Loading...
Logo TinLit
Read Story - DocDetec
MENU
About Us  

Laboratorium biologi telah diacak-acak seseorang ketika Han masuk ke sana. Kerangka manusia berserakan di lantai, kertas-kertas laporan penelitian berhamburan, gelas-gelas laboratorium pun hampir separuhnya pecah.

Sebetulnya, hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya panik dan memanggil petugas keamanan sekolah. Tetapi, Han langsung terpikir, kenapa laboratorium mereka diacak-acak begini? Apakah ada pencuri? Kemudian, Han semakin tidak dapat berpikir jernih ketika dia mengecek lemari kaca utama laboratorium, kotak yang berisi penelitian klub mereka tidak terlihat di sana. Dia tanpa sadar sudah menginjak pecahan-pecahan kaca dan laporan yang berserakan di lantai karena terlalu fokus memikirkan satu hal, kemana kotak penelitian milik mereka pergi?

Setelah membuat laboratorium tambah kacau, Han masih tidak menemukannya. Penelitian itu tidak ada di manapun. 

Orang pertama yang terlintas dalam pikirannya saat itu adalah Pak Kimu, guru biologi sekaligus penanggung jawab tim mereka. Bisa jadi saja, penelitian itu dibawa olehnya selaku penanggung jawab untuk kepentingan sekolah, atau boleh jadi saja diamankan oleh sang guru. Tetapi kenapa kondisi laboratorium seperti ini? Han jadi meragukan optimistisnya sendiri.

 

Han berlari dari gedung laboratorium ke gedung utama. Matahari baru naik, menyiram seluruh tubuh Han yang kepalang berkeringat. Karena tidak berhati-hati, Han bertabrakkan dengan beberapa siswa yang berjalan ke arah berlawanan dengannya di jalan. Tetapi, dia tidak peduli kekesalan murid lain. Ada hal yang lebih mendesak sekarang. Hilangnya penelitian klub biologi. Han harus mengonfirmasinya, sehingga dia melanjutkan larinya yang seperti orang kesetanan menuju ruang pribadi Pak Kimu yang berada di lantai dasar gedung utama.

Tepat ketika Han sampai di depan ruang pribadi Pak Han, sang guru baru saja ke luar, bersiap menuju ruang guru karena bel telah berbunyi.

"Pak! Pak! Tunggu!" Han terengah-engah menghentikan langkah Pak Kimu, kakinya sampai gemetar karena masih terkejut.

"Penelitian klub kita tidak ada di laboratorium. Apakah bapak tahu di mana penelitian kita? Laboratorium seperti baru saja diacak-acak. Seperti… baru saja dicuri seseorang, Pak!"

 

***

 

Ini permasalahan serius. Pak Kimu pun tidak tahu menahu kemana penelitian klub biologi pergi.

Han hampir menangis ketika mengetahui bahwa Pak Kimu bukan orang yang memegang penelitian itu sekarang. Dia membawa sang guru datang ke ruang klub biologi yang berada di lantai dua gedung laboratorium, memperlihatkan kondisinya. Pak Kimu sampai tidak jadi pergi ke ruang guru pagi ini karena dia harus melaporkan apa yang terjadi kepada kepala sekolah.

Dari klub biologi yang acak-acakan sekarang, hanya satu kesimpulan yang bisa mereka ambil berdasarkan hilangnya barang paling berharga di sana. Yakni, penelitian perdana klub biologi yang akan dipamerkan di akhir tahun, saat ulang tahun sekolah, delapan hari lagi, telah dicuri seseorang.

Penelitian itu adalah penelitian obat dari ekstrak tumbuhan lokal. Lebih tepatnya ekstrak daun matoa yang dipergunakan sebagai antiinflamasi. Penelitian tersebut melibatkan delapan orang peneliti, yaitu semua anggota inti klub belajar biologi. Anggota inti berada di luar anggota biasa, anggota inti adalah anggota-anggota yang memegang jabatan di klub tersebut. Sebelumnya, jika ditambah Arin, sang ketua, lengkap sudah personelnya delapan orang. Tapi sekarang mereka tinggal bertujuh. Dan hanya merekalah yang tahu menahu tentang penelitian itu serta dimana lokasi simpannya.

