Hari itu langit seperti enggan diajak bicara. Mendung menggantung, tidak gelap tapi cukup kelabu untuk membuat orang-orang menurunkan suara. Udara pagi lembap, dan angin bertiup pelan seperti bisikan kabar buruk yang belum tiba. Tapi tidak ada yang menduga—bahwa pagi itu adalah pagi ketika semuanya mulai jatuh.
Semuanya diawali dengan suara benda pecah.
Bukan suara kaca. Bukan juga suara piring yang terjatuh. Tapi suara tubuh Ibu yang rubuh di lantai dapur, seperti benang terakhir yang putus setelah terlalu lama menahan beban. Aku sedang di kamar belakang ketika mendengar suara itu, diikuti jeritan kecil dari Damar yang kebetulan baru saja mengambil air minum.
“Ibu!”
Aku berlari. Waktu seperti melambat, dan langkahku berat seakan lantai menarikku ke bawah. Di dapur, Ibu tergeletak. Tangannya masih menggenggam sutil, kepalanya sedikit miring ke kiri, dan matanya—oh, matanya kosong. Tapi masih terbuka. Segalanya terjadi begitu cepat. Tetangga dipanggil. Mobil tetangga dipakai. Rumah sakit terdekat jadi tujuan. Dan aku, duduk di bangku belakang sambil menggenggam tangan Ibu yang dingin, hanya bisa berdoa dalam diam. Aku tak sempat menangis. Rasanya terlalu takut untuk menangis. Karena air mata seperti pengakuan, bahwa sesuatu memang sedang benar-benar salah.
“Hipotensi mendadak. Bisa karena kelelahan. Tapi kami harus cek lebih jauh,” kata dokter dengan nada datar yang mencoba terdengar tenang. Ibu akhirnya sadar, beberapa jam kemudian. Tapi lemah. Bahkan senyumannya terasa seperti lipatan tipis di wajahnya yang mulai kusut oleh usia.
“Maaf ya,” katanya lirih.
Kami bertiga—aku, Damar, dan Bapak—terdiam.
Lucu, ya. Ibu baru saja pingsan, dibawa ke UGD, dan kalimat pertamanya justru minta maaf.
“Kenapa malah minta maaf, Bu?” tanya Damar pelan.
“Soalnya bikin heboh. Padahal cuma jatuh sebentar,” jawabnya, mencoba bercanda. Tapi suaranya tidak bisa menyembunyikan getirnya.
Bapak menggenggam tangan Ibu. Dulu aku pikir tangan Bapak terlalu keras untuk digenggam. Tapi sore itu, tangannya seperti tambatan yang tenang di tengah badai.
“Yang penting kamu istirahat dulu. Jangan pikirin apa-apa.”
Ibu mengangguk pelan. Tapi aku tahu, ia akan tetap memikirkan semuanya. Karena itulah yang selalu dilakukan ibu—bahkan ketika tubuhnya jatuh, pikirannya tetap sibuk merapikan hidup orang lain. Malam itu rumah jadi sunyi. Sunyi yang bukan karena tidak ada suara, tapi karena banyak rasa yang tidak tahu harus dikeluarkan lewat kata apa. Damar menyibukkan diri dengan memotong sayur, padahal kami tak lapar. Aku mencoba menyalakan televisi, tapi tidak ada satu pun acara yang bisa menyita perhatian. Bapak duduk lama di teras, menatap langit yang tidak hujan tapi juga tak kunjung cerah.
“Kamu sadar nggak?” kata Damar pelan. “Selama ini kita terlalu terbiasa Ibu kuat.”
Aku menoleh. Ia tak menatapku, hanya menunduk pada potongan wortel di depannya yang kini tak jelas bentuknya. “Kita selalu minta tolong dia. Nanya ini-itu. Nitip belanja. Bikin teh. Jahitin kancing. Tapi kita jarang nanya... dia capek apa enggak.”
Aku ingin membantah, ingin bilang bahwa kami juga sayang. Tapi diamku justru lebih jujur dari kata-kata. Karena memang benar: kami terlalu mengandalkan Ibu, sampai lupa bahwa Ibu juga manusia.
Hari berikutnya adalah hari pertama kami mengurus rumah tanpa Ibu.
Bapak mencoba masak nasi, dan hasilnya... menghitam. Damar hampir menjemur handuk di kulkas karena kebiasaan Ibu yang biasa menata semuanya dengan teratur. Aku sendiri tertinggal bus karena Ibu biasanya yang teriak, “Eh! Udah jam tujuh kurang lima!”
