Loading...
Logo TinLit
Read Story - DocDetec
MENU
About Us  

Pagi, pukul tujuh dua puluh dua.

Kembalinya Arin Tarim ke laboratorium pada pertemuan pagi itu mengejutkan seluruh anggota, kecuali Han yang sibuk nyengir-nyengir, menyombongkan keberhasilannya dalam membujuk ketua mereka kembali lagi.

Ketika Arin masuk, dua anggota klub terlalu terkejut untuk berdiri dari kursi (ini Ryan dan Jibar yang tak sangka Han berhasil membujuk Arin), ada pula yang hanya tersenyum dari kursinya (ini Bulan si pendiam), ada pula yang menyerbu Arin untuk memeluknya (dan ini Kanali).

“Wah, wah, wah! Kau kembali, Kak!” Pekik Kanali kegirangan, berlari membentang tangan menuju Arin. Arin menyambut pelukan Kanali dengan senyum hangat.

Semua anggota senang Arin kembali, sejenak mereka melupakan masalah yang membuat wajah semua orang di laboratorium tertekuk sejak kemarin.

Dengan wajah segan, Jibar berdiri dari kursinya, mendekat pada Arin. “Kami minta maaf karena menemuimu hanya setelah masalah ini terjadi. Sebelum itu, kami takut mengunjungimu karena yang terjadi padamu kemarin itu masalah internal yang tidak berani kami campuri. Kami pun tak punya cukup keberanian untuk membujukmu kembali, Kak.”

“Oi, kau tak berniat minta maaf padaku juga? Kemarin kau menuduh dan menarik kerahku, loh.” Han menyahut, menyikut Jibar. Jibar nyengir saja kemudian merangkul Han.

“Yah, maafkan aku, deh. Aku tak sangka kau berhasil membujuk Kak Arin. Selain itu, kemarin aku terbawa emosi saja.”

Arin menaikkan alis bingung mendengar percakapan Jibar dan Han. Dia tidak tahu menahu apa yang terjadi pada pertemuan di laboratorium kemarin karena Han tidak menceritakannya. Dia hanya menceritakan tentang penolakan kepala sekolah terkait penyelidikan dan izin untuk membuat ulang penelitiannya. “Kemarin mereka bertengkar?”

Kanali mengangguk cepat, mengadu. “Iya, Kak. Mereka ribut di depan Pak Kimu! Tarik-tarikan kerah!”

Arin menjitak Jibar dan Han, membuat mereka mengaduh, mengeluh tidak terima dijitak.

“Kami bertengkar bukan karena ingin, hanya terbawa emosi sedikit saja! Yang harus kau marahi itu Kanali, Kak! Awalnya Kanali berpikir kau hanya perlu menenangkan diri saja jadi tidak begitu dia pikirkan. Karena kau tak kunjung kembali dalam seminggu, dia panik tapi tak berani melakukan apa-apa.” Ujar Jibar membela diri, Han mengangguk setuju.

Arin tertawa melihat Kanali langsung melepas pelukan dengannya dan melompat untuk memukul Jibar. Dari kursinya, Ryan dan Bulan ikut tertawa, terhibur melihat kekonyolan kawan-kawannya. Arin merasa sedikit terharu dan rindu dengan momen ini, padahal, baru seminggu dia tidak melihat junior-juniornya juga bersama-sama di laboratorium biologi seperti ini. Arin sudah diberitahu Han bahwa dua anggota inti, Naila dan Davine mengundurkan diri. Arin sedikit menyayangkan hal itu, namun untuk sekarang biarlah mereka berjuang dengan anggota yang ada saja.

Setelah beberapa menit saling bercanda, Arin menengahi. “Baik semuanya, kita harus berhenti bercanda sekarang. Kita tidak punya banyak waktu lagi untuk bermain-main.”

 

Arin menjelaskan rencana untuk melakukan kedua cara. Yaitu membuat ulang penelitian dalam satu minggu sekaligus menemukan pelaku dan mendapatkan kembali penelitian mereka. Para anggota mendengarkan dengan saksama, sesekali memberi pendapat dan pertanyaan. Begini kesimpulan yang ada di catatan Bulan selaku sekretaris pertama dan Han selaku wakil ketua tentang pembagian tugas serta hasil diskusi panjang mereka di laboratorium.

1.         Terbagi atas dua tim, tim peneliti atau tim Bulan (biar mudah), dan tim detektif atau tim Ryan (biar mudah juga)

2.         Kak Arin terlibat dalam dua tim

3.         Tim yang diketuai Ryan terdiri atas Jibar dan HHan

4.         Tim yang diketuai Bulan hanya beranggotakan Kanali

5.         Timeline kerja disusun oleh Bulan (harus selesai pagi ini)

6.         Pencarian pelaku yang mencuri penelitian asli dilakukan seperti sedang mengejar penjahat di film Sherlock Holmes (apa-apaan?), catatan dicoret oleh Arin

7.         Jibar dan Kanali selaku bendahara membuat anggaran penelitian (harus selesai pagi ini juga)

 

“Kita masih punya beberapa alat yang tidak rusak, namun ada juga yang harus dibeli lagi.” Komentar Kanali sambil mencatat di buku anggaran selama diskusi. Dia menatap lemari kaca, banyak barang yang pecah akibat rusuhnya si pencuri dalam mengambil penelitian mereka.

“Benar.” Jibar mendengus kesal, “Demi Tuhan, siapapun pencurinya, aku benar-benar ingin memukulnya. Kita memperjuangkan klub ini sangat keras karena kekurangan alat dan buku referensi, bisa-bisanya dia dengan mudah mencuri dan menghancurkan harta kita ini. Apa dia tidak punya hati nurani? Atau tidak punya otak? Masa tidak tahu betapa mahalnya itu semua.”

“Mari kita lanjutkan.” Arin berdeham, berudaha menghentikan ocehan kesal Jibar, lanjut mencoret papan tulis laboratorium.

8.         Semua anggota klub (inti maupun tidak) masuk daftar tersangka. Seluruh anggota inti adalah tersangka utama

9.         Tim Bulan (para peneliti) menggunakan uang kas sebagai anggaran penelitian ulang

“Lantas, bagaimana dengan perizinannya? Bukankah ada biaya untuk itu? Aku sudah menanyakan tentang dana yang tersisa. Katanya, kemarin kepala sekolah menarik lagi dana itu karena kita dianggap tak bisa menjaga penelitian kita.” Han menyela, mengangkat tangannya.

“Hei, apa kau lupa? Perizinan dan uji keamanan memang tidak akan selesai bila kita ajukan sekarang, butuh waktu setidaknya dua sampai enam bulan. Kita bisa membahas masalah dana itu nanti dengan kepala sekolah kalau kita berhasil mendapatkan produknya kembali, atau berhasil membuatnya lagi. Yang kita butuhkan sekarang adalah laporan, hipotesa, hasil akhir produk, dan dokumentasi. Kita memang punya soft file hipotesa, dokumentasi dan laporan. Tapi, laporan digitalnya belum selesai karena catatan tangan kita ada di kotak yang dicuri itu. Sekarang, kita kehilangan kotak penelitian yang berisi produk dan laporan catatan tangannya. Artinya, kita harus membuat laporan ulang. Menurutku, dana yang dibutuhkan hanya untuk mengakses tautan jurnal… karena kita akan membantu Kak Arin.” Ryan menjawab, menjelaskan pertanyaan Han. Setelah Ryan dan Han berdiskusi semalam, Han meminta Ryan memberitahu seluruh anggota tim via panggilan telepon bahwa mereka akan membantu Arin untuk menulis jurnal penelitian agar ketua klub mereka itu bersedia kembali. Ryan menghubungi mereka saat Han menemui Arin dan seluruh anggota setuju untuk membantu.

Arin mengangguk, “Ryan benar. Sekarang itu bukan masalah. Kalaupun kau dan aku hendak membuat jurnal atau esai, kita tidak harus sejauh itu karena isi jurnal penelitian hanya berfokus pada keberhasilan uji coba, bukan layak edar.”

Arin menulis poin terakhir sebelum meletakkan spidol di atas meja kemudian menatap anggotanya satu persatu.

10.       Semua kegiatan dimulai hari ini. Tim peneliti setidaknya sudah mendapat anggaran, membeli bahan, dan memulai pembuatan ekstrak bahan utama. Tim detektif harus menyeleksi tersangka utama (anggota inti) dan beres mewawancarai mereka hari ini.

“Mulai sekarang, penyelidikan dan penelitian ulang klub Biologi akan dimulai.”

 

***

 

Pukul sembilan lima belas, lima menit setelah pembagian tugas.

“Sebelum kita mengintrogasi tersangka lain, aku perlu mendapatkan alibi kalian dulu. Kalian justru orang yang paling berpotensi membawa pergi penelitian itu entah apapun gunanya. Kalian adalah orang-orang terakhir yang meninggalkan laboratorium pada sore sebelum penelitian itu menghilang. Aku tak terpikir satupun dari kita akan berkhianat, karena selain untuk membuktikan klub ini berjalan pada sekolah, kita tidak tahu penelitian itu bisa digunakan untuk apalagi. Tapi, tidak ada yang tahu, kan?”

Han mengangguk setuju, Arin menunjuknya sebagai orang pertama yang harus memberi alibi.

“Ceritakan kegiatanmu seminggu selama aku mengundurkan diri dari klub dan lebih lengkap lagi tentang malam saat penelitian tersebut hilang.”

Han berdeham, memulai cerita. “Aku orang pertama yang menemukan surat yang kau tinggalkan di pos satpam, saat itu aku melaporkannya pada Pak Kimu. Kami mengadakan diskusi dan sepakat percaya bahwa kau hanya butuh waktu pada awalnya. Seperti kata Jibar, apa yang terjadi minggu lalu itu betul-betul hal internal dan sensitif, kami tidak berani menemuimu dan memutuskan untuk melanjutkan penelitian seperti yang kau katakan di surat itu.”