Pak Kimu bersidekap dengan wajah serius, menatap Han yang gusar.

"Kapan kamu menemukan laboratorium kita seperti itu?"

"Pagi ini, Pak. Sepuluh menit yang lalu. Sejak Kak Arin berhenti menjabat, setiap pagi yang mengecek laboratorium dan penelitian kita adalah saya. Saya sangat terkejut melihat kondisi laboratorium dan hilangnya pekerjaan kita…" Han menggigit jarinya, keringat dingin setetes turun dari dahinya, alis tebal dan mata besarnya pun bergerak-gerak tak beraturan.

Pak Kimu mengatur napas, memahami kondisi Han yang sangat terkejut membuatnya tidak bisa berpikir jernih dan menjawab dengan benar. Guru berusia empat puluh dengan rahang tegas itu mengurut pelipis sebelum menepuk bahu Han.

"Saya akan minta petugas kebersihan datang ke laboratorium setelah melaporkan kekacauan ini kepada kepala sekolah dan mengecek kamera CCTV. Kamu pergilah ke UKS, Han. Tampaknya kamu bahkan tidak bisa berpikir karena terkejut. Saat istirahat makan siang, saya akan mengadakan pertemuan, memanggil seluruh anggota inti."

 

Siang, pertemuan anggota inti dilangsungkan di laboratorium yang telah dibereskan oleh petugas kebersihan. Semua anggota inti pun sama gelapnya, tidak ada yang tahu siapa yang kira-kira mengambil penelitian itu.

Perkiraan Pak Kimu, penelitian tersebut diambil semalam. Karena kemarin, Han dan anggota inti yang masih menyelesaikan laporan serta membahas dekorasi stan sampai sore pukul lima, menyaksikan penelitian itu aman. Pagi ini, Han menemukan bahwa penelitian itu sudah lenyap dari tempat simpannya.

Han menolak istirahat, dia membuntuti Pak Kimu ke ruang keamanan dan memeriksa CCTV. Tetapi tidak banyak yang bisa mereka dapat, kameranya tidak aktif saat pencurian itu terjadi. Semalam hujan berpetir, gardu listrik dekat sekolah mengalami kerusakan yang cukup fatal sehingga terjadi pemadaman aliran listrik radius satu kilometer sampai dua jam. Pukul sepuluh, barulah listrik kembali menyala. CCTV seluruh sekolah menggunakan tenaga listrik, sehingga saat terjadi pemadaman, tidak ada rekaman yang diambil sebab listrik seluruh sekolah mati. Entah memang ini pencurian yang direncanakan atau tidak, tetapi situasinya tepat sekali untuk mencuri penelitian itu dari laboratorium. Ketika listrik kembali menyala dan kamera CCTV kembali aktif merekam isi laboratorium, ruangan tersebut telah diacak-acak. Tidak ada seorangpun di sana yang tertangkap kamera. Dan penelitian pun telah lenyap dari lemari kaca.

Isi rekaman CCTV yang di cek Pak Kimu dan Han itu tidak membantu banyak karena tidak merekam kejadian pentingnya.

Kamera masih menyala sampai pukul setengah delapan malam. Saat itu kondisi laboratorium masih rapi dan sama seperti saat Han bersama anggota lain meninggalkannya pukul lima sore. Ketika terjadi pemadaman, rekaman terputus sementara sampai pukul sepuluh. Pukul sepuluh saat kamera kembali menyala dan merekam, kondisi laboratorium telah berubah total. Namun malam itu, setelah rekaman kembali menyala, tidak ada satpam jaga yang memperhatikan kamera-kamera di dalam gedung. Mereka cenderung memperhatikan kamera-kamera yang mengarah pada lingkungan luar gedung.

Dua satpam yang berjaga pada shift malam bekerja setidaknya sampai jam delapan pagi. Mereka yang menjelaskan situasinya dan menunjukkan rekaman CCTV. Mereka bilang, semalam tidak ada seorangpun yang keluar masuk dari gedung sekolah. Biasanya, ada anak-anak eskul basket dan badminton yang berlatih sampai malam, tetapi karena hujan berpetir, tidak ada seorangpun siswa maupun pengajar yang masih berada di sekolah. Mereka sudah memastikannya dengan berpatroli mulai pukul enam seperti biasa.