Rumah seperti kehilangan pusat gravitasinya.
Tapi justru dari ketidakteraturan itu, kami mulai belajar. Bukan tentang bagaimana menggantikan Ibu—karena itu tidak mungkin. Tapi tentang menghargai yang selama ini tidak kami lihat. Tentang sarapan sederhana yang selalu ada. Tentang baju yang tiba-tiba rapi di lemari. Tentang obat yang entah kenapa selalu tepat waktu tersedia. Tentang detail kecil yang dulu kami anggap biasa, padahal sebenarnya luar biasa. Aku datang lagi ke rumah sakit sore itu, membawa kain bunga-bunga yang Ibu sukai. Kain itu belum sempat dijahit. Ibu dulu bilang akan menjadikannya rok untuk ke acara pameran berikutnya.
“Ibu mau lanjut jahit nggak nanti, kalau udah pulih?” tanyaku sambil menata kain di meja kecil.
Ibu tersenyum. Tapi senyumnya seperti ada titik koma yang menggantung.
“Mau,” katanya. “Tapi Ibu juga pengin istirahat. Bukan karena lelah jahitannya, tapi lelah menyimpan semua sendirian.”
Aku tersentak.
“Selama ini Ibu pikir... Ibu harus kuat terus. Harus bisa semuanya. Padahal kadang Ibu cuma pengin duduk, diem, terus ada yang nanya: ‘Bu, hari ini Ibu gimana?’”
Aku tak tahan. Air mata tumpah pelan. Kali ini tak bisa ditahan lagi.
Aku genggam tangannya, dan kali ini dengan lebih erat dari sebelumnya.
“Mulai sekarang, kita yang jagain Ibu, ya?”
Ibu hanya mengangguk. Tapi matanya berkaca-kaca, seperti kain yang terlalu lama tertahan dan akhirnya robek di bagian lembutnya.
Sepulang dari rumah sakit, aku menulis catatan kecil dan menempelkannya di pintu kulkas. “Hari ini: Tanya kabar Ibu. Bukan cuma kabar rumah.” Keesokan harinya, Damar menambahkan satu kertas lain: “Kalau Ibu tidur, jangan berisik. Kalau dia bangun, kasih peluk.”
Bapak? Ia menambahkan catatan ketiga:
“Belikan roti pandan. Ibu suka yang itu.”
Dapur kami mulai hidup lagi. Tapi dengan irama yang baru—lebih pelan, lebih peduli, lebih penuh jeda.
Minggu depannya, Ibu sudah bisa pulang.
Langkahnya pelan. Tapi senyumnya lebih lega. Seperti orang yang akhirnya bisa menghembuskan napas panjang setelah bertahun-tahun menahan beban di dada. Kami menata ulang ruang jahit. Tidak lagi penuh tumpukan kain yang memaksa. Kali ini lebih rapi, lebih lapang. Hanya beberapa benang, mesin jahit yang dibersihkan, dan satu kursi tambahan—untuk siapa pun yang mau menemani Ibu menjahit.
“Mau mulai bikin tas lagi, Bu?” tanyaku suatu siang.
Ibu menggeleng. “Enggak buru-buru. Ibu mau bikin sesuatu yang lebih penting dulu.”
“Apa?”
Ia menunjuk hatinya. “Menjahit hati Ibu sendiri. Supaya nggak mudah sobek lagi.”
Dan kami tertawa. Tapi di antara tawa itu, aku tahu—bahwa hari ketika semua jatuh, justru jadi hari ketika kami mulai belajar berdiri bersama. Karena kadang... harus ada yang jatuh dulu, agar kita tahu apa yang sebenarnya paling penting. Agar kita tak lagi menunda perhatian. Agar kita paham, bahwa pulang bukan hanya soal datang, tapi tentang hadir.
Ibu akhirnya lebih sering duduk santai di serambi. Membaca buku resep, menyiram bunga, dan mendengarkan radio tua yang disetel pelan. Dan kami? Kami lebih sering duduk di dekatnya. Bercerita tanpa alasan, hanya supaya ia tahu... kami ingin dekat. Hari ketika semua jatuh, adalah hari ketika kami bangun. Bukan hanya dari tidur, tapi dari lupa.
Dan sejak hari itu, kami tahu: rumah tidak akan pernah sama. Tapi juga tidak akan pernah sepi—selama ada cinta yang pelan-pelan terus kami jahit bersama.