk setuju dari belakang. Jujur, dia juga kurang yakin.

"Bisa! Aku yakin kalian bisa! Maka dari itu kita berada di sini sekarang untuk membuat rencana!" Arin tetap bersikeras.

"Kak... kita batalkan saja, ya? Aku akan cari cara untuk mendapatkan dokumennya besok." Jibar angkat suara, meletakkan sendoknya di mangkuk bakso, memohon. Hilang sudah ekspresi keras yang ngotot ingin menerobos masuk ke kantor kepala sekolah dari wajah Jibar saat tahu dialah yang harus pergi mengambilnya dalam waktu super singkat.

"Tidak, kita harus mendapatkannya malam ini. Kita harus mempersempit tersangka, Jibar. Kau yang memaksaku menjalankan rencana tadi! Bertanggung jawablah dengan ucapanmu! Kau ini…" Arin berkacak pinggang, kehabisan kata-kata.

"Tapi, Kak..."

"Aku bisa menyusun rencananya agar kita punya cukup waktu." Ryan memotong perdebatan antara Arin, Jibar, dan Han. Sejak tadi dia diam karena sedang berpikir bagaimana mereka punya cukup waktu untuk mencuri dokumen tersebut. Ryan mengambil alih peran Arin sebagai otak dari penyelidikan karena seniornya itu sepertinya sudah mulai kelelahan bahkan sampai tak punya banyak argumen untuk melawan Han dan Jibar.

Di setiap waktu kosong penyelidikan, Arin selalu menyempatkan waktu menghubungi Bulan untuk bertanya perkembangan penelitian. Ryan bisa melihat ketua mereka kelelahan.

"Agar waktunya cukup, dibutuhkan kerjasama yang baik antara Jibar dan Han. Kalian harus menyelinap dari ujung sedari awal, karena di depan gerbang ada satu kamera yang mengarah ke bagian depan untuk mengawasi siapa saja yang masuk. Tapi beruntung, kamera itu tidak menangkap sudut kiri gerbang. Kalian bisa masuk tanpa tertangkap kamera. Kalian harus berjalan menempel di dinding gerbang radius lima meter, lantas bertahan tepat di depan dinding sebelah gerbang sudut kiri sampai kami berhasil mengalihkan perhatian seluruh satpam dan membawa mereka beranjak dari pos."

"Lima belas menit itu waktu terbanyak yang bisa kami lakukan untuk mengalihkan perhatian, aku juga sudah memprediksi, tidak mudah mengalihkan perhatian tiga satpam sekaligus. Jadi, lima menit pertama, pastikan kalian sudah mendapatkan kunci dan mencabut kabel yang tersambung dengan komputer kamera CCTV. Kalau bisa, lakukan lebih cepat. Tiga menit itu waktu yang ideal. Lakukanlah dalam tiga menit sehingga kita punya waktu lebih banyak. Lebih cepat itu lebih baik, kan?"

Jibar dan Han langsung berhenti mendebat Arin, mereka mendengarkan dengan saksama.

"Kemudian berjalanlah perlahan ke kantor kepala sekolah di gedung administrasi. Kami akan berusaha membuat suara sekeras mungkin hingga mereka tidak menyadari keberadaan kalian sama sekali."

"Bagaimana kalian bisa melakukan itu? Skenario macam apa yang akan kalian buat?"

Ryan menatap Arin kemudian keduanya tersenyum kecil. Ada satu rencana sama yang terpikir di kepala mereka.

"Kami pandai dalam hal itu. Percayakan saja pada kami dan lakukan tugas kalian."

Setelah saling berbisik sebentar, Jibar dan Han akhirnya mengangguk serempak.

"Di ruang kepala sekolah, Jibar harus berjaga di luar sementara Han mencari dokumennya di dalam. Lakukanlah paling lama lima menit. Jika lebih dari itu, aku tidak tahu apakah kami bisa menahan para satpam lagi." Arin memberi tambahan.

"Lantas, bagaimana kita bisa tahu mereka sudah selesai, Kak? Kita memang menyepakati waktu spesifiknya, tapi kita tidak tahu kendala macam apa yang akan terjadi, kan? Kita tidak bisa mengulur waktu begitu lama namun kita juga tidak tahu kapan mereka selesai." Ryan menoleh pada Arin, menanyakan sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

Arin mengeluarkan airpods dari saku jaket. Dia menatap Jibar.

"Jibar, kau punya airpods, kan?”

Jibar mengangguk. Arin memasang airpods di telinganya dan membagi potongan lain dengan Ryan.

"Kita gunakan ini. Kami yang akan mengenakannya dan terhubung via panggilan dengan kalian, Jibar. Setiap tim cukup bawa satu ponsel saja, gunakan berdua, mengantisipasi kalau-kalau ponselnya jatuh. Karena kau hanya berjaga di luar, maka jagalah ponselnya baik-baik. Simpan di saku celana. Sementara timku, Ryan yang akan memegang ponsel. Kalian harus terus mengabari aku, paham?"

