Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Ada satu ruangan di rumah kami yang dulu sering terabaikan: ruang kecil di samping dapur yang dulunya adalah gudang, lalu disulap Ibu menjadi ruang jahit. Satu mesin jahit tua, tumpukan kain warna-warni, dan kaleng biskuit yang isinya benang, kancing, pita, serta jarum pentul. Ibu tidak pernah menyebut tempat itu "ruang kerjanya", tapi kami semua tahu—itulah tempat di mana Ibu menyelamatkan banyak hal. Dari baju robek, resleting rusak, sampai hati yang lelah. Karena anehnya, setiap kali Ibu duduk di depan mesin jahit itu, ia terlihat lebih tenang. Lebih hidup. Seolah dari balik setiap tusukan jarum dan derit pedal, ia sedang menata ulang sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar potongan kain.

Pagi itu, aku menemuinya di sana.

“Ibu lagi buat apa?” tanyaku, duduk di bangku kayu kecil di sampingnya.

“Buat tas dari kain perca,” jawabnya sambil tetap fokus pada jahitannya. “Buat dijual minggu depan. Lumayan buat tambah-tambah beli gas.”

Aku tersenyum. “Masih kuat aja, Bu. Nggak capek?”

Ibu berhenti sejenak, menoleh dan berkata pelan, “Kalau ngerjain sesuatu yang disayang, capeknya beda. Kayak diselimuti sabar.”

Aku diam. Kalimat itu seperti menjahit langsung ke dalam dadaku.

Sore harinya, aku menemukan Damar berdiri di depan ruang jahit, memandangi Ibu yang tengah menata kain-kainnya.

“Kamu tahu nggak,” katanya, “Ibu dulu sempat punya cita-cita jadi desainer baju.”

Aku terkejut. “Serius?”

Damar mengangguk. “Aku pernah nggak sengaja baca tulisan lamanya. Katanya, waktu kecil dia suka gambar baju-baju pengantin. Tapi ya, hidup nggak pernah kasih ruang buat dia kejar itu.”

Aku terdiam.

Ibu, dengan semua ketekunan dan cinta yang ia curahkan di ruang kecil itu, ternyata pernah punya mimpi yang besar—yang ia simpan, lalu dijahit rapi-rapi jadi diam.

“Kenapa dia nggak cerita ya?” gumamku.

“Mungkin karena nggak sempat,” jawab Damar. “Atau karena... dia tahu nggak semua mimpi harus dicapai. Beberapa cukup jadi sumber kekuatan, supaya bisa hidup dengan hati penuh.”

Aku menatap Ibu dari balik pintu. Tangannya lincah, matanya fokus, mulutnya bersenandung pelan lagu keroncong yang entah dari mana datangnya.

Aku tiba-tiba merasa ingin menjahitkan sesuatu untuknya. Sesuatu yang bukan baju atau tas, tapi harapan—sebuah bentuk kecil balasan untuk hati yang tak pernah berhenti menyulam cinta.

Beberapa hari kemudian, aku mengajak Ibu ke toko kain di kota. Awalnya ia menolak, bilang kain-kain di rumah masih banyak. Tapi setelah aku membujuk dan menyebut bahwa aku ingin mulai belajar menjahit juga, wajahnya langsung bersinar.

“Beneran kamu mau belajar?”

Aku mengangguk. “Aku juga pengin ngerti rasanya menjahit. Bukan cuma kain, tapi juga... diri sendiri.”

Kami berdua tertawa. Tapi entah kenapa, tawa itu membawa rasa hangat yang lama tak datang. Seperti... aku akhirnya membuka pintu ke dunia kecil Ibu, dunia yang selama ini hanya kami lewati, tapi tak benar-benar kami pahami.

Di toko kain itu, Ibu seperti anak kecil di taman bermain. Ia menyentuh tiap lembar kain, membandingkan warna, menarik gulungan benang, dan mencoba pola-pola baru. Aku hanya mengikutinya, mengagumi bagaimana ia mengingat harga, tekstur, hingga asal-usul corak batik tertentu.

“Ibu ini kayak kamus berjalan,” kataku sambil tertawa.

“Namanya juga cinta lama,” jawabnya. “Susah dilupakan.”

Setelah belanja kain, kami mampir ke warung soto langganan. Di sana, di tengah semangkuk kuah panas dan sambal yang melebihi takaran, Ibu mulai bercerita. “Waktu muda, Ibu pernah ikut lomba desain baju. Nggak menang, tapi sempat masuk final. Hadiahnya cuma mesin jahit mini, yang akhirnya rusak karena kebanjiran.” Aku menatapnya, tak tahu harus bilang apa. Karena tak pernah terpikir Ibu juga punya masa-masa ingin terbang tinggi. “Tapi nggak apa-apa,” lanjutnya. “Mungkin Tuhan memang mau Ibu jadi penjahit di rumah ini. Bukan buat fashion show, tapi buat anak-anak yang baju sekolahnya sobek. Buat cucu nanti yang mau kostum karnaval. Buat diri Ibu sendiri, supaya tetap waras.”