Malam itu situasinya agak dingin dan suram. Hujan sangat deras hingga mereka tak bisa mendengar apa-apa. Jadi keduanya tidak begitu waspada. Mereka menunggu pagi sambil menonton bola.

Han merasa situasi ini sangat ganjil, tetapi, dia tidak berpikir terlalu jauh karena dia merasa bahwa hal itu memang mungkin saja terjadi.

Ini adalah situasi yang tidak menguntungkan. Jika tidak ada rekaman CCTV, apa yang bisa mereka lakukan?

 

“Kita terpaksa mengakhiri proyek penelitian ini.”

Kata-kata Pak Kimu itu membuat semua orang di laboratorium terbelalak, termasuk Han. Dia hanya mengikuti Pak Kimu sampai pengecekan kamera saja, dia tidak diperbolehkan ikut menghadap kepala sekolah untuk melaporkan apa yang terjadi, sehingga dia tidak tahu apa yang diperoleh dari percakapan mereka.

Pak Kimu menghela napas berat melihat wajah terkejut murid bimbingannya, dia pun jadi segan untuk menyampaikan hasil keputusan kepala sekolah.

“Saya juga sama terkejutnya, pun kecewa akan musibah yang menimpa kita ini. Tetapi, saya ini hanya guru mata pelajaran dan pembimbing. Saya tidak memiliki kapabilitas untuk memutuskan apakah pencurinya harus dikejar hingga kita mendapatkan kembali produk penelitian itu. Pun sudah pagi, kita tidak tahu produk itu sudah diapakan oleh si pencuri. Sebetulnya saya juga tidak mengerti kenapa bisa ada yang mencurinya. Itu hanyalah produk penelitian untuk pameran yang dibuat oleh anak-anak SMA dari klub belajar biologi. Mencuri dan menjualnya agak sulit karena penelitian kita pada akhirnya belum diuji ahli dan belum bisa diperjualbelikan. Tetapi, si pencuri tetap mengambilnya entah untuk apa. Saya sangat menyayangkan… klub kita harus batal memamerkan produk penelitian dan mendapat anggaran untuk memajukan klub serta laboratorium.” Sesal Pak Kimu, wajah tuanya terlihat sedih dan kecewa. Mereka tidak bisa mengatasi situasi ini.

“Tapi, Pak… bagaimana dengan seluruh usaha kita? Jadi… semua itu sia-sia?” Jibar, bendahara klub, bertanya dengan rahang mengeras. Tentu saja, dia marah. Siapa sih yang tega melakukan hal ini?

“Ini semua tidak sia-sia, Jibar. Setidaknya, nilai biologi kalian semester ini tertulis sempurna di buku rapor. Bapak bisa melampirkan dokumentasi kalian sebagai bukti.”

“Itu tidak cukup, Pak! Penelitian kami itu… bukankah kami telah berusaha keras untuk itu? Kami ingin tahu seberapa berguna produk penelitian yang kami buat. Kami ingin tahu bagaimana penelitian kami bisa memajukan klub kita.”

“Jibar, sudahlah.” Kanali, sang bendahara klub, juga teman sebangku Jibar, menepuk bahu kawannya itu. Berusaha menenangkan. Tetapi Jibar menepis tangan Kanali, dia berdiri dari kursi, berjalan mendekati Han yang duduk di seberangnya. Ketika mereka berhadapan, Jibar menarik kerah seragam Han.

“Kau benar-benar tidak tahu apapun, ya? Kaulah orang terakhir yang meninggalkan laboratorium.”

Han menatap Jibar tidak percaya ketika mendengar itu, dia menepis tangan Jibar yang menarik kerah seragamnya. Apa-apaan pria ini? Apa tidak cukup wajahnya yang terlihat frustasi ini? Kalau dia tahu sesuatu, dia tidak akan terlihat pusing seperti sekarang. “Kau menuduhku?! Astaga, coba pikirkan baik-baik, apa untungnya itu buatku?!”

Suasana laboratorium semakin tegang, anggota lain hanya diam dengan wajah lesu. Tidak ada yang ingin kejadian seperti ini terjadi. Tapi, apalah yang bisa mereka lakukan sekarang? Semua anggota memahami bahwa membuat kembali penelitian itu dalam satu minggu adalah hal yang mustahil. Masalahnya, pertama, tidak ada lagi yang memimpin tim mereka.