“Seminggu penuh, aku hanya sibuk menyelesaikan salinan laporan, membahas dekorasi stan. Karena kita tidak lagi belajar dan sekolah hanya sampai pukul dua belas setelah pembagian rapor semester, pulangnya aku selalu pergi main ke rumah Ryan. Sesekali kami membahas bagaimana jika kami menemuimu, hanya saja kami masih ragu, takut kau masih butuh waktu sendiri. Hari Senin tanggal 4 Desember, kami berkumpul dan pulang lebih lama karena parade semakin dekat. Siangnya aku menemui Pak Kimu untuk membahas penulisan komposisi produk penelitian kita yang benar dan pendanaan stan. Saat itu kami juga berdiskusi terkait cara menemuimu lagi, apakah kami harus beramai-ramai datang ke rumahmu atau tidak. Karena, sudah seminggu kau tidak bisa dihubungi dan kami mulai khawatir kau memang berniat tidak kembali lagi. Tanpamu, kami pasti akan kesulitan menjelaskan produk penelitian dan menonjolkan kelebihannya pada Bapak Menteri kalau memang beliau mampir sesuai rumor. Kami keluar dari laboratorium pukul lima dan menyerahkan kunci pada satpam. Malamnya, aku yang biasa main ke rumah Ryan tidak bisa pergi karena hujan deras. Besoknya, hari Selasa, kami berniat menemuimu sepulang sekolah. Setidaknya, akan diwakili aku dan Kanali. Tapi, belum sempat kami mampir, paginya aku yang membuka laboratorium untuk mengambil desain stan, menemukan bahwa laboratorium telah diacak-acak dan penelitian tim kita telah dicuri. Semua rencana jadi kacau balau.”

“Apa yang bisa membuktikan alibimu ini?” Arin bertanya sambil mencatat di sebuah buku kecil yang sering mereka lihat selalu dibawanya kemana-mana sejak masuk klub. Dia bergaya seolah detektif betulan.

“Tentu saja kau bisa bertanya pada Ryan. Dia orang yang paling sering aku temui karena kami tetangga. Pokoknya, aku tidak pergi kemanapun malam itu. Ibuku juga bisa memastikannya. Kau tahu ibuku tidak mungkin membiarkan aku keluar rumah saat hujan deras, dia sangat protektif.”

“Tapi bisa saja kau menyelinap keluar, kan? Kau bahkan bisa memanjat lantai dua rumahku.” Dari nadanya, Han tahu Kak Arin hanya bergurau. Tapi dia tetap memasang wajah orang yang sedang dikhianati.

“Wah, aku tak sangka kau akan berkata begitu setelah aku berusaha membujukmu sampai hampir jatuh dari atap. Aku tidak mencurinya, Kak. Tidak ada alasanku untuk melakukannya. Lagipula, aku ini mudah flu kalau keluar saat udara dingin. Buktinya, pagi kemarin aku masih fit, kan?”

“Teleponlah ibumu, aku perlu mendengar kesaksiannya sekarang.”

Han terperangah, “Kak, kau bercanda, kan? Kau tidak benar-benar akan mencurigaiku sejauh itu, kan?”

Arin mengangkat bahu sambil mengedarkan pandangan, menatap seluruh anggota inti klub. “Aku mencurigai siapapun di ruangan ini dan kalian juga boleh mencurigai aku. Aku harus memeriksa alibimu.”

Han mendesah lelah, dia mengeluarkan ponsel dari kantong celana dan menelepon ibunya. Setelah berbicara sebentar terkait kegiatan Han di malam itu. Ibunya mengonfirmasi pada pukul delapan mereka makan malam bersama, setelahnya Han menonton film horor dengan adik perempuannya di ruang keluarga sampai pukul sebelas.

Setelah telepon ditutup, Han menatap Arin dengan tatapan sedih, seolah baru saja dikhianati. “Kau dengar, kan? Aku tak sangka kau begini.”

Arin dan anggota lain tertawa melihat wajah Han yang hiperbola.

“Baiklah, alibimu sudah dibuktikan dan kau dibebaskan dari daftar tersangka. Selanjutnya.”

Arin bertanya pada satu persatu orang di sana, alibi para anggota inti pun tidak ada yang mencurigakan. Semuanya menceritakan dengan lancar dan mereka melakukan aktivitas biasa saat malam hujan deras dan membuktikan alibi melalui orang rumah. Malam itu, memang tidak ada yang berminat keluar rumah. Kecuali si pencuri yang jelas mencuri kesempatan saat listrik padam. Alangkah pandainya dia. Arin sejujurnya agak takjub dengan betapa beraninya si pencuri.

“Nah, karena kita sudah beres dengan ini, kita perlu berpisah sepenuhnya dan bekerja sesuai tim masing-masing. Bulan, aku mengandalkanmu. Kapanpun kau merasa kesulitan, hubungi saja aku, aku akan menemuimu. Setelah ini aku akan menemui Pak Kimu untuk bicara padanya tentang hasil diskusi dan meminta perizinan melakukan penyelidikan. Aku juga akan meminta izin untuk menggunakan ruangan kelas kosong agar penyelidikan lebih mudah dan mengecek ulang rekaman CCTV. Semangatlah, kita akan berkerja keras selama satu minggu ini!”

 

***

 

Tim detektif memulai penyelidikannya di kelas tidak terpakai yang biasa digunakan untuk para guru melakukan kelas matematika tambahan di ujung koridor lantai tiga gedung kelas formal. Mereka menamai ruangan itu sebagai ruang bukti. Kelas tidak terpakai itu resmi menjadi ruang berkumpulnya para detektif dan tempat menyimpan seluruh informasi (Arin tentu saja sudah menemui pak Kimu dan meminta izin). Arin menyusun fotokopian buku absen setiap kelas dari jurusan IPA yang dia dapatkan dari Pak Kimu di empat meja yang telah disatukan menjadi satu meja besar. Di atas meja itu pula, Jibar mengeluarkan apa yang diperintahkan Arin tadi untuk dicarinya tadi sebelum mereka berpisah, yakni seluruh arsip juga biodata anggota klub biologi yang didapatkannya dari loker Naila dan catatan Bulan.

Tak hanya Arin dan Jibar, dua anggota lain juga memiliki tugas. Ryan membawa kertas timeline dan rangkaian tugas yang perlu mereka selesaikan. Dia mendapatkan berkas tersebut dari Bulan yang bekerja sebagai sekretaris. Sementara Han sempat pulang sebentar untuk mengambil printer milik ayahnya dan komputer jinjing dari rumah untuk mencetak berkas pencarian mereka. Han pula yang akan mencatat seluruh hasil diskusi hari ini (juga selama seminggu ke depan) dan merangkap menjadi asisten para detektif (baca: Arin, Jibar, dan Ryan).

Pukul dua belas lewat dua menit, diskusi kasus pencurian penelitian milik klub belajar biologi dimulai.

"Jadi, pencurian terjadi sekitar pukul delapan sampai sepuluh..." Arin menerangkan ulang kasus mereka, Han mengetik di laptop.

“Pencurian tersebut adalah pencurian penelitian milik klub belajar biologi yang telah dirancang sejak tahun lalu. Tepatnya, pertama kali dicetuskan pada pidato pelantikan Arin Tarim selaku ketua klub biologi. Penelitian tersebut berupa obat tradisional, atau lebih tepatnya salep dengan ekstrak tanaman lokal, yakni daun matoa. Penelitian ini akan dipamerkan minggu depan setelah seluruh laporan selesai dengan tujuan mendapat perhatian kepala sekolah, kepala Yayasan, serta Bapak Menteri agar klub biologi bisa lebih maju lagi. Klub biologi merupakan klub yang tidak banyak mendapat perhatian di sekolah, tidak seperti klub matematika dan olahraga. Di sekolah ini, dua klub tersebut mendapat fasilitas yang lengkap karena memiliki banyak peminat. Sementara klub biologi tidak. Maka dari itu, klub biologi perlu diperjuangkan agar mendapat fasilitas memadai, dana untuk kegiatan-kegiatan, dan menarik lebih banyak anggota. Agar proses belajar di klub tersebut lebih lancar. Anak-anak yang memiliki passion di bidang kesehatan maupun ilmu hayat akan dipermudah ketika klub lebih maju. Nah, ini merupakan kilas balik dan penjelasan dari penelitian yang hilang. Lantas, siapa saja yang mengerjakan penelitiannya?” Arin meletakkan selembar polaroid wajah Pak Kimu, setelah itu berangsur menambah wajahnya serta wajah anggota inti yang terlibat.

“Setelah proposal penelitian yang ditulis Arin Tarim disetujui kepala sekolah, selaku guru mata pelajaran Biologi, Pak Kimu ditunjuk menjadi penanggung jawab penelitian. Arin Tarim menjadi ketua pelaksana kegiatan, kemudian dia dapat memilih siapa saja yang boleh terlibat. Atas saran Han Adzirin, penelitian sebaiknya dilakukan dengan orang-orang yang telah dipilih Arin sebagai pemangku jabatan saja. Sebelumnya, Arin juga memilih para pemangku jabatan berdasarkan kapabilitas mereka. Para pemangku jabatan yang disebut anggota inti. Maka terbentuklah tim peneliti setelah konfirmasi dari anggota yang ditunjuk. Para anggota inti mendapatkan keuntungan dari membuat penelitian ini, sehingga, semua orang-orang yang ditunjuk menerima dengan sukarela. Nah, keuntungan apa yang mereka dapatkan?”

Arin mulai mengambil spidol dan menulis poin di samping rentetan polaroid wajah yang ditempel di sana.

