Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Hari itu langit seperti enggan diajak bicara. Mendung menggantung, tidak gelap tapi cukup kelabu untuk membuat orang-orang menurunkan suara. Udara pagi lembap, dan angin bertiup pelan seperti bisikan kabar buruk yang belum tiba. Tapi tidak ada yang menduga—bahwa pagi itu adalah pagi ketika semuanya mulai jatuh.

Semuanya diawali dengan suara benda pecah.

Bukan suara kaca. Bukan juga suara piring yang terjatuh. Tapi suara tubuh Ibu yang rubuh di lantai dapur, seperti benang terakhir yang putus setelah terlalu lama menahan beban. Aku sedang di kamar belakang ketika mendengar suara itu, diikuti jeritan kecil dari Damar yang kebetulan baru saja mengambil air minum.

“Ibu!”

Aku berlari. Waktu seperti melambat, dan langkahku berat seakan lantai menarikku ke bawah. Di dapur, Ibu tergeletak. Tangannya masih menggenggam sutil, kepalanya sedikit miring ke kiri, dan matanya—oh, matanya kosong. Tapi masih terbuka. Segalanya terjadi begitu cepat. Tetangga dipanggil. Mobil tetangga dipakai. Rumah sakit terdekat jadi tujuan. Dan aku, duduk di bangku belakang sambil menggenggam tangan Ibu yang dingin, hanya bisa berdoa dalam diam. Aku tak sempat menangis. Rasanya terlalu takut untuk menangis. Karena air mata seperti pengakuan, bahwa sesuatu memang sedang benar-benar salah.

“Hipotensi mendadak. Bisa karena kelelahan. Tapi kami harus cek lebih jauh,” kata dokter dengan nada datar yang mencoba terdengar tenang. Ibu akhirnya sadar, beberapa jam kemudian. Tapi lemah. Bahkan senyumannya terasa seperti lipatan tipis di wajahnya yang mulai kusut oleh usia.

“Maaf ya,” katanya lirih.

Kami bertiga—aku, Damar, dan Bapak—terdiam.

Lucu, ya. Ibu baru saja pingsan, dibawa ke UGD, dan kalimat pertamanya justru minta maaf.

“Kenapa malah minta maaf, Bu?” tanya Damar pelan.

“Soalnya bikin heboh. Padahal cuma jatuh sebentar,” jawabnya, mencoba bercanda. Tapi suaranya tidak bisa menyembunyikan getirnya.

Bapak menggenggam tangan Ibu. Dulu aku pikir tangan Bapak terlalu keras untuk digenggam. Tapi sore itu, tangannya seperti tambatan yang tenang di tengah badai.

“Yang penting kamu istirahat dulu. Jangan pikirin apa-apa.”

Ibu mengangguk pelan. Tapi aku tahu, ia akan tetap memikirkan semuanya. Karena itulah yang selalu dilakukan ibu—bahkan ketika tubuhnya jatuh, pikirannya tetap sibuk merapikan hidup orang lain. Malam itu rumah jadi sunyi. Sunyi yang bukan karena tidak ada suara, tapi karena banyak rasa yang tidak tahu harus dikeluarkan lewat kata apa. Damar menyibukkan diri dengan memotong sayur, padahal kami tak lapar. Aku mencoba menyalakan televisi, tapi tidak ada satu pun acara yang bisa menyita perhatian. Bapak duduk lama di teras, menatap langit yang tidak hujan tapi juga tak kunjung cerah.

“Kamu sadar nggak?” kata Damar pelan. “Selama ini kita terlalu terbiasa Ibu kuat.”

Aku menoleh. Ia tak menatapku, hanya menunduk pada potongan wortel di depannya yang kini tak jelas bentuknya. “Kita selalu minta tolong dia. Nanya ini-itu. Nitip belanja. Bikin teh. Jahitin kancing. Tapi kita jarang nanya... dia capek apa enggak.”

Aku ingin membantah, ingin bilang bahwa kami juga sayang. Tapi diamku justru lebih jujur dari kata-kata. Karena memang benar: kami terlalu mengandalkan Ibu, sampai lupa bahwa Ibu juga manusia.

Hari berikutnya adalah hari pertama kami mengurus rumah tanpa Ibu.

Bapak mencoba masak nasi, dan hasilnya... menghitam. Damar hampir menjemur handuk di kulkas karena kebiasaan Ibu yang biasa menata semuanya dengan teratur. Aku sendiri tertinggal bus karena Ibu biasanya yang teriak, “Eh! Udah jam tujuh kurang lima!”

Rumah seperti kehilangan pusat gravitasinya.

Tapi justru dari ketidakteraturan itu, kami mulai belajar. Bukan tentang bagaimana menggantikan Ibu—karena itu tidak mungkin. Tapi tentang menghargai yang selama ini tidak kami lihat. Tentang sarapan sederhana yang selalu ada. Tentang baju yang tiba-tiba rapi di lemari. Tentang obat yang entah kenapa selalu tepat waktu tersedia. Tentang detail kecil yang dulu kami anggap biasa, padahal sebenarnya luar biasa. Aku datang lagi ke rumah sakit sore itu, membawa kain bunga-bunga yang Ibu sukai. Kain itu belum sempat dijahit. Ibu dulu bilang akan menjadikannya rok untuk ke acara pameran berikutnya.

“Ibu mau lanjut jahit nggak nanti, kalau udah pulih?” tanyaku sambil menata kain di meja kecil.

Ibu tersenyum. Tapi senyumnya seperti ada titik koma yang menggantung.