Arin Tarim, siswa kelas 12 jurusan IPA, dulunya adalah pemimpin dari klub belajar biologi ini. Enam hari lalu, dia mengundurkan diri karena masalah internal. Tapi, semua orang tahu alasannya berhenti. Itu karena Arin merasa sia-sia saja berjuang untuk mimpinya.

Arin adalah salah satu murid yang populer karena kecerdasannya dalam mata pelajaran Biologi. Dia dikenal sebagai calon dokter karena kemampuannya dalam praktek biologi yang hebat. Juga selaku perwakilan IPA 1, dialah orang dengan pidato memukau setiap tahunnya pada ajang pertunjukkan bakat. Arin tidak ragu berkata bahwa mimpinya adalah menjadi seorang dokter. Dia adalah orang yang karismatik dan cerdas. Banyak yang bergabung klub belajar setelah dia menjabat jadi pemimpin di sana tahun lalu.

Arin juga merupakan orang yang menyarankan penelitian ini dan mengajukannya pada kepala sekolah tentang betapa hebatnya potensi klub belajar mereka. Dia sangat kompeten dan rajin.

Namun di hari pengambilan rapor minggu lalu, orang tua Arin bertengkar di parkiran sekolah karena perkara biaya pendidikan. Semua orang mendukung Arin untuk menjadi dokter. Dia sangat cocok dan banyak membantu guru biologinya lewat klub itu. Saat pengambilan rapor, wali kelas Arin bercerita betapa berbakatnya anak tersebut. Betapa besar potensinya untuk menjadi seorang dokter. Orang tuanya harus mendukung anak berbakat seperti Arin. Tetapi, tidak seperti orang tua lain yang seharusnya berbangga hati, orang tua Arin justru bertengkar masalah biaya pendidikan untuk masuk ke fakultas kedokteran di parkiran. Memang saat itu tidak banyak yang menyaksikan kejadian itu, namun, kabar burung dengan cepat menyebar atas kejadian menarik di parkiran. Arin berhenti bermimpi setelah insiden waktu itu. Dia memperoleh fakta bahwa orang tuanya tidak mampu menyekolahkan dia menuju mimpinya.

Tidak hanya kecewa karena itu, Arin pun malu. Dia malu betapa semua orang mengenalnya sebagai orang berbakat, namun sangat disayangkan betapa miskin dan tidak tahu malu keluarganya meributkan masalah mimpinya di parkiran sekolah. Pada hari yang seharusnya membahagiakan karena Arin memperoleh peringkat satu paralel.

Setelah pengambilan rapor, sekitar dua minggu dipergunakan untuk menyiapkan parade ulang tahun sekolah dan class meeting. Selama itu pula, Arin tidak lagi terlihat di sekolah. Dia berhenti dari klub belajar biologi dan meninggalkan penelitian yang dikerjakannya bersama timnya. Arin tidak lagi bisa mengusahakan hal sia-sia. Penelitian itu tidak ada artinya lagi karena dia sudah pasti tidak dapat menuju mimpinya.

Di masa ini, biaya beasiswa pendidikan sangat sedikit dianggarkan. Cerdas pun tidak cukup. Bantuan beasiswa, apalagi untuk fakultas kedokteran, sulit didapat jika modal pintar saja. Dia tetap harus menyiapkan uang semester. Itulah yang diributkan orang tuanya. Mereka tidak mampu dan mau membayar itu. Sesungguhnya itu adalah masalah pribadi yang seharusnya tidak diketahui orang-orang, namun karena orang tuanya tidak bisa menahan bibir mereka barang sebentar saja untuk tidak bertengkar di tempat umum, apalagi sekolah, menyebarlah masalah ini dengan cepat. Membuat Arin rasanya tak lagi punya muka untuk masuk sekolah.