1.         Nilai akhir selama dua semester yang terjamin.

2.         Mendapatkan fasilitas laboratorium yang bagus (termasuk mendapat pengajar dan mendapat banyak informasi lomba)

3.         Kemudahan mendalami bidang yang diminati.

“Bagi siswa seperti kita, belajar dan cita-cita adalah segalanya. Tidak ada anggota yang keberatan untuk bekerja keras menyukseskan penelitian tersebut. Penelitian juga dilakukan untuk kepentingan pribadi klub belajar biologi, seharusnya, tidak ada orang yang tertarik dengan penelitian ini. Karena, apa untungnya buat mereka? Tidak ada orang lain di luar klub yang berkepentingan dengan penelitian kita. Selain itu, penelitian kita dirahasiakan dari anggota biasa karena menghindari konflik khawatir ada yang iri dengan anggota yang dipilih olehku. Seharusnya, kita paling mungkin menghapus daftar nama siswa jurusan IPS karena korelasinya sama sekali tidak ada. Kemudian, untuk anak jurusan IPA di luar klub, kita tidak bisa asal menghapus mereka karena kemungkinannya masih ada. Terus terang, aku masih belum menemukan titik terang, sebetulnya, untuk apa si pencuri mencuri penelitian tersebut. Apa kalian punya dugaan?” Arin melempar pertanyaan pada detektif lain. Ryan, Han, dan Jibar saling pandang.

“Mungkinkah untuk keuntungan pribadi?” Han menebak, memberi pendapat yang dia sendiri pun tampaknya tak yakin.

“Keuntungan pribadi macam apa?” Ryan menyahut.

“Kalau untuk urusan akademik sekolah, si pencuri ingin memperoleh nilai seorang diri atas penelitian ini, rasa-rasanya mustahil. Sebagian guru IPA mengetahui penelitian kita karena kita berkonsultasi. Misalnya Bu Jina, guru Kimia, ia jelas mengetahui penelitian kita. Apabila ada orang yang ingin melaporkan penelitian tersebut atas hasil kerjanya, bukankah bisa langsung ketahuan? Tapi, boleh jadi juga penelitian dan laporannya dicuri untuk dijual, kan? Yah, walaupun aku juga tidak mengerti bagaimana caranya dan bagaimana informasi mengenai penelitian kita ini bisa diketahui oleh si pencuri, kalau saja pencurinya adalah orang di luar anggota klub inti.” Arin menjelaskan hal yang menjadi kebingungan Ryan. Anggota yang bertanya merespon dengan anggukan paham.

Dia kemudian lanjut bicara ketika melihat wajah Han yang justru tambah kebingungan mendengar penjelasannya. “Kau mau bertanya apakah penelitian ini bisa dijual, Han? Tentu saja bisa. Nilainya cukup besar, tapi aku tidak terpikir menjual penelitian kita kemudian membagi uangnya. Lebih baik, penelitian itu digunakan untuk memajukan klub dan menjadikan produk itu milik kita bersama. Lagipula, uangnya tidak bisa ditabung untuk kuliah, karena nilainya tidak sebesar itu untuk bisa kupakai mendaftar kuliah kedokteran. Apalagi, ini penelitian bersama. Hasilnya bahkan tidak mendorong sedikitpun peluang aku bisa masuk dengan membayar uang semester. Kenapa penelitian bisa dijual? Aku pernah membaca informasi seperti ini di sosial media, ‘Setiap penemuan atau barang yang diciptakan secara unik oleh seseorang termasuk dalam kategori kekayaan intelektual’.”

Han ber-oh ria, lantas dia mengerutkan kening karena muncul pikiran baru. “Itu makanya para anggota inti justru bisa menjadi tersangka utama, ya… tentu saja sangat memungkinkan salah satu dari kita jadi pengkhianat jika mengesampingkan nurani. Karena bagaimanapun, itu bisa saja digunakan untuk keuntungan pribadi, kan?”

Arin menjentikkan jari. “Tepat sekali. Aku tidak bermaksud mencurigai kalian, tapi, hal itu tetap perlu dilakukan. Untuk sementara, aku menunda untuk mencurigai anggota inti lebih lanjut setelah mendengar semua alibi yang masuk akal tadi sampai kita mendapat petunjuk berikutnya. Jika dipikirkan secara rasional, aku tidak boleh mempercayai kalian begitu saja sebelum ada bukti yang lebih konkrit dari sekadar keterangan keluarga. Kalianpun tidak boleh mempercayai aku begitu saja meski aku seorang ketua dan baru kembali setelah mengunci diri. Tetap ada kemungkinan pelakunya adalah salah satu dari kita. Tapi, bisa saja pelakunya adalah anak di luar klub atau anggota biasa. Kalau anggota biasa, dugaan motifnya bisa saja untuk keuntungan pribadi, bisa saja rasa iri karena tidak ‘diajak’ kalau-kalau ada yang tidak sengaja mendengar informasi penelitian. Sementara kalau untuk siswa-siswi jurusan IPA di luar klub, aku berpikir bahwa kemungkinannya hanya keuntungan pribadi saja. Uang.”

“Tunggu, kenapa kita mesti memahami motif si pelaku? Bukankah itu bisa kita ketahui nanti setelah pelakunya tertangkap? Melalui bertanya padanya, mungkin…?” Han memiringkan kepalanya tidak mengerti. Dia daritadi yang paling banyak bertanya karena tidak terbiasa dengan pola berpikir cepat Arin dan dua kawannya yang dengan tangkas manggut-manggut paham. Sementara dia harus menulis hasil diskusi, Han harus benar-benar memahami isi diskusi mereka.

Arin menggeleng takzim. “Sebuah kasus kejahatan tidak sesederhana itu, Han. Memahami motif pelaku bisa membantu kita mempersempit daftar tersangka, juga menyelidiki latar belakang orang-orang yang kita masukkan ke daftar tersangka agar bisa dicocokkan dengan motifnya. Selain itu, bila kita menemukan kesimpulan motif si pelaku, kita bisa mengira-ngira langkah apa yang akan diambilnya setelah mencuri penelitian. Untuk saat ini, kita masih memasukkan seluruh siswa jurusan IPA ke dalam daftar pelaku tanpa mengeliminasi satupun. Artinya, itu akan sangat memberatkan kita dan menghabiskan waktu lebih dari satu bulan untuk bisa menemukan siapa pelakunya. Makanya, kita perlu berdiskusi panjang tentang motif si pelaku dan bisa mengeliminasi orang-orang yang dirasa-rasa tidak mungkin masuk ke daftar tersangka. Namun, untuk sekarang, meski kita mengira-ngira, kita tetap belum bisa melakukannya karena ada terlalu banyak tersangka. Kita bisa melakukan itu setidaknya setelah melihat bukti pertama, rekaman CCTV.”

“Tapi, Kak, bukankah sudah kuceritakan bahwa rekaman CCTV tidak membantu apa-apa karena listriknya padam?”

“Aku yakin masih ada yang bisa kita dapatkan. Kita tetap akan pergi ke sana setelah ini. Satu yang bisa aku simpulkan tentang pribadi si pelaku, yaitu, dia tahu dengan jelas nilai penelitian ini.”

Ryan dan Jibar mengangguk setuju, mereka mulai membuat notes pribadi di ponsel genggam masing-masing. Keduanya terbiasa memproses informasi dengan cepat, mereka langsung mengerti tanpa banyak bertanya.

“Pokoknya untuk masalah motif si pencuri, mari kita buat catatan kesimpulan dulu untuk setiap jenis kelompok.”

1.         Ada tiga jenis kelompok tersangka dari seluruh siswa-siswa jurusan IPA (dari kelas X hingga XII), yakni:

a)         Kelompok orang awam (siswa-siswi di luar klub dengan total 423 orang)

b)         Kelompok anggota biasa (total 14 orang)

c)         Kelompok anggota inti (total 8 orang)

2.         Dugaan motif jika pelaku adalah orang awam: perolehan keuntungan finansial pribadi jika penelitian berhasil dijual atau perolehan nilai tambahan untuk mendaftar perguruan tinggi

3.         Dugaan motif jika pelaku adalah anggota biasa: perolehan keuntungan finansial pribadi jika penelitian berhasil dijual, perolehan nilai tambahan untuk mendaftar perguruan tinggi, atau rasa iri akibat tidak diikutsertakan dalam penelitian

4.         Dugaan motif jika pelaku adalah anggota inti: perolehan keuntungan finansial pribadi jika penelitian berhasil dijual, perolehan nilai tambahan untuk mendaftar perguruan tinggi, atau alasan pribadi yang berkaitan dengan perasaan si pelaku

 

“Mari kita persempit sedikit. Seluruh anggota klub biologi adalah tersangka utama, anggota biasa maupun inti. Tapi, anggota inti lah yang paling berpotensi mencurinya. Tersisa dua anggota inti yang belum kita interogasi, yaitu Naila dan Davine. Mari temui mereka setelah mengecek CCTV.”

Ryan mengangkat tangan sebelum para anggota bersiap keluar dari ruang bukti.

“Akan memakan banyak waktu jika kita melakukannya satu persatu seperti itu. Lebih baik, kalian bertiga pergi melihat rekaman, aku pergi menemui Naila dan Davine satu persatu. Aku akan merekam percakapan kami tanpa mereka tahu. Kak Arin tidak perlu khawatir denganku, meski baru pertama kali menginterogasi orang, aku sering membaca teknik membuka rahasia lawan bicara. Aku yakin bisa melakukannya.”

Arin mempertimbangkan saran itu sebentar, lantas mengangguk dengan seringai kecil.

“Aku percayakan tugas itu padamu, ya, Ryan.”