Jibar mengangguk lagi, tanda dia paham.

"Nah, hari sudah semakin larut, meski orang tua kita telah dihubungi, mereka akan khawatir kalau kita terlalu lama pulang. Sebaiknya kita lakukan dengan cepat dan kembali ke rumah masing-masing."

Seluruh anggota tim mengangguk paham.

Arin lelah, mental dan fisik, begitupula anggota timnya. Jarang-jarang mereka bekerja menggunakan tenaga otak dan tenaga fisik begini sampai malam. Tapi ketika Arin melihat wajah-wajah lelah anggota timnya yang masih memiliki semangat, yang tetap ngotot melangsungkan rencana ini, Arin turut menjadi bersemangat.

"Mari kita lakukan dengan benar."

 

Hari ini benar-benar hari yang panjang untuk tim detektif. Mereka telah berada di sekolah dari pukul tujuh dan sekarang sudah pukul tujuh lagi. Mereka masih belum boleh pulang sebelum mendapatkan dokumen itu agar penyelidikan tidak terlambat.

Arin melirik jam tangannya. "Kita titip barang di warung bakso ini saja. Aku kenal pemiliknya. Segera bersiap, kita berjalan ke sana dalam sepuluh menit."

 

***

 

Di lokasi lain, pagi ini…

 

"Kita jalan berdua aja nih, Kak Bulan?"

Bulan mengangguk, dalam diamnya dia mulai mengeluarkan alat-alat yang dibutuhkan untuk penelitian dari lemari kaca yang masih tersisa. Kini tinggal Kanali dan Bulan saja di laboratorium setelah tim detektif meninggalkan mereka. Tidak ada satupun suara yang mengisi laboratorium selain suara yang samar masuk dari sela pintu, yakni obrolan seru siswa-siswi yang melakukan aktivitas class meeting di luar gedung.

Kanali menghela napas, mengedarkan pandangan ke seluruh sudut laboratorium. Laboratorium terasa sangat sepi sekarang. Interior laboratorium biologi cukup sederhana. Ukurannya hanya 6x6 meter. Di dalamnya terdapat tiga meja panjang, 40 kursi-kursi plastik yang ditumpuk di sudut ruangan dan hanya digunakan jika para anggota datang untuk belajar atau melakukan kegiatan klub. Terdapat sebuah papan tulis kaca yang cukup besar di dinding tengah dan kanan kirinya terdapat dua kerangka manusia yang salah satunya hancur akibat pencurian itu. Di samping papan tulis ada meja Pak Kimu, sebuah meja pengajar yang kecil. Di dinding kanan laboratorium terdapat poster-poster yang dipajang untuk meramaikan laboratorium seperti gambar anatomi katak, anatomi manusia, hewan endemik, sistem reproduksi, infografik penyebab mutasi dan proses fotosintesis. Agar barang-barangnya tidak berantakan, di dinding bagian kiri terdapat dua lemari kaca tempat menyimpan alat laboratorium yang banyak digunakan untuk penelitian, cairan-cairan kimia, sarung tangan dan jas laboratorium. Di sebelahnya terdapat juga sebuah kulkas yang baru dibeli sejak Arin mengajukan proposal pembuatan penelitian, di sana para anggota biasanya menyimpan hasil uji coba fermentasi dan percobaan biologi lainnya.  

Selesai mengamati laboratorium yang dilihatnya sepanjang hari dan terasa sepi, Kanali dalam hati mengeluh, aduh, kenapa dia kebagian meneliti dengan kakak yang irit bicara ini sih...

Meski sudah satu tahun berada di tim yang sama, Kanali tak begitu dekat dengan Bulan. Atau lebih tepatnya, tak banyak orang yang bisa akrab dan dekat dengan Bulan. Dia sangat pendiam dan hanya banyak bicara pada orang yang benar-benar dekat dengannya seperti Arin dan Naila dari angkatan yang sama. Han menjadi pengecualian karena dia sangat cerewet dan mudah akrab dengan orang.

Sesuai pembagian tugas, Kanali akan membuat ulang produknya hanya berdua dengan Bulan. Itu karena Arin percaya kemampuan keduanya saja cukup untuk menyelesaikan produk itu sementara yang lain berusaha mencari siapa pencurinya. Arin tidak bisa mengerahkan terlalu banyak orang untuk produk yang dibuat sebagai cadangan saja. Meski pendiam, Bulan adalah orang yang bekerja dengan tenang, fokus, dan cekatan. Dia pandai dan telaten. Kanali memahami betul mengapa Bulan yang dipilih untuk memimpin pembuatan ulang produk. Tapi kenapa anggota yang ditunjuk untuk bekerja dengan Bulan justru dirinya?