 

Berhentinya Arin dari klub belajar memang sebuah masalah pada awalnya, tapi Han selaku wakil segera mencari solusi. Pertama, dia meyakinkan kawan-kawannya untuk terus bekerja. Agar mereka tetap bisa memamerkan hasil penelitian dan menyelesaikan laporan.Tetapi, penelitian tersebut dicuri seminggu sebelum pameran. Untuk membuatnya dari awal, mereka pasti membutuhkan Arin. Arin yang memiliki pemahaman dan pengetahuan lebih konkrit tentang penelitian mereka.

 

"Han, Jibar, cukup." Pak Kimu menghentikan pertengkaran yang terjadi itu. Sang guru sebetulnya paham betapa murid-muridnya kecewa. Tetapi ini masalah tidak terduga yang berada di luar kapabilitasnya. Dalam penelitian ulang, mereka pasti butuh dana lagi. Dan berdasarkan keputusan kepala sekolah, dana tidak lagi bisa didapat karena kemarin sekolah sudah mengeluarkan cukup banyak untuk membiayai penelitian ini. Waktunya memang masih bisa dikejar, tetapi selaku guru, Pak Kimu juga punya tanggung jawab untuk mempersiapkan parade. Semua guru adalah panitia acara. Pak Kimu tidak lagi bisa meluangkan banyak waktu untuk membimbing penelitian ini.

"Pak... seharusnya ada cara lain, kan? Apa boleh saya mencarinya? Apa boleh kami mengusahakan untuk mencoba membuatnya ulang?" Han menjauh dari Jibar, merapikan kerahnya, dia beralih pada Pak Kimu.

"Dalam satu minggu? Jangan bicara hal tidak masuk akal, Han! Kamu tahu penelitian kita terhambat karena Kak Arin mengundurkan diri. Mustahil kita membuat ulang tanpa dia. Dialah yang tahu sangat banyak tentang penelitian ini." Davine, sekretaris kedua, membalas bahkan sebelum Pak Kimu sempat menjawab.

"Maka kita buat dia kembali bergabung dengan kita! Kita akan cari pelakunya kalau bisa, dan kita buat lagi jika memungkinkan. Kita harus... kita tidak boleh menyerah! Kita harus mencoba lagi dan jangan jatuh begitu saja." Han menggigit bibirnya, berusaha meyakinkan kawan-kawannya yang tersisa. Han tidak peduli dia baru saja dituduh sebagai pencuri, karena dia pun frustasi. Mereka sudah sejauh ini. Menyerah seperti kata-kata yang haram diucapkan.

Ryan, kepala kebersihan laboratorium, menggeleng pelan. Dia menyentuh bahu Han, berharap bisa meredakan emosi wakil klub yang meledak-ledak. "Tidak, Han. Kak Arin takkan mau bergabung lagi dengan kita. Akan sangat sulit bicara dengannya. Dia sudah memutuskan untuk berhenti sepenuhnya dari bidang ini. Menurutmu, jika tak ada keuntungan dan kepastian untuk masa depannya, buat apa dia ikut memperjuangkannya juga?

Han terdiam, dia juga tahu itu. Dia juga tahu bahwa senior dan ketua mereka kemungkinan akan sulit. Tapi...

"Aku tetap akan mencobanya, Ryan! Pak, saya mohon sekali, tolong izinkan saya melakukannya. Izinkan saya membujuk Kak Arin untuk mencari siapa pencurinya atau sebagai alternatif, kami akan membuatnya ulang. Saya yakin sekali, pencurinya bukan orang dewasa. Boleh jadi ini adalah ulah siswa sekolah kita ini namun entah apalah tujuannya. Izinkan saya berusaha, Pak…" Han menatap Pak Kimu memohon.

 

***

 

Rencana itu tidak sepenuhnya disetujui seluruh anggota. Davine, sekretaris kedua, kemudian Naila, kepala arsip laboratorium, mengundurkan diri. Mereka merasa bahwa membujuk Arin dan mencari kemana hilangnya penelitian itu adalah hal yang sia-sia. Mereka tak lagi mau meluangkan banyak waktu dan mengerahkan banyak tenaga untuk masalah penelitian yang rasa-rasanya mustahil untuk dituntaskan dalam seminggu.

Anggota tersisa masih memiliki sedikit harapan. Setidaknya, setelah Pak Kimu berkata bahwa ia akan berusaha meyakinkan kepala sekolah bahwa tim peneliti bisa mengusahakan semua hal sendiri sampai hari parade. Mereka sepakat untuk berusaha dalam seminggu ini.