Ryan berpisah dari rombongan. Setelah mengakhiri diskusi di ruang bukti, Arin datang ke ruang CCTV dan mengecek rekaman secara langsung. Tapi hasilnya pun sama saja, dia tidak mendapatkan kesimpulan apa-apa. Karena sesuai dengan apa yang Han sampaikan, saat itu listrik padam jadi tidak ada rekaman saat si pencuri menjalankan aksinya. Demi memahami secara lengkap, bahkan setelah Han bercerita semalam, Arin tetap menanyakan ulang keterangan dua satpam yang berjaga sambil merekamnya.

Meski tidak mendapat apa-apa, setelah dua puluh menit mengecek rekaman CCTV, Arin tidak kunjung beranjak dari sana dan terus memperhatikan rekaman kosong tersebut.

“Kak.” Han berbisik. “Kita mau melakukan apalagi di sini?”

“Diam dulu, Han.” Arin mendesis, kembali fokus memperhatikan rekaman. Han dan Jibar yang membuntuti Arin saling lirik.

Lima menit lagi berlalu, Arin masih diam memperhatikan rekaman CCTV yang diulang-ulang olehnya. Tak lama, dia berseru dan menghentikan rekaman tepat pada pukul sepuluh saat listrik kembali menyala dan kamera perekam aktif.

“Lihat, ada becekan lumpur di lantai dua.”

Arin menunjuk kamera nomor tiga yang menunjukkan koridor gedung laboratorium. Awalnya, rekaman itu tidak menunjukkan apa-apa. Karena jika ada jejak kaki pun, pasti sudah terhapus oleh hujan yang masuk lewat genting yang ringkas. Tapi semakin diperhatikan, saat Arin membandingkan rekaman dari kamera yang sama pada pukul delapan, ada perbedaan yang sangat kecil. Ya, kecil sekali.

“Aliran banjir yang mengalir di lantai seharusnya jernih. Di rekaman kamera pada pukul delapan, aliran itu ada tetapi sedikit karena hujan baru mulai deras sekitar sepuluh menit. Tetapi pada pukul sepuluh, ketika kamera kembali menyala, alirannya sudah deras saja seiring dengan hujan yang bertambah deras. Tetapi, air yang mengalir di lantai itu seharusnya jernih. Di rekaman pukul sepuluh, aliran airnya berwarna sedikit kecoklatan. Artinya, baru ada yang melintas dengan alas kaki berlumpur. Karena jelas saja, mereka pasti melintasi tanah basah di depan gedung laboratorium untuk sampai di atas. Setidaknya, kita jadi tahu bahwa mereka pergi tidak lama sebelum listrik kembali menyala. Mungkin mereka mulai menjalankan aksi sekitar pukul setengah sepuluh.”

“Kalau itu aku juga tahu, Kak. Saat menemukan lab telah diacak-acak, jelas sekali ada jejak kaki yang sedikit berlumpur. Ada banyak yang mengotori lantai. Tetapi, kami tidak berpikir sejauh itu untuk memotretnya atau menelitinya. Pokoknya, setelah melihat laboratorium acak-acakan, kemudian kulihat kotak penelitian kita menghilang, aku langsung melapor pada Pak Kimu. Kemudian kami kembali lagi untuk melihat, dan Pak Kimu telah memanggil petugas kebersihan untuk membereskan kekacauan. Kami berkumpul setelah pecahan kaca dibereskan dan lantai di pel karena itu berbahaya.”

Arin menepuk dahi, wajahnya terlihat frustasi.

“Itu adalah bukti yang penting sekali. Kalau kau memberitahu aku daritadi, aku tak perlu melotot memperhatikan rekaman kosong ini.”

“Kenapa itu jadi bukti yang penting? Apa yang spesial dari bekas jejak kaki berlumpur?”

Jibar mendecak mendengar pertanyaan Han, setelah berpikir keras dia baru memahami apa yang sebetulnya diincar oleh Arin. “Kau mau lihat sepatu atau alas kaki merek apa yang dipakai pencurinya, ya, Kak?”

Arin mengangguk pelan, dia beralih menatap Han penuh harap. “Benar, bahkan ukuran kakinya saja bisa membantu. Han, kau yang pertama kali melihat. Coba kau ingat-ingat lagi seperti apa bentuk material dan motif outsole yang digunakan si pencuri.”

“Kak… mana mungkin aku mengingatnya… waktu itu aku terlalu panik untuk sekadar memperhatikan motif lumpur yang tercetak dari outsole sepatu si pencuri.” Han mengeluh. Mustahil baginya untuk memperhatikan hal-hal seperti itu ketika dia mengetahui bahwa penelitian berharga klub mereka telah dicuri.

Arin tetap bersikeras, keningnya berkerut, dia menyentuh bahu Han dan menekannya pelan untuk menunjukkan permohonannya agar Han berusaha untuk mengingat. “Kau harus coba mengingatnya, Han! Justru ketika terjadi pencurian, itulah hal pertama yang harus kau perhatikan. Harusnya, jangan kau biarkan petugas kebersihan masuk sebelum memperhatikan dengan saksama.”

Han berpikir keras. Tetapi setelah beberapa menit berpikir, dia masih tidak mendapatkan ingatan apa-apa.

Han mendesah lelah, menggeleng pada Arin, memberitahu bahwa dia tidak bisa mengingat apapun. Mana dia tahu hal seperti itu akan menjadi penting sekarang. Arin menunduk dengan pandangan kecewa, bersiap keluar dari ruangan CCTV dan memasukkan kembali catatannya ke kantong rok. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan di sana.

Tepat saat itu, Han yang sejak tadi bergeming karena berusaha memaksa kepalanya untuk mengingat kejadian pagi kemarin, berseru.

“Tunggu, Kak! Aku sepertinya ingat ukuran kakinya!”

Arin berhenti, dia berbalik dan memandang Han berbinar sambil mengeluarkan buku catatannya dengan cekatan.

“Benarkah? Berapa?!”

"Aku sebetulnya tidak begitu ingat, tapi saat pertama kali datang, aku sempat melihat pecahan kaca sedikit lama. Meski begitu, aku ingat perbandingan ukuran cetakan lumpur basah dengan ukuran kaki dan sepatuku..." Han mengangkat sepatunya, memperhatikan dengan saksama. "Sepertinya ukuran kaki pelaku cukup kecil. Ukuran kakiku 41, jika dipikir-pikir lagi, perbedaan beberapa senti yang cukup signifikan itu... sepertinya antara 35 sampai 37."

"Astaga!" Arin terperanjat, kemudian lanjut mencatat. "Itu ukuran kaki yang cukup kecil."

Jibar mengangkat alis, cukup terkejut juga dengan informasi tersebut. "Mungkinkah pelakunya seorang perempuan?"

Arin berdeham, menanggapi pertanyaan Jibar. "Sepertinya memungkinkan. Tapi yang cukup mengejutkanku, kalau memang dia perempuan, keberaniannya patut diacungi jempol, kan? Dia datang malam-malam, kisaran pukul delapan sampai sepuluh saat listrik padam. Eh, apa jejak kaki yang kau lihat hanya satu jenis? Bukan dua? Barangkali dia minta seseorang menemani."

"Ya, hanya satu."

"Wah, itu tindakan yang cukup berani. Tapi tidak menutup kemungkinan juga dia datang berdua, atau lebih. Bisa saja yang menemaninya menunggu di luar laboratorium dan jejaknya terhapus hujan."

"Kalau begitu, untuk ukuran siswa, ini bukan kejahatan sempurna. Inilah kecerobohan pertamanya. Ini informasi yang berguna sekali." Arin mengepalkan tangan ke udara, sudit bibirnya terangkat karena mulai mendapat harapan.

Tetapi Jibar tidak terlihat begitu semangat, dia masih berusaha keras memikirkan sesuatu. Setelahnya dia beralih bicara pada Han, "Tunggu, Han, kau betul yakin dengan ingatanmu, kan? Aku jadi ragu. Jujur, aku sedikit mengerti perasaanmu waktu itu. Pastilah kau sangat panik dan terkejut. Apa kau benar-benar mengingatnya dengan benar? Kau tidak mengatakannya untuk menenangkan kami karena kita tidak kunjung menemukan titik terang, kan?"

Han yang masih tegang mengangguk cepat, mengonfirmasi jawabannya. "Aku cukup yakin. Karena Kak Arin terus memaksaku mengingatnya, aku jadi teringat saat pertama kali melihat pecahan kaca. Aku lihat jejak itu meski sekilas. Aku menghitung berapa kira-kira ukuran kaki yang cukup kecil itu. Tapi karena hanya lihat sekilas, aku sama sekali tak ingat motif outsole-nya."

Akhirnya, setelah mendengar itu, Jibar ikut tersenyum. Arin benar, ini informasi yang sangat berguna.

"Kita tinggal mengumpulkan data ukuran sepatu setiap murid sekolah ini dan menyingkirkan ukuran sepatu yang bukan kisaran 35 sampai 37, bagaimana?"

Arin dan Han mengangguk kompak. Mereka siap mengerjakan pencarian ini karena titik terang telah ditemukan. Setidaknya, mereka bisa mengurangi daftar tersangka dan tidak perlu bekerja sangat keras untuk menginterogasi ratusan siswa IPA di sekolah.

Sambil berjalan kembali menuju ruang bukti, Han yang sudah lebih rileks berkomentar tentang apa yang dia pikirkan tentang si pencuri.  "Kalau pencurinya cerdas, dia seharusnya melepas sepatu dan masuk tanpa alas kaki."

"Tapi itu pasti memakan waktu lebih lama. Dia pasti cukup panik dan terburu-buru saat mencarinya karena tidak tahu pasti kapan listrik akan kembali menyala. Dia bertaruh dengan waktu." Komentar Jibar, Arin mengangguk setuju.

Han menoleh pada Arin, “Aku terkejut dengan ketelitianmu, loh, Kak. Itu mengejutkan. Kau bergerak dan berpikir seperti seorang detektif betulan. Bagaimana kau bisa tahu hal-hal seperti itu, Kak?”