Kanali bersumpah, dia adalah tipe orang yang paling bertolak belakang dengan orang macam Bulan. Dia sangat cerewet dan senang bekerja dengan tim yang ramai. Selain itu, Kanali juga lebih suka tantangan. Bergabung dengan tim detektif adalah hal yang sangat diinginkannya, tapi kenapa dia yang dipilih untuk membuat ulang produk yang sama sekali tidak ada tantangannya ini? Berbeda dengan tim detektif yang melompat kesana kemari mencari siapa pencurinya, mewawancarai orang, Kanali dan Bulan hanya akan berdiam diri di laboratorium. Menyelesaikan laporan, mengekstrak daun, mensterilkan gelas, memeriksa komposisi. Ini hal yang sudah dilakukannya selama setahun penuh. Dia mau melakukan hal baru!

Tetapi Kanali tidak bisa mengeluh karena dia tidak ingin membebani Arin dengan keluhannya, selain itu, Arin pasti memiliki alasan mengapa dia menempatkan Kanali bersama Bulan meski dia tidak mengerti sama sekali apa alasannya.

Tapi… Kanali juga khawatir. Bagaimana kalau dia tidak bisa bekerja dan berkomunikasi dengan baik selama bekerja dengan Bulan? Sikap pendiam Bulan membuat dia segan membagikan pendapatnya. Bagaimana kalau Bulan merasa terbebani jika harus mengajarinya ini dan itu? Bulan berada satu tingkat di atas Kanali. Mirip seperti Arin, Bulan adalah sosok yang tak kalah cerdas. Dia terbiasa bekerja cepat dalam diam, memahami tugas tanpa diperintah dua kali. Seperti itulah yang Kanali perhatikan selama mereka berada dalam tim yang sama. Kanali dan Bulan memang tidak banyak mengobrol, paling hanya sebatas pembahasan penelitian saja sesekali. Kanali tertekan karena sama sekali tidak memahami bagaimana pribadi Bulan dan bagaimana cara seniornya dalam berpikir. Apabila ditempatkan bersama Kanali dalam tim peneliti pembuatan ulang produk ini, justru Bulan akan terlihat seperti pembimbing karena dia punya ilmu yang lebih banyak. Bagaimana kalau diam-diam, seniornya itu justru merasa lebih terbebani dibanding dirinya karena harus membimbing bocah? Kanali ditunjuk oleh Arin sebagai bendahara karena memang dia lebih pandai mengolah uang dibandingkan praktek biologi yang punya banyak pemahaman konkrit. Bagaimana kalau…

"Tahanlah, hanya seminggu, kok."

Kanali yang tengah melamun langsung mengerjap saat Bulan tiba-tiba bicara padanya.

"Tahan apa, Kak?"

"Bekerja denganku. Aku tahu kau merutuk karena tidak diajak masuk tim detektif. Tapi tahanlah, hanya satu minggu."

Wajah Kanali langsung memerah, dia menggeleng gelagapan. Takut Bulan salah paham dan tersinggung akan sikapnya. Bagaimana Bulan bisa tahu apa yang sedang dia pikirkan? Apa terlihat jelas di wajahnya bahwa dia kurang nyaman dan bosan?

"Oh, tidak, kok. Aku tidak berpikir begitu." Kanali berusaha meyakinkan Bulan dengan senyum canggung.

Bulan tertawa kecil.

"Tidak perlu malu, aku paham kau lebih suka bergerak dan mengerjakan hal-hal seru. Tapi karena sudah mendapat bagian ini, mari kita sama-sama bekerja keras." Bulan mengulurkan tangan kanannya, mengajak berjabat tangan.

Kanali menatap uluran tangan itu. Ragu-ragu dia mengangkat tangannya, membalas ajakan berjabat tangan oleh Bulan. Senyum perempuan yang berada satu tingkatnya itu terasa hangat dan mendukungnya untuk bersemangat. Tanpa sadar, sudut bibir Kanali ikut terangkat. Bulan berkata seperti itu seolah mengenal pribadinya dengan baik, dan dia tidak tersinggung karena Kanali diam-diam mengeluh satu tim dengannya. Senyum hangat Bulan membuat hati Kanali ikut menghangat.

"Baik, Kak. Mohon bantuannya."

"Kalau begitu, mari kita mulai agenda pertama kita. Berbelanja dan mengambil alat dan bahannya."

“Mengambil? Dari mana?”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
2035      784     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
KATAK : The Legend of Frog
432      349     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Only One
1098      751     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Bittersweet My Betty La Fea
4853      1536     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...
Lost in Drama
1969      781     4     
Romance
"Drama itu hanya untuk perempuan, ceritanya terlalu manis dan terkesan dibuat-buat." Ujar seorang pemuda yang menatap cuek seorang gadis yang tengah bertolak pinggang di dekatnya itu. Si gadis mendengus. "Kau berkata begitu karena iri pada pemeran utama laki-laki yang lebih daripadamu." "Jangan berkata sembarangan." "Memang benar, kau tidak bisa berb...
The Final Journey
433      303     5     
Short Story
Will they reached the top of the mountain with Fay's ashes?
Ansos and Kokuhaku
3516      1141     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Help Me to Run Away
2649      1186     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Tumbuh Layu
448      290     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Zo'r : The Teenagers
14169      2824     58     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018