“Cobalah untuk menemui Arin dulu. Ajak bicara dan beritahu dulu informasi ini. Saya merasa kamu pun tahu akan sulit membujuk Arin, Han. Tetapi, kalau kalian memang ingin mengusahakannya untuk terakhir kali, saya akan usahakan untuk melaporkannya pada kepala sekolah supaya wilayah stan kita tidak digusur. Kalau ada sesuatu, kalian bisa menemui saya. Inilah satu-satunya hal yang bisa saya lakukan.”

Begitulah akhir dari diskusi mereka saat istirahat makan siang. Sehingga sepulang sekolah, Han, Jibar, Kanali, Ryan, dan Bulan, yakni sekretaris pertama yang tidak banyak bicara, sepakat mengunjungi rumah Arin. Han dan Jibar sudah berbaikan. Tentunya didorong oleh Kanali yang memarahi kawan sebangkunya itu atas perliaku impulsifnya itu.

 

Han datang ke rumah Arin membawa harapan besar. Dia berharap perempuan itu bersedia membantu mereka. Tetapi rupanya, apapun yang dia harapkan hari itu, hanya kekecewaan lah yang mulai berakar di hati Han. Arin bahkan tidak membuka pintu kamar meski orang tuanya memanggil-manggil, menyuruh Arin menyambut anggota timnya. 

Bahkan untuk sekadar menyapa, atau mendengar dulu apa yang ingin teman-teman timnya sampaikan, Arin tidak mau.

 

“Kita menyerah sajalah…” Ryan berkata sambil melangkah gontai meninggalkan rumah Arin. Mereka semua ikut disergap kekecewaan. Jika Arin tidak mau, tidak ada cara lain yang bisa mereka lakukan.

“Tidak! Kita harus tetap menunjukkan hasil usaha kita agar sekolah lebih mendukung klub belajar biologi. Selain itu, kita harus mencari pencurinya! Kita harus mendapatkan kembali penelitian itu!” Han tetap ngotot, mengundang helaan napas lelah kawan-kawannya.

 

***

 

Selepas berganti pakaian sepulang dari rumah Arin, sepanjang sore Han menghabiskan waktu memikirkan cara membujuk Arin agar bersedia kembali ke klub belajar dan bekerja sama menyelesaikan masalah ini. Han tahu, Arin pasti sangat kecewa. Mimpinya seolah diinjak-injak oleh kejadian waktu itu. Tetapi, Han juga yakin, Arin pasti tidak mampi membuang mimpinya semudah itu. Di sudut hati perempuan itu, dia yakin sekali masih ada keinginan melanjutkan penelitian mereka dan memperjuangkan lagi mimpinya.

Karena tak kunjung mendapatkan titik terang karena berpikir sendirian, selepas maghrib Han pergi ke rumah Ryan. Mereka bertetangga, rumah Ryan bisa ditempuh dengan lima menit berjalan kaki dari rumahnya. Biasanya saat malam atau hari libur, Han menghabiskan waktu di rumah Ryan atau sebaliknya untuk belajar bersama, kadang juga untuk main PlayStation.

Melihat Han datang, Ryan tidak berpikir Han mungkin ingin belajar, karena semester pertama kelas sebelas mereka baru saja berakhir. Dia juga tidak berpikir Han ingin main PlayStation dengannya, sebab pria itu pasti masih uring-uringan memikirkan penelitian mereka yang hilang. Han pasti ingin membahas lagi perihal masalah itu.

“Ayo bantu aku berpikir, Ryan. Apa yang harus lakukan untuk membujuk Kak Arin?” Han menggoyang bahu Ryan yang mempersilahkan kawannya itu masuk ke ruang televisi keluarganya. Sebelum Han datang tadi, Ryan sedang merapikan lemari buku bacaan keluarganya, kini dia kembali melanjutkan kegiatannya sambil mendengar keluh kesah Han.