Arin berdeham malu kemudian tersenyum kecil. “Sejak kecil aku suka sekali baca novel detektif. Aku suka sekali Sherlock Holmes, Detective Conan, Agatha Cristie, Keigo Higashino… masih banyak lagi, deh.”

Han menatap Arin sebentar, lantas balas tersenyum. Baru ini dia melihat Arin tersenyum seperti itu saat membahas hal lain selain mimpinya untuk menjadi dokter.

 

***

 

Siang hari, pukul satu lewat sembilan menit.

Ryan yang tadi berpisah dengan rombongan kembali bersama ke ruang bukti karena tugasnya menginterogasi dua anggota inti yang tersisa sudah selesai.

Mereka kembali duduk melingkari meja belajar yang dijadikan satu meja besar, siap membahas hasil tugas pertama.

“Ryan, kau bisa mulai lebih dulu menunjukkan hasil rekaman dan memaparkan kesimpulan terhadap jawaban mereka.” Arin memberi arahan dengan semangat. Ryan yakin rombongan yang berpisah dengannya punya kabar baik setelah kembali dari ruang CCTV.

“Baik, Kak. Ini merupakan fakta mengejutkan. Menurutku, dari jawaban mereka, keduanya mencurigakan."

"Apa yang membuatmu berkata begitu?"

"Setelah kita berpisah, aku menyiapkan map untuk penyelidikan kita, khusus milikku. Nah, sebelum menemui mereka, aku membuat daftar pertanyaan." Ryan mengulurkan 3 lembar kertas yang isinya sama semua dari map hitam yang sepertinya sempat dia beli di fotokopi sekolah. Dia membagikan masing-masing selembar pada rekan-rekannya.

Begini isi daftar pertanyaan yang dibuat Ryan:

1. Apa yang kau lakukan pada malam kejadian, yakni malam pada tanggal 4 Desember?

2. Apa alasanmu berhenti dari penelitian?

3. Apakah ada perkiraan siapa pencuri dan apa tujuannya?

4. Seperti apa kesanmu dalam mengerjakan penelitian?

5. Seperti apa kesanmu terhadap rekan peneliti lain?

6. Seperti apa perasaanmu ketika pertama kali mendengar bahwa penelitian telah hilang dan dicuri?

7. Apa harapanmu terhadap penelitian?

Arin berdeham takjub setelah membaca daftar pertanyaan yang dibuat oleh Ryan. Anak ini boleh juga persiapan dan pola pikirnya.

"Dengan acuan kertas pertanyaan itu, ini dia isi rekaman percakapan kami yang kuambil diam-diam."

Klik!

Rekaman pertama diputar pukul dua belas dua puluh lima, subjek: Naila Akira, XII IPA 2, tersangka utama, anggota inti, kepala arsip laboratorium.

"Selamat siang, Kak Naila. Apa kau sibuk? Belum hendak pulang, kan?"

"Oh, halo, Ryan. Yah, aku sedikit sibuk, kursusku akan dimulai dalam dua puluh menit. Ada apa?"

"Ah, aku minta maaf, Kak. Tapi, aku punya pertanyaan untukmu tentang penelitian kita. Sebab, kami hendak menulis laporan tentang apa yang mungkin terjadi malam itu untuk kepala sekolah. Kau tahu... kami belum menyerah. Kami masih ingin memperjuangkan penelitian itu sedikit lagi. Setidaknya, jangan sampai kami dieliminasi dari pameran. Kami melakukan segala cara termasuk menulis laporan ini agar kepala sekolah tidak menarik kembali anggaran klub. Yah, kami akan memamerkan apapun yang ada dan bisa dibuat, deh. Laporan ini ada supaya beliau percaya pencurian ini berada di luar kuasa kami."

Terdengar suara Naila berdeham, menandakan bahwa dia paham.

"Ah, kau benar. Itu hal yang sangat disayangkan. Tapi aku tak bisa banyak membantumu. Aku harus fokus belajar untuk ujian tes perguruan tinggi. Semakin lama di klub ini, waktuku semakin terbuang."

"Baik, maaf sudah mengganggumu. Tapi bisakah aku tetap bertanya beberapa hal untuk menyelesaikan laporan ini, Kak? Kami sangat membutuhkan jawaban seluruh anggota inti yang terlibat. Aku berjanji takkan lebih dari lima belas menit. Kau bisa langsung pergi ke tempat kursus jika sudah selesai."

Tidak ada suara selama beberapa saat, sebelum akhirnya terdengar suara helaan napas Naila.

"Baiklah, jangan lebih dari 15 menit, ya."

"Siap, Kak! Nah, pertama, aku ingin tahu apa alasanmu berhenti dari penelitian. Sekalipun sudah tahu garis besarnya yang kau katakan pada kami kemarin, aku ingin mendengar kelanjutannya lebih lengkap."

"Untuk apa mengajukan pertanyaan seperti ini? Memangnya alasanku penting?"

"Ya, Kak. Karena ada yang keluar saat laporan ini dibuat, kami harus menulis bahwa kami ingin anggaran tidak ditarik namun kami tak bisa membuat penelitian yang persis sama karena ada dua orang yang tidak lagi terlibat. Nah, alasan berhenti terlibatpun perlu diikutsertakan."

Han meringis menahan tawa mendengar betapa pandainya Ryan beralasan.

"Baiklah. Aku akan menjelaskan ulang. Aku berhenti karena menurutku membuang waktu saja memperjuangkan hal yang sia-sia. Kenapa kukatakan sia-sia? Membuat ulang penelitian dalam satu minggu itu memang masih mungkin, tapi jelas saja hasilnya tidak akan persis sama. Aku yakin, sekalipun kau ajak Arin kembali, dia juga tahu membuat ulang penelitian dalam satu minggu takkan sama kualitasnya dengan yang kita perjuangkan hampir setahun. Sementara untuk mengejar pencurinya..."

Terdengar suara kekehan milik Naila dari rekaman. Suara tawa itu terdengar meremehkan.

"Itu mustahil. Lagipula, aku sudah kepalang kesal dengan Arin. Aku paham betul dia merasa sedih, dan bukan aku tak punya hati nurani, tapi kalau dipikirkan secara rasional, sikapnya itu sangat tidak bertanggung jawab. Menurutku, dia terlalu impulsif. Padahal, sudah bagus selama ini cara dia memimpin kita. Tapi, masalah tidak terduga terjadi dan dia langsung melarikan diri. Padahal, kalau memang dia seorang pemimpin sejati, dia takkan lari dari apa yang telah ia bangun. Setidaknya, selesaikan dulu. Toh, tinggal dua minggu. Ya sudahlah, tidak ada gunanya juga menyalahkan dia. Selain itu, aku sangat sibuk mengikuti kursus untuk tes perguruan tinggi yang tinggal satu semester lagi. Aku tak punya banyak waktu untuk bermain-main lagi."

“Baik, Kak. Aku memahami alasan dan kekesalanmu. Kau pasti merasa perlu mengerjakan hal yang lebih mendesak. Apa kau ada masalah dengan anggota lain selain dengan Kak Arin? Atau mungkin akulah orangnnya? Aku minta maaf untuk itu, aku takut kau tidak senang selama kita bekerja bersama.”

“Tidak, kau tidak perlu minta maaf. Tidak ada, aku tidak merasa hal seperti itu. Aku sebetulnya tidak bermasalah dengan Arin, aku hanya kesal padanya sejak dia tiba-tiba pergi. Bukankah sangat disayangkan? Kita bekerja sudah sangat jauh, kemudian orang yang mencetuskan ide pergi begitu saja. Tak sampai disitu, ada yang mencurinya pula. Sepertinya, penelitian ini memang belum ditakdirkan untuk membantu mencapai mimpi kita, memajukan klub itu.”

“Apa kau senang bisa mengerjakan penelitian kita?”

“Tentu saja. Itu sebuah pengalaman bagus. Makanya kubilang, hilangnya penelitian itu sangat disayangkan. Aku sangat terkejut saat tahu. Kalau tidak ada masalah, tentu aku mau melihat penelitian itu dipamerkan dan menarik perhatian Pak Menteri.”

Han diam-diam melirik Arin yang fokus mendengarkan sambil mencentang daftar pertanyaan. Dia tidak terganggu dengan jawaban Naila yang berkata dia kesal dengan Arin.

“Benar. Aku juga sangat sedih, Kak. Apakah kau ada perkiraan siapa kira-kira pencurinya? Aku bisa merasakan bahwa kau adalah orang yang teliti dan tajam. Barangkali saja, kau merasakan adanya hal janggal yang terjadi sebelum penelitian itu dicuri?”

“Hm, aku rasa tidak ada… semuanya berjalan normal.”

“Benarkah? Yah, semuanya memang terlihat normal, sih. Padahal sorenya sangat cerah, tiba-tiba malam turun hujan yang sangat deras namun tidak ada yang aneh juga dengan itu. Pasti tidak ada yang mau keluar rumah pada cuaca yang seperti itu, kecuali si pencuri.”

“Ya, kau benar.”

“Ah, membicarakan kegiatan malam itu, aku jadi teringat malam itu aku makan sup telur buatan ibuku sambil membaca komik. Saat bersantai seperti itu, malah terjadi tragedi mengerikan di sekolah. Kalau kau, apa yang kau lakukan di saat cuaca seperti itu, Kak?”

“Aku biasanya menghabiskan waktu menonton drama serial sambil makan cemilan. Kadang aku juga baca buku sambil mendengar lagu. Cuaca seperti itu memang enak bersantai, sih. Aku juga tak paham apa yang dipikirkan si pencuri dan betapa beraninya dia. Pokoknya, semua ini membingungkan.”

“Membaca buku saat hujan memang paling seru, sih. Omong-omong, aku setuju denganmu. Aku yakin pencurinya adalah orang aneh.”