Aku menggenggam tangannya. Ia tersenyum.

Tiba-tiba aku sadar: Ibu bukan tidak punya panggung. Ia hanya memilih panggung yang lebih kecil, tapi penuh cinta. Dan dari situ, ia menjahit ulang hidup kami satu per satu—tanpa pernah minta pujian. Hari-hari selanjutnya kami habiskan bersama di ruang jahit. Ibu mengajariku menjahit lurus, membuat pola dasar, bahkan memintaku menjahitkan sarung bantal. Hasilku belepotan, tapi Ibu tetap memuji.

“Lumayan lah. Nggak bisa buat dijual, tapi bisa buat kenangan,” katanya sambil tertawa.

Saat itu aku sadar, menjahit itu bukan soal rapi atau lurusnya benang. Tapi tentang sabar. Tentang membangun, tusuk demi tusuk, sesuatu yang sebelumnya hanya potongan tak bermakna. Seperti hidup. Seperti luka yang harus disulam pelan-pelan. Di malam yang sepi, saat hanya terdengar suara jangkrik dan derit kipas angin, Ibu berkata:

“Kita semua pernah robek, pernah sobek sana-sini. Tapi jangan buang kainnya. Karena kalau kita sabar menjahitnya kembali, bisa jadi lebih kuat dari sebelumnya.”

Dan aku tahu, kalimat itu bukan cuma tentang kain. Tapi tentang hati.

Beberapa minggu kemudian, Ibu mengikuti pameran kerajinan kecil di balai desa. Kami semua ikut mendampingi. Di sana, tas-tas kain buatan Ibu—yang selama ini hanya disimpan di lemari—dipajang rapi, diberi label harga, dan... dihargai. Ada seorang perempuan muda yang memegang salah satu tas Ibu dan berkata, “Ini bagus banget. Siapa yang buat?”

Ibu malu-malu menjawab, “Saya.”

Perempuan itu tersenyum. “Boleh pesen lagi, Bu? Saya suka motifnya. Jarang lho yang buat kayak gini.” Ibu hanya mengangguk, tapi matanya berbinar. Mungkin seperti itulah rasanya saat mimpi lama akhirnya mengetuk pintu.

Malam harinya, aku dan Damar membicarakan pameran itu sambil menyeruput teh di dapur.

“Kita pikir Ibu itu ‘cuma’ ibu rumah tangga. Padahal dia seniman,” kata Damar.

“Seniman benang dan harapan,” jawabku sambil tersenyum.

Kami tertawa kecil. Tapi rasanya... itu bukan candaan. Karena Ibu memang menjahit lebih dari sekadar kain. Ia menjahit ulang harapan kami yang sempat koyak oleh dunia. Ia menyulam keyakinan bahwa hidup mungkin berat, tapi tetap bisa indah... kalau kita tahu caranya menjahit kembali serpihan-serpihan kecil itu. Dan kini, aku hanya ingin belajar lebih banyak. Tentang menjahit, tentang sabar, tentang mencintai dalam diam, dan tentang menyulam harapan dari bahan-bahan sederhana—seperti yang telah Ibu lakukan seumur hidupnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Monologue
654      448     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Ojek Payung
548      395     0     
Short Story
Gadis ojek payung yang menanti seorang pria saat hujan mulai turun.
Premium
Secret Love Story (Complete)
11472      1670     2     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...
Perahu Jumpa
302      245     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Bimasakti dan Antariksa
220      170     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Janji-Janji Masa Depan
15781      3629     12     
Romance
Silahkan, untuk kau menghadap langit, menabur bintang di angkasa, menyemai harapan tinggi-tinggi, Jika suatu saat kau tiba pada masa di mana lehermu lelah mendongak, jantungmu lemah berdegup, kakimu butuh singgah untuk memperingan langkah, Kemari, temui aku, di tempat apa pun di mana kita bisa bertemu, Kita akan bicara, tentang apa saja, Mungkin tentang anak kucing, atau tentang martabak mani...
Strange Boyfriend
308      246     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Waiting
1732      1284     4     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi
Bittersweet Memories
48      48     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Pieces of Word
2645      930     4     
Inspirational
Hanya serangkaian kata yang terhubung karena dibunuh waktu dan kesendirian berkepanjangan. I hope you like it, guys! 😊🤗