“Kau mau lanjut membujuknya? Aku bahkan sudah menyerah. Kau tahu Kak Arin itu bagaimana, dia sangat keras kepala. Selain itu, aku sedikit paham perasaannya. Dia pasti sangat malu dan sedih. Mustahil dia mau bertemu orang untuk sementara, apalagi kita. Bertemu dengan kita mungkin akan membuatnya mengingat betapa malang nasibnya, sebagai ketua dari klub belajar biologi, justru tidak mampu melanjutkan pendidikan lagi. Entahlah awal semester nanti dia akan masuk atau tidak, karena sayang sekali kalau dia sampai berhenti sekolah sangking kecewanya.” Komentar Ryan sembari mengurutkan berbagai jenis kamus bahasa Indonesia-Inggris milik Ayahnya yang merupakan guru bahasa Inggris pada salah satu SMP di kotanya.

Han memberantaki rambutnya kesal, “Aku tahu itu, Ryan. Sangat tahu malah. Tapi, aku yakin Kak Arin sesungguhnya masih berharap di antara kesedihan itu. Dia itu dikenal semua orang sebagai calon dokter yang hebat. Sekali saja kau ikut kelas biologi yang diajarkannya di klub, kau pasti akan merasa seolah bisa melihat masa depannya yang cemerlang. Aku tahu ini permasalahan internal yang sangat berat, kita tak bisa membantu apapun. Tapi… kita harus cari cara juga untuk membantunya, kan? Karena kita juga sibuk, tidak ada yang berkenan membantu atau menenangkannya. Tidak ada satupun yang bersedia membujuk Kak Arin untuk kembali karena kita takut dia akan tambah sedih. Tapi, aku merasa dia butuh dorongan. Bukan kalimat menenangkan bahwa masih banyak mimpi lain. Dia butuh dorongan untuk tetap nekat memperjuangkan mimpinya meski situasi sedang sulit.”

Ryan terdiam sebentar, sebelum dia akhirnya berbalik dan menatap Han yang masih menggebu-gebu memaparkan pendapatnya. Sebetulnya, Ryan juga merasa prihatin pada Arin. Arin adalah orang yang berjasa dalam memajukan klub biologi. Memperjuangkan penelitian dan anggaran agar klub tetap berjalan, hidup, dan membuat kemajuan. Tetapi lagi-lagi, ini bukan permasalahan yang bisa sembarangan disentuh oleh anak SMA yang sama sekali tidak memahami sulitnya mencari uang. Ryan merasa tindakan orang tua Arin salah, bertengkar perkara pendidikan anaknya di sekolah. Namun, pastilah sulit untuk keluarga mereka untuk menghadapi permasalahan ekonomi seperti ini.

“Lantas, kau mau apa, Han? Kalau kau minta saran padaku bagaimana cara membujuknya, aku tak punya ide. Kak Arin itu orang yang sulit dibantah. Kalau tidak ada harapan sama sekali, aku cukup yakin dia tidak akan menemui siapapun atau membahas masalahnya ini sampai akhirnya dia bisa berdamai. Tapi, kita pun tidak tahu kapan dia akan berdamai dengan masalah ini. Di tambah lagi, masalah penelitian. Aku sejak awal ragu untuk membujuk Kak Arin kembali ke klub. Karena kemungkinan besar dia tidak mau memperjuangkan hal yang tidak jelas apa untungnya buat dia sekarang. Hal yang justru menurutnya menyakitkan dan sia-sia. Aku tak punya ide bagaimana cara membuatnya mau mendengar kita dan membahas masalah ini. Ini adalah masalah tambahan untuknya. Bahkan jika sekarang dia tidak peduli tentang penelitian itu, jika kau beritahu, aku yakin dia tetap akan merasa sedih mendengar bahwa usaha kerasnya telah dicuri. Penelitian yang kita usahakan tidak akan ditampilkan dan klub kita takkan maju.”

“Kau ini pesimis sekali, Ryan!” Han memotong ucapan Ryan, tidak sanggup lagi mendengarkan kalimat-kalimat yang sesungguhnya memang fakta.

Ryan beralih dari menyusun buku, mendekat ke sofa di mana Han duduk di sana. Suara mereka yang beradu argument cukup keras, tapi itu bukan masalah karena orang tuanya sedang pergi ke perjamuan makan malam keluarga. Ryan tinggal di rumah sendiri karena dia pulang terlalu sore tadi. Ryan menyentuh bahu Han, berusaha menenangkan.