“Mau,” katanya. “Tapi Ibu juga pengin istirahat. Bukan karena lelah jahitannya, tapi lelah menyimpan semua sendirian.”

Aku tersentak.

“Selama ini Ibu pikir... Ibu harus kuat terus. Harus bisa semuanya. Padahal kadang Ibu cuma pengin duduk, diem, terus ada yang nanya: ‘Bu, hari ini Ibu gimana?’”

Aku tak tahan. Air mata tumpah pelan. Kali ini tak bisa ditahan lagi.

Aku genggam tangannya, dan kali ini dengan lebih erat dari sebelumnya.

“Mulai sekarang, kita yang jagain Ibu, ya?”

Ibu hanya mengangguk. Tapi matanya berkaca-kaca, seperti kain yang terlalu lama tertahan dan akhirnya robek di bagian lembutnya.

Sepulang dari rumah sakit, aku menulis catatan kecil dan menempelkannya di pintu kulkas. “Hari ini: Tanya kabar Ibu. Bukan cuma kabar rumah.” Keesokan harinya, Damar menambahkan satu kertas lain: “Kalau Ibu tidur, jangan berisik. Kalau dia bangun, kasih peluk.”

Bapak? Ia menambahkan catatan ketiga:

“Belikan roti pandan. Ibu suka yang itu.”

Dapur kami mulai hidup lagi. Tapi dengan irama yang baru—lebih pelan, lebih peduli, lebih penuh jeda.

Minggu depannya, Ibu sudah bisa pulang.

Langkahnya pelan. Tapi senyumnya lebih lega. Seperti orang yang akhirnya bisa menghembuskan napas panjang setelah bertahun-tahun menahan beban di dada. Kami menata ulang ruang jahit. Tidak lagi penuh tumpukan kain yang memaksa. Kali ini lebih rapi, lebih lapang. Hanya beberapa benang, mesin jahit yang dibersihkan, dan satu kursi tambahan—untuk siapa pun yang mau menemani Ibu menjahit.

“Mau mulai bikin tas lagi, Bu?” tanyaku suatu siang.

Ibu menggeleng. “Enggak buru-buru. Ibu mau bikin sesuatu yang lebih penting dulu.”

“Apa?”

Ia menunjuk hatinya. “Menjahit hati Ibu sendiri. Supaya nggak mudah sobek lagi.”

Dan kami tertawa. Tapi di antara tawa itu, aku tahu—bahwa hari ketika semua jatuh, justru jadi hari ketika kami mulai belajar berdiri bersama. Karena kadang... harus ada yang jatuh dulu, agar kita tahu apa yang sebenarnya paling penting. Agar kita tak lagi menunda perhatian. Agar kita paham, bahwa pulang bukan hanya soal datang, tapi tentang hadir.

Ibu akhirnya lebih sering duduk santai di serambi. Membaca buku resep, menyiram bunga, dan mendengarkan radio tua yang disetel pelan. Dan kami? Kami lebih sering duduk di dekatnya. Bercerita tanpa alasan, hanya supaya ia tahu... kami ingin dekat. Hari ketika semua jatuh, adalah hari ketika kami bangun. Bukan hanya dari tidur, tapi dari lupa.

Dan sejak hari itu, kami tahu: rumah tidak akan pernah sama. Tapi juga tidak akan pernah sepi—selama ada cinta yang pelan-pelan terus kami jahit bersama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Anything For You
3356      1353     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Singlelillah
1327      638     2     
Romance
Kisah perjalanan cinta seorang gadis untuk dapat menemukan pasangan halalnya. Mulai dari jatuh cinta, patah hati, di tinggal tanpa kabar, sampai kehilangan selamanya semua itu menjadi salah satu proses perjalanan Naflah untuk menemukan pasangan halalnya dan bahagia selamanya.
In Her Place
1039      677     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Liera and friends
1109      721     2     
Romance
Liera, gadis pendiam yang selalu menghindar dari perhatian, memutuskan untuk mengubah hidupnya dengan berangkat ke kampung Inggris. Ia ingin melupakan masa lalu yang menyakitkan dan menemukan jati diri yang sebenarnya. Di sana, ia menemukan persahabatan yang kuat dengan tiga teman kamarnya: Elara, Chloe, dan indah. Mereka bersama-sama menjelajahi kehidu...
ALUSI
9753      2313     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
My Doctor My Soulmate
121      108     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
TO DO LIST CALON MANTU
1574      707     2     
Romance
Hubungan Seno dan Diadjeng hampir diujung tanduk. Ketika Seno mengajak Diadjeng memasuki jenjang yang lebih serius, Ibu Diadjeng berusaha meminta Seno menuruti prasyarat sebagai calon mantunya. Dengan segala usaha yang Seno miliki, ia berusaha menenuhi prasyarat dari Ibu Diadjeng. Kecuali satu prasyarat yang tidak ia penuhi, melepaskan Diadjeng bersama pria lain.
Antara Depok dan Jatinangor
336      226     2     
Romance
"Kan waktu SMP aku pernah cerita kalau aku mau jadi PNS," katanya memulai. "Iya. Terus?" tanya Maria. Kevin menyodorkan iphone-nya ke arah Maria. "Nih baca," katanya. Kementrian Dalam Negeri Institut Pemerintahan Dalam Negeri Maria terperangah beberapa detik. Sejak kapan Kevin mendaftar ke IPDN? PrajaIPDN!Kevin × MahasiswiUI!Maria
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
6196      1245     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Kebaikan Hati Naura
643      365     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.