“Hei, kenapa malah membicarakan si pencuri dan kegiatan kita di malam itu? Kau ini, kita jadi mengobrolkan hal kurang penting. Waktuku terbatas, nih.”

Terdengar suara Ryan yang cengengesan.

“Kelepasan deh, Kak, hehe. Maaf, akan kupercepat. Karena jujur aku sangat penasaran. Siapa dan apa tujuan si pencuri. Maksudku, tidak banyak orang yang tahu tentang penelitian ini. Selain itu, untuk orang lain, apa untungnya? Lebih membingungkan lagi kalau pelakunya siswa, sih. Mau diapakan…”

“Sebetulnya aku juga penasaran, tapi aku tak punya waktu memikirkan itu. Tapi, karena kau bilang begitu, aku jadi terpikir sesuatu.”

“Bilang apa, Kak?”

“Siapa yang aku curigai. Tadi, kau sempat bertanya, kan?”

“Oh, iya, apa kau punya dugaan terhadap seseorang, Kak? Aku bukannya mau menuduh anggota tim kita. Tentu itu adalah penghianatan besar kalau sampai ada seseorang dari tim kita yang melakukannya. Tapi, bisa saja, kan? Kitalah yang paling familiar dengan laboratorium. Tapi, satu-satunya fakta yang bisa membantah argument ini ialah, mengapa si pelaku mengacaukan laboratorium dan menghancurkan barang-barang kita? Seolah dia tidak tahu dimana penelitian itu diletakkan.”

“Benar, kau benar. Sebelum kujawab, aku mau ikut berpendapat. Bisa saja menghancurkan laboratorium itu hanya pengecohan semata. Aku setuju kalau kau bilang bisa saja pelakunya adalah salah satu dari kita. Karena kitalah orang yang paling paham seluk beluk dan manfaat penelitian itu. Aku bilang begini karena dugaanku adalah anggota kita sendiri.”

Hening sejenak, Han yakin, saat sedang rekaman, Ryan menunjukkan wajah paling penasaran yang dia punya pada Naila. Entah untuk sandiwara agar Naila bersaksi lebih banyak, atau memang dia penasaran.

“Siapakah itu, Kak?”

“Aku mencurigai Davine.”

Terdengar suara Ryan tersedak. Ketiga anggota yang mendengar itu tidak terlalu peduli dengan bagaimana reaksi Ryan terdengar lucu dalam rekaman, karena mereka turut tersedak mendengar jawaban Naila.

“Bagaimana bisa, Kak? Maksudku… apa dia melakukan sesuatu yang mencurigakan sampai kau berkata begitu?”

“Menurutku alasannya tidak berdasar. Di antara kita, yang berhenti dari penelitian adalah aku dan Davine. Aku punya jawaban yang jelas kenapa aku tidak mau melanjutkannya, aku harus fokus mengikuti tes. Sementara dia tidak punya jawaban jelas. Boleh saja dia kecewa, hanya saja, kalian masih kelas sebelas, masih ada banyak waktu untuk berkegiatan selain belajar. Melihat wataknya pun, Davine bukan tipikal anak yang berhenti ketika kecewa. Dia cukup keras kepala. Nah, kalau dia menyayangkan penelitian yang hilang, seharusnya dia tetap membantu memperjuangkannya dulu. Lagipula, hanya satu minggu.” 

“Ah, begitukah dugaanmu?”

“Ya.”

Terdengar suara ponsel berdering, sepertinya milik Naila.

“Pengingat jadwalku sudah berbunyi, aku harus pergi kursus sekarang. Sampai nanti, Ryan. Kalau kau punya kabar bagus tentang penelitian kita, beritahu aku lewat pesan. Aku ingin tahu sampai mana kalian berhasil memperjuangkannya.”

“Baik, terima kasih sudah meluangkan waktumu. Sampai jumpa, Kak.”

Klik! Rekaman berakhir setelahnya.

 

Han masih menganga meski rekaman tersebut telah berakhir.

“Wah, aku tak sangka kau pandai menarik lawan bicara untuk terus bersaksi begitu. Itu sangat natural. Kalau aku yang ditanya-tanya, aku mungkin tak sadar telah mengatakan apa saja.” Puji Han takjub.

Arin mengangguk setuju. “Kau berbakat, Ryan. Kau berhasil mengorek semua yang kita butuhkan.”

Jibar menoleh pada Ryan. “Lantas, apa maksudmu mencurigakan? Menurutku, jawaban-jawaban Kak Naila semuanya masuk akal dan dapat dipercaya.”

“Nah, makanya kau harus mendengar rekaman kedua untuk mendapatkan kejanggalannya.”

 

Klik!

Rekaman kedua bagian pertama diputar pukul dua belas empat puluh dua, subjek: Davine Ghisila, XI IPA 1, tersangka utama, anggota inti, sekretaris satu.

Terdengar suara ramai orang, sepertinya, Ryan menemui Davine di lokasi pembangunan stan-stan.

“Hoi, Davine. Sedang apa kau di sini?”

Berbeda dengan saat berbicara dengan Naila, Ryan terdengar santai.

“Hei, Ryan. Aku bosan karena tidak melakukan apa-apa, jadi aku lihat-lihat stan jurusan IPS, nih.”

Keduanya memulai pembicaraan dengan topik santai seperti kawan pada umumnya, karena Ryan dan Davine satu angkatan meski berbeda kelas. Ryan, Han, Kanali, dan Jibar berasal dari XI IPA 1, sementara Davine berasal dari XI IPA 2.

“Kau mau minum di kantin? Aku akan traktir. Kebetulan, aku mau membicarakan soal penelitian kita yang hilang.” Suara Ryan terdengar sedikit berbisik dalam rekaman.

“Oh, boleh saja. Tapi kau takkan mengajakku bergabung lagi, kan? Kalau kau suruh aku membantu menghias stan, aku oke saja, tapi kalau disuruh membuat ulang…”

“Tenang saja, tidak, kok. Kita cuma bicara sedikit saja, aku ingin membahasnya karena betul-betul penasaran mengapa penelitian kita bisa dicuri.”

“Baiklah, ayo.”

Rekaman kedua bagian dua diputar pukul dua belas empat puluh delapan, subjek: Davine Ghisila, XI IPA 1, tersangka utama, anggota inti, sekretaris satu.

“Jujur, ya. Kita sudah melalui banyak struggle saat mengerjakan penelitian ini. Aku selalu ingin menghadapinya. Aku ingin memperjuangkan penelitian kita sampai akhir. Kalau bisa sampai Pak Menteri benar-benar melihat kehebatan tim kita. Tapi aku tidak menyangka, seluruh usaha kita satu tahun ini lenyap dalam semalam. Aku kecewa sekali. Kenapa hal seperti ini harus terjadi pada kita?”

“Kau benar. Aku juga merasa sakit hati. Aku tidak mengerti apa tujuan si pencuri, tapi, tindakannya itu sangat jahat. Wajar sekali kalau kau keberatan bekerja keras lagi. Apa kau ada alasan lain mengapa kau berhenti dari penelitian?”

“Aku sebetulnya sudah merasa kecewa sejak Kak Arin pergi. Aku sangat mengaguminya. Aku kira, meski terjadi masalah besar, dia tetap akan memperjuangkan mimpinya. Sebetulnya, dialah alasanku ingin terus memperjuangkan penelitian kita. Melihat betapa tegas dan bertanggungjawabnya dia pada tim kita, aku jadi ikut semangat ingin memajukan klub ini. Melihat betapa cerdas dia mengajari anak kelas 10 seolah sudah terlatih membuatku ingin juga jadi seperti dia. Seseorang yang yakin pada mimpinya, seseorang yang semangat menjalaninya. Tapi, ketika dia keluar seperti itu, jujur saja aku sudah merasa kecewa sejak saat itu.”

“Ah, jadi kau merasa begitu, ya… aku memahami perasaanmu. “

“Penelitian kita memang menghilang, namun jika Kak Arin belum keluar saat itu, aku pasti tetap besar hati sedikit. Pemimpinnya saja mundur di tengah perang, bagaimana boleh ini dilanjutkan? Kalau membuatnya lagi, meski Han berhasil membujuk Kak Arin, memang ada jaminan dia tidak mundur di tengah lagi seperti sebelumnya? Masalah ini menjadi semakin rumit sekarang. Kalau kau mau memperjuangkan penelitiannya, pasti akan sulit hanya dalam satu minggu.”

“Kau benar. Itulah kenapa aku menemuimu. Apa kau punya dugaan tentang siapa pelakunya? Aku dan Han sudah berbicara tentang ini. kami menduga, kemungkinan besar pelakunya siswa sekolah ini yang berasal dari jurusan IPA. Karena, hanya siswa yang berasal dari jurusan IPA saja yang bisa mendapatkan keuntungan apabila mencuri penelitian ini. Walaupun agak membingungkan mencurigai banyak orang begitu, tapi, aku yakin satu hal. Pencurinya pasti seseorang yang cukup cerdas untuk tahu manfaat dari penelitian itu dan laporannya.”

“Hm… dugaan, ya? Kalian jadi mencari siapa pelakunya?”

“Yah, tidak sih, hanya menduga saja. Ini sebatas diskusiku dengan Han saja. Kami lebih berniat membuat ulang penelitian itu saja.”

“Ah, begitu. Kalau soal dugaan, aku punya satu.”

“Benarkah??”

“Ya. Sebetulnya aku tidak yakin, tapi kalau kau tanya apakah aku mencurigai seseorang dari tim kita, aku curiga pada Kak Naila.”

Kali ini terdengar suara tersedak yang lebih kencang disertai suara air menyembur, sepertinya Ryan sedang menyedot es teh ketika mendengar ucapan Davine. Seluruh tim penyelidik tidak menghiraukan itu, mereka ikut tersedak juga kali ini.

“Jorok sekali, Ryan! Semburan es mu mengenai wajahku, nih!”