“Aku tidak pesimis, Han. Itulah faktanya. Aku yakin, sekalipun kita memberitahunya, belum tentu dia akan bersedia memperjuangkannya. Kau mau dia membantu kita mencarinya? Keuntungannya apa untuk dia? Kak Arin sedang sedih-sedihnya karena dia terhalang masuk sekolah kedokteran, terus membujuknya untuk mengatasi masalah ini justru akan membuatnya tambah sedih. Dia diberitahu bahwa masuk sekolah kedokteran tidak memungkinkan, lantas untuk apalagi usaha-usaha seperti ini? Klub biologi yang maju bukan lagi urusannya. Kita melihat langsung surat pengunduran diri yang dia letakkan di laboratorium sehari setelah kejadian itu.”

Han tahu, dia sangat tahu. Ada kemungkinan apapun yang mereka katakan tidak akan terlalu dipedulikan Arin. Ketua klub mereka itu pasti merasa dunianya runtuh karena mimpinya pupus oleh keadaan, sementara sebagai anggota klub dan kawan, tak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka semua masih muda. Kalau bicara soal uang, mana ada yang bisa membantu sampai biaya masuk sekolah kedokteran…

“Oh!” Di tengah kebingungan dan ketegangan diskusi mereka, Han tiba-tiba teringat sesuatu, dia menjentikkan jari. Ryan menoleh bingung menatapnya.

“Apa?”

“Kau ingat pembicaraan Pak Kimu dengan alumni kita yang mampir bulan lalu tidak?”

“Kapan?”

Han melotot, “Masa tidak ingat?! Percakapan yang tidak sengaja kita dengar saat hendak mengantar buku waktu itu! Alumni kita, yang kalau tidak salah bernama Kak Rizal itu, kan, mahasiswa kedokteran sekarang. Dia juga dahulu tidak terlalu mampu untuk masuk ke sana, tapi dia terus mengusahakannya. Meski pada akhirnya dia harus jadi mentor selama satu tahun, dia berhasil masuk ke fakultas kedokteran. Tapi waktu itu, dia dibantu sesuatu lagi.”

Ryan mengerutkan alis, dia tidak mengingat hal ini. “Dibantu apa?”

“Jurnal dan esai penelitian. Ayo kita tanyakan hal ini pada Pak Kimu! Kalau dengan ini, mimpi Kak Arin jad memungkinkan. Kita bisa membantu dia dan dia akan tetap memperjuangkan klub belajar.”

Han seolah tidak benar-benar memasukkan kata-kata Ryan ke kepalanya, atau sepertinya dia tidak mendengarkan sama sekali. Karena sekarang Han sudah kembali berbinar-binar setelah sempat kesal pada Ryan karena menurutnya sikap kawannya itu sangat pesimis dan mudah sekali menyerah terhadap usaha mereka.

Padahal sesungguhnya, Ryan hanya berusaha rasional.

Tetapi, mau tidak mau Ryan mengangguk saja. Sikap optimis Ryan ini sebetulnya mirip pisau bermata dua, bagus, namun jika berlebihan justru akan menyakitkan jika mereka gagal. Tapi untuk sekarang, mari mengusahakannya dulu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1730      772     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...
Thieves Sister
16279      2927     7     
Action
Remaja kembar yang bisa mencuri benda-benda bersejarah milik dunia dan membalas dendamkan kematian kakaknya. Apa yang terjadi selanjutnya?
JATUH CINTA
1415      662     3     
Romance
Cerita cinta anak SMA yang sudah biasa terjadi namun jelas ada yang berbeda karena pemerannya saja berbeda. Dia,FAIZAR HARIS AL KAFH. Siswa kelas 10 SMAN 1 di salah satu kota. Faizar,seorang anak yang bisa dibilang jail dengan muka sok seriusnya itu dan bisa menyeramkan disaat tertentu. Kenalkan juga, ALYSA ANASTASIA FAJRI. seorang gadis dengan keinginan ingin mencari pengalaman di masa S...
Help Me Help You
2015      1167     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Gunay and His Broken Life
8520      2517     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
14155      2881     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
137      122     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Letter From Who?
488      339     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
Dissolve
447      296     2     
Romance
Could you tell me what am I to you?