“Uhuk! Maaf, Davine. Aku hanya terkejut mendengarnya.”

“Kenapa kau terkejut? Memangnya kau tidak curiga dengan Kak Naila? Selain Kak Arin, yang sangat berambisi jadi dokter itu Kak Naila. Selain itu, dia juga kepala arsip laboratorium, kan?”

“Memang kenapa kalau dia kepala arsip?”

“Kau bingung kenapa si pencuri mengambil laporan yang belum sepenuhnya selesai itu? Karena si pencuri bisa menyelesaikannya sendiri. Apa yang belum tercatat di laporan? Sumber-sumber, kan? Maka orang yang paling mungkin mencurinya adalah dia. Dia hapal semua sumber di luar kepala karena dia yang mengurus arsip kita.”

Hening sejenak. Arin berpikir, mungkin saja Ryan merasa bahwa kalimat Davine masuk akal dan ada benarnya. Semua tepat sasaran.

“Oh… aku tidak berpikir sampai kesana.”

“Kau sama saja seperti Han, Ryan. Kalian terlalu percaya pada seluruh anggota dan bersikap optimis. Apalagi pada senior. Bisa saja masalah seperti ini terjadi karena mereka, kan? Kak Arin mengundurkan diri, kemudian penelitiannya bisa saja dicuri oleh Kak Naila yang sangat berambisi menjadi dokter.”

“Tapi, apa yang mendasari tindakannya?”

“Mungkin, dia berpikir, lagipula Arin sudah berhenti dari penelitian, jadi tidak ada salahnya mencurinya. Kau tidak ingat? Kak Naila itu anggota yang dipaksa Kak Arin untuk bergabung karena Kak Arin percaya dengan kemampuannya dalam menganalisa. Bisa jadi, dia tidak merasa perlu begitu setia pada tim bila orang yang mengajaknya bahkan berhenti dari penelitian. Aku tahu, Ryan, penelitian itu bisa dijual atau pendukung untuk masuk perguruan tinggi.”

“Kau tahu darimana penelitian itu bisa dijual?”

“Aku baru tahu beberapa hari lalu, sehingga ini juga memperkuat kecurigaanku pada Kak Naila. Kawanku yang ibunya seorang dokter pernah bercerita tentang penelitian yang bisa dijual. Penelitian, jurnal, esai, itu sedang terkenal sekali di antara orang-orang yang hendak kuliah sementara mereka tak punya dana pendidikan kedokteran yang mahal.”

“Kau sudah lama mencurigai Kak Naila?”

“Tidak juga. Hanya semenjak aku lihat dia mengangkat tangan saat Han bertanya siapa yang tidak setuju memperjuangkan penelitian itu. Aku merasa, hanya akulah yang sangat mengagumi Kak Arin sampai sebegini kecewanya. Jadi, meski sedih, aku tetap memilih untuk berhenti agar tidak terluka lebih jauh. Lagipula, aku memang hanya sebatas suka saja pada biologi, tidak sampai ingin masuk sekolah kedokteran. Aku bergabung karena aku kagum pada Kak Arin dan ingin mendapat pengalaman. Jadi, tidak ada alasanku untuk terus bekerja keras. Berbeda dengan Kak Naila.”

“Ah, begitu. Tapi kau tak ada curiga pada anggota lain, kan? Bagaimana kesanmu tentang mereka? Aku?”

“Tidak ada, kok. Aku juga sebetulnya tidak ada perasaan buruk pada Kak Naila. Itu hanya dugaan saja. Aku tidak mau juga asal menuduh. Semua orang di tim kita menyenangkan dan membuat aku mendapat pengalaman serta kenalan yang hebat.”

“Aku juga! Sebetulnya, itulah salah satu alasanku bertahan untuk membuat ulang penelitiannya. Aku yakin kami bisa melakukannya.”

“Syukurlah kalau kau masih bersemangat begitu, aku akan mendukungmu dari belakang. Panggil aku kalau kau berhasil, aku akan bantu menghias stan.”

 

Rekaman tersebut berakhir. Sepertinya setelah Davine bicara begitu, Ryan pamit untuk kembali ke laboratorium (padahal dia kembali ke ruang bukti).

“Jadi, menurutku, hal ganjilnya adalah bagaimana keduanya saling mencurigai. Mereka berdua adalah orang yang berhenti dari penelitian.” Ryan menyimpulkan.

“Tidak, menurutku, tuduhan keduanya justru masuk akal. Tapi, mengesampingkan perasaan, tuduhan Davine lah yang lebih berdasar. Aku tidak menyangka dia bisa berpikir sejauh itu.” Sanggah Arin, lagi-lagi dia terlihat berpikir keras sampai keningnya berkerut-kerut.

Han yang tengah mengetik kesimpulan Ryan berhenti. “Kenapa?”

“Mari kita uraikan jawaban Naila lebih dulu.” Arin mulai mencatat di papan tulis. “Apa yang dilakukannya malam itu? Dia menjawab dengan rancu. Aku yakin pertanyaan ini tidak bisa langsung ditanyakan sebab Ryan akan dicurigai. Makanya, jawaban yang kita dapat pun tidak bisa tepat sasaran. Ryan bertanya pada cuaca seperti itu apa yang Naila lakukan, dan jawabannya “biasa aku bersantai, membaca buku atau menonton drama serial”. Mari tetap kita buat itulah yang dia lakukan pada malam itu kalau saja dia bukan pencurinya. Tapi kalau dia pencurinya, dia memberi jawaban umum namun belum tentu malam itu dia melakukan kegiatan yang sama.”

 “Kemudian, alasan pertama kenapa Naila dicurigai adalah karena dia berhenti setelah bekerja keras untuk penelitian, begitupula Davine. Tapi, jika dipikirkan, hal tersebut masih masuk akal apabila mereka merasa hanya buang-buang waktu. Kita bisa membuang kecurigaan kita terhadap alasan keduanya berhenti.” Arin mencoret kalimat ‘alasan keluar’ yang dia tulis di papan tulis. “Lantas, seperti apa kesan Naila pada rekan-rekan lain? Adakah dugaan perasaan pribadi yang mendasari berhentinya tersangka dari klub? Ya. Dia merasa kesal padaku. Dia merasa kesal pada orang yang mengajaknya bergabung namun tidak bertanggung jawab.”

"Itu cukup untuk mendasari berhentinya Naila." Arin menghela napas, kemudian dia menunduk dengan ekspresi bersalah. "Aku minta maaf atas sikapku yang kurang bertanggung jawab. Seharusnya aku sadar bahwa aku tidak boleh bertindak seenaknya setelah menciptakan sesuatu yang melibatkan banyak orang. Aku berjanji, untuk penelitian ini, aku akan menyelesaikannya sampai akhir."

Mendengar itu, seluruh tim detektif tersenyum maklum. Jibar yang sebelumnya sempat dongkol saat Arin tidak mau menemui mereka tidak lagi merasa begitu.

"Kami memahamimu, Kak. Yang terpenting sekarang, kau sudah kembali ke sini dan memperjuangkannya bersama kami." Ujar Ryan lembut. Han dan Jibar mengangguk setuju.

Arin tersenyum lebar, mengangkat kepalanya.

"Baiklah, mari kita lanjutkan." Arin mengepalkan tangan, lanjut menunjuk papan tulis. "Kalau begitu, alasannya masih masuk akal. Apabila dia mencurinya, kita tidak tahu apakah rasa sakit hatinya padaku juga mendasari tindakannya. Tapi aku rasa itu masih memiliki kemungkinan."

Jibar mengangguk setuju. "Benar. Itu masih memiliki kemungkinan. Kita tidak pernah tahu perasaan seseorang. Mungkin saja dia memang sekecewa itu pada Kak Arin sehingga mencurinya tanpa mempedulikan anggota lain. Selain itu, aku merasa cukup aneh saat dia tiba-tiba menolak membicarakan kegiatan malam itu ketika Han bertanya. Jika aku bukan pencurinya, aku takkan sadar bahwa aku sedang diinterogasi karena pembicaraan itu berjalan natural. Dia mengalihkan pembicaraan seolah tahu Ryan sedang mengorek informasi si pencuri."

Arin menjentikan jari, tanda bahwa tanggapan Jibar tepat sasaran. "Lalu kemudian, alasan Naila mencurigai Davine itu ganjil dan kurang berdasar. Rasa kecewa memang memungkinkan seseorang pergi dari suatu kelompok. Apa salahnya dengan itu?"

"Benar. Makanya aku tersedak saat mendengar itu. Aku tahu betapa kecewanya Davine saat kau keluar, Kak. Dia sedih sekali dan sama sekali tidak mau membicarakan keluarnya dirimu sampai penelitian itu dicuri." Ryan menanggapi.

“Tapi kau tetap tidak bisa mempercayai Davine begitu saja. Sekalipun Kak Naila memberi tuduhan tak berdasar, kita belum bisa memastikan apa betul Davine bukan pelakunya. Kita tidak mendapat informasi tentang apa yang mereka lakukan malam itu dan kalaupun tahu, kita belum tentu bisa membuktikan alibinya.” Jibar menyahut, memberi pendapatnya saat mendengar Ryan lebih condong pada perasaan pribadinya terhadap Davine. Mereka harus rasional dan berpikir sesuai fakta.

“Itu makanya aku ingin minta maaf karena tak bisa menanyakan pertanyaan pertama dan kedua karena takut membuat Davine curiga.”

“Tidak apa, setelah mendengar kesaksiannya, itu lebih dari cukup. Kau sudah bekerja dengan sangat baik.” Arin menggeleng maklum, menepuk bahu Ryan yang duduk di sebelah tempatnya berdiri. Dia paham itu hal yang sulit untuk dilakukan tanpa ketahuan.

 

Arin berdeham. "Mari kita lanjutkan lagi. Jika mengesampingkan perasaan bahwa aku sangat mengenal Naila, dia patut dicurigai. Naila sebetulnya bukan orang seperti itu, tapi mendengar tuduhan Davine yang lebih masuk akal, aku jadi berpikir ulang. Alasan Davine menuduh Naila sangat berdasar. Dia menjelaskan poin-poin yang membuatnya merasa curiga dan alasannya. Tapi... ada satu hal yang janggal pada alasan Davine menuduh Naila."

Arin menulis sebuah kalimat di papan tulis, membuat tanda panah tepat di sebelah potret Davine yang tertempel di sana.

Dia mengetahui bahwa jurnal bisa dijual.

"Ini yang membuat Davine juga pantas untuk dicurigai."

"Keduanya punya jawaban yang kuat dan sama atas berhentinya mereka, yaitu perasaan pribadi terhadapku. Tapi yang tidak terduga, mereka saling tunjuk satu sama lain. Itulah yang membuat mereka berdua harus kita tetapkan sebagai tersangka utama yang wajib diperhatikan.” Arin membuat tanda seru pada foto Davine dan Naila yang ditempel di papan tulis dengan spidol merah.

Penyelidikan berlangsung serius dan panjang. Tim detektif berdiskusi sambil makan siang, menghabiskan bekal masing-masing. Selama beberapa menit mereka masih membahas hasil interogasi rahasia tersebut dan dugaan-dugaan sementara. Kemudian, setelah berakhir topik terkait mana tersangka yang lebih mencurigakan, Arin akhirnya membahas terkait ukuran sepatu yang menjadi alternatif mempersempit tersangka pada Ryan.

“Apakah kita mau melanjutkan penyelidikan sampai bisa mendapatkan daftar tersangka yang lebih sedikit? Itu artinya kita harus bekerja keras sampai sore dan mendapat data ukuran kaki seluruh siswa jurusan IPA.” Arin meminta persetujuan anggota tim detektif sambil meregangkan bahu yang pegal karena seharian sibuk bergerak ke sana kemari dan merapikan papan bukti (papan tulis yang disulap seperti papan bukti penyelidikan kepolisian).

Ketiga anggota tim detektif mengangguk serempak, semangat berkilat-kilat di mata mereka. Arin tertawa kecil.

“Baiklah. Han, buatlah rincian kegiatan hari ini sebelum kita pergi mendapatkan data di luar.”

Beberapa menit berlalu. Pukul satu lewat lima puluh tujuh.

“Begini rincian waktu pekerjaan yang kita lakukan hari ini.” Han membagikan kertas catatan kegiatan yang baru saja dicetak olehnya. “Beberapa pekerjaan telah kita selesaikan. Hari ini cukup melelahkan dan kita sudah melangkah cukup jauh dari yang seharusnya. Berikut hal yang perlu kita lakukan berdasarkan timeline yang dibuat Bulan dan Ryan, kemudian nomor yang aku centang adalah pekerjaan yang sudah selesai.”

A.        Rincian waktu penyelidikan awal 06 Desember:

1.         07.22: Anggota inti berkumpul di laboratorium

2.         09.15: Memeriksa alibi anggota inti

3.         11.00: Pembagian tim dan tugas

4.         12.02: Tim detektif berkumpul di ruang bukti dan membahas pembagian tugas (ruangan kosong kelas matematika tambahan di lantai 2 gedung mengajar)

5.         12.30: Tim detektif berpencar menemukan bukti lanjutan

6.         13.09: Tim detektif kembali berkumpul setelah berpisah mengumpulkan bukti lanjutan dan membahas hasil

7.         14.00: Tim detektif mulai berpencar mengumpulkan data ukuran kaki seluruh tersangka

 

B.        Daftar pekerjaan tim detektif 06 Desember: Penyelidikan awal

[endif]-->         Pembahasan kasus

[endif]-->         Pemeriksaan bukti

[endif]-->         Penetapan tersangka

[endif]-->         Pemeriksaan alibi tersangka

 

“Aku tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data ukuran kaki setiap siswa jurusan IPA, tapi mari kita buat begini dulu rinciannya.” Han mengakhiri diskusi. Setelahnya, mereka berpencar untuk mengumpulkan data tersebut.

Pukul lima lewat sebelas. Keempat tim detektif berkumpul lagi di ruang bukti.

Tim detektif sudah menghabiskan waktu tiga jam penuh untuk mengumpulkan data ukuran kaki siswa kelas-kelas jurusan IPA di sekolah, tapi, mereka belum juga selesai mendapat semuanya meski empat orang di tim itu bergerak semua. Tim detektif memilih untuk tidak mengumpulkan data menggunakan web, karena akan sulit mengecek data apakah ukuran kaki yang diisi betul-betul sesuai, sehingga mereka melakukan pengumpulan data konvensional dengan berkelliling setelah membagi tugas. Memeriksa setiap kelas, mencatat ukuran kaki dengan salinan absen yang dibuat Han, bertanya dan menginterupsi siswa yang sedang berlatih untuk tampil saat parade.

Tapi tetap saja, hal ini tidak efektif. Mencari tahu ukuran sepatu 423 siswa adalah hal yang mustahil dilakukan dalam waktu satu hari. Selain itu, tidak semua siswa hadir, dan tidak semua siswa bersedia menjawab apabila ditanyai ukuran sepatu. Separuh siswa juga sudah pulang pada pukul dua ketika empat orang tersebut bergerak mengumpulkan data.

Jibar mengusap keringat di dahi, hari ini cuaca cukup terik. Membuat panas seluruh kota. Cuaca seperti ini membuatnya tambah kelelahan.

“Kak, mustahil untuk mengumpulkan datanya dengan benar dalam waktu singkat. Bagaimana kalau kita minta atau curi saja datanya di ruang kepala sekolah?” Jibar menyarankan dengan wajah merah karena kepanasan.

Itu jalan alternatif. Seragam, sepatu, dan atribut, semua berasal dari sekolah langsung. Sepatu didesain sesuai ukuran kaki ketika siswa mendaftar. Dan data ukuran kaki memang ada di ruang kepala sekolah. Tapi, bukan Arin tidak terpikir solusi ini. Dia sudah memikirkannya sejak awal. Tapi Arin memilih tidak menyarankannya karena hal itu ilegal dan mustahil dilakukan. Mereka tidak bisa memintanya karena kemungkinan besar akan ditolak, sebab data tersebut adalah privasi siswa. Selain itu, Arin tahu mustahil untuk mencurinya karena keamanan sekolah ditingkatkan setelah kejadian pencurian itu.

“Ayolah, Kak. Aku tahu kau mengerti bahwa kita tidak mungkin menghabiskan waktu untuk hal sia-sia begini.” Jibar mengeluh lagi melihat Arin menggeleng tegas. Punggungnya yang bersentuhan dengan kursi ruang bukti terasa lembab karena seragam yang dibasahi keringat. Jibar dan anggota lain tidak mau lagi melanjutkan pencarian data ini.

“Jibar benar, Kak. Kita harus mencari solusi lain.” Ryan angkat bicara sambil menyusun absen berisi data ukuran kaki yang tidak banyak mereka dapat. Dia setuju, mereka tidak akan bisa menemukan pencurinya jika bergerak lambat seperti ini.

“Kita harus mulai memikirkan cara masuk ruangan kepala sekolah.” Han memberi usul sambil mengipas wajahnya. Tiga jam dia dan anggota lain berlari mengumpulkan data yang sulit untuk mereka dapatkan tanpa membocorkan penyelidikan. Beberapa siswa menyemburnya dengan marah karena bertanya ukuran kaki tanpa alasan padahal mereka tidak saling mengenal.

Arin menggeleng keras.

“Kita ini sedang berusaha mencari kebenaran dengan cara yang benar. Tapi kau justru mendesakku agar kita melakukan cara yang salah. Kalian mau mencuri dokumen data ukuran kaki siswa dari ruangan kepala sekolah? Itu ilegal. Kalian tidak ada bedanya dengan si pencuri yang menyelinap dan mencuri. Pikirkanlah dengan rasional. Jangan membuat keputusan impulsif. Kalian betul-betul bersedia menerima konsekuensinya?”

“Tapi, Kak…” Jibar, Ryan, dan Han saling lirik.

Lagi, kening Arin berkerut-kerut. “Aku akan menghubungi Pak Kimu dulu. Kalian tunggulah di sini sebentar.”

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Aku Ibu Bipolar
51      44     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Beyond Expectations
407      273     3     
Short Story
Unexpected things could just happen.
The Savior
4435      1594     10     
Fantasy
Kisah seorang yang bangkit dari kematiannya dan seorang yang berbagi kehidupan dengan roh yang ditampungnya. Kemudian terlibat kisah percintaan yang rumit dengan para roh. Roh mana yang akan memenangkan cerita roman ini?
Once Upon A Time: Peach
1139      665     0     
Romance
Deskripsi tidak memiliki hubungan apapun dengan isi cerita. Bila penasaran langsung saja cek ke bagian abstraksi dan prologue... :)) ------------ Seorang pembaca sedang berjalan di sepanjang trotoar yang dipenuhi dengan banyak toko buku di samping kanannya yang memasang cerita-cerita mereka di rak depan dengan rapi. Seorang pembaca itu tertarik untuk memasuki sebuah toko buku yang menarik p...
Secret’s
4286      1369     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Interaksi
450      333     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Yu & Way
167      136     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Fusion Taste
163      150     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
6075      1910     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
The Truth They Lied About
109      69     1     
Mystery
When 29-year-old Lila dies in her sleep from a preventable illness, her parents are left reeling. Not just from grief, but from the shocking discovery that they never truly knew her as their daughter. The Truth They Lied About is a profound, emotionally charged novel that uncovers the invisible battles of a young woman named Lila, a beloved daughter, dutiful citizen, and silent sufferer